Anda di halaman 1dari 41

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Di era globalisasi ini tidak hanya ilmu pengetahuan dan tehnologi saja yang berkembang, namun juga berbagai macam penyakit. Tidak hanya penyakit yang disebabkan oleh infeksi tetapi juga penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Gangguan saluran pernafasan merupakan salah satu penyakit yang sering di dengar, namun sebagian tidak mengetahui banyak mengenai sebab, akibat, dan asuhan yang harus dilakukan supaya tidak menjadi penyakit yang membahayakan. Atelektasis, efusi pleura dan edema paru merupakan jenis penyakit yang menyerang saluran pernafasan.ketiga penyakit tersebut disebabkan adanya kelebihan cairan. Pada atelektasis terjadi pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara ( bronkus maupun bronkiolus ) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal. Pada efusi pleura terjadi akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga pleura, cairan tersebut mengisi ruangan yang mengelilingi paru. Dan pada edema paru terjadi penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana anatomi dan fisiologi sistem pernapasan? 2. Apa pengertian dari atelektasis dan bagaimana proses keperawatannya? 3. Apa pengertian dari efusi pleura dan bagaimana proses keperawatannya? 4. Apa pengertian dari edema paru dan bagaimana proses keperawatannya?

1.3 Tujuan 1. Mengetahui anatomi dan fisiologi sistem pernapasan. 2. Mengetahui pengertian dari atelektasis dan proses keperawatannya.

3. Mengetahui pengertian dari efusi pleura dan proses keperawatannya. 4. Mengetahui pengertian dari edema paru dan proses keperawatannya. 1.4 Manfaat Penulis berharap dengan adanya makalah ini teman-teman bisa lebih tahu dan waspada tentang atelektasis, efusi pleura, dan edema paru.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1, Anatomi Sistem Pernafasan (Mayo, 2008)

Sistem pernapasan manusia terdiri dari hidung, pangkal tenggorokan, batang tenggorokan, dan paru-paru. 1. Hidung Hidung merupakan alat pertama yang dilalui udara dari luar. Di dalam rongga hidung terdapat rambut dan selaput lendir. Rambut dan selaput lendir berguna untuk menyaring udara, mengatur suhu udara yang masuk agar sesuai dengan suhu tubuh, dan mengatur kelembapan udara. 2. Pangkal Tenggorokan (Laring) Setelah melewati hidung, udara masuk ke pangkal tenggorokan (laring) melalui faring. Faring adalah hulu kerongkongan. Faring merupakan

persimpangan antara rongga mulut ke kerongkongan dan rongga hidung ke tenggorokan (laring) udara masuk ke batang tenggorokan (trakea). Pada daerah tekak, yaitu di langit-langit mulut bagian belakang terdapat anak tekak. Pada pangkal tenggorokan (laring) terdapat katup yang disebut epiglottis. Ketika kita bernapas, epiglottis terbuka dan anak tekak melipat ke bawah bertemu epiglottis. Udara akan masuk melalui melalui pangkal tenggorokan. Ketika kita menelan, epiglottis menutup pangkal tenggorokan dan makanan akan masuk ke kerongkongan (esofagus). Tetapi jika kita menelan dan epiglottis belum menutup, makanan dan minuman akan masuk ke tenggorokan dan akan tersedak. Pangkal tenggorokan (laring) terdiri atas keeping tulang rawan yang membentuk jakun. Jakun tersusun atas tulang lidah, katup tulang rawan, perisai tulang rawan, piala tulang rawan, dan gelang tulang rawan. Pada pangkal tenggorokan terdapat selaput suara. Selaput suara akan bergetar bila terhembus udara dari paru-paru. 3. Batang Tenggorokan (Trakea) Batang tenggorokan terletak di daerah leher, di depan kerongkongan. Batang tenggorokan merupakan pipa yang terdiri dari gelang-gelang tulang rawan. Panjang batang tenggorokan sekitar 10 cm. Dinding dalamnya dilapisi selaput lendir yang sel-selnya berambut getar. Rambut-rambut getar berfungsi untuk menolak debu dan benda asing yang bersama udara. Akibat tolakan secara paksa tersebut kita akan batuk atau bersin. 4. Cabang Batang Tenggorokan (Bronkus) Batang tenggorokan bercabang menjadi dua bronkus, yaitu bronkus sebelah kiri dan sebelah kanan. Kedua bronkus menuju ke paru-paru. Di dalam paru-paru, bronkus bercabang menjadi bronkiolus. Bronkus sebelah kanan bercabang menjadi 3 bronkiolus, sedangkan sebelah kiri bercabang menjadi dua bronkiolus. Cabang-cabang yang paling kecil masuk ke dalam

gelembung paru-paru atau alveolus. Dinding alveolus mengandung kapiler darah. Melalui kapiler-kapiler darah di alveolus inilah oksigen dari udara di ruang alveolus akan berdifusi ke dalam darah. 5. Paru-paru Paru-paru terletak di rongga dada di atas sekat diafragma. Diafragma adalah sekat rongga badan, yang membatasi rongga dada dan rongga perut. Paru-paru terdiri dari dua bagian, yaitu paru-paru kiri dan kanan. Paruparu kanan memiliki tiga gelambir sedangkan paru-paru kiri memiliki dua gelambir. Paru-paru dibungkus oleh selaput paru-paru yang disebut pleura. Selaput paru-paru terdiri dari dua lapis. Selaput paru-paru membungkus alveolus-alveolus. Jumlah alveolus kurang lebih 300 juta buah. Luas permukaan seluruh alveolus diperkirakan 100 kali dari luas permukaan tubuh manusia. Volume udara di dalam paru-paru orang dewasa lebih kurang 5 liter. Kemampuan paru-paru menampung udara diebut dengan daya tampung paru-paru atau kapasitas paru-paru. Volume udara yang dipernapaskan oleh tubuh tergantung besar kecilnya paru-paru, kekuatan bernapas, dan cara bernapas. Pada pernapasan biasa orang dewasa udara yang keluar dan masuk paru-paru sebanyak 0,5 liter. Udara sebanyak ini disebut udara pernapasan atau udara tidal. Apabila kalian menarik napas sedalam-dalamnya dan menghembuskan napas sekuat-kuatnya, volume yang dan ke luar lebih kurang sebanyak 3,54 liter. Volume udara ini disebut kapasitas vital paru-paru. Sebanyak 1-1,5 liter udara tetap tinggal di paru-paru walaupun kita telah menghembuskan napas sekuat-kuatnya. Volume udara ini disebut udara residu. PROSES PERNAPASAN

Paru-paru manusia berada di dalam rongga dada. Rongga dada dipisahkan dari rongga perut oleh sekat diafragma. Rongga dada dilindungi oleh tulang rusuk dan tulang dada. Proses pernapasan terdiri dari dua kegiatan, yaitu menghirup udara atau menarik napas dan menghembuskan udara atau mengeluarkan napas. Menghirup udara disebut inspirasi dan menghembuskan udara disebut ekspirasi. Proses fisiologis respirasi di mana oksigen dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan, dan karbon dioksida dikeluarkan ke udara ekspirasi dapat dibagi menjadi tiga stadium. 1. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru-paru. 2. Stadium ke dua, transportasi, yang terdiri dari beberapa aspek: a) Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi eksterna) dan antara darah sistemik dan sel sel jaringan; b) Distribusi darah dalam sirkulasi pulmoner dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus; dan c) Reaksi kimia dan fisik dari oksigen dan karbon dioksida dengan darah. 3. Respirasi sel atau respirasi interna merupakan stadium akhir dari respirasi. Selama respirasi ini metabolit dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan karbon dioksida terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru paru.

Berdasarkan bagian tubuh yang mengatur kembang kempisnya paru-paru, pernapasan dapat dibedakan menjadi pernapasan dada (pernapasan tulang rusuk) dan pernapasan perut (pernapasan diafragma).

1. Pernapasan Dada Pernapasan dada terjadi karena gerakan otot-otot antar tulang rusuk. Bila otot antar tulang rusuk berkontraksi, tulang rusuk terangkat naik. Akibatnya volume rongga dada membesar, sehingga tekanan rongga dada turun dan paru-paru mengembang. Pada saat paru-paru mengembang, tekanan udara di dalam paru-paru lebih rendah daripada tekanan udara di atsmosfer. Akibatnya udara mengalir dari luar kedalam paru-paru (inspirasi). Sebaliknya, ketika otot-otot antartulang rusuk relaksasi, tulang rusuk turun. Akibatnya rongga dada menyempit dan tekanan udara di dalamnya naik. Keadaan ini membuat paru-paru mengempis. Karena paru-paru mengempis, tekanan udara di dalam paru-paru lebih tinggi daripada tekanan atsmosfer, sehingga udara keluar (ekspirasi). 2. Pernapasan Perut Pernapasan perut terjadi akibat gerkan diafragma. Jika otot diafragma berkontraksi, diafragma yang semula cembung ke atas bergerak turun menjadi agak rata. Akibatnya rongga dada membesar dan paru-paru mengembang sehingga perut menggembung, tekanan udara di dalam paruparu turun dan udara dari luar masuk ke dalam paru-paru (inspirasi). Ketika otot diafragma relaksasi, diafragma kembali ke keadaan semula (cembung). Akibatnya rongga dada menyempit. Pada saat semikian paruparu mengempis dan mendorong udara keluar dari paru-paru (ekspirasi). Pernapasan perut terjadi terutama pada saat tidur.

2.2

Atelektasis Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara ( bronkus maupun bronkiolus ) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.

2.3

Efusi pleura Efusi pleura adalah keadaan di mana terjadi akumulasi cairan yang abnormal dalam rongga pleura

2.4

Edema paru Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh.

BAB II

PEMBAHASAN 2.1 Atelektasis


2.1.1 Pengertian Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara ( bronkus maupun bronkiolus ) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.

2.1.2 Patofisiologi Atelektasis dibagi menjadi dua jenis,yaitu : 1. Atelektasis Bawaan (Neonatorum) Atelektasis bawaan adalah atelektasis yang terjadi sejak lahir, di mana paru paru tidak dapat berkembang sempurna. Terjadi pada bayi (aterm/prematur) yang dilahirkan dalam kondisi telah meninggal (still born) atau lahir dalam keadaan hidup lalu bertahan hanya beberapa hari dengan pernafasan buruk. Paru paru tampak padat, kempis dan tidak berisi udara.

Atelektasis Resorbsi yaitu kondisi bayi yang mampu bernafas dengan baik, tetapi terjadi hambatan pada jalan nafas yang mengakibatkan udara dalam alveolus diserap sehingga alveolus mengempis kembali (timbul pada penyakit membrane hyaline). 2. Atelektasis Didapat a. Atelektasis Obstruksi Sebab utama dari atelektasis adalah penyumbatan sebuah bronkus. Penyumbatan juga bisa terjadi pada saluran pernafasan yang lebih kecil. Penyumbatan bisa disebabkan oleh adanya gumpalan lendir, tumor atau benda asing yang terhisap ke dalam bronkus. Atau bronkus bisa tersumbat oleh sesuatu yang menekan dari luar, seperti tumor atau pembesaran kelenjar getah bening. Jika saluran pernafasan tersumbat, udara di dalam alveoli akan terserap ke dalam aliran darah sehingga alveoli akan menciut dan memadat. Jaringan paru-paru yang mengkerut biasanya terisi dengan sel darah, serum, lendir, dan kemudian akan mengalami infeksi.

Atelektasis Obstruksi dapat terjadi pada pasien dengan : 1. Asma bronchial 2. Bronkhitis kronis 3. Bronkhiektasis 4. Aspirasi benda asing 5. Pasca bedah 6. Aspirasi darah beku 7. Neoplasma bronchus

10

Kondisi lain yang dapat menyebabkan atelektasis obstruksi antara lain : usia (sudah tua atau usia anak anak) dan kondisi tubuh dengan kesadaran menurun (pengaruh anestesi) yang mengakibatkan kelemahan otot otot nafas sehingga tidak dapat mengeluarkan sumbatan pada jalan nafas. Gejala klinis : dispnea, sianosis dan kolaps, bagian dada yang atelektasis tidak bergerak, dan pernafasan terdorong ke arah yang sakit. Pada pemeriksaan foto thorax didapatkan bayangan padat serta diafragma menonjol ke atas. 3. Non-obstruktif : - pasif pneumothorax, operasi - cicatrix perlekatan-perlekatan - adhesive RDS (Respiratory Distress Syndrome) Pneumonitis radiasi, pneumonia, uremia. kompresi Pneumothorax, pleural effusion, tumor 2.1.3 Pembagian Atelektasis

Menurut luasnya atelektasis dibagi : 1. Massive atelectase, mengenai satu paru 2. Satu lobus, percabangan main bronchus Gambaran khas yaitu inverted S sign tumor ganas bronkus dengan atelectase lobus superior paru. 3. Satu segmen segmental atelectase 4. Platelike atelectase, berbentuk garis Misal : Fleischner line oleh tumor paru Bisa juga terjadi pada basal paru post operatif 2.1.4 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik. Rontgen dada akan menunjukkan adanya daerah bebas udara di paruparu. Untuk menentukan penyebab terjadinya penyumbatan mungkin perlu dilakukan pemeriksaan CT - scan atau bronkoskopi serat optik. (3) Kolaps dapat didiagnosa dengan adanya :

11

a. Peningkatan densitas dan menggerombolnya pembuluh darah paru b. Perubahan letak hilus atau fisura ( keatas atau ke bawah ). Pada keadaan normal letak hilus kanan lebih rendah dari hilus kiri c. Pergeseran trakea, mediastinum atau fisura interlobaris ke arah bagian paru yang kolaps d. Sisa paru bisa amat berkembang ( over-expanded ) dan demikian menjadi hipertranslusen Kelainan-kelainan radiologik Bilamana seluruh paru-paru mengempis, akan ada suatu bayangan homogen pada belah itu, dengan jantung dan trakhea beranjak ke jurusan itu dan diafragma terangkat. Bilamana hanya satu lobus yang atelaktasis disebabkan oleh penyumbatan bronkhial, mungkin kelihatan dua kelainan yang karakteristik. Kelainan pertama adalah suatu bayangan yang homogen daripada lobus yang kempis itu sendiri, yang akan menempati ruangan yang lebih kecil daripada bilamana ia berkembang sama sekali. Suatu lobus kanan atas yang kempis akan kelihatan sebagai suatu daerah yang opak pada puncak, dengan batas tegas yang bersifat konkaf di bawahnya di dekat klavikula yaitu yang diakibatkan oleh fisura horizontalis yang terangkat. Lobus kiri atas bilamana kempis biasanya mencakup lingula, dan bayangan yang diakibatkannya adalah lebih tidak tegas tanpa batas bawah yang tegas. Akan tetapi pada proyeksi lateral akan kelihatan suatu bayangan berbentuk lidah dengan puncaknya dekat diafragma; di sebelah anterior, ini mungkin sampai kepada sternum, atau mungkin dipisahkan oleh suatu daerah yang translusen yang disebabkan oleh paru-paru kanan yang menyelip diantaranya dan sternum di sebelah posterior bayangan itu mempunyai batas yang tegas dengan batas konkaf yang disebabkan oleh fisura besar yang terdesak ke depan. Suatu lobus tengah akan menyebabkan suatu bayangan yang sangat tidak tegas pada proyeksi anterior, akan tetapi mungkin mengaburkan batas daripada jantung kanan, pada proyeksi lateral ia akan kelihatan sebagai suatu

12

bayangan berbentuk pita yang membujur dari hilus ke angulus sternodiafragmatikus. Batas atasnya yang tegas dibentuk oleh fisura horizontalis yang terdekat, sedangkan batas belakangnya yang konkaf oleh fisura mayor yang terdesak ke depan. Lobus bawah yang kempis menyebabkan suatu bayangan berbentuk segitiga, dengan batas lateral yang tegas yang membujur ke bawah dan keluar dari daerah hilus ke diafragma. Oleh karena ia biasanya terletak di belakang bayangan jantung, ia hanya dapat dilihat bilamana radiograf adalah baik. Pada proyeksi lateral bayangan mungkin kabur sekali, akan tetapi biasanya kehadirannya memberikan tiga gambar vertebrae torakalis di sebelah bawah akan kelihatan lebih berwarna abu-abu daripada hitam daripada vertebrae di sebelah tengah bagian posterior daripada bayangan diafragma kiri akan tidak dapat dilihat dan akhirnya, daerah vertebrae bawah di belakang bayangan jantung akan kurang hitam daripada daerah translusen di belakang sternum. Gejala-gejala yang karakteristik lainnya adalah konsekuensi daripada bayangan-bayangan vaskuler menjadi kabur di dalam opasitas umum daripada lobus yang tidak mengandung udara, sedangkan bayangan pembuluhpembuluh darah di dalam lobus yang lain adalah lebih memencar oleh karena ia mengisi suatu volume yang lebih besar. Pembuluh-pembuluh darah hilus pada sebelah yang terkena penyakit akan menunjukkan suatu konveksitas lateral dan bukan suatu konkafitas seperti dalam keadaan normal pada tempat dimana grup daripada lobus atas bertemu dengan arteria basalis di samping itu, hilus akan menjadi lebih kecil daripada di sebelah yang lain, sedangkan pembuluh-pembuluh darah paru-paru akan lebih memencar sehingga per unit daerah akan kelihatan lebih sedikit daripada di sebelah yang lain (normal). Hanya akan ada sedikit atau sama sekali tidak ada translusensi yang relatif, oleh karena aliran kapiler bertambah besar, sedangkan pendesakan trakhea atau peninggian diafragma biasanya sedikit dan jantung beralih hanya sedikit ke jurusan lobus yang kempis yaitu pada kolaps daripada lobus bawah, atau yang lebih sering sama sekali tidak pada kolaps daripada lobus atas. Gambar - gambar Atelektasis Kolaps Lobus Atas Kanan

13

Foto PA Densitas uniform akibat lobus kanan yang kolaps dan mengkerut (panah). Fisura interlobaris kanan bergeser ke atas ke arah mediastinum (panah lebar) Hilus kanan terletak sama tinggi dengan hilus kiri, berarti letaknya meninggi.

Foto Lateral Lobus yang kolaps tidak terlihat. Ini akan membedakannya dengan pneumonia. Konsolidasi akan bisa dilihat dari kedua proyeksi tetapi kolaps mungkin hanya bisa dilihat dari satu proyeksi saja. Kolaps Lobus Medius Kanan Foto PA Terlihat densitas didekat jantung pada lapangan tengah dekat hilus. Bentuknya mirip segitiga. Bagian paru yang lain nampak bersih.

14

Foto Lateral Kolaps lobus medius selalu lebih jelas terlihat pada proyeksi lateral, terutama pada anak-anak. Terlihat densitas berbentuk segitiga dibagian depan, menunjukkan kolaps lobus medius (panah).

Kolaps Lobus Bawah Kanan Foto PA Hipertranslusen pada lobus kanan atas, terjadi karena adanya peningkatan volume sebagai kompensasi. Lobus bawah kanan kolaps ke arah jantung dan mediastinum (panah) dan menghilangkan sinus cardiophrenicus. Batas lateralnya tegas. Hilus kanan menghilang karena pembuluh darah paru pindah ke arah jantung sebagai akibat kolaps paru.

15

Kolaps Lobus Medius dan Lobus Bawah Kanan Foto PA Hipertranslusen lobus atas kanan (panah lebar). Bila dibandingkan dengan kolaps lobus bawah kanan saja, densitas pada foto ini lebih luas dan batasnya kurang tegas.

Foto PA

Kolaps Lobus Bawah Kiri

Terlihat pergeseran ringan jantung dan mediastinum ke kiri. Hilus kiri turun dibawah hilus kanan (panah). Terlihat penurunan corakan vaskular pada bagian paru kiri yang over-expanded (panah lebar). Lobus bawah yang kolaps tidak terlihat pada foto yang kurang keras ini (bandingkan dengan foto keras dibawah ini).

16

Foto keras PA (Penderita yang sama) Untuk mendapatkan hasil seperti ini, dipakai teknik dasar foto thorax PA tetapi mAs ditingkatkan 2 kali lipat. Densitas berbentuk segitiga di belakang jantung adalah lobus bawah kiri yang kolaps (panah). Biasanya sulit untuk melihat lobus bawah yang kolaps pada foto lateral.

Kolaps Lobus Atas Kiri

Foto PA Lobus atas kiri kolaps ke arah mediastinum (panah lebar). Mediastinum sedikit bergeser kekiri : pada kiri pembuluh darah paru lebih tersebar dibandingkan pada sisi kanan, akibat adanya overinflasi pada sisa paru kiri sebagai kompensasi. 17

Foto lateral Lobus atas kiri yang kolaps sulit untuk diidentifikasikan karena kolapsnya ke arah mediastinum. Hanya terlihat tepi belakangnya saja (panah).

2.1.5

Penatalaksanaan Tujuan pengobatan adalah mengeluarkan dahak dari paru-paru dan

kembali mengembangkan jaringan paru yang terkena. Tindakan yang biasa dilakukan : Berbaring pada sisi paru-paru yang sehat sehingga paru-paru yang terkena kembali bisa mengembang Menghilangkan penyumbatan, baik melalui bronkoskopi maupun prosedur lainnya Latihan menarik nafas dalam ( spirometri insentif )

18

Perkusi (menepuk-nepuk) dada untuk mengencerkan dahak Postural drainase Antibiotik diberikan untuk semua infeksi Pengobatan tumor atau keadaan lainnya Pada kasus tertentu, jika infeksinya bersifat menetap atau berulang, menyulitkan atau menyebabkan perdarahan, maka biasanya bagian paruparu yang terkena mungkin perlu diangkat Setelah penyumbatan dihilangkan, secara bertahap biasanya paru-paru

yang mengempis akan kembali mengembang, dengan atau tanpa pembentukan jaringan parut ataupun kerusakan lainnya. 2.1.6 Upaya Preventif Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya atelektasis : Setelah menjalani pembedahan, penderita harus didorong untuk bernafas dalam, batuk teratur dan kembali melakukan aktivitas secepat mungkin. Meskipun perokok memiliki resiko lebih besar, tetapi resiko ini bisa diturunkan dengan berhenti merokok dalam 6-8 minggu sebelum pembedahan. Seseorang dengan kelainan dada atau keadaan neurologis yang menyebabkan pernafasan dangkal dalam jangka lama, mungkin akan lebih baik bila menggunakan alat bantu mekanis untuk membantu pernafasannya. Mesin ini akan menghasilkan tekanan terus-menerus ke paru-paru, sehingga meskipun pada akhir dari suatu pernafasan, saluran pernafasan tidak dapat menciut.

2.2 EFUSI PLEURA


2.2.1 Pengertian Efusi pleura adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga pleura, cairan tersebut mengisi ruangan yang mengelilingi paru. Cairan dalam jumlah yang berlebihan dapat mengganggu pernapasan dengan membatasi peregangan paru selama inhalasi. 2.2.2 Etiologi

19

Penyebab paling sering efusi pleura transudatif adalah karena penyakit gagal jantung kiri, emboli paru, dan sirosis hepatis, sedangkan penyebab efusi pleura eksudatif disebabkan oleh pneumonia bakteri, keganasan (ca paru, ca mamma, dan lymphoma merupakan 75 % penyebab efusi pleura oleh karena kanker), infeksi virus. Tuberkulosis paru merupakan penyebab paling sering dari efusi pleura di negara berkembang termasuk Indonesia. Selain TBC, keadaan lain juga menyebabkan efusi pleura seperti pada penyakit autoimun systemic lupus erythematosus (SLE), perdarahan (sering akibat trauma). Efusi pleura jarang pada keadaan ruptur esofagus, penyakit pankreas, anses intraabdomen, rheumatoid arthritis, sindroma Meig (ascites, dan efusi pleura karena adanya tumor ovarium). 2.2.3 Patogenesis Timbulnya efusi pleura dapat disebabkan oleh kondisi kondisi : 1. Gangguan pada reabsorbsi cairan pleura (misalnya karena adanya tumor) 2. Peningkatan produksi cairan pleura (misalnya akibat infeksi pada pleura) Secara patologis, efusi pleura disebabkan oleh keadaan keadaan : 1. Meningkatnya tekanan hidrostatik (misalnya akibat gagal jantung) 2. Menurunnya tekanan osmotik koloid plasma (misalnya hipoproteinemia) 3. Meningkatnya permeabilitas kapiler (misalnya infeksi bakteri) 4. Berkurangnya absorbsi limfatik Penyebab efusi pleura dilihat dari jenis cairan yang dihasilkannya : 1. Transudat Gagal jantung, sirosis hepatis dan ascites, hipoproteinemia pada nefrotik sindrom, obstruksi vena cava superior, pasca bedah abdomen, dialisis peritoneal, dan atelektasis paru. 2. Eksudat

20

a. Infeksi (pneumonia, TBC, virus, jamur, parasit, dan asbes) b. Neoplasma ( ca. paru, metastasis, limfoma, dan leukemia) c. Emboli / infark paru d. Penyakit kolagen (SLE dan rheumatoid arthritis) e. Penyakit gastrointestinal (pankreatitis, ruptur esophagus, dan asbes hati) f. Trauma (hematoraks dan khilotoraks) 2.2.4 Fisiologi Pleura Pleura terdiri dari dua lapisan yang berbeda yaitu pleura visceralis dan pleura parietalis. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hilus paru. Dalam beberapa hal terdapat perbedaan antara kedua pleura ini, yaitu : 1. Pleura Visceralis Bagian permukaan luarnya terdiri atas selapis sel mesotelial yang tipis (tebalnya tidak lebih dari 30 mm), di antara celah celah sel ini terdapat beberapa sel lomfosit. Di bawah sel mesotelial ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit. Di bawah endopleura terdapat jaringan kolagen dan serat serat elastik yang dinamakan lapisan tengah. Lapisan adalah jaringan 2. Pleura Parietalis Lapisan jaringan pada pleura parietalis terdiri atas sel sel mesotelial dan jaringan ikat (jaringan kolagen dan serat serat elastik) namun lebih dari pleura visceralis. Dalam jaringan ikat tersebut terdapat pembuluh kapiler (arteri interkostalis dan arteri mammaria interna), kelenjar getah bening, dan banyak reseptor saraf sensoris yang peka terhadap rasa nyeri edam perbedaan temperatur. Sistem persarafan ini berasal dari nervus interkostalis dinding dada dan alirannya sesuai dengan dermatom dada. Keseluruhan jaringan pleura parietalis ini menempel tetapi juga mudah dilepaskan dari dinding dada di atasnya. Cairan pleura diproduksi oleh pleura parietalis dan diabsorbsi oleh pleura visceralis. Cairan terbentuk dari filtrasi plasma melalui endotel kapiler, kemudian direabsorbsi oleh pembuluh limfe dan venula pleura. Telah diketahui bahwa cairan masuk ke dalam rongga melalui pleura

21

parietalis dan selanjutnya keluar lagi dalam jumlah yang sama melalui membran pleura visceralis via sistem limfatik dan vaskular. Pergerakan cairan dari pleura parietal ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik koloid plasma. Cairan terbanyak direabsorbsi oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang direabsorbsi oleh sistem kapiler pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura visceralis adalah terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel sel mesotelial. Dalam keadaan normal seharusnya tidak ada rongga kosong antara kedua pleura tersebut karena biasanya hanya terdapat sedikit (10 -20 cc) cairan yang merupakan lapisan tipis serosa dan selalu bergerak secara teratur. Cairan yang sedikit ini merupakan pelumas antara kedua pleura, sehingga mereka mudah bergeser satu sama lain. Dalam kedaan patologis, rongga antara kedua pleura ini dapat tereisi dengan beberapa liter cairan atau udara. 2.2.5 Patofisiologi Pada umumnya, efusi terjadi karena penyakit pleura hampir mirip plasma (eksudat) sedangkan yang timbul pada pleura normal merupakan ultrafiltrat plasma (transudat). Efusi dalam hubungannya dengan pleuritis disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pleura parietalis sekunder (efek samping dari) peradangan atu keterlibatan neoplasma. Contoh bagi efusi pleura dengan efusi normal yaitu payah jantung kongestif. Pasien dengan pleura yang awalnya normal pun dapt mengalami efusi pleura ketika terjadi payah/gagal jantung kongestif. Ketika jantung tidak dapat memompakan darahnya secara maksimal ke seluruh tubuh terjadilah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler yang selanjutnya menyebabkan hipertensi kapiler sistemik. Cairan yang berada dalam pembuluh darah pada area tersebut selanjutnya menjadi bocor dan masuk ke dalam pleura. Peningkatan pembventukan cairan dari pleura parietalis karena hipertensi kapiler sistemik dan penurunan reabsorbsi menyebabkan pengumpulan abnormal cairan pleura Adanya hipoalbuminemia juga akan mengakibatkan terjadinya peningkatan pembentuka cairan pleura dan berkurangnya reabsorbsi. Hal

22

tersebut berdasarkan adanya penurunan pada tekanan onkotik intravaskuler (tekanan osmotik yng dilakukan oleh protein). Luas efusi pleura yang mengancam volume pru paru, sebagian akin tergantung ats kekakuan relatif paru pru dan dinding dada. Dalam batas pernafasan normal, dinding dada cenderung rekoil ke luar sementara paru paru cenderung rekoil ke dalam (paru paru tidak dapat berkembang secara maksimal melainkan cenderung untuk mengempis). 2.2.6 Manifestasi Klinik Kebanyakan efusi pleura bersifat asimptomatik, tiombul gejala sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. Pneumonia akan menyebabkan demam, mengigil, dan nyeri dada pleuritik. Ketika sudah membesar dan menyebar, kemungkinan timbul dispnea dan batuk. Efusi pleura yang besar akan mengakibatkan nafas pendek. Tanda fisik meliputi deviasi trakea menjauhi sisi yang terkena, dullness pada perkusi dan penurunan bunyi pernafasan pada sisi yang terkena. 2.2.7 Diagnostic Test Diagnosa dapat ditegakkan secara anamnesis dan pemeriksaan fisik saja, tetapi kadang kadang sulit juga, sehingga perlu pemeriksaan tambahan seperti sinar tembus dada. Untuk diagnosis yang pasti perlu dilakukan tindakan torakosentesis dan pada beberapa kasus dilakukan biopsi pleura. 1. Sinar Tembus Dada Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan lateral lebih tinggi daripada bagian medial. Bila permukaannnya horizontal dari lateral ke medial, pasti terdapat udara dalam rongga dada tersebut yang dapat berasal dari luar atau dari dalam paru paru itu sendiri. Hal lain yang dapat terlihat dalam foto dada efusi pleura adalah terdorongnya mediastinum pada sisi yang berlawanan dengan cairan. Namun, bila terdapat atelektasis pada sisi yang bersamaan dengan cairan, mediastinum akan tetap pada tempatnya. 2. Torakosentesis

23

Aspirasi cairan pleura berguna sebagai sarana untuk diagnosis maupun teraupetik. Pelaksanaan dilakukan sebaiknya pada posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru paru di sela iga IX garis aksila posterior dengan memakai jarum Abbocath nomor 14 16. Pengeluaran cairan sebaiknya tidak lebih dari 1000 1500 cc pada setiap kali aspirasi. Aspirasi sekaligus banyak akan menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru. Edema paru terjadi karena terlalu cepat mengembang.
Tabel 2.2.7-1 Perbedaan Cairan Transudat dan Eksudat
1. Warna 2. Bekuan 3. Berat Jenis 4. Leukosit 5. Eritrosit 6. Hitung Jenis 7. Protein Lokal 8. LDH 9. Glukosa 10. Fibrinogen 11. Amilase 12. Bakteri 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Transudat Kuning, pucat, dan jernih (-) < 1018 < 1000 /Ul Sedikit MN (limfosit /mesotel) < 50% serum < 60% serum = plasma 5. 6. 7. 8. 9. 2. 3. 4. 1. Eksudat Jernih, porulen, hemoragik (-) / (+) > 1018 Bervariasi,> 1000/uL Biasanya banyak Terutama PMN > 50% serum > 60% serum = / < plasma keruh, dan

10. 0,3 4% 11. (-) 12. (-)

10. 4 6% atau lebih 11. > 50% serum 12. (-) / (+)

3. Biopsi Pleura Pemeriksaan histologist satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat menunjukkan 50 75% diagnosis kasus pleuritis tuberculosis dan tumor pleura. Bila hasil biopsy pertama tidak memuaskan dapat dialkukan biopsy ulangan. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks, dan penyebaran infeksi tumo pada dinding dada. 4. Pendekatan pada Efusi yang Tidak Terdiagnosis Pemeriksaan tambahan : a. Bronkoskopi : pada kasus kasus neoplasma, korpus alienum, dan asbes paru.

24

b. Scanning isotop : pada kasus kasus dengan emboli paru. c. Torakoskopi ( Fiber-optic pleroscopy ) : pada kasus dengan neoplasma atau TBC. 2.2.8 Penatalaksanaan Pengobatan trhadap pasien dengan efusi pleura adalah dengan mengatasi penyakit yang mendasarinya, mencegah penumpukan kembali cairan, serta untuk mengurangi ketidaknyamanan dan dispnea. 2.2.9 Diagnosa Keperawatan 1. Pola Nafas Tidak Efektif Hal tersebut dapat ditandai dengan : a. Penurunan ekspansi paru ( akumulasi dari udara / cairan ) b. Proses radang. Yang ditandai : a. Dispnea, takipnea, dan perubahan kedalaman pernafasan. b. Penggunaan otot bantu pernafasan dan nasal faring. c. Sianosis dan Analysis Blood Gases abnormal d. Perubahan pergerakan dinding dada 2. Resiko Tinggi terhadap Trauma Hal tersebut berhubungan dengan : a. Ketergantungan alat eksternal b. Proses penaykit sata ini 3. Nyeri Akut yang berhubungan dengan : a. Terangsangnya saraf intratpraks sekunder terhadap iritasi pleura. b. Inflamasi parenkim paru. 4. Kerusakan Pertukaran Gas Hal tersebut berhubungan dengan penurunan kemampuan recoil paru dan gangguan transportasi oksigen.

2.3 EDEMA PARU


2.3.1 Pengertian

25

Edema Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh. Keadaan ini sering dijumpai pada praktek klinik sehari-hari yang terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan faktor-faktor yang mengontrol perpindahan cairan tubuh, antara lain gangguan hemodinamik system kapiler yang menyebabkan retensi natrium dan air, penyakit ginjal serta perpindahannya air dari intravascular ke intestinum.Pembengkakan jaringan akibat kelebihan cairan interstisium dikenal sebagai edema. Edema Paru Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paruparu. Area yang langsung diluar pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati oleh kantong-kantong udara yang sangat kecil yang disebut alveoli. Ini adalah dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan karbon dioksida dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya dijauhkan dari alveoli kecuali dindingdindig ini kehilangan integritasnya. Pulmonary edema terjadi ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan yang merembes keluar dari pembuluhpembuluh darah dalam paru sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran gas (oksigen dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah yang buruk. Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai "air dalam paru-paru" ketika menggambarkan kondisi ini pada pasien-pasien. Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik. 2.3.2 Jenis Edema (berdasar penyebab) 1. Edema Paru Kardiogenik Penyebab-penyebab cardiogenic dari pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang buruk. Gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh fungsi pompa jantung yang buruk (datang dari beragam sebab-sebab seperti arrhythmias

26

dan penyakit-penyakit atau kelemahan dari otot jantung), serangan-serangan jantung , atau klep-klep jantung yang abnormal dapat menjurus pada akumulasi dari lebih dari jumlah darah yang biasa dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru. Ini dapat, pada gilirannya, menyebabkan cairan dari pembuluhpembuluh darah didorong keluar ke alveoli ketika tekanan membesar 2. Edema Paru Non-Kardiogenik Non-cardiogenic pulmonary edema umumnya dapat disebabkan oleh yang berikut: a. Acute respiratory distress syndrome (ARDS) kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah, trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain, atau radiasi pada paru-paru. Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah. b. Gagal ginjal Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut, dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh. c. High altitude pulmonary edema Dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet. d. Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizureseizure yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada akumulasi cairan di paru-paru, menyebabkan neurogenic pulmonary edema. e. Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan reexpansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru mengempis (pneumothorax ) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru (pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi

27

yang cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh (unilateral pulmonary edema) f. Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin menyebabkan pulmonary edema g. Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah berjalan ke paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia pada wanita-wanita hamil. 2.3.3 Faktor faktor resiko Faktor-faktor risiko untuk edema paru pada dasarnya adalah penyebabpenyebab yang mendasari kondisi. Tidak ada faktor risiko spesifik apa saja untuk pulmonary edema yang lain daripada faktor-faktor risiko untuk kondisi-kondisi kausatif (yang menyebabkan). 2.3.4 Manifestasi Klinis 1. Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema akut. 2. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea), kepeningan, atau kelemahan. 3. Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien dengan pulmonary edema. 4. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, sepeti rales atau crackles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernapas). 2.3.5 Diagnosa

28

`Edema Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan 1. Chest X-Ray X-ray dada. Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang dari dinding dada. Xray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya. Untuk mengidentifikasi penyebab dari pulmonary edema, penilaian keseluruhan dari gambar klinis pasien adalah penting. Sejarah medis dan pemeriksaan fisik yang saksama seringkali menyediakan informasi yang tidak ternilai mengenai penyebab.

Hasil chest X-Ray pada Edema 2. BNP (B-Type Natriuretic Peptide Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang mendasari dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma Btype natriuretic peptide (BNP) atau N-terminal pro-BNP. Ini adalah penanda protein (hormon) yang akan timbul dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung. Peningkatan dari BNP

29

nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari beberapa ratus (300 atau lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac pulmonary edema. Pada sisi lain, nilai-nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya menyampingkan gagal jantung sebagai penyebabnya. Metode-metode yang lebih invasif adakalanya diperlukan untuk membedakan antara cardiac dan noncardiac pulmonary edema pada situasi-situasi yang lebih rumit dan kritis. 3. Pulmonary Artery Catheter (Swan-Ganz) Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis (kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan dimajukan melalui kamar-kamar sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh darah dari paruparu). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur tekanan dalam pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure. Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic pulmonary edema, sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong noncardiogenic cause of pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-Ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU) setting. 2.3.6 Perawatan Edema Perawatan dari pulmonary edema sebagian besar tergantung pada penyebabnya dan keparahannya. Kebanyakan kasus-kasus dari cardiac pulmonary edema dirawat dengan menggunakan diuretics (pil-pil air) bersamaan dengan obat-obat lain untuk gagal jantung. Pada mayoritas dari situasi-situasi, perawatan yang tepat dapat dicapai sebagai pasien rawat jalan dengan mengkonsumsi obatobat oral. Jika pulmonary edemanya lebih parah atau ia tidak merespon pada obatobat oral, maka rawat inap dirumah sakit dan penggunaan obat-obat diuretic secara intravena mungkin diperlukan. Perawatan untuk noncardiac causes of pulmonary edema bervariasi tergantung pada penyebabnya. Contohnya, infeksi yang parah (sepsis ) perlu dirawat dengan antibiotik-antibiotik dan tindakan-

30

tindakan dukungan lain, atau gagal ginjal perlu dievaluasi dan dikendalikan dengan baik. Pemberian suplemen oksigen adakalanya perlu jika tingkat oksigen yang diukur dalam darah terlalu rendah. Pada kondisi-kondisi yang serius, seperti ARDS, menempatkan pasien pada mesin pernapasan buatan adalah perlu untuk mendukung pernapasan mereka ketika tindakan-tindakan lain diambil untuk merawat pulmonary edema dan penyebab yang mendasarinya 2.3.7 Komplikasi Kebanyakan komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih spesifik, pulmonary edema dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang dikompromikan secara parah oleh paru-paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia) dapat secara potensial menjurus pada pengantaran oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak 2.3.8 Upaya Preventif Dalam hal tindakan-tindakan pencegahan, tergantung pada penyebab dari pulmonary edema, beberapa langkah-langkah dapat diambil. Pencegahan jangka panjang dari penyakit jantung dan serangan-serangan jantung , kenaikan yang perlahan ke ketinggian-ketinggian yang tinggi, atau penghindaran dari overdosis obat dapat dipertimbangkan sebagai pencegahan. Pada sisi lain, beberapa sebabsebab mungkin tidak sepenuhnya dapat dihindari atau dicegah, seperti ARDS yang disebabkan oleh infeksi atau trauma yang berlimpahan 2.3.9 Penatalaksanaan a. Edema Paru Kardiogenik Pengobatan edema paru tergantung etiologi. Karena kondisi yang akut dan mengancam kehidupan perlu segera dilakukan tindakan untuk membantu pernafasan dan sirkulasi. Komplikasi pada edema paru yang sering terjadi seperti infeksi, asidosis, anemia dan gagal ginjal perlu segera dikoreksi. Pasien dengan edema paru kardiogenik biasanya menunjukkan beberapa gejala dari gagal jantung kiri seperti Aritmia ,Iskemi atau Infark Miokard Akut yang dapat segera diterapi sehingga dapat memperbaiki oksigenasi paru. Sebaliknya

31

pada edema paru non kardiogenik revolusi lebih lambat dan sulit, seringkali pasien memerlukan ventilasi mekanik. Pemberian oksigen yang adekuat akan menjamin pengiriman O2 ke jaringan perifer dan jantung.Pada pasien dengan oksigenasi inadekuat meskipun telah diberikan O2 membutuhkan ventilasi dengan sungkup nasal atau wajah atau pemasangan ETT.Pada kasus yang refrakter, ventilasi mekanik dapat membantu mengurangi sesak nafas.Ventilasi mekanik dengan Positive EN Expiratory Pressure(PEEp) mempunyai beberapa keuntungan pada edema paru yaitu dapat mengurangi preload dan afterload sehingga memperbaiki fungsi jantung, mendistribusikan cairan dari intraalveolar dan meningkatkan volume paru untuk menghindari atelektasis Diuretik Furosemide, bumetanide dan torasemide efektif untuk penyakit edema paru, walaupun disertai dengan adanya hipoalbumin, hiponatremi dan hipoksemi. Furosemid juga dapat berfungsi sebagai venodilatorsehingga dapat menurangi preloaddengan cepat merupakan deuritik pilihan. Dosis awal furosemide0.5mg/KgBB,tetapi bias lebih tinggi sampai 1 mg/KgBB jika diperlukan seperti pada pasien yang renal insufisiensi, pada penggunaan diuretic kronik, hipervolemia atau gagal dengan dosis yang lebih rendah. Nitrat Nitrogliserin dan isosorbid dinitrate, mempunyai fungsi utama sebagai venodilator selain juga untuk vasodilator pembuluh darah koroner.Pemberian preparat nitrai sublingual setiap 5 menit adalah terapi lini pertama untuk edema paru kardiogenik.Jika edema paru menetap tanpa hipotensi, pemberian sublingual bisa diikuti dengan pemberian nitrogliserin?nitrat IV, mulai dengan dosis 5-10 ug/men it.Nitropruside IV (0,1-5 ug/KgBB per menit) adalah vasodilator arteri dan vena yang kuat.Digunakan pada pasien edema paru dan hipertensi, tetapi tidak direkomendasikan pada keadaan perfusi arteri koroner yang kurang. Diperlukan pemantauan ketat dan titrasi dosis termasuk penggunaan cateter arteri untuk pemantauan tekanan darah secara kontinu di ICU. Morphine

32

Diberikan 2 sampai 4 mg IV bolus. Morphine adalah venodilator yang dapat mengurangi preload, menghilangkan sesak anxietas. Efek tersebut dapat mengurangi stress, menurunkan tingkat katekolamine, takikardi dan affterload ventrikel pada pasien edema paru dengan hipertensi sitemik ACE Inhibitor Ace inhibitor mengurangi preload dan afterload dan direkomendasikan pada pasien edema paru dengan hipertensi. Diawali dengan Ace inhibitor dosisi rendah dan masa kerja pendek, diikuti dengan peningkatan dosis secara bertahap. Pada infark Miokard Akut, dengan gagal jantung, Ace mengurangi angka mortalitas pada jangka pendek dan panjang. Obat-obatan lain yang mengurangi preload Recombinant BNP (nesiritide) IV sebagai vasodilator kuat yang juga mempunyai efek diuretic efektif dalam pengobatan edema paru kardiogenik. Obat tersebut hanya dipakai pada pasien yang refrakter dan tidak direkomendasikan pada keadaan ischemi atau miokard infark Obat inotropic dan inodilator Obat golongan simpatomimetik amine seperti Dopamin (2-5 ug/kgBB) dan Dobutamin (2-10 ug/kgBB) adalah inotropik kuat, diberikan untuk edema paru kardiogenik untuk memperbaiki kontraktilitas miokard, meningkatkan kardiak output dan tekanan darah. Obat inodilator seperti milrinon merangsang kontraksi miokard dan menurunkan tekanan perifer dan pulmonal. Obat ini hanya diindikasinkan pada pasien edema paru kardiogenik dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat. Digitalis Digitalis bukan lagi merupakan obat utama pada edema paru dan jarang digunakan. Digitalis hanya digunakan pasien dengan rapid atrial fibrilasi atau atrial flutter untuk mengontrol ventricular rate. Intra aortic balloon pulsation IABP diindikasikan untuk edema paru kardiogenik yang refrakter, yang disebabkan oleh Mitral regurgitasi akut atau rupture sentrum ventrikel, yang dipersiapkan untuk operasi. Cardiac resynchronization therapy

33

Pemasangan CRT diindikasikan pada kasus edema paru kardiogenik yang refrakter, disebabkan adanya disinkronisasi denyut atrial dan ventrikel seperti pada kasus LBBB, atrial fibrilasi.Dengan sinkronisasi denyut atrial dan ventrikel diharapkan ada perbaikan cardiac output dan perfusi perifer. Edema paru dapat juga terjadi karena pengeluaran cairan pleura yang terlalu cepat pada penderita pleural effusion atau pengeluaran udara dengan tekanan negative pada penderita pneumotoraks.Penurunan tekanan yang cepat menyebabkan transudasi cairan kedalam paru sehingga terjadi hipotensi dan oliguri.Pada kondisi ini diuretic dan obat vasodilator merupakan kontraindikasi, sebaliknya diperlukan penambahan cairan intravaskuler dan bantuan respirasi mekanik. b. Edema Paru Non-Kardiogenik 1. High Attitude Pulmonary Edema (HAPE) Adalah edema paru non-kardiogenik yang sering terjadi pada usia muda yang mendaki dengan ketinggian lebih dari 2500 metertanpa adaptasi terlebih dahulu. HAPE terjadi karena peningkatan tekanan arteri paru dan resistensi vaskuler paru sebagai respon terhadap hipoksia. Terapi HAPE adalah membawa pasien ke tempat yang lebih rendah secepatnya (kurang dari 48 jam dan lebih rendah dari 2500 meter), pemberian oksigen konsentrasi tinggi, bedrest serta membatasi asupan cairan. Nifedipin dapat digunakan untuk pengobatan HAPE dan juga profiklasis, tetapi hanya dipakai ketika O2 tidak tersedia atau membawa pasien ke tempat yang lebih rendah tidak memungkinkan. HAPE seringkali dapat dicegah dengan inhalasi salmaterol (beta adrenergik agonist) terutama pada individu yang rentan. Penggunaan inhalasi nitric oxide tersendiri atau kombinasi dengan O2 dapat mengurangi resistensi paru dan memperbaiki oksigenasi pada penderita HAPE 2. Edema Paru Neurogenik Manifestasi Klinis Edema Paru Kardiogenik Manifestasi dapat dicari dari keluhan, tanda fisik dan per- ubahan radiografi (foto toraks). Gambaran dapat dibagi 3 sta- dium, meskipun kenyataannya secara klinik sukar dideteksi dini.

34

1. Stadium 1.

Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi.
2. Stadium 2.

Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter- sisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja.
3. Stadium 3.

Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Per- tukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi /right-to-left intrapulmonary shunt. / Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan /acute respiratory / /acidemia. /Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati (Ingram and Braunwald, 1988). Edema Pam yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi arteriakoronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang dapat dicegah de- ngan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa dengan menghambat /cyclooxygenase /atau /cyclic nucleotide / /phosphodiesterase /akan mengurangi edema'

35

paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler; pada manusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadangkadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya normal; hal ini mungkin dise- babkan lambatnya pembersihan cairan edema secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinat lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup yang rendah seperti pada /cardiogenic shock lung /(Ingram and Brauhwald, 1986). 2.3.10 Patofisiologi Aliran Cairan Paru Gaya Starling mengatur aliran cairan paru dari ruang intravaskuler ke akstravaskuler.gerakan cairan melintasi pembuluh darah ditentukan oleh konduktansi pembuluh darah (Kf) dan gradient tekanan hidrostatik (Pmv-Pis) dan osmotic (mv-is). Kecenderungan tekanan hidrostatik dalam vaskularisasi paru (Pmv) untuk menyebabkan keluarnya aliran cairan dari pembuluh paru ke dalam intertisium paru dilawan oleh tekanan hidrostatik ekstravaskuler (Pis) dan oleh suatu fraksi perbedaan () antara tekanan koloid osmotic (COP) di dalam pembuluh darah (mv) dan interstisium (is). Tekanan akhir yang mendorong cairan keluar dari paru adalah suatu nilai positif yang kecil dalam kondisi normal, yang menyebabkan pergerakan cairan ke dalam intertisium paru dan dikeluarkan oleh saluran limfatik paru lalu kembali ke sirkulasi. Jika aliran cairan paru meningkat, akumulasi edema di dalam paru diatasi oleh peningkatan drainasi limfatik, dengan peningkatan Pis sekecil peningkatan volume edema interstisial dalam kompartemen interstisial yang kaku disekeliling pembuluh darah septal meningkatkan tekanan hidrostatik dari -10mmHg menjadi nol (0), dengan penurunan is melalui pengenceran konsentrasi protein interstisial, sebaiknya menggunakan cairab kristaloid. Walaupun factor factor tersebut cenderung menjaga paru tetap kering, factor factor tersebut belum merupakan subjek manipulasi terapi. Untuk Kf dan tertentu, determinan aliran edema yang menjadi sasaran terapi adalah Pmv.

36

Interaksi Aliran Edema dan Mekanika Ventrikel Tanpa adanya obstruksi vena pulmonalis atau katup mitral, tekanan akhir diastolic ventrikel kiri menentukan tekanan vena pulmonalis dan atrium kiri serta menetukan Pmv. Tekanan ini diperkirakan secara klinis dari tekanan anyaman kapiler pulmonalis (PEWP;pulmonary Capillary Wedge Pressure) yang diukur selama kateterisasi arteri pulmonalis. Gangguan gaya Starling yang timbul pada edema paru pada gangguan fungsi ventrikel kiri dapat dimengerti dengan mempelajari hubungan tekanan dan volume. Jantung normal terisi selama fase diastolic da terdapat sedikit sedikit peningkatan tekanan selama akomodasi volume yang besar karena kelenturan ventrikel yang tinggi. Pada akhir diastolic ventrikel berkontraksi secara isovolumetrik, dan tekanan intraventrikular naik, jika tekanan aortic terlewati, terjadi pembukaan katup aortic, dan ejeksi dimulai. Ventrikel terus berkontraksi sampai volume akhir sistolik, dan ditentukan oleh hubungan tekanan-volume akhir sistolik, yang diduga sebagai fungsi status kontraktil miokardium. Kemudian terkadi relaksasi, disertai penurunan tekanan, dan pengisian sistolik diulangi. Peningkatan volume sirkulasi, seperti pada gagal ginjal akut atau infuse intravena yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan volume dan tekanan diastolic pada pasien dengan jantung yang nirmal. Seringkali gangguan fungsi diastolikdari ventrikel kiri menyertai gangguan fungsi sistolik, seperti apa yang ditemukan selama iskemia, infark, atau afterload yang berlebihan (hipertensi malignan), atau pada kardiomiopati. Kemudian hubungan tekanan volume bergeser ke kiri, dan diperlukan tekanan yang lebih tinggi untuk mencapai volume diastolik tertentu. Karena itu, patofisiologi edema kardiogenik adalah gangguan fungsi diastolic yang menimbulkan peningkatan tekanan akhir diastolic ventrikel, peningkatan Pmv, dan peningkatan aliran cairaan paru yang menyebabkan edema paru jika jika kapasitas limfatik dilampaui. Sedah tentu, mv dapat juga mempengaruhi aliran cairan, terutama jika lambat, seperti pada sindroma nefrotik, kegagalan hati, atau malnutrisi parah lainnya; tetapi perubahan mv mempunyai pengaruh kecil pada kejadiaan dan terapi edema tekanan tinggi karena koefisien

37

refleksi normal, , adalah 0,6 sampai 0,7. Depresi fungsi sistolik menimbulkan penurunan isi sekuncup, penurunan curah jantung, dan aliran darah yang tidak adekuat ke jaringan perifer. Edema tekanan tinggi ini terlihat pada iskemia dan infark miokardium, hipertensi malignan, regurgitasi mitral (kendatipun pada gangguan fungsi katup ini, tekanan sistolik ventrikel ditransmisikan ke vaskularisasi paru), dan kardiomiopati. Kejadian lain adalah obstruksi saluran pernapasan bagian atas seperti pada epiglottis, benda asing, atau gantung diri. Pada kasus ini, penurunan nyata dari tekanan pleura selama usahainspirasi menyebabkan peningkatan tekanan transmural ventrikel kiri dan secara efektif menimbulkan afterloading ventrikel untuk meningkatkan volume akhir sistolik ventrikel kiri yang pada gilirannya diikuti peningkatan volume dan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri yang serupa dengan perubahan pada hipertensi malignan. Kontraksi isovolume kembali berlangsung, tetapi jika fungsi ventrikel kiri mengalami depresi, seperti seringkali terjadi pada edema paru kardiogenik, ejeksi sekarang berlangsung ke kurva volume tekanan akhir sistolik yang mengalami depresi, dengan akibat penurunan isi sekuncup (stroke volume)

Edema Paru Non-Kardiogenik Sebaliknya, edema tekanan rendah. atau sering disebut sebagai kebocoran kapiler paru atau fase eksudatif dari sindroma gawat pernapasan, timbul jika kerusakan alveolar difus berkaitan dengan peningkatan permeabilitas terhadap air (Kf) dan rusaknya integritas kapiler sebagai suatu membrane semipermeabel terhadap bahan osmotic serum (sebagian besar protein). cenderung kearah nol (yaitu makromolekul yang secara bebas melintas ke dalam interstisium. Jika tidak diimbangi, maka gradient tekanan hidrostatik interstisial intravascular normal dapat mendorong aliran cairan yang cukup untuk menimbulkan edema yang parah. Situasi terjadinya proses ini adalah aspirasi asam, sepsis, trauma dengan syok, cedera inhalasi, pneumonia, reinflasi paru setelah atelektasis yang lama, dan pancreatitis. Harus diingat bahwa sebagian

38

besar penelitian terhadap pasien dengan edema paru tekanan rendah mencakup banyak pasien tanpa proses pencetus yang dapat diidentifikasi. Kelompok pasien yang tiidak begitu karakteristik adalah pasien dengan edema paru setelah cedera system saraf pusat, yang disebut sebagai edema paru neurogenik (NPE.Neurogebic Pulmonary Edema). Walaupun sejumlah observasi klinis dan hewan menunjukan adanya kelainan sirkulasi dini yang menimbulkan peningkatan tekanan hidrostatik sementara yang dapat merusak vaskularisasi pulmonal sedemikian rupa sehingga menimbulkan defek permeabilitas, observasi lain menunjukan bahwa sindroma kebocoran kapiler dapat timbul tanpa perubahan vascular terkait, kendatipun perantara proses ini tidak jelas. Pertimbangan mekanisme patofisiologis dalam NPE menekankan pemikiran artificial edema tekanan tinggi atatu rendah yang murni. Kami menganggap bahwa bahwa faktor utama yang dapat diatur untuk mengubah aliran cairan paru pada semua jenis edema Pmv; tujuan terapi adalah menghindari intervensi yang meningkatkan Pmv dan menerapkan terapi untuk menurunkan Pmv tanpa mengorbankan transport oksigen sistemik. Mekanika Pernapasan dan Shunt pada Edema Tanpa memandang penyebabnya, pengaruh dari edema interstisial dan alveolar adalah menurunkan volume dan elastisitas paru. Serentak dengan efek mekanis ini, shunt intrapulmonal dengan hipoksemia timbul sebagai akibat darah vena campuran yang melintasi unit paru yang dibanjiri tanpa terjadinya pertukaran gas. Tekanan saluran pernapasan proksimal (pawo) dipetakan terhadap volume paru yang dinyatakan sebagai persen kapasitas paru total (TLC). Pada system mekanik pernapasan yang normal, inflasi paru terjadi dengan dinaikkannya Pawo di sepanjang kurva tekanan-volume representative, elastisitas ditunjukan oleh kecuraman kurva V/P. Pembanjiran dan kolap unit paru pada edema menurunkan volume gas toraks pada Pawo=0 (penurunan kapasitas residual), dan dengan berlangsungnya inflasi paru, Pawo harus lebih besar untuk setiap volume tertentu karena lebih sedikit ruang udara yang ada untuk akomodasi volume inflasi. Dengan demikian, elastisitas sangat menurun.

39

DAFTAR PUSTAKA

1. http : // www.emedicine.com/ped/topic 158.htm 2. Simon, G. Diagnostik Rontgen untuk Mahasiswa Klinik dan Dokter Umum. Edisi kedua. Jakarta : Penerbit Erlangga, 1981 : 275 3. http : // www.medicastore.com/med/detail 4. SEMA FK-UNAIR, SIE BURSA. KUMPULAN KULIAH RADIOLOGI I. Surabaya : LAB/UPF Radiologi RSUD dr. Soetomo : 20-21. 5. Harrison. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume3. Yogyakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995 : 1287

40

6. Palmer, P.E.S. Petunjuk Membaca Foto Untuk Doker Umum. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1995 : 45-50

41

Anda mungkin juga menyukai