Anda di halaman 1dari 36

AGAMA : ETIKA GLOBAL A.

Etika Global Untuk memahami makna etika global, maka ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu pengertian etika dalam artian umum. Etika secara umum adalah membekali diri dengan akhlak yang mulia, sifat-sifat terpuji dalam bergaul dan berinteraksi dengan manusia, atau keadaan dan perlakuan yang baik dan apa yang bisa menjaga dari segala kesalahan, atau sifat yang bisa menjaga seseorang dari hal yang bisa menghinakannya. Etika ini berlaku pada manusia, tingkah laku, ilmu dan pengetahuan secara mutlak, atau apa yang berkaitan dengannya. Maka ada istilah etika sultan, etika menteri, etika kekuasaan, etika dunia dan agama, dan lain sebagainya. Jadi, bisa dikatakan disini bahwa kata etika menurut para pemikir terdahulu tidak hanya ditujukan pada komitmen pada akhlak saja, akan tetapi juga ditujukan pada komitmen terhadap syariah dan hukum, sifat-sifat yang harus dimiliki oleh para penguasa yang berwenang, serta jalan yang harus ditempuh, kewajiban-kewajiban, hak-hak, dan lain-lain sebagainya.1 Sedangkan istilah politik global sama dengan istilah ekonomi global, komunikasi global, dan hankam global, yang cendrung menekankan pada bumi hunian manusia, dibanding dengan hubungan antar manusia, yang menekankan istilah internasional, yang digunakan misalnya dalam istilah hubungan internasional, atau politik internasional.2 Dunia dewasa ini sedang diwarnai oleh global politics, global technology, global ekonomi, dan global strategy. Bahkan bumi tempat kita berada pun tidak terlepas dari predikat global, yakni global village. Dalam konteks di atas, para pengamat memusatkan perhatiannya pada dimensi-dimensi positif perkembangan desa global masa kini. Kenichi Ohmae, seorang cendikiawan Jepang, melukiskan desa gelobal sebagai borderless world

Zhafir Al-Qasimi, Nizham Al-hukumi Al-Islami wa Al-Hayat Ad-Dusturiyah, hlm. 423. Solly Lubis, Islam dan Globalisasi, Makalah Pidato Orasi Ilmiah yang disampaikan pada acara Wisuda Sarjana Fakultas Syariah, Tarbiyah dan Dakwah UISU Medan, 18 Desember 1993.
2

(dunia tanpa batas) yang mengundang kerjasama besar antarbangsa, sekat-sekat geografis, etnis, dan agama tidak menjadi rintangan.3 Meminjam ucapan Hans Kung, cendikiawan asal Jerman, tidak akan ada suatu global order atau tatanan dunia yang sukses jika tidak dilengkapi dengan global ethic (etika dunia). Untuk tujuan tersebut, pada tahun 1993 untuk pertama kalinya dalam sejarah agama-agama, 6500 anggota Majelis Parlemen AgamaAgama Dunia bertemu di Chicago, AS, untuk menciptakan Declaration Tiward a Global Ethic; deklarasi menuju tercapainya suatu etika global. Deklarasi ini, menurut pencetus-pencetusnya, sama halnya dengan deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia yang dicanagkan pada 1776 di Amerika yang merupakan langkah awal menuju kehidupan moral bangsa. Deklarasi etika global ini pun menandai awal dari usaha panjang untuk mengorientasikan penduduk dunia menuju sikap paling pengertian, saling menghargai dan kerjasama.4 Deklarasi tersebut bertolak dari asumsi tentang dunia dan agama-agama yang sudah berubah. Dunia telah menjadi satu, menjadi dunia yang polisentris, multikultural dan multi-religius. Dalam konteks kehidupan dunia semacam ini maka satu-satunya jalan bagi hubungan antar agama adalah persaudaraan antaragama. Agama-agama yang memiliki nilai-nilai etik yang tinggi harus secara bersamasama melibatkan diri dalam dialog tentang berbagai persoalan kritis kehidupan dan nasib umat manusia di masa depan. Niali-nilai etik yang bersumber dari agama-agama itulah yang dijadikan sebagai dasar etika global, yakni sebuah konsensus fundamental minimum berkaitan dengan nilai-nilai yang mengikat, standar-standar yang tidak bisa diganggu gugat, dan sikap moral fundamental. Jadi, etika politik dan kekuasaan melingkupi makna yang manusiawi dan hukum menuju pemahaman kehambaan yang religius. Dengan demikian, Islam mewujudkan hubungan antara kelebihan-kelebihan akhlak dan penghormatan kepada hukum serta ketaatan pada syariah. Inilah impian paling utama dari manusia. Demikianlah, etika politik dan kekuasaan digambarkan dalam bentuk cermin yang komperhensif, di sana kita bisa melihat luhurnya hukum negara dalam Islam, dan luasnya keutamaan etika dalam berinteraksi dengan manusia,
Baca; Alwi Sshihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Mizan, Bandung, 1997, hlm. 208-209. 4 Ibid.,
3

kaum minoritas dan negara-negara lain, sesuai dengan ttingkatan negara Islam yang berbeda-beda. Sketsa singkat kehidupan Nabi saw dan karir selanjutnya dikemukakan berdasar kisah-kisah naratif tradisional, meskipun pilihan materi tradisional diseleksi, dan interpensi atas keseluruhan maknanya, secara umum merefleksikan tujuan umum yaitu pada permasalahan integritas sosial dan politis dan pada evolusi gerakan keagamaan di Madinah. Di sinilah awal lembaran baru dalam kehidupan Nabi saw dan para pengikut beliau. Mereka tidak lagi satu kelompok kecil, kelompok agama yang ditekan di Makkah; sekarang mereka merupak suatu komunitas religio-politik orang beriman yang mendominasi oasis Madinah. Hijrah Nabi Muhammad ke Madinah pada tahun 622 merupakan awal kehidupan panjang Islam sebagai satu kekuatan politik, satu fakta yang disimbolisasikan oleh pemilihan tahun tersebut sebagaiu tahun pertama era Islam. Paling tidak ada dua alasan mengapa etika dialog global profetik ini menjadi menarik untuk dibahas. Pertama, banyak orang, bahkan pemeluk Islam sendiri, tidak sadar bahwa Islam bukan hanya agama dalam artian ibadah maghdoh, tapi juga sebuah komunitas (ummat) tersendiri yang mempunyai pemahaman, kepentingan dan tujuan-tujuan politik sendiri. Banyak orang beragama Islam, tetapi hanya menganggap Islam adalah agama individual, dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, struktur, dan mampu melakukan aksi bersama. Kedua, di Madinahlah terbentuknya Negara Islam ( Daulah Islamiyah) pertama dan telah diletakkan dasar-dasar politik bagi perundang-undangan Islam. Dalam waktu yang bersamaan Nabi adalah sebagai pemimpin agama dan kepala negara. Karena itu, langkah politik Nabi mengorganisir penduduk Madinah, sering secara benar ditunjuk titik permulaan berdirinya organisasi politik dalam sejarah Islam dan ia dapat menjadi inspirasi etika global yang tak habis-habisnya sepanjang masa dan dapat menjadi referensi untuk memformulasikan model sebuah negara bercorak pluralistik pada masa kini dan kedepan. Selama kira-kira sepuluh tahun (622-32), Nabi saw, mengkonsolidasi kontrol beliau atas masyarakat kota yang beragam, dan beliau memperluas kekuasaan dan pengaruh Madinah di Arab. Ketika kali pertama beliau datang, Madinah tetap

penuh dengan permusuhan somuldring; antara dua suku Arab kota tersebut; antara Muhajirin (orang-orang beriman yang bermigrasi ke Madinah dari Makkah atau tempat lain) dan Anshar (para pengikut pertama Nabi Muhammad di Madinah, yang meminta beliau dan para pengikut Makkah untuk memperoleh perlindungan mereka), dan antara beberapa kelompok Yahudi Madinah dan orang-orang beriman baru. Ketika beberapa orang Yahudi Madinah tampak hendak mendukung Nabi Muhammad sebagai ramalan, dan dalam bebarapa hal bekerjasama dengan musuh-musuh politik beliau (atau yang para pemimpinnya lakukan), ditangani dengan keras serangkaian konfrontasi-diasingkan dengan kejhilangan tanah mereka, diperbudak, atau dieksekusi, tergantung pada kasusnya. Di luar Madinah lawan paling keras menentang usaha Nabi Muhammad untuk memperluas pengaruh dan pesan beliau adalah penduduk kerabat beliau sendiri, yaitu kaum Quraisy Makkah.5 Bukti historis tentang tugas-tugas yang beliau lakukan selama di Madinah, perananya lebih luas, bukan hanya sebagai Rasul dan Pendakwah yang mengajak manusia beriman kepada Allah dan sebagai pembimbing spiritual belaka, melainkan juga melakukan tugas-tugas dan peran-peran soisal politik serta memegang kekuasaan politik. Dalam kaitan ini, yang tersebut terakhir, akan dibahas dari sudut pandang ilmu politik apakah beliau dapat disebut sebagai kepala negara dan masyarakat yang beliau pimpin, atau dapat pula disebut sebagai negara. Untuk pembuktian ilmiah ini perlu disinggung kembali peristiwaperistiwa yang membuat Nabi saw, mendapat pengakuan, baik dari orang-orang Arab muslim Madinah maupun golongan lainnya menjadi pemimpin mereka. Rasulullah saw, untuk pertama kali mendapat pengakuan sebagai pemimpin dari kelompok penduduk Madinah pada Baiat Aqabat pertama (621 M) dan Baiat Aqabat kedua (622 M). Dalam ikrar Baiat itu, selain pengakuan tersebut dan keimanan kepada beliau sebagai Rasul Allah serta penerimaan Islam sebagai agama mereka, terdapat juga pernyataan kesetiaan, ketaatan dan penyerahan kekuasaan kepada beliau. Posisinya ini kemudian menjadi kuat setelah di Madinah. Ini tampak dari langkah beliau yang mampu mengendalikan orangorang Muhajirin dan Anshar secara nyata dan efektif dengan mempersaudarakan
Baca; Philip k. Hitti, History of The Arabs; From The Earlies Times no the Present , Palgrave Macmilla, edisi revisi ke-10, New York, 2002, hlm. 139-150.
5

mereka. Langkah inilah yang membawa kepada terbentuknyha komunitas Islam untuk pertama kali. Dilihat dari sudut teori politik, ini menunjukkan bahwa beliau memiliki kekuasaan sosial di kalangan pengikutnya. Kekuasaan sosial adalah kemampuan mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan tidak memberi perintah maupun secara tidak langsung dengan memanfaatkan segala alat dan cara yang tersedia.6 Dalam perkembangan berikutnya, pada tahun pertama hijrah beliau memperoleh pengakuan yang lebih luas di luar intern umat Islam, yaitu suku-suku Yahudi dan sekutunya di Madinah. Ini ditandai dengan lahirnya perjanjian tertulis (Piagam Madinah) antara orang-orang muslim muhajirin bersama Anshar dan kaum Yahudi bersama sekutunya yang diprakarsai oleh Nabi. Dalam perjanjian tertulis itu, Nabi diakui sebagai pemimpin tertinggi dan sebagai hukum bagi penandatanganan piagam serta siapa saja yang bergabung dengan mereka. Dengan adanya pengakuan itu, berarti kekuatan dan kekuasaan politik7 benar-benar telah dimiliki oleh Nabi. Ini berarti beliau telah memperoleh keabsahan (legitimasi) sebagai pemimpin masyarakat Madinah. Di bidang pertahanan dan keamanan yang bertujuan menjalin hubungan antar pemeluk agama. Piagam menetapkan bahwa di antara orang-orang mukmin dan kaum Yahudi mengadakan kerjasama dan tolong menolong dalam menghadapi orang yang menyerang peserta perjanjian (pasal 37). Kerjasama, tolong menolong atau saling bahu membahu merupakan kewajiban semua warga dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap kota Yatsrib (pasal 44). Di bidang belanja peperangan, bila ada musuh yang menyerang Madinah yang menyebabkan mereka terlibat dalam peperangan, Piagam Madinah menetapkan: Bahwa kaum Yahudi bersama-sama orang mukmin bekerjasama dalam menanggung pembiayaan selama mereka mengadakan peperangan bersama (pasal 24 dan 38). Di bidang kehidupan sosial, Piagam menyatakan bahwa antara orang-orang Yahudi dan

Robert M. Machiver, The Modern State, Oxford University Press, London, hlm. 87. Kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan sendiri. Kekuasaan itu disampingi untuk memperoleh ketaatan dari warga masyarakat juga menyangkut pengendalian orang lain dengan tujuan mempengaruhi tindakan aktivitas negara dibidang administratif. Lihat Mariyam Budihardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1989, hlm. 37.
7

orang-orang mukmin saling memberikan saran dan nasihat dan berbuat kebaikan tanpa perbuatan dosa (pasal 37).8 Demikian juga halnya pelaksanaan kontrak sosial (perjanjian masyarakat), peserta-pesertanya, bukan seluruh anggota masyarakat yang menetap disuatu wilayah, tapi hanya antara individu-individu dari dua belah pihak yang saling berhadapan yaitu antara anggota-anggota masyarakat yang sudah terbentuk dan seorang atau sekelompok orang dari kelompok sosial lain. Thomas Hoobes juga berpendapat bahwa perjanjian masyarakat diadakan oleh individu-individu untuk membentuk suatu masyarakat politik atau Negara.9 Kesepakatan yang diperoleh melalui perjanjian masyarakat menurut Jhon Locke, sekalipun kesepakatan individu-individu lain mentaati persetujuan tersebut, teori ini tampaknya sejalan dengan konsep ashobiyyatnya ibn Khaldun sekalipun ia tidak berbicara dalam konteks kontra sosial.10 Berdasarkan teori-teori tersebut, maka baik peristiwa Baiat Aqabat yang diikuti oleh sekelompok orang Arab Madinah maupun mewujudkan perjanjian tertulis yang mungkin pesertanya hanya wakil-wakil dari kelompok-kelompok sosial (suku-suku), dapat disebut sebagai kontak sosial. Kontrak sosial adalah suatu teori yang mengajarkan bahwa kekuasaan politik diperoleh melalui perjanjian masyarakat, artinya, kekuasaan politik bersumber dari rakyat dan legitimasinya diperoleh melalui perjanjian masyarakat. Dengan kata lain bahwa dalam perjanjian masyarakat itu terjadi penyarahan kekuasaan oleh anggota masyarakat kepada seseorang atau kepada lembaga.11 Dalam sejarah Islam peristiwa Baiat Aqabat dan perjanjian tertulis yang melahirkan Piagam Madinah, sebagai telah disebut, dapat diidentifikasi sebagai praktek kontrak sosial. Karena dalam peristiwa-peristiwa itulah Nabi memperoleh
8 Baca; J. Sayuti Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan Dalam Piagam Madinah, Ditinjau dari Pandangan Al-Quran, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 169-171. 9 F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bina Cipta, bandung, 1980, hlm. 145. 10 Ibn Khaldun berpendapat bahwa suatu ashabiyyat (soladiritas sosial) yang kuat akan menguasai ashabiyyat-ashabiyyat lain yang tidak kuat dengan membuat perjanjian dan tunduk kepadanya, sehingga menjadi koalisi bagaikan ahabiyyat yang besar. Karena jika satu ashabiyyat telah memperoleh superioritas atas rakyat golongannya, maka ia akan mengendalikan rakyat ashabiyyat-ashabiyyat lain yang tidak ada hubungan apa-apa dengannya untuk bergabung dengan ashabiyyatnya atas dasar perjanjian. Lihat Ibn Khaldun, Muqaddimat, Dar al-Fikr, t.th,. hlm. 139140. hal ini tampak dalam tindakan Nabi, setelah masyarakat Islam menjadi kuat soladiritass sosialnya (ashabiyyat) di Madinah, beliau menarik suku-suku lain untuk bergabung dengannya atas dasar perjanjian. 11 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Barat, Rajawali, Jakarta, 1982, hlm. 79

kekuasaan politik dan keabsahan untuk mengatur dan memimpin penduduk Madinah. Menurut Fazlur Rahman, suatu negara atau pemerintahan dapat dibentuk apabila sekelompok orang menyatakan kesediaan melaksanakan kehendak dari Allah sebagai yang tercantum dalam wahyu-Nya.12 Pandangan ini sejalan dengan teori kontrak sosial tersebut, bahwa suatu negara terbentuk apabila terjadi perjanjian masyarakat sekalipun peserta-pesertanya sekelompok orang dari pihak-pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Meski begitu, kita perlu memperoleh suatu pemahaman terhadap pemberian predikat kepala negara kepada Nabi Muhammad dengan meninjaunya dari sudut ilmu politik dan fakta-fakta historis mengenai peranan dan kebijaksanaan yang beliau lakukan. Dalam kajian ilmu politik disebut bahwa tugas-tugas kepala negara untuk mencapai tujuan negara antara lain membuat undang-undang dan peraturan-peraturan serta melaksanakannya, menghukum orang yang salah, meminta nasihat dan pertimbangan dari orang-orang yang dipandang cakap dan mengetahui hal-hal tertentu.13 Dilaksanakannya tugas-tugas ini adalah untuk mewujudkan tujuan negara, yaitu menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat. Rakyat (umat) bukan satuan politik yang bergerak berdasarkan ukuranukuran yang murni rasional, tetapi bergerak berdasarkan kesadaran. Kesadaran normatif, kesadaran akan kebenaran dan keadilan inilah yang mempunyai potensi untuk bertentangan dengan kesadaran kelas. Al-haqqu min rabbikum (kebenaran itu milik Tuhan kamu), berarti bahwa kebenaran bukan milik pemenang yang berkuasa atas simbol-simbol, atau sebaliknya milik pecundang yang tersingkirkan, tapi milik Tuhan.14 Tugas-tugas negara seperti tersebut di atas juga telah dilaksanakan oleh Nabi saw. Beliau membuat undang-undang dalam bentuk tertulis, mempersatukan penduduk madinah untuk mencegah konflik-konflik di antara mereka agar terjamin ketertiban intern, menjamin kebebasan bagi semua golongan, mengatur militer dan memimpin peperangan, melaksanakan hukuman bagi pelanggar
Fazlur Rahman, The Islamic Concet of State dalam Joh J. Donohue and L. Esposito, (eds). Islam in Transition, Muslim Perspective, Oxford University Press, New York, 1982, hlm. 126. 13 G. S. Diponolo, Ilmu Negara, Jilid I, Balai Pustaka, Jakarta, 1975, hlm. 55. 14 Kuntowijaya, Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung, 1997, hlm. 46-47.
12

hukum, menerima perutusan-perutusan Jazirah Arab, mengadakan perjanjian damai dengan tetangga agar tgerjamin kemanan ekstren, mengelola pajak dan zakat serta larangan riba di bidang ekonomi dan perdagangan untuk menjembatani jurang pemisah antara golongan kaya dan miskin, membudayakan musyawarah, menjadi hakam (arbiter) dalam menyelsaikan perbedaan pendapat dan perselisihan dan menunjuk para sahabat untuk menjadi hakim di daerah-daerah luar Madinah serta mendelegasikan tugas-tugas kepada para sahabat. Karena itu, Watt menyebut Nabi Muhammad saw, sebagai seorang negarawan dengan mengemukakan empat alasan. Pertama, Muhammad saw memiliki bakat sebagai orang yang mampu melihat sesuatu sebelum terjadi karena didukung wahyu dan kejeniusannya. Kedua, kearifannya sebagai negarawan beliau tunjukkan dalam menerapkan struktur ajaran Al-Quran yang global secara kongkret melalui kebijaksanaannya yang tepat. Ketiga, reformasinya di bidang sosial yang berwawasan jauh dan ditunjang oleh strategi politiknya yang akurat. Keempat, beliau mempunyai kemampuan sebagai administrator dan arif dalam menunjuk para pembantunya untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi.15 Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kehadiran Nabi Muhmamad saw dan ajarannya merupakan jawaban atas situasi sosial, ekonomi, politik dan kultural yang ada. Memang Islam datang untuk memurnikan tauhid disamping memperbaiki dan memperbaharui tatanan sosial, ekonomi, dan politik demi terwujudnya masyarakat yang beriman, bermoral, berbudaya dan berkeadilan sosial. Bila di dalam negara Madinah dan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh Nabi terdapat ketidaksamaan dengan negara dan tugas kepala negara di zaman modern ini, itu karena perbedaan zaman dan model negara di zaman klasik berbeda dari model negara di zaman modern. Negara yang ada di zaman Nabi boleh dikatakan masih sederhana dan ia cocok zamannya, sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu itu. Satu gambaran penting dari ekspansi awal umat Islam adalah kualitasnya sebagai satu gerakan agama, meskipun ini diwarnai oleh kehadiran negara. Para khalifah dan para pengikutnya yang beriman, tentu saja, kepada pesan Nabi Muhammad atas pentingnya mengakui keesaan Allah dan hidup dengan benar
W. Montgomery Watt, Muhammad Prophet and Statesman, Oxford University Press, Pres, London, 1969, hlm. 236-237.
15

untuk persiapan hari kiamat yang semakin dekat. Mereka meyakini misinya sebagai jihad, atau usaha militan untuk menghancurkan kejahatan dan ujntuk meyebarkan pesan monoteisme dan kebenaran Nabi muhammad semakin jauh dan luas. Namun usaha mereka tampaknya berusaha membuat masyarakat yang mereka presentasikan, bukan untuk membuat mereka merubah agamanya setidaknya tidak ketika mereka sudah merupakan penganut monoteisme, seperti Kristen dan Yahudi. Karena inilah umat Islam mendapat penghargaan dari masyarakat yang ditaklukkan karena secara umum membiarkan mereka beribadah sebagaimana yang selalu mereka laksanakan. Perkembangan dan kepesatan proses perluasan yang mengagumkan ini hanya dapat dipahami ketika naturalis ekspansi yang terekspresi diakui. Hal ini merupakan, yang pertama dan utama, ekspansi satu negara baru yang didasarkan dipusatkan di Madinah. Elit pemerintah negara ini sebagian besar adalah para penduduk Makkah, Madinah dan Thaif, yang memberi komando kepada tentara yang semakin berkembang yang sebagian besar terdiri dari kaum nomaden pastoral dari Arab Utara dan Tengah atau orang-orang gunung dari Yaman. Hal ini bukan merupakan ekspansi kaum nomaden ataupun orang-orang gunung tersebut. Kualitas ekspansi yang didukung negara terefeleksi dalam tindakan signifikan perintah pusat untuk melakukan gerakan ekspansi oleh khalifah dan (orang yang berada) di lingkarannya, yang tampak mengkoordinasikan strategi diantara berbagai front, juga institusi birokratis yang dibangun selama masa penaklukan-penaklukan awal.16 Pada saat itu, sangat memerlukan penataan dan pengendalian sosial secara bijak dengan membuat undang-undang dan peraturan yang dapat menciptakan rasa aman dan keadaan damai atas dasar keserasian dan keadilan dan dapat diterima oleh semua golongan. Penataan dan pengendalian sosial dapat dilakukan oleh seseorang terhadap kelompok lain, atau suatu kelompok terhadap kelompok lain. Untuk mewujudkan masyarakat teratur diperlukan terciptanya rasa aman, keadaan damai, keadilan yang menyeluruh, undang-undang dan siasat yang berkaitan dengan pengaturan kerjasama antara kelompok-kelompok sosial untuk

16

Ibid.,

menjamin kepentingan bersama, serta pemimpin yang berwibawa untuk melaksanakannya. Nabi saw tampaknya memahami benar bahwa masyarakat yang beliau hadapi adalah masyarakat majemuk yang masing-masing golongan bersikap bermusuhan terhadap golongan lain. Untuk itu, beliau melihat perlu adanya penataan dan pengendalian sosial untuk mengatur hubungan-hubungan antar golongan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan agama. Estimasi ini didasarkan pada langkah beliau setelah tiba di Madinah. Langkah pertama, begitu beliau bersama sahabat tiba di kota itu, adalah membangun Masjid. Lembaga keagamaan dan sosial ini dari segi agama berfungsi sebagai tempat beribadah kepada Allah swt dan dari segi sosial berfungsi sebagai tempat mempererat hubungan dan ikatan di antara anggota jamaah Islam. 17 Langkah beliau yang kedua ialah menciptakan persaudaraan nyata dan efektif antara orang-orang Islam Makkah dan Madinah, yaitu setiap dua orang bersaudara karena Allah. Persaudaraan ini dimaksudkan untuk mempererat persatuan di antara sesama kaum muslimin dan untuk menghilangkan permusuhan lama di kalangan mereka. Persaudaraan tersebut bukan diikat oleh hubungan kabilah, melainkan ikatan atas dasar akidah dan agama. Hal ini sejalan dengan sikap kaum muslimin Madinah dalam Baiat Aqabat Pertama dan Kedua, bahwa mereka telah melepaskan hubungan mereka dengan kabilahnya dan mereka bersatu dalam agama yang dibawa oleh Nabi saw persaudaraan yang dibentuk oleh Nabi itu merupakan awal terbentuknya umat Islam untuk pertama kali, suatu miniatur dunia Islam. Jika langkah pertama dan kedua ditujukan khusus kepada konsolidasi umat Islam, maka langkah beliau berikutnya ditujukan kepada seluruh penduduk Madinah. Untuk ini beliau membuat perjanjian tertulis atau Piagam yang menekankan pada persatuan yang erat dikalangan muslimin dan kaum Yahudi, menjamin kebebasan bagi semua golongan, menekankan kerja sama dan persamaan hak dan kewajiban semua golongan dalam kehidupan sosial politik dalam mewujudkan pertahanan dan perdamaian dan menetapkan wewenang bagi
17

Ahamad Ibrahim Syarif, Daulat al-Rasul fi al-Madinat, Dar al-Bayan, Kuwait, 1972, hlm. 87.

10

Nabi untuk menengahi dan memutuskan segala perbedaan pendapat dan perselisihan yang timbul di antara mereka. Langkah-langkah Nabi tersebut, telah menciptakan situasi baru dengan menghilangkan atau memperkecil pertentangan-pertentangan di antara suku-suku. Situasi ini pula yang diinginkan oleh penduduk Madinah, khususnya golongan Arab, sehingga Nabi saw adalah orang yang dapat diterima, akseptabel oleh mereka. Keberhasilan Nabi tersebut membuat posisi beliau sangat berbeda dari ketika di Makkah, sekalipun beliau telah berdakwah selama kurang lebih 13 tahun di kota kelahirannyaitu, namun beliau belum berhasil membentuk komunitas Islam yang bebas dan merdeka, karena posisinya pada waktu itu sangat lemah dan tidak mempunyai kekuatan politik untuk itu. Tapi, setelah di Madinah keadaannya berubah. Beliau berhasil membentuk masyarakat Islam yang bebas dan merdeka bersama komunitas lain, non-muslim, yang juga merupakan satu kesatuan dengan umat Islam, untuk bekerja sama dalam berbagai aspek kehidupan sosial politik.18 Teori-teori politik tentang eksistensi masyarakat tersebut jelas mempunyai signifikasi yang berkait dengan fakta historis kelompok-kelompok sosial Madinah yang ditertibkan oleh Nabi saw dan sahabat menjadi satu masyarakat yang teratur. Karena Piagam Madinah yang menjadi organ bagi Nabi membentuk persatuan dan kesatuan penduduk kota itu, mengandung sejumlah undang-undang dan aturan etika politik global untuk mengatur mereka dalam kehidupan bersama, bekerja sama dan mengadakan hubungan-hubungan sosial. Atas dasar ini dapat ditegaskan bahwa kelahiran Piagam Madinah telah mengubah eksistensi orang-orang mukmin dan warga lainnya dari sekedar kumpulan manusia menjadi masyarakat politik, yaitu suatu masyarakat yang memiliki kedaulatan dan otoritas politik dalam wilayah Madinah sebagai tempat meraka hidup bersama, bekerja sama dalam kebaikan atas dasar kesadaran sosial mereka yang bebas dari pengaruh dan penguasaan masyarakat lain dan mampu mewujudkan kehendak mereka sendiri.
Michael H. Hart, berkesimpulan bahwa Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup politik. Dia tampil sebagai seorang pemimpin tangguh, tulen dan efektif. Kini empat belas abad sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar. Lebih lanjut lagi, Muhammad bukan semata pemimpin agama tapi juga pemimpin duniawi. Fakta menunjukkan, selaku kekuatan pendorong terhadap gerak penaklukan yang dilakukan bangsa Arab, pengaruh kepemimpinan politiknya berada dalam posisi terdepan sepanjang waktu. Baca; Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah. Cet. 11, Pustaka Jaya, Jakarta, hlm. 2933.
18

11

Dengan demikian, perilaku politik yang dicontohkan oleh Nabi saw, merupakan etika politik global dan sesuai dengan teori politik. Dalam ilmu politik, ada tiga unsur utama yang inheren bagi suatu kumpulan manusia untuk dapat disebut sebagai masyarakat yang sebenarnya atau masyarakat politik, yaitu adanya wilayah tertentu yang mengikat mereka untuk hidup bersama dan bekerja sama dengan rasa aman untuk mengembangkan sumber-sumber kehidupan mereka dan mengamalkan ajaran agamanya, adanya kesadaran sosial untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan umum dan adanya otoritas politik yang legal dalam masyarakat bersangkutan yang mampu memelihara perdamaian dan memajukan masyarakat yang dibentuk itu. Otoritas ini dilengkapi dengan institusi pereaturan yang berlaku bagi individu-individu dan setiap kelompok 19 dilengkapi dengan institusi peraturan, yaitu Piagam Madinah yang berlaku bagi individuindividu dan setiap kelompok. Dengan demikian penduduk Madinah merupakan satu umat dan masyarakat politik. Abu Bakar dan Umat Islam menghadapi tantangan kedua. Meskipun kota Madinah, Makkah dan Thaif dan kelompok-kelompok nomaden diantara kotakota tersebut sebagian besar sangat setia kepada Abu Bakar, banyak kelompok di Arab yang pernah menyatakan ketaatannya kepada Nabi saw, mencoba memutuskan ikatan politik dan keagamaan dengan Madinah ketika Nabi wafat. Beberapa kelompok mengklaim bahwa mereka akan tetap menjadi Umat Islam namun menyatakan bahwa mereka tidak berhutang zakat yang Nabi kumpulkan, yang tetap dituntut pelaksanaannya oleh Abu Bakar. Kelompok lain tidak memberikan jaminan bahwa mereka akan tetap menjadi umat Islam. Dalam kasus lain para pemimpin agama muncul dengan klaim sebagai nabi (nabi palsu). Untuk menghadapi ancaman-ancaman ini, Abu Bakar bertindak cepat dan tepat atas apa yang biasanya disebut perang melawan kemurtadan atau riddah, dengan mengirimkan tentara Islam. Pada tahun 634, pada akhir dua tahun seruan tersebut, Abu Bakar dan umat Islam Membuat seluruh jazirah Arab berada dalam kendalinya, membuka jalan untuk penaklukan-penaklukan lebih lanjut yang dalam

Lihat S.E. Finer, Comperative Goverenment, London, 1974, hlm. 24 dan Muhammad Thaha Badawi, Ushul Ulum al-Siyasat, Alexandria, 1967, hlm. 34-42 dan 118.

19

12

beberapa dekade kemudian, membuat umat Islam sebagai penguasa sebuah kekaisaran yang besar.20 Khalifah memerintahkan serangkaian serangan ke wilayah Palestina dan Syiria yang dikuasai Byzantium, tempat tinggal bagi banyak suku berbahasa Arab. Serangan-serangan ini memperoleh reaksi defensif dari para penguasa Byzantium di Syria, yang untuk melawannya beberapa peperangan dilaksanakan. Pada akhirnya, kaisar Byzantium Heraklius mengirimkan tentara besar dari Anatolia untuk melindungi Syria dari ancaman umat Islam, meskipun tidak berguna; kekuatannya dihancurkan pada satu pertempuran di lembah Yarmuk pada tahun 636, sebagian besar daerah pedalaman maupun perkotaan di Syriadan Palestina segera berada dalam kekuasaan umat Islam, kecauali beberapa kota Coastal seperti Ascalon dan Tripoli, yang bertahan beberapa tahun lebih lama karana Byzantium mensuplainya dari laut.21 Prinsip yang mendasar dalam sistem politik global pada masa Daulah Islamiyah masa Nabi saw dan Khulafa Al-Rasyidin di Madinah adalah, kedaulatan negara yang didasarkan pada etika agama, dan tidak satupun parlemen yang mempunyai hak untuk melewati hukum atau undang-undang yang secara tersirat atau tersurat bertentangan dengan perintah-perintah Tuhan. Karena itu, etika politik global pada masa Nabi saw dan sahabat, menjamin penyeragaman keadilan dan penyelamatan nasib negara dari tingkah orang-orang yang dapat menggoyahkan stabilitasnya. Disamping, bahwa semua orang itu sama atau sederajat di depan hukum, juga dalam pandangan Tuhan. Mereka mempunyai hak politik yang sama. Hukum yang sama juga diberlakukan terhadap setiap hukum atau undang-undang, sekalipun dialakukan oleh seorang khalifah, maka ia dapat dihadapkan di depan pengadilan dan dihukum jika ternyata bersalah. Hal lain yang menjadi nilai dasar politik global, bahwa jabatan secara umum, termasuk di dalamnya kepala eksekutif, adalah sebagai amanah dari Tuhan dan
Baca; Syaikh Muhammad Yusuf al-Kandahlawy, Sirah Sahabat; Keteladanan orangorang di sekitar Nabi, Al-Kausar, Jakarta, 1998, hlm. 19-195. Dan baca; Muhammad bin Shalih Al-Utsmani, Politik Islam, Taliq Siyasah Syariah, Griya Ilmu, Jakarta, 2009, hlm. 334-336. 21 Pengorganisasian wilayah penduduk baru yang begitu luas, dan penerapan ketentuan masyarakat Arab primitif yang belum dikodifikasi terhadap tuntutan masyarakat cosmopolitan yang hidup dalam berbagai kondisi, menjadi tugas berat yang kini harus dihadapi oleh penguasa Islam. Umar adalah orang pertama yang menyadari persoalan ini. Beberapa contoh inovasi umar adalah bidang administrasi pemerintahan di wilayah-wilayah baru bisa berdiri dengan kuat yang dilandasi oleh teokrasi Islam. Lihat: Philip K. Hitti, Op. Cit, hlm. 210-212.
20

13

orang-orang yang dipercayakan itu harus mempergunakan kekuasaan yang dipergunakan kepadanya sebagai perintah Tuhan, dan harus dipergunakan untuk kepentingan umat atau rakyat. Termasuk semua hal-hal yang bersifat umum, harus ditetapkan memlalui musyawarah, setelah dimintakan pandangan-pandangan atau pertimbangan-pertimbangan dari warga negara. Pada saat ini, Nabi dan para sahabat berada dalam posisi kegungan moral yang prima. Dengan demikian sampai batas-batas yang jauh, politik tetap berfungsi sebagai kendaraan moral yang efektif, mencerminkan demokrasi yang otentik. Sehingga tidak mengherankan kalau banyak penulis dan peminat mengedialisasikannya. B. Daialog Esoteris Antaragama Sejak abad ke 19 para ahli dalam studi agama menggunakan pendekatan menurut disiplin ilmu masing-masing seperti pendekatan sosiologis, antropologis, psikologis dan historis. Dengan kegiatan studi tentang agama-agama ini, maka dikenal nama-nama para ahli seperti Edward Taylor (1832-1917), antropolog yang menyatakan bahwa agama bermula dari kepercayaan tentang roh, spirit dan anima, sehingga menjadi animisme; James Frazer (1854-1941) seorang sarjana pengetahuan klasik mengatakan bahwa agama berkembang dari pengetahuan tentang magi; Wilhelm Wundt (1832-1920) seorang ahli ilmu jiwa berpendapat bahwa agama merupakan emisi yang diproyeksikan keluar kepada lingkungan; Rudolf Otto (1869-1937) seorang ahli filsafat menyatakan bahwa pengakuan terhadap yang suci (the sacred) adalah basis semua agama; Emile Durkheim (1858-1917) seorang sosiolog menyatakan bahwa agama adalah salah satu cara untuk memenuhi proses sosialisasi.22 Demikian antara lain para ahli barat yang menaruh perhatian terhadap studi agama. Hasil penelitian para ahli dan pandangan mereka tentang agama seperti diuraikan di atas. Menimbulkan berbagai definisi agama menurut versi keahlian masing-masing. Sekedar gambaran tentang defenisi yang dikemukakan oleh para sosiolog bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan, sikap-sikap emosional yang dilakukan oleh sekelompok manusia untuk mengatasi masalah-masalah penting dalam kehidupan manusia. Defenisi ini menggambarkan bahwa agama
Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, Columbia University Press, New York, 1966, hlm. 4.
22

14

berfungsi sebagai problem solver (pemecah masalah) yang dihadapi oleh penganut. Pendekatan terhadap semua agama-agama dilingkungan akademik barat banyak terperangkap kedalam suatu sistem disiplin keilmuan, sehingga agama kehilangan makna hakikinya yang transendental, Mabda ilahiyah yang universal dan berakibat terjadinya reduksionisme terhadap makna agama. Sementara para ilmuwan di dunia Timur melakukan penelitian bukan untuk objek studi dan diteliti semata, tetspi dipelajari untuk diterima sebagai keyakinan dan diamalkan sebagai pedoman hidup. Pemikiran terhadap agama dilakukan oleh orang timur dalam rangka memperkokoh keyakinan dan keimanan yang dianut. Para ilmuwan tersebut antara lain; Thaha Husein (1889-1973); yang mengatakan bahwa antara Islam dan Kristen terdapat substansi yang sama, sebab pada esensinya Islam bukanlah alternatif bagi Kristen melainkan pelengkapnya.23 Abdul Kalam Azad (18881958); yang terkenal dengan istilah al-Din Wahid wa al-Syariat Mukhtalifat, no difference in Din, difference only in Shara, agama tetap satu dan syariat berbedabeda.24 Fazlur Rahman (1919-1988); yang menyebutkan bahwa tema pokok AlQuran ada lima, yaitu Tuhan, manusia, alam semesta, wahyu dan eskatologis. Dimana kelima tema pokok ini ada dalam setiap agama, terutama agama wahyu.25 Demikian juga Ismail Raji al-Faruqi (1921-1986); yang cukup banyak berperan dalam trialog tiga agama besar, Yahudi, Kristen dan Islam yang pada dasarnya adalah satu rumpun yaitu Ibrahamik Religions.26 Sayyed Husein Nasr (L.1933); yang mengatakan bahwa esensi spritualitas Islam, seperti yang terungkap dalam Al-Quran adalah realitas prinsip tauhid (keesaan) yakni mengenal Allah yang satu. Akan tetapi, Allah yang satu itu menciptakan umat manusia dalam berbagai kecendrungan yang majemuk sehingga pengenalan akan

Thaha Husein, Mustaqbal al-Saqofat fi Mesihr, dalam Al-Majmuat al-Kalimat li Muallafat al-Lubnany, Beirut, 1973, hlm. 33. 24 Abul Kalam Azad, The Turjuman Al-Quran, Vol I, terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Syed Abd al-Lathief, Hydrabad, 1981, hlm. 153-160. 25 Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Quran, terj. Anas Mahyuddin, Pustaka, Bandung, 1983. 26 Ismail Raji al-Faruqi, Islam and Christianity: Problems and Perspectives, in The World in the Third World, ed. James P. Cotter (Washington, DC: Corpus Books, 1968), pp. 159-81. and Islam and Other Faiths, and Historical Atlas of the Religions of the World (New York: MacMillan, 1975)

23

15

Allah itu menubuh dalam berbagai ekspresi.27 Frithjof Schuon (lahir; 1907); ahli perbandingan agama kontemporer dan salah satu pimpinan aliran filsafat perennial (metafisika tradisional keagamaan) yang memperlihatkan Ilahi dalam segama sesuatu, atau yang disebut dengan istilah esoteris.28 Dewasa ini semakin dirasakan secara meluas betapa sangat mendesaknya untuk membangun dan mengembangkan apa yang bisa disebut dengan common groud (asas bersama) atau basis teologi bersama bagi koeksistensi yang damai antara para pemeluk agama yang berbeda. Sepanjang sejarah, umat manusia telah mengalami serangkaian ketegangan, perang berdarah dan bahkan genosida, atau setidaknya sikap indiferensi (ketidak-pedulian) dari suatu kelompok terhadap kelompok lain, hanya semata karena secara ras, etnis dan agama adalah berbeda. Padahal jika dihayati secara mendalam dan substansial sumber agama itu adalah satu yaitu Yang Absolut. Memahami kondisi objektif tersebut, maka para ahli mengkaji muatan agama dengan pendekatan esoteris. Untuk mengembalikan agama-agama ke pusatnya, perlu diajukan pendekatan alternatif yang bersifat universal dan konprehensif. Pendekatan tersebut berangkat dari pandangan bahwa agama sebagai relitas universal yang transenden dan telah dilakukan terhadap hal-hal yang fundamental metafisis sebagai relitas tertinggi yang melampaui semua ketentuan dan batasan sebagai sesuatu yang absolut dan tak terbatas. Pendekatan alternatif tersebut di atas adalah pendekatan tradisional. Kata tradisional ini bukan dalam arti adat atau kebiasaan, melainkan sebagai realitas asal yang transenden, yang telah ada sejak azali dan akan selalu ada selamanya dan manifestasinya dalam sejarah berupa agama dan juga filsafat, sains, seni dan lain-lain. Paham tersebut adalah filsafat perennial. Dengan menggunakan pandangan kaum tradisional (perenialis), dalam menghadapi pluralitas agama tidak terhenti pada bentuk, tetapi dilanjutkan sampai pada esensi atau tidak terhenti pada fenomena, tetapi diteruskan sampai pada nomena, karena semua yang ada terdiri dari lahir dan batin, bentuk dan rupa.

27 Sayyed Husein Nasr, Knowledge and the Sacred, terj. Suharsono, Intelegensi dan Spiritualitas Agama-Agama, Inisiasi Press, Jakarta, 2004. 28 Frithjof Schuon, The Transendent Unity of Religions, terj. Saafroedi Bahar, Mencari Titik Temu Agama-Agama, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987.

16

Keberadaan agama-agama yang majemuk ini ada satu realitas absolut yang menjadi pengikat bersama pada tingkat transenden dari semua agama. Artinya, dengan pendekatan filsafat perenialisme, agama-agama yang dipeluk oleh manusia tidak mungkin menyebabkan timbulnya konflik sosial. Sebab seperti dijelaskan Huston Smith (1918-1995), agama pada tingkat esoteric atau common vision mempunyai kesatuan dan kesamaan gagasan dasar. Dimana semua agama terikat oleh persamaan suatu realitas Absolut, Universal dan Azali pada tingkat transenden.29 Dengan pendekatan filsafat perennial, Islam memandang bahwa doktrin tentang ke-Esaan Tuhan tidak hanya menjadi milik Islam sebagai agama, melainkan lebih merupakan inti dari setiap agama. Dengan kata lain, agama-agama pada dasarnya lebih menegaskan doktrin ke-Esaan Tuhan tersebut walau dengan menggunakan bahasa dan istilah yang berbeda. Oleh karena itu, Islam menyeru seluruh umat beragama agar berpegang pada titik persamaan tersebut, yakni keyakinan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dapat menjadi landasan teologis yang kokoh dalam membangun kerukunan umat beragama. Orang muslim dapat berdampingan dengan orang nonmuslim atau sebaliknya dengan tetap memperhatikan dan menghormati ramburambu agamanya masing-masing. Kesamaan pandang tersebut dapat memperkokoh hubungan antara kelompok umat beragama yang ada di tengah masyarakat bangsa. Dalam kaitan ini kita memperhatikan perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw agar mengajak para ahli kitab untuk menuju ke titik persamaan, yaitu menyembah Tuhan Yang Esa dan tidak mempersekutukan-Nya, seperti tersebut dalam surat Ali Imran ayat 64;

Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak
29

Huston Smith, The Religions of Man, Sidney, New York, 1958, hlm. 18

17

kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".30 Ayat tersebut di atas mengesankan adanya pengikat persamaan suatu realitas absolut, universal dan azali pada tingkat transenden dari semua agama. Sejalan dengan filsafat perennial, Islam memandang bahwa doktrin tentang al-tauhid tidak hanya menjadi pesan milik Islam sebagai agama, melainkan lebih merupakan inti dari nilai agama wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi-Nabi merupakan penegasan mengenai doktrin tauhid yang menjadi inti semua agama, meskipun menggunakan bahasa dan istilah yang berbeda-beda. Di bawah heading kalimah sawa (pernyataan yang adil dan netral, atau istilah yang sama) yang oleh Cak Nur diterjemahkan: pandangan yang sama yang bisa dijadikan sebagai titik temu31 para pendekar pluralis dari kalangan Islam di Indonesia mencoba mengembangkan paham persamaan agama ini dalam konteks keindonesiaan. Cak Nur yang merupakan pionir dalam hal ini, beranggapan bahwa ayat perintah menggunakan (mencari) kalimah sawa (QS.3:64) ini merupakan basis yang sangat kuat bagi umat Islam untuk mengembangkan kesadaran dan sikap beragama yang pluralistic tanpa ada stigma atau hambatan teologis dalam diri mereka. Dalam Islam, ajaran untuk hidup bersama para penganut agama lain dalam suatu komunitas mendapatkan landasan teologis berupa seruan untuk mengajak seluruh umat beragama untuk sama-sama berpegang pada pokok pangkal kebenaran universal yang tunggal yaitu keyakinan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tauhid. Keyakinan ini menjadi titik temu common platform bagi semua agama. Al-Quran meletakkan kreteria keselamatan bagi pemeluk agama apapun dengan tiga butir kewajiban, yaitu beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Kenabian, beriman kepada hari akhir dan beramal soleh. Mereka yang
30 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Krya Toha Putra, Semarang, 1995, hlm. 86. 31 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodrenan, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1992, hlm. 1xix.

18

melaksanakan tiga macam kewajiban tersebut tidak perlu takut dan khawatir karena akan mendapat pahala dari Allah. Firman Allah surat Al-Baqarah ayat 62:

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin,, siapa saja diantara mereka yang benarbenar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.32 Dengan demikian kerukunan hidup umat beragama dan kesatuan mereka mendapatkan landasan teologis yang kokoh, baik secara ritual maupun secara sosial. Dengan uraian ini menjadi jelas bahwa Islam sebagai agama tidak mempunyai keberatan dan hambatan dalam menghadapi pluralitas agama, karena pluralisme itu sendiri itu juga telah menjadi sunnatullah yang harus diterima sebagai kenyataan yang tidak perlu dihindari. Dalam wacana pemikiran Islam kontemporer, kesatuan prinsip ajaran agama tersebut ditemukan pada wilayah esoteris yang dipahami sebagai puncak perenial. Pandangan perenial juga dipahami sebagai teologi esoteris yang memandang tidak hanya satu jalan keselamatan yang murni tanpa meninggalkan wahyu, tetapi juga jalan keselamatan lain sebagai riil. Keislaman menilai jalan lain diluar keselamatannya menjadi prinsip yang diwujudkan dalam sikap normatif kepercayaan Islam, yang tidak mesti ditutup lewat satu jalan. Justru keanekaragaman agama dipandang tidak menghilangkan keislaman, akan tetapi menggeser paradigma teologi dari posisi islamosentris ke teosentris. Dengan kata lain kapling kebenaran agama yang bersifat ekslusif tidak bisa menyisihkan

32

Ibid., hlm 19.

19

kehendak Tuhan bagi hamba-Nya dalam rentang waktu historis selama hal itu dikehendaki-Nya.33 Namun inklisuvisme itu sendiri kenyataannya menimbulkan persoalan serius, yang kemudian menjadi kelemahan dasar paradigmanya, yaitu paradigma yang dibangun oleh teologi pluralisme yang masih bersifat terbatas, hanya memandang agama-agama di luar kekeristenan dari sudut kekeristenan itu sendiri. Pengertian agama hanya dipahami sebagai jalan keselamatan. Tentu pengertian seperti ini mengakibatkan sikap totalitarian; semua agama dianggap memiliki pemahaman yang sama, padahal tidak semua agama memiliki pemahaman yang sama. Di sini kebenaran agama lain diukur menurut kriteria kebenaran agama Kristen. Akibatnya citra agama Kristen dibangun sebagai agama superior sedangkan agama lain dipandang inferior. Agama lain tidak berkesempatan memahami dirinya sendiri sebagai agama yang memang unik. Yang satu lebih tinggi dari yang lainnya atau yang satu dinilai terbaik, yang lain cukup dinilai baik saja. Hal ini menghasilkan pandangan yang diskriminatif terhadap agama-agama. Sementara itu, pandangan diskriminatif bagaimanapun juga bertolak belakang dengan moralitas religius yang menjunjung keadilan. Akibat kelemahan yang ditimbulkan oleh paradigma inklusivistik tersebut muncullah esoterisme sebagai paradigma baru dalam dialog agama-agama. Perspektif ini sebenarnya dimaksudkan untuk mengakui seluruh kebenaran agama itu tidak lain bersumber dari Allah sebagai realitas yang tertinggi atau Yang Nyata dan bukan semata-mata bersumber dari institusi keislaman, Kristen, Yahudi atau agama-agama lainnya. Ini berarti pandangan kebenaran agama itu dipusatkan kepada Tuhan bukan ke agama. Peter Wilhem Schmidt (1868-1954) selaku teolog yang paling banyak memiliki pengalaman hidup dengan agama-agama non-Kristen, mencoba menjadikan pengalamannya itus ebagai titik tolak untuk mengembangkan idenya mengenai pluralisme. Menurut Schmidt, secara teknis untuk membangun teologi pluralistic diperlukan pemahaman terhadap tradisi agama-agama lain. Seorang teolog harus menyadari bahwa ketika ia sedang berteologi, pembacanya tidak

Komaruddin Hidayat, Agama Dan Masa Depan Indonesia, dalam Agama dan Dialog: Pencerahan, Perdamaian dan Masa Depan, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1999, hlm. 205.

33

20

sekedar dari kalangannya sendiri, boleh jadi ia berasal dari lingkup agama-agama lain, seperti Islam, Hindu, atau Budha.34 Dari Pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa bagi kaum pluralis problem pluralitas agama itu sendiri dipandang sebagai hal negatif, dasar berpikir seperti ini akan mengakibatkan kemajemukan agama yang sebenarnya memiliki kebenaran partikuler dan unik menjadi terabaikan. Jadi, argumen yang dibangun oleh pluralisme itu cendrung jatuh ke dalam relativisme agama, yang akan menghilangkan karakteristik masing-masing agama, maka ia menjadi persoalan yang harus dipecahkan. Cara memecahkannya tentu dengan berupaya menarik garis persamaan (titik temu) menuju kepada transendensi agama-agama ( esoteris agama). Walaupun substansi semua agama itu sama, tapi karena kehadiran substansi selalu dibatasi oleh, dan fungsinya berkaitan dengan, bentuknya, maka walaupun substansi setiap agama semua sama, tetapi secara eksoterik dan oprasional sekaligus berbeda dari agama yang lain. Oleh karenanya setiap agama selalu otentik untuk zamannya meskipun secara substansi kebenarannya bersifat perennial, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Semua agama pernah hadir, entah itu Yahudi, Kristen maupun Islam adalah otentik dan benar adanya, yang satu tidak menghapus dan menggantikan yang lainnya. Jikapun dikatan Islam adalah agama yang mutakhir yang mencakup atau meliputi ajaran agama sebelumnya, maka pengertiannya adalah kebenaran Islam pada level substansinya. Mengenai substansi agama-agama yang tidak bisa dibatalkan itu, karena sifatnya yang perenial dan otentik, bisa dijelaskan dengan beberapa cara. Antara lain ialah, kalau saja Tuhan hanya menyelamatkan orang-orang yang menganut agama Kristen saja, misalnya, maka menurut nalar sehat mustahil beberapa abad kehadiran agama Islam yang dengan cepat menyebar ke seluruh dunia. Sebaliknyha, jika kedatangan Islam, dengan kebenaran yang dibawanya, meniscayakan seluruh manusia memeluk agama ini, maka sulit dijelaskan mengapa Tuhan menutup hati umat pemeluk agama di luar Islam, yang jumlahnya lebih besar ketimbang pemeluk Islam, sehingga tidak tertembus oleh pesan yang dibawa Nabi Muhammad saw.
34

Horald Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama, Kanisus, Yogyakarta, 1994,

hlm. 61.

21

Melihat kenyataan tersebut, maka kesadaran adanya aspek substansi dan bentuk, adanya wahyu tertulis, tercipta, dan terpatri dalam kalbu, akan membuka banyak jalan alternative menuju jalan lurus, tanpa kita mengingkari adanya orang yang memang mengingkari agama ataupun yang menyimpang dari jalan yang benar. Meminjam ungkapan Schoun: Inwardly or in terms of substance, the claims that areligion makes are absolute, but outwardly, or in terms of farms, and o on the level of human contingency, the are necessarily relative. Secara esoteris, atau dalam pengertian substansi, klaims ataupun pernyhataan-pernyataan yang dibuat oleh semua agama bersifat mutlak. Tetapi, secara eksoterik, atau dalam pengertian bentuk, atau pada tingkat keberagaman manusiawi, pernyataan-pernyataan tersebut mau tidak mau menjadi relatif.35 Dengan demikian, keberagaman hanya mengandalkan bentuk tidak menjadikan satu-satunya sarana penyelamat. Ia masih diterima kebenarannya sebatas merupakan derivasi spiritual dari substansi yang Absolut. Setiap bentuk adalah terbatas, dan setiap agama pada dimensi eksoteriknya adalah suatu bentuk, sedangkan sifat kemutlakan yang dimilikinya hanya dalam esensi hakiki dan supraformalnya saja. Itulah sebabnya bahasa dan perilaku keberagamaan sangat kaya dengan ungkapan simbolik, metaforis, analogi, dan semacamnya, yang kesemuaannya itu menuntut penyikapan yang dalam akan makna dan pesan hakiki yang ada dibaliknya. Contoh yang amat nyata adalah, jika orang ibadah haji untuk menyembah bangunan kabah, maka ia telah terjatuh menjadi musyrik. Namun demikian, nyatanya dalam shalat dan thawaf kita dianjurkan menundukkan kepala di hadapan kabah. Di sinilah kita jumpai berbagai kesan paradoksal dalam bahasa agama. Ini perlu ditegaskan karena fenomena agama yang muncul dipermukaan biasanya melupakan makna hakikinya. Padahal dalam sejarah Islam diceritakan bahwa Ibrahim ibn Adham, seorang sufi, pernah mempunyai guru seorang pendeta Kristen, dan masing-masing berpegang kepada agamya sendiri-sendiri. Kisah serupa dialami juga oleh Sayyid Ali Hamdani, yang telah memainkan peranan menentukan dalam mengubah
Frithjof Schoum, Islam and The Perennial Philoshopy, Translated by J. Peter Hobson, World of Islam Festival Company Ltd, 1976, hlm. 16.
35

22

Kashmir menjadi Islam, ketika mengenal Lalla Yogiswari, seorang Yigi wanita cantik dari kalangan Hindu. Kalau orang suci itu saling menghormati satu sama lain, meskipun berbeda agama, dan pada tingkat tertentu dapat saling berguru dan mempengaruhi satu sama lain. Semua kisah itu menunjukkan jika seseorang telah melewati dataran bentuk dan kemudian naik ke jenjang substansi maka jarak, konflik dan eksluvisme keberagamaan menjadi hilang. Jadi, identitas, perbedaan, konflik dan dinamika yang muncul dari eksoterisme agama adalah suatu keniscayaan, meskipun pada dasarnya semua itu secara ontologis dan epistimologis hanyalah bersifat relatif belaka.36 Misi para Nabi adalah monoteisme, baik pada agama yahudi, Kristen maupun Islam, pada hakikatnya didasarkan pada konsepsi dogmatis tentang keesaan Ilahi (al-tawhid, dalam istilah teknis Islam). Konsepsi itu dikatakan bersifat dogmatis, berarti pernyataan tersebut bertujuan menunjukkan adanya peyertaan sikap menolak pandangan lain. Tanpa sikap tersebut, yang merupakan pembenaran bagi setiap dogma, tidak mungkin ada penerapan eksoteris. Dogma itu bersifat terikat oleh batasan-batasan demi kelangsungan hidup bentuk-bentuk eksoteris. Pembatasan itu pada dasarnya disebabkan oleh keterbatasan yang ada dalam setiap sudut pandangan teologis. Dengan kata lain, sudut pandangan teologis ditandai oleh saling menyalahkan dalam bidangnya sendiri pada setiap kinsepsi yang ada. Berbagai bentuk konsepsi itu memang saling bertentangan, karena dipahami dari aspek bentuk dari masing-masing ajaran eksoteris agama, yang kemudian menjadi bentuk sistem peribadatan. Namun dari segi ajaran metafisika atau kerohanian murni, rumusan-rumusan yang kelihatannya saling bertentangan itu sebenarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain atau saling terkait satu sama lain. Sebab, sumber ajaran itu pada hakikatnya adalah satu, yaitu yang Absolut. Ini bahkan terbukti bukan hanya dari segi ajaran esoterime setiap agama, melainkan juga dari segi kesejarahan, terutama bagi tiga agama besar yang biasa disebut Abrahamic Religions. Pada mulanya, agama-agama monoteisme itu merupakan cabang kelompok agama orang-orang Semit, yang bersal dari Nabi Ibrahim, yang kemudian
36

Ibid., hlm. 17.

23

berkembang lebih lanjut menjadi dua cabang, yakni dari keturunan Ismail dan Ishak.37 Baru pada zaman Musa as, monoteisme itu mengambil bentuk Yahudi. Pada saat agama Ibrahim mulai luntur dikalangan keturunan Ismail, Nabi Musalah terpanggil mengembangkan monoteisme tersebut. Musa menghubungkan monoteisme dengan Israel, yang kemudian musa menjadi pelindungnya. Adaptasi yang dibawa Musa betapapun penting dan sesuai kehendak Ilahi, tapi tindakan tersebut mengakibatkan adanya pembatasan dalam bentuk lahiriyah. Demikian juga dengan kelahiran Isa al-Masih sebagai penerus misi kenabian membawa satu pesan Ilahiyyah, namun sepeninggalnya terjadi pemahaman eksoteris yang cukup menonjol di kalangan umat Kristen. Dua wajah monoteisme Yahudi dan Kristen kemudian dirangkum oleh Islam dengan meyelaraskan pertentangan tersebut dalam satu sintetis. Hal semacam inilah yang akan menandai berakhirnya perkembangan dan perwujudan integral monoteisme. Terhadap Yahudi, Islam memperteguh ajaran kasih dari Kristen, dan terhadap Kristen, Islam memperteguh aspek legal (eksoterisme) Yahudi. Hal ini didukung oleh fakta bahwa Islam mempertemukan dan merangkum dua monoteisme tersebut, maka akan solid ketika keduanya diintegrasikan. Dalam pandangan Frithjof Schuon persoalan ini digambarkan sebagai berikut : Monoteism contained in Judaism and Christianity two great antagonistic expressions which Islam, although itself necessarily antagonistic in ralation to these two forms recapitulated in a certain manner by hamonizing the Judaeo-Christian antagonisme in a synthesis that marked the term of the development and integral realization of monotheism. That this was so is confirmed by the simple fact that Islam is the third aspect of this religious current; that is to say, it reprents the number 3, which is the number of harmony, whereas the number 2 represents an alternative and is not therefore self-sufficient being compelled either to reduce itself to unity through the

Dalam sejarah diceritakan bahwa Nabi Ibrahim as, sampai usia lanjut dengan pasangannya, Sara, tidak dikarunia keturunan. Dari Hajar (Budak berkulit hitam dari Ethopia) inilah Ibrahi dikarunia Ismail. Anehnya, ketika Ismail berusia 12 tahun, Sara juga hamil. Anak Sara ini diberi nama Ishaq. Kedua putra Ibrahim diangkat Tuhan menjadi Nabi. Dari sinilah agama monoteisme berkembang dengan menampilkan dua wajah; keturunan Ismail dan Ishaq. Para Nabi yang kemudian, hampir seluruhnya selain Muhammad saw, adalah keturunan Ishaq. Sedang dari keturunan Ismail, hanya satu saja yang menjadi Nabi, yaitu Muhammad saw.

37

24

absorption of one of its terms by the other or to recreate this uniy by the production of a new unity.38 Disinilah Islam datang sebagai peneguh, pengkeritik dan sekaligus penyempurna terhadap dua agama sebelumnya. Karenanya dengan lahirnya agama Islam siklus perkembangan agama monoteisme berakhir, sebab Islam menghadirkan kembali keseimbangan yang pertama kali terdapat pada monoteisme Ibrahim. Keseimbangan dimaksud adalah keseimbangan antara esoterisme dan eksoterisme. Adanya perbedaan antara esoterisme dan eksoterisme, tidak berarti keduanya dipandang secara dikotomis dan dualistik, melainkan menyatu, bagai dua sisi dari satu mata uang. Dalam hal ini ada komentar dari Abdullah Yusuf Ali yang sangat menarik. Menurutnya: Perbantahan semata tidaklah berguna. Untuk mencapai maksud kita sebagai pemegang sejati bendera Tuhan, kita harus menemukan berbagai landasan bersama yang hakiki dari keimanan, sebagai dikatakan pada bagian terakhir firman Allah (Q.S. Al-Ankabut:46), dan juga untuk menunjukkan kesopanan, kelembutan, ketulusan, kesungguhan, dan keinginan kita yang sejati untuk kenaikan orang lain, bahwa kita bukanlah orang sembarangan atau hanya mencari tujuan-tujuan yang bersifat egois atau menjadi tanda tanya.39 Islam sebagaimana yang terkandung dalam Al-Quran telah menggagaskan lima prinsip menyangkut titik temu agama-agama, yaitu: Prinsip pertama, AlQuran mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal karena Tuhan telah mengutus rasul-rasul-Nya kepada seluruh umat manusia. Firman Allah : Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka

Frithjof Schoun, The Transcendent Unity, Op. Cit., hlm. 101-102. Abdullah Yusuf Ali, Tarjamat Maany Al-Quran al-Karim ila al-Lughat al-Injiliziyyat, Vol. 2, al-Islamiyah, hlm. 1041.
39

38

25

berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). Prinsip kedua, Al-Quran mengajarkan pandangan tentang kesatuan nubuwwat (kenabian) dan umat yang percaya kepada Tuhan. Firman Allah :

Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.(Q.S. Al-Anbiya: 92) Prinsip ketiga, Al-Quran menegaskan bahwa agama yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan langsung agama-agama sebelumnya, khususnya yang secara geneologis dekat ialah agama-agama Semitik-Abrahamik. Firman Allah : Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).(Q.S. AsySyura: 13). Prinsip keempat, umat Islam diperintahkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan orang-orang beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (ahl al-Kitab). Firman Allah: Dan janganlah kamu berdebat denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka[1154], dan Katakanlah: "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada Kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan Kami dan Tuhanmu adalah satu; dan Kami hanya kepada-Nya berserah diri". (Q.S. Al-Ankabut: 46)

26

Prinsip kelima, dari prinsip di atas semua membawa akibat yang sangat logis yaitu tidak boleh ada paksaan dalam agama. Firman Allah : Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?(Q.S. Yunus: 99) Dari lima prinsip di atas jelaslah bahwa secara esoteris semua agama itu sama tidak bertentangan dengan Al-Quran, sedangkan perbedaan dalam bidang eksoteris dan manhaj, seyogiannya tidak harus membawa pada pertentangan dan perselisihan, sehingga mengganggu keharmonisan hidup antar umat beragama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa esoterisme, yang secara interistik memang sudah dengan sendirinya bersifat universal dan karenanya sangat terbuka, meniscayakan pluralitas eksistensi agama. Pluralitas eksistensi agama, yang kita sebut kemudian sebagai eksoterisme agama, karenanya tidaklah serta merta dianggap sebagai suatu kesesatan yang terkutuk, melainkan sebagiannya merupakan keharusan penjelmaan historis dari esensi agama yang bersifat esoterik. Kebenaran abadi yang universal akan selalu ditemukan pada setiap agama, walaupun masing-masing tradisi agama memiliki bahasa dan bungkusnya yang berbeda-beda. Karena perbedaan bungkus inilah maka kesulitan, kesalahpahaman dan perselisihan antar pemeluk agama seringkali muncul ke permukaan. Semestinya konflik tersebut tidak terjadi, ketika ia memahami puncak keabadian yang universal dari masing-masing agama. Semoga akidah terjamin, kerukunan terjalin. C. Hubungan Antaragama dalam Al-Quran Kajian hubungan antaragama sudah lama menjadi wacana di Indonesia dan sudah waktunya untuk diimplimentasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang dikenal sangat heterogen. Kenapa demikian, karena studi ini sangat strategis dan kontributif dalam mewujudkan keharmonisan interaksi sosial dan kerukunan antarumat beragama untuk memperdayakan potensi dan kualitas

27

anak bangsa tidak hanya pada skala global, keberagaman umat manusia juga terjadi di tingkat regional, lokal atau diwilayah yang lebih sempit lagi. Sebab kemajemukan atau pluralistik bukanlah keunikan suatu masyarakat atau bangsa tertentu. Namun dalam kenyataannya, tidak ada suatu masyarakat pun yang benarbenar tunggal unitery tanpa ada unsur-unsur perbedaan di dalamnya. Semestinya Al-Quran sebagai kitab suci universal ramatan li al-alamin mampu menjawab berbagai problematika bani Adam dalam upaya mengeksiskan kekhalifahannya di permukaan bumi ini, termasuk tentang hubungan antaragama. Untuk mengkaji hubungan antaragama, paling tidak ada tiga aspek hubungan yang dapat dipahami sebagai pirantinya. Pertama, hubungan secara generis yaitu hubungan antaragama dilihat dari aspek kesatuan rumpun keturunan para Nabi. Kedua, sosiologis yaitu melihat aspek interaksi sosial kemasyarakatan yang terjadi sepanjang sejarah anak manusia dalam konteks misi kemanusiaan. Ketiga, hubungan secara teologis yaitu membahas tentang dimensi ajaran kitab suci yang paling mendasar tentang kesatuan agama, yang dikenal dengan istilah esoteris atau puncak piramit titik temu agama. Penulis memfokuskan kajian ini pada pendekatan ketiga, kendatipun tidak menapikan pendekatan lain. Sebelum membahas lebih jauh tentang hubungan antaragama, agaknya perlu juga dinukilkan tentang agama apa saja yang disebut di dalam Al-Quran. Setelah menelusuri ayat-ayat yang terdapat di dalam Al-Quran dengan menggunakan kitab; Mujam, al-Mufahras li Alfazd Al-Quran Al-Karim ,40 maka dikemukakanlah sebutan Islam, Yahudi, Nasrani, Sobiin dan Majusi dengan berbagai derivasinya. Di samping kata ahlul kitab, millah, hanif, musyrik, kafir, munafik, zalim dan lainnya sebagai penunjukkan terhadap suatu sifat dan perilaku manusia sepanjang sejarah. Kata Islam dengan berbagai derivasinya ditemukan di ratusan tempat dalam Al-Quran. Kata Yahudi ditemudkan di 11 tempat, Nasrani sebanayk 15 tempat, Sobiin sebanyak 2 tempat dan Majusi 1 tempat di dalam Al-Quran. Sebagaimana yang telah penulis utarakan dipendahuluan bahwa yang menjadi fokus kajian ini bukan simbol agama atau mengkaji makna karena tema itu sudah dibahas oleh penyaji terdahulu, tetapi tulisan ini lebih kepada kesatuan keyakinan dan misi universal dalam bingkai teologis, yang oleh AlMuhammad Fuad Abd al-Baqi, Mujam, al-Mufahras li Alfazd Al-Quran Al-Karim, Nur Asia, Indonesia, t.th.
40

28

Quran diungkapkan dengan istilah jadi bukan makna agama ansich. Oleh karena itu terlebih dahulu penulis akan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan topik pembahasan yaitu tentang hubungan antaragama, diklafikasi sesuai waktu dan tempat turunnya, (Makkiyah dan Madaniyah), sebab turunnya ayat jika ada dan kemudian akan dikemukakan istinbath dengan dukungan pendapat para mufassirin dan pakar dalam disiplin ilmu terkait.41 a. Hubungan Secara Teologis Cukup banyak ayat Al-Quran yang mengungkapkan tentang hubungan antaragama dalam berbagai dimensi, khususnya dimensi teologis. Misalnya, ayat yang turun di Makkah menyangkut konsepsi Al-Quran tentang kesatuan nubuwwat (kenabian) dan umat yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Firman Allah : Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah aku.(Q.S. Al-Anbiyaa: 92) Ibnu Katsir menjelaskan bahwa agama umat manusia di dunia ini pada dasarnya sama yaitu mentauhidkan Allah, penyerahan diri adalah agama semua komunitas. Artinya kesatuan agama itu sama dalam pokok-pokok kepercayaan dan syariatnya, sebagaimana telah diberikan kepada para nabi, tetapi sebagian mereka telah berpecah belah dan menukar ayat-ayat Allah dengan hawa nafsu dan kemauannya sendiri.42 Sementara itu, Muhammad Ali Ash-Shabuny mengatakan bahwa yang dimaksudkan oleh ayat di atas adalah agama kalian adalah agama yang satu. Artinya, agama tauhid dan penyerahan diri, millah umat manusia ini semestinya harus dipelihara sesuai dengan batas-batasnya dan dengan memperhatikan hak-haknya.43 Ini suatu bukti bahwa agama seluruh para Nabi dan Rasul adalah sama, jika mereka beriman kepada Nabi Musa as, atau Nabi Isa alMasih seyogianya mereka menganut agama yang sama dengan umat Nabi
Baca; Mustofa Muslim, Mabahis fi at-Tafsir al-Maudhui, Dar al-Qolam, Damsyik, Dar al-Syamsiyah, Beirut, 1421 H/2000. 42 Ibnu Katsir, Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir, terj. Salim Bahreisy, Bina Ilmu, surabaya, ttp, hlm. 332. 43 Muhammad Ali Ash-Shabuny, Cahaya Al-Quran; Tafsir Tematik Surat Al-Kahfi AlMukminun, terj. Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2001, hlm. 278.
41

29

Muhammad saw. Sebab, masing-masing mereka diutus dengan membawa risalah tauhid. Mereka bertemu pada pangkalnya, kendatipun mereka berbeda dalam cabangnya, tergantung pda kondisi umat dan masanya. Kemudian ayat 99 surat Yunus yang diturunkan di Makkah, agaknya juga menarik dijadikan sample dalam memahami hubungan antar agama. Yang mana, jika Allah berkehendak semua orang di permukaan bumi ini akan beriman semuanya, demikian juga sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan agama merupakan keinginan Allah, dan kita harus menghargai keinginan tersebut. Firman Allah : Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?(Q.S. Yunus: 99) Bagi penulis, ayat ini menjelaskan tentang penyerahan Allah kepada manusia untuk melakukan pilihan imannya, agar iman mereka tumbuh bedasarkan keridhaan dan pilihan, bukan paksaan. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia dapat memaksa semua manusia beriman, tunduk dan patuh. Sekiranya Allah menghendaki, tak ada orang yang ingkar dan kufur. Karena toh sejak dalam kandungan dari Bani Adam ini, baik yang beribukan Muslim, Narani, Yahudi, maupun ateis, anak itukan sudah tauhid, berjanji dan bersaksi kepada Allah (Q.S. Al-Aaraf: 172). Sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Muhammad Ali Ash-Shabuny, bahwa ayat ini secara jelas menyerahkan masalah iman kepada pilihan manusia. Ini yang disebut ulama dengan istilah al-juzul ikhtiyaary, yang karenanya ada pahala dan siksa. Allah mempunyai kehendak dan hamba juga mempunyai hak. Tidak kalian berkehendak melainkan Allah juga berkehendak. Allah mempunyai hak cipta dan hamba mempunyai hak perbuatan.44 Abdullah Yusuf Ali mengatakan bahwa sekiranya Allah menghendaki atau berkenan, kemauan bebas yang terbatas yang selama ini sudah diberikan kepada
44

Muhammad Ali Ash-Shabuny, Ibid., hlm. 394.

30

manusia itu, tidak diberikan, maka dengan kemahakuasaan-Nya Ia akan membuat semua umat manusiasama; semua mereka beriman. Tetapi iman yang demikian tidak akan menentukan pahala apa-apa kepada mereka. Dalam kenyataan dunia ini, manusia telah dianugrahi bermacam-macam kemampuan dan kecerdasan, sehingga dengan demikian mereka akan berjuang dan berusaha keras, dan menempatkan dirinya sesuai dengan kehendak Tuhan. Di sini iman akan menjadi suatu prestasi moral, dan iman akan dipertahankan agar tidak menjadi satu dosa.45 Dari dua ayat di atas nyatalah bahwa metode dakwah yang dilakukan Rasulullah saw yang berkaitan dengan hubungan antaragama di Makkah, sarat dengan penguatan iman dan penyeruan kesatuan agama para Nabi sebagai titik temu yang hakiki. Oleh karena itu orang briman tidak boleh marah jika berhadapan dengan orang yang berbeda keimanannya dengan kita, dan yang terutama sekali dari semua itu ia harus dapat menahan diri dari godaan melakukan kekerasan, misalnya memaksakan iman kepada orang lain dengan paksaan fisik, atau dengan paksaan lain, seperti tekanan sosial, membujuk dengan harta atau kedudukan, atau mengambil manfaat cara lain yang dibuat-buat. Mereka harus berusaha dengan jalan rohani, dan biarlah Tuhan yang menentukan sesuai dengan kehendak-Nya. Berkenaan dengan tema hubungan antaragama, Al-Quran senantiasa mengingatkan pembacanya bahwa agama pada esensinya adalah satu dan sama sepanjang sejarah manusia. Allah tidak pernah memaksudkan keterputusan total, perubahan ataupun penggantian atas agama-Nya dengan kedatangan nabi-nabi baru. Akan tetapi, setiap nabi menekankan keesaan tuhan dan esensi agama. Sebenarnya, esensi wahyu-wahyu Allah senantiasa sama, sebagaimanayang difirmankan dalam surat Al-Anbiya ayat 25: Dan Kami tidaklah mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, kecuali; kami wahyukan kepadanya bahwasannya tiada Tuhan melainkan Aku, sebab itu sembahlah Aku. Al-Quran lebih lanjut menyatakan bahwa dengan kesatuan esensi agamaagama nabi-yang juga diistilahkan sebagai esoteris agama-manusia akan memiliki kesamaan satu kebenaran sebagai Din al-Fitrah46(nama umum semua agama yang
45 Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran, Text, Translation and Commentary, Amana Corp. Brentwood, Maryland USA, 1983, hlm. 510. 46 Istilah fitrah berarti kecendrungan alami atau tabiat manusiawi (Natural Disposition or Human Nature). Kata ini tersebut sekali dalam Al-Quran (Q.S. 30:30). Konotasi istilah fitrah di

31

haq bagi Allah). Jadi, sebenarnya manusia itu adalah satu ikatan dalam satu komunitas (ummah wahidah). Oleh karena itu, Islam menyeru seluruh umat beragama agar berpegang pada titik persamaan tersebut, yakni keyakinan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dapat menjadi landasan teologis yang kokoh dalam membangun kerukunan umat bereagama. Orang muslim dapat berdampingan dengan orang non-muslim atau sebaliknya dengan tetap memperhatikan dan menghormati rambu-rambu agamanya masing-masing. Kesamaan pandang tersebut dapat memperkokoh hubungan antara kelompok umat beragama yang ada di tengah masyarakat bangsa. Dalam kaitan ini kita perhatikan perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw yaitu ayat Madaniyah, mengajak para ahli kitab untuk menuju ke titik persamaan, yaitu menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan tidak mempersekutukan-Nya, seruan pada kesatuan itu kembali diseru oleh Allah, sebagaimana firmannya: Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orangorang yang berserah diri (kepada Allah)". (Q.S. Al-Imran: 64) Ayat tersebut di atas membuktikan adanya pengikat persamaan suatu realitas absolut, universal dan azali pada tingkat transenden dari semua agama. Sejalan dengan filsafat perennial, Islam memandang bahwa doktrin tentang al-tauhid tidak hanya menjadi pesan milik Islam sebagai agama, melainkan lebih merupakan inti dari nilai agama wahyu Tuhan yang diturunkan kepada nabi-nabi
sini adalah kemampuan intuitif manusia yang dibawa sejak lahir dalam merasakan keberadaan dan keesaan Allah. Menurut mufassirin, semua manusia telah dikaruniai fitrah akan keberadaan-Nya sebagai Tuhan, dan pencipta sejak tingkatan keberadaan ruh. Untuk lebih detailnya, lihat; Abu Jafar Muhammad at-Tabari, Jami al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, diedit oleh Mahmud Shakir, 30 jilid, Dar Ihya al-Turath al-Arabi, Beirut, 2001, jilid 9, hlm. 132-141 dan jilid 2, hlm. 47-48.

32

merupakan penegasan mengenai doktrin tauhid yang menjadi inti semua agama, meskipun menggunakan bahasa dan istilah yang berbeda-beda.47 Di bawah heading kalimah sawa (pernyataan yang adil dan netral) atau pandangan yang sama yang bisa dijadikan sebagai titik temu para pendekar pluralis dari kalangan Islam di Indonesia mencoba mngembangkan paham persamaan agama ini dalam konteks keindonesiaan. Penulis bereanggapan bahwa ayat perintah menggunakan (mencari) kalimah sawa (Q.S. 3: 64) ini merupakan basis yang sangat kuat bagi umat Islam untuk mengembangkan kesadaran dan sikap beragama yang pluralistik tanpa ada stigma atau hambatan teologis dalam diri mereka. Selanjutnya, Al-Quran menganulir soal hubungan antaragama dalam dimensi sosial kemasyarakatan, dimana antara dua kelompok umat beragama saling menghargai dan menghormatan kebenaran yang dimiliki oleh agama yang dianut oleh umatnya, dan yang dekat persahabatannya dengan umat Islam. Sebagaimana firman Allah swt : Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Sesungguhnya Yahudi kamu dan orang-orang yang musyrik. paling dan dekat dapati

persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Kami ini orang Nasrani". yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena Sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri. (Q.S. Al-Maidah: 82) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Nasrani Habsyah, ketika orang-orang muslim hijrah kesana. Ketika para pendeta dan rahib mendengar
47

Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghy, terj. Toha Putra, Semarang, 1986, hlm.

321.

33

ayat-ayat Al-Quran, dan mereka yakin bahwa itu adalah kalam Allah Yang Maha Pengasih, mereka pun menangis hingga membasahi jenggot. Seketika kitu mereka meyatakan taubat dan iman. Ayat ini sama sekali tidak bersinggungan dengan orang-orang Nasrani pada zaman sekarang.48 Artinya bukan saja mereka menyebut diri orang Kristen, tetapi orang Kristen yang benar-benar jujur. Mereka dapat memahami kebenaran orang Islam, seperti yang dilakukan oleh kaum Nasrani Abisenia tempat kaum Muslimin hijrah ketika di Makkah terjadi penindasan. Mereka itulah yang berkata; Memang benar kami orang-orang Nasrani, tetapi kamu dapat memahami pandangan tuan-tuan dan kami pun mengetahui tuan-tuan adalah orang-orang yang baik. mereka itu Islam dalam hati, apapun yang mungkin tampak dari luar. b. Hubungan Sosial Kemasyarakatan Ajaran dasar Islam bersumber dari Al-Quran dan Hadits. Segala kajian dan pemikiran yang dinisbatkan kepada Islam, haruslah mengacu kepada landasan pokok yang dua itu. Al-Quran mengakui pluralitas agama dan hubungan sosial kemasyarakatan antaragama. Agama yang banyak tersebut dikategorikan menjadi dua, yaitu Islam dan selain islam (Q.S. Al-imran: 85). Sedangkan selain Islam terdiri dari agama-agama yang serumpun dengan Islam, yang dikenal juga dengan agama-agama wahyu (Yahudi dan Nasrani) dan agama-agama non wahyu. Islam sendiri adalah agama wahyu, naka kategori lain dapat menjadi agama-agama wahyu (Yahudi, Nasrani dan Islam) serta agama non wahyu yang jumlahnya sulit disebutkan dengan angka. Agama wahyu dikenal juga dengan agama samawi atau agama langit, sedangkan agama-agama non wahyu disebut juga dengan agama ardhi atau agama bumi. Menurut Al-quran semua agama yang diturunkan Allah kepada para Nabi atau Rasul-Nya disebut Islam. Oleh karena itu, semua agama samawi itu, termasuk Yahudi dan Nasrani, pada hakikatnya adalah Islam. Pengakuan beberapa nabi yang diriwayatkan Al-Quran membuktikan teori ini. Nuh pernah menyatakan pada kumnya. Jika kamu berpaling aku tidak pernah meminta upah sedikitpun

Jalaluddin As-Sayuthi, Lubabun Nuqul fi Asbabun Nuzul, terj. Darul Ihya, Indonesia, 1986, hlm. 226.

48

34

dari kamu, upahku tidak lain hanya dari Allah belaka, dan aku diperintahkan suapaya aku menjadi orang-orang muslim. (Q.S. Yunus: 72). Dengan demikian, Islam adalah satu-satunya agama wahyu sepanjang masa, untuk seluruh persada bumi dan manusia. Namun Al-Quran juga tidak mengingkari eksistensi agama-agama lain. Al-quran mengajarkan agar dibinanya rasa saling menghargai dan menghormati, jangan sampai terjadi paksa memaksa antara satu sama lain. Hal ini jelas sekali ditegaskan dalam pesan-pean Al-Quran. Jika demikian persoalan dalam prinsip pliralisme dan hubungan sosial kemasyarakatan antarumat beragama, lebih-lebih lagi demikian itu pula persoalannya dengan prinsip toleransi. Ada banyak indikasi bahwa masyarakat memahaminya hanya secara sepintas lalu, sehingga toleransi menjadi seperti tidak lebih daripada persoalan prosedural, perosalan tata cara pergaulan yang enak antara berbagai kelompok yang berbeda-beda. Padahal persoalan toleransi adalah persoalan, prinsip tidak sekedar prosedur. Toleransi adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang enak antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari pelaksanaan suara ajaran yang benar. Hikmah atau manfaat itu adalah sekunder nilainya, sedangkan yang primer ialah ajaran yang benar itu sendiri. Maka sebagai yang primer, toleransi antarumat beragama harus kita laksanakan dan mewjudkan dalam masyarakat sekalipun untuk kelompok tertentu, bisa jadi untuk diri kita sendiri pelaksanaan toleransi secara konsekuen itu mungkin tidak menghasilkan sesuatu yang enak. Hal ini sebanding dengan ajran Al-Quran tentang keadilan yang harus tetap kita laksanakan sekalipun menyangkut pihak yang kita benci dan membenci kita. (Q.S. Al-Maidah: 8)

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat

35

kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S. Al-Maidah: 8). Logika pandangan ini ialah, bahwa akibat tidak enak pelaksanaan suatu kebenaran hanya terjadi dalam dimensi terbatas, berjangka pendek. Sedangkan kebaikan yang dihasilkan oleh pelaksanaan suatu kebenaran selalu berdimensi sangat luas, berjangka panjang bahkan abadi, sama halnya dengan akibat buruk, pelanggaran terhadap kebenaran itu yang berjangka panjang, mungkin abadi. Artinya hubungan antaragama dalam konteks sosial kemasyarakatan harus dijaga dan saling menghormati satu sama lain, apalagi yang menyangkut masalah misi kemanusiaan, seperti kemiskinan, kebodohan dan kemelaratan umat manusia, di antara umat beragama harus dapat saling menelong dan bahu membahu dalam penanggulangannnya.

36

Anda mungkin juga menyukai