Anda di halaman 1dari 6

A.

Latar Belakang

Imunitas atau kekebalan adalah sistem pada organisme yang bekerja melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor, sehingga tubuh bebas patogen dan aktivitas dapat berlangsung dengan baik. Selain dapat menghindarkan tubuh diserang patogen, imunitas juga dapat menyebabkan penyakit, diantaranya hipersensitivitas dan autoimun. Hipersensitivitas adalah respon imun yang merusak jaringan tubuh sendiri. Histamin adalah zat yang muncul secara alami dalam tubuh, dimana berperanan dalam pertahanan tubuh melawan protein asing. Pengaruhnya terhadap asma dijelaskan pada akhir 1920-an, ketika ditunjukkan serangan seperti asma yang tercetus suntikan histamin pada pasien-pasien asma. Pada 1946, Curry menunjukkan bahwa histamin yang terhirup menyebabkan penurunan kapasitas vital pasien-pasien asma. Setelah penemuan ini terdapat berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa sensitivitas pasien asma yang menghirup histamin berhubungan dengan keparahan gejala-gejalanya dan dengan kebutuhan obat serta memberikan saran bahwa sensitivitas ini dapat dipakai sebagai ukuran derajat keparahan asma. Sejak 1970-an, tes inhalasi histamin telah diterima secara luas untuk penilaian asma dan beberapa metode telah diterangkan dan distandarisasi. Histamin adalah senyawa jenis amin yang terlibat dalam tanggapan imun lokal, selain itu senyawa ini juga berperan dalam pengaturan fungsi fisiologis di lambung dan sebagai neurotransmitter. Sebagai tanggapan tubuh terhadap patogen, maka tubuh memproduksi histamin di dalam basofil dan sel mast, dengan adanya histamin maka terjadi peningkatan permeabilitas kapiler-kapiler terhadap sel darah putih dan protein lainnya. Hal ini akan mempermudah sel darah putih dalam memerangi infeksi di jaringan tersebut. Histamin bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor histamin di sel. Ada 4 jenis reseptor histamin yang telah diidentifikasi, yakni: Reseptor Histamin H1 Reseptor ini ditemukan di jaringan otot, endotelium, dan sistem syaraf pusat. Bila histamin berikatan dengan reseptor ini, maka akan mengakibatkan vasodilasi, bronkokonstriksi, nyeri, gatal pada kulit. Reseptor ini adalah reseptor histamin yang paling bertanggungjawab terhadap gejala alergi. Reseptor Histamin H2 Ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah meningkatkan sekresi asam lambung.

Reseptor Histamin H3 Bila aktif, maka akan menyebabkan penurunan penglepasan neurotransmitter, seperti histamin, asetilkolin, norepinefrin, dan serotonin. Reseptor Histamin H4 Paling banyak terdapat di sel basofil dan sumsum tulang. Juga ditemukan di kelenjar timus, usus halus, limfa, dan usus besar. Perannya sampai saat ini belum banyak diketahui. Beberapa fungsi pengaturan di dalam tubuh juga telah ditemukan berkaitan erat dengan kehadiran histamin. Histamin dilepaskan sebagai neurotransmitter. Aksi penghambatan reseptor histamin H1 (antihistamin H1) menyebabkan mengantuk. Selain itu ditemukan pula bahwa histamin juga dilepaskan oleh sel-sel mast di organ genital pada saat terjadi orgasme. Pasien penderita schizophrenia ternyata memiliki kadar histamin yang rendah dalam darahnya. Hal ini mungkin disebabkan karena efek samping dari obat antipsikotik yang berefek samping merugikan bagi histamin, contohnya quetiapine. Ditemukan pula bahwa ketika kadar histamin kembali normal, maka kesehatan pasien penderita schizophrenia tersebut juga ikut membaik.

Uji Provokasi Obat

Cara terbaik untuk membuktikan apakah seseorang alergi tehadap obat tertentu adalah dengan memberikan kembali obat tersebut untuk melihat kemungkinan timbulnya reaksi alergi yang serupa, yang dikenal sebagai uji provokasi obat.

Uji provokasi obat dapat dilakukan dengan cara uji tempel (patch test), atau dengan pemberian ulang obat yang dicurigai (rechallenge test) yang sehari-hari disebut sebagai uji provokasi obat.

Uji provokasi obat, yang dalam kepustakaan disebut rechallenge test, adalah pemberian kembali obat yang sudah dihentikan beberapa waktu.

Masa penghentian ini harus cukup untuk eliminasi komplit. Karena sulit untuk menentukan eliminasi total maka ada penulis yang menganjurkan untuk menghentikan obat sampai selama 5 kali masa paruh obat tersebut.

Uji provokasi dikatakan positif bila reaksi yang timbul sama dengan gejala dan tanda seperti pada pemberian obat sebelumnya, pada saat dicurigai alergi obat. Bila tidak terjadi reaksi, atau reaksi yang timbul tidak sama dan tidak berhubungan dengan gejala dan tanda alergi, maka uji provokasi dikatakan negatif. Bila reaksi yang timbul tidak sama tetapi diperkirakan sebagai gejala prodromal alergi obat maka hasil uji provokasi dikatakan sugestif.

a. Prosedur Tes Inhalasi Setelah pengukuran fungsi spirometri dasar, tes inhalasi mulai dengan dua puff larutan saline. Inhalasi saline digunakan untuk mengajari pasien tentang teknik inhalasi dan mengeksklusi kemungkinan respon tidak spesifik atas usaha inhalasi atau ekshalasi. Pasien meniup hingga dibawah kapasitas residu fungsional, nebuliser diletakkan dekat dengan mulut pasien sementara pasien menghirup melalui mulut hingga kapasitas paru-paru total dengan mulut yang terbuka lebar. Pada awal inspirasi, operator memberikan satu remasan kuat bulb dari nebuliser. Setelah satu tahanan napas ringan, 3-5 detik, pasien menghembuskan hingga sedikit dibawah kapasitas residu fungsional dan prosedur diulangi dua kali. Setiap puff diberikan secara terpisah, napas berturutan. Tes inhalasi dilakukan sesuai dengan jadwal dosis yang diperlihatkan pada tabel 2. Dosis dimasukkan sesuai dengan yang dijelaskan diatas. Masingmasing dosis sebaiknya diberikan dalam rentang waktu 3 menit dari dosis sebelumnya dan fungsi spirometri diukur satu menit setelah masing-masing dosis. Jika VEP1 yang terekam pertama kali telah cukup memuaskan dan juga mencakup 100 ml dari pengukuran pasca saline, maka dosis berikutnya segera diberikan. Jika VEP1 terlihat menurun, pengukuran diulangi hingga tercapainya dua nilai yang dapat direproduksi dalam 100 ml dan yang tertinggi dari kedua nilai ini direkam. Pada beberapa pasien-pasien asma, histamin dapat menyebabkan perubahan ukuran saluran udara dari napas ke napas, sehingga nilai yang mampu reproduksi untuk VEP1 bisa jadi bukanlah nilai yang tertinggi dicapai. Lebih baik nilai mampu reproduksi yang direkam daripada nilai yang tertinggi. Provokasi dihentikan apabila volume ekspirasi paksa (VEP1) turun hingga 20 % atau lebih dari nilai pasca saline atau ketika dosis tertinggi telah diberikan. Apabila VEP1 turun hingga lebih dari 10 % pada dosis terakhir suatu aerosol bronchodilator, biasanya 200 ug salbutamol, diberikan untuk membantu pemulihan dan responnya dinilai 10 menit kemudian. Pasien sebaiknya tidak meninggalkan tempat provokasi hingga bronkokonstriksi telah kembali dan VEP1 telah kembali 90% nilai garis dasar. b. Tindak Pencegahan Keselamatan

Tes ini memiliki tingkat keamanan yang sangat baik. Sejak penggunaannya di tahun 1980, telah dilakukan lebih dari 15.000 tes, sebagai uji diagnosis rutin, penelitian uji klinis dan

studi epidemiologi pada dewasa dan anak, tanpa satupun laporan efek samping yang bermakna. Walaupun demikian, beberapa tindakan pencegahan keselamatan dianjurkan. Aerosol bronkodilator, lebih dipilih yang menggunakan alat pengatur jarak, harus tersedia untuk penggunaan segera oleh setiap operator. Sebagai tambahan, tabung oksigen atau sumber oksigen lainnya, dengan sungkup wajah nebuliser dan larutan bronkodilator, harus tersedia di ruangan yang sama dimana tes inhalasi dikerjakan. Akses yang cepat pada dokter, perawat atau staf lainnya yang bisa memberikan pertolongan pertama haruslah tersedia bila dibutuhkan. c. Efek samping Histamin, ketika diberikan dalam dosis tertinggi 7,8 mol, pada sebagian kecil pasien (3-5%) menimbulkan suara serak yang bisa bertahan hingga 1-2 jam sebelum hilang dengan sendirinya. Histamin tidak diketahui dapat mengakibatkan suatu penundaan dalam peningkatan gejala atau pada derajat keparahan asma ketika respons segeranya telah hilang. d. Kontraindikasi / Eksklusi Pasien

1. Kontraindikasi Kontraindikasi absolut


Pembatasan arus udara yang berat pada garis dasar (VEP1 < 1,2 L pada dewasa) Baru- baru saja miokard infark (kurang dari 3 bulan) Baru saja kecelakaan serebral (kurang dari 3 bulan) Aneurisma arteri Tidakmampu memahami prosedur dan maksud dari tes inhalasi

Kontraindikasi relatif (boleh dikerjakan selama dalam pengawasan dokter yang berwenang)

Pembatasan arus udara yang diinduksi spirometri Pembatasan arus udara yang sedang hingga berat (VEP1 < 50% yang diprediksi normal) Sedang eksaserbasi asma Terdiagnosis hipertensi Hamil Epilepsi yang butuh pengobatan Bronkodilator aerosol pada penggunaan 6 jam sebelumnya

Long acting bronchodilator aerosol pada penggunaan 36 jam sebelumnya Bronchodilator oral pada penggunaan 12 jam sebelumnya Antihistamin pada penggunaan 48 jam sebelumnya Antikolinergik pada penggunaan 6 jam sebelumnya

Daftar Pustaka Farmakologi dan terapi FKUI. Ed. 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI,2009 www.Jacinetwork.org

LAPORAN TUGAS MANDIRI UJI PROVOKASI HISTAMIN

KELOMPOK 5 Annisa Ramlis Annisa Ul Hasanah Arriza Julia Paulina Dede Yolla Maulidya Dwipa Dhurandhara Elvicha Nurman Savitri Fika Maulidah Lisa Giovany Muchlis Mutia Umara Nisa Mahdiatara Rima Ayu Lestari Dedy Purnama Nurhafizah Ridha Trescova Ja Rikha Vebrianti Rissa Oktavia Almita

Anda mungkin juga menyukai