Anda di halaman 1dari 36

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Definisi Otonomi Daerah


Pengertian "otonom" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah".Secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Dan pengertian lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya. Otonomi daerah menurut UU No.32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara itu daerah otonom dalam UU No. 32 tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 dijelaskan selanjutnya yang disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas

wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan, ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi. Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.

Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi

Dalam otonomi daerah ada prinsip desentralisasi, dekonsentrasi dan pembantuan yang dijelaskan dalam UU No.32 tahun 2004 sebagai berikut: 1. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah

kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerinta kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. 3. Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau

desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

2.2. Latar Belakang Otonomi Daerah


Otonomi daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang sangat kuat di masa orde baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak membawa perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakat daerah. Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat tinggi sehingga sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah saat itu. Di masa orde baru semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta uang ke Jakarta. Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak mencukupi. Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan tidak bisa cepat bangkit, menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia gagal dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah secara berlebih-lebihan. Semua pejabat Jakarta sibuk melakukan perjalanan dan mengurusi proyek di daerah. Dari proyek yang ada ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang kembali ke Jakarta dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan proyek yang keuntungan itu dinikmati ke Jakarta lagi. Terjadi penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan kebijakan untuk

Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi

mengambil hutang secara terus menerus. Akibat perilaku buruk aparat pemerintah pusat ini, disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen dari APBN. Akibat lebih jauh dari terlalu sibuk mengurusi proyek di daerah, membuat pejabat di pemerintahan nasional tidak ada waktu untuk belajar tentang situasi global, tentang international relation, international economy dan international finance. Mereka terlalu sibuk menggunakan waktu dan energinya untuk mengurus masalah-masalah domestik yang seharusnya bisa diurus pemerintah daerah. Akibatnya mereka tidak bisa mengatasi masalah ketika krisis ekonomi datang dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sentralisasi yang sangat kuat telah berdampak pada ketiadaan kreativitas daerah karena ketiadaan kewenangan dan uang yang cukup. Semua dipusatkan di Jakarta untuk diurus. Kebijakan ini telah mematikan kemampuan prakarsa dan daya kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakatnya. Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat yang sangat besar. Bisa dikatakan sentralisasi is absolutely bad. Dan otonomi daerah adalah jawaban terhadap persoalan sentralisasi yang terlalu kuat di masa orde baru. Caranya adalah mengalihkan kewenangan ke daerah. Ini berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah ada sebelum Republik Indonesia (RI) berdiri. Jadi ketika RI dibentuk tidak ada kevakuman pemerintah daerah. Karena itu, ketika RI diumumkan di Jakarta, daerah-daerah mengumumkan persetujuan dan dukungannya. Misalnya pemerintahan di Jakarta, sulawesi, sumatera dan Kalimantan mendukung. Itu menjadi bukti bahwa pemerintahan daerah sudah ada sebelumnya. Prinsipnya, daerah itu bukan bentukan pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum RI berdiri. Karena itu, pada dasarnya kewenangan pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali yang dikuatkan oleh UUD menjadi kewenangan nasional. Semua yang bukan kewenangan pemerintah pusat, asumsinya menjadi kewenangan pemerintah daerah. Maka, tidak ada penyerahan kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi daerah. Tapi, pengakuan kewenangan. Lahirnya reformasi tahun 1997 akibat ambruknya ekonomi Indonesia dengan tuntutan demokratisasi telah membawa perubahan pada kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 3

pola hubungan pusat daerah. Tahun 1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5 Tahun 1974 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan dan perkembangan keadaan. Kedua Undang-Undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan mulai tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan pola hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah. Undang-Undang Otonomi Daerah bertujuan untuk memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong daerah merealisasikan aspirasinya dengan memberikan kewenangan yang luas yang sebelumnya tidak diberikan ketika masa orde baru. Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Diharapkan dengan adanya kewenangan di pemerintah daerah maka akan membuat proses pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan yang signifikan. Prakarsa dan kreativitasnya terpacu karena telah diberikan kewenangan untuk mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat tidak lagi terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik. Ini agar pusat bisa lebih berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro strategis serta lebih punya waktu untuk mempelajari, memahami, merespons, berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya.

2.3. Prinsip Otonomi Daerah


Otonomi daerah diselenggarakan untuk menterjemahkan gagasan desentralisasi sebagai kritik atas kuatnya sentralisasi yang diselenggarakan pada masa pemerintahan rezim Soeharto. Desentralisasi dipilih sebab ia memiliki kelebihan dibanding sentralisasi negara yang melahirkan problem bernegara.
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 4

Melalui reformasi, otonomi daerah menjadi kebijakan yang dibuat untuk bisa membangun tata kelola baru yang lebih baik dibanding masa sebelumnya. Otonomi daerah memiliki prinsip-prinsip yang harus ada untuk bisa mencapai tujuan. Prinsip itu adalah: Adanya pemberian kewenangan dan hak kepada pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri Dalam menjalankan wewenang dan hak mengurus rumah tangganya, daerah tidak dapat menjalankan di luar batas-batas wilayahnya Penyelenggaraan otonomi daerah harus dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, pelayanan yang prima, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemampuan daerah dan dilaksanakan secara bertanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakat. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksi yang utama yakni politik, ekonomi serta sosial dan budaya. a. Bidang politik. Otonomi daerah adalah sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban publik. Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintah yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan yang efektif. b. Bidang ekonomi. Otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah sekaligus terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 5

di daerahnya. Dalam konteks ini, otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi untuk masyarakat daerah c. Bidang sosial budaya Otonomi daerah digunakan untuk menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat merespons dinamika kehidupan masyarakat.

2.4. Permasalahan Otonomi Daerah


Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah. Ia melahirkan banyak persoalan ketika diterjemahkan di lapangan. Adapun tiga masalah yang mendasar yang dihadapi PEMDA dalam menyelenggarakan daerah otonominya antara lain : 1. Masalah keamanan, di mana sangat sensititif dalam bagi pihak investor untuk investasi di daerah otonom tersebut dengan menilai secara ekonomis untung-rugi, seperti contoh jika daerah tersebut rawan dengan tindakan kriminal/pidana, tindakan anarkis berbau sara di dalam masyarakat didaerahnya sudah sangat jelas, tentunya pihak investor ragu-ragu untuk menginvestasikan modalnya di daerah tersebut. 2. Ketakutan yang menjadi mimpi buruk bagi pihak investor adalah lemahnya implementasi otonomi daerah akibat adanya pemaknaan ganda. 3. Penyakit baru dalam dunia iklim investasi yang terakululasi dengan penyakit lama seperti lemahnya penegakkan supremasi hukum, KKN yang menyebar keseluruhan daerah otonomi serta administrasi yang tidak efisien Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai. Beberapa persoalan itu adalah:

Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi

a) Kewenangan yang tumpang tindih Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi. b) Anggaran Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat

pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat. c) Pelayanan Publik Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala mengedepankan Putra Asli Daerah untuk menduduki jabatan strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan. d) Politik Identitas Diri Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang bernuansa etnis
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 7

e) Orientasi Kekuasaan Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti putra daerah dalam pemilihan kepala daerah. f) Lembaga Perwakilan Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah. g) Pemekaran Wilayah Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan. h) Pilkada Langsung Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 8

uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.

2.5. Pokok - Pokok Penyelenggaraan Otonomi Daerah


Penyelenggaraan otonomi daerah diharapkan bisa memacu prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah untuk bisa menjalankan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diperlukan keseriusan agar kebijakan ini bisa berhasil dijalankan. Pokok-pokok penyelenggaraan otonomi daerah meliputi: Penyerahan kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah. Kecuali untuk bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan serta beberapa bidang kebijakan pemerintahan yang bersifat strategis nasional, maka pada dasarnya semua bidang pemerintahan yang lain dapat didesentralisasikan. Dalam otonomi pemerintahan daerah terbagi atas dua ruang lingkup, bukan tingkatan, yaitu daerah kabupaten dan kota yang diberi status otonomi penuh dan propinsi yang diberi otonomi terbatas. Otonomi penuh berarti tidak adanya operasi pemerintahan pusat di daerah kabupaten dan kota, kecuali untuk bidang-bidang yang dikecualikan tadi. Otonomi terbatas berarti adanya ruang yang tersedia bagi pemerintah pusat untuk melakukan operasi di daerah propinsi. Gubernur propinsi, selain berstatus kepala daerah otonom, juga sebagai wakil pemerintah pusat. Karena sistem otonomi tidak bertingkat (tidak ada hubungan hierarki antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota), maka hubungan provinsi dan kabupaten bersifat koordinatif, pembinaan dan pengawasan. Sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur mengkoordinasikan tugas-tugas

pemerintahan antar kabupaten dan kota di wilayahnya. Gubernur juga melakukan supervisi terhadap pemerintah kabupaten/kota atas pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah pusat serta bertanggung jawab mengawasi penyelenggaraan pemerintah berdasarkan otnomi daerah di dalam wilayahnya. Adanya penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah. Otonomi daerah memberi kewenangan untuk mempertegas DPRD dalam menilai keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah. Selain itu untuk
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 9

memfungsikan peran pemberdayaan dan penyalur aspirasi masyarakat yang sebenarnya. Peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pelayanaan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan setara dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah serta lebih responsif dengan kebutuhan daerah. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang jelas atas sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue dari sumber penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi, serta tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah. Perwujudan desentralisasi fiskal melalui pembesaran alokasi subsidi dari pemerintah pusat yang bersifat block grant, pengatura pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan, serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembagalembaga swadaya pembangunan yang ada. Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang bersifat kondusif terhadap uapaya memelihara harmoni sosial dan solidaritas sosial suatu bangsa. Dalam otonomi daerah, ada pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah yang diatur menurut UU No.32 tahun 2004. Pembagian wewenang itu meliputi: 1. Kewewenangan pemerintah pusat (Pasal 10 ayat 3) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. Keamanan; d. Yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama; 2. Kewenangan Pemerintah Provinsi meliputi (Pasal 13 ayat 1 UU. No. 32 Tahun 2004): a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 10

e. Penanganan bidang kesehatan; f. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; g. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; j. Pengendalian lingkungan hidup; k. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; o. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota ; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

3. Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota (Pasal 14 ayat 1, UU No. 32 Tahun 2004) a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; d. Penyediaan sarana dan prasarana umum; e. Penanganan bidang kesehatan; f. Penyelenggaraan pendidikan; g. Penanggulangan masalah sosial; h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j. Pengendalian lingkungan hidup; k. Pelayanan pertanahan;

2.6. Monitoring Keuangan Daerah


1. Monitoring Monitoring merupakan suatu rangkaian aktivitas yang dilakukan untuk mengawasi atau memantau proses dan perkembangan pelaksanaan suatu program/kegiatan. Fokus monitoring adalah untuk mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan suatu kegiatan, bukan pada
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 11

hasilnya. Lebih spesifiknya, fokus monitoring adalah pada komponen proses pelaksanaan program/kegiatan yang menyangkut proses pengambilan keputusan, prosedur yang harus dilalui, dokumen-dokumen yang dihasilkan, waktu pelaksanaan dan pihak-pihak yang harus terlibat pada setiap proses kegiatan dan lain sebagainya. Monitoring dilakukan untuk maksud mengetahui apakah kegiatan berjalan sesuai aturan, apa hambatan yang terjadi dan bagaimana cara mengatasi masalah tersebut. Dengan kata lain monitoring menekankan pada pemantauan proses pelaksanaan kegiatan. Hasil monitoring digunakan sebagai umpan balik untuk penyempurnaan kegiatan atau memperbaiki suatu sistem. Secara umum, pengertian dasar Monitoring mencakup:

Suatu penilaian yang dilaksanakan terus menerus (berkelanjutan) dalam suatu kegiatan untuk program tertentu.

Mengecek & mencatat keadaan yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan yang sedang berlangsung

Melihat perkembangan sesuatu kegiatan yang sedang berjalan

2. Keuangan daerah Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan daerah ada berbagai aspek. Aspek-aspek tersebut adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan.

Dari sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan daerah meliputi semua hak dan Daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Dari sisi subyek yang dimaksud dengan keuangan daerah meliputi seluruh obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Daerah, Perusahaan Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan daerah.

Dari sisi proses, keuangan daerah mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 12

perumusan

kebijakan

dan

pengambilan

keputusan

sampai

dengan

pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, keuangan daerah meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam panduan praktis ini, rumusan yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah dari sisi proses, yakni seluruh rangkaian kegiatan pengelolaan keuangan daerah yang dimulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Masyarakat pada umumnya lebih mengenal pengelolaan keuangan daerah istilah APBD. Adapun pengertian dari APBD itu adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.

3. Monitoring keuangan daerah Dengan menyimak pengertian dan batasan tentang monitoring dan keuangan daerah, maka yang dimaksud dengan monitoring keuangan daerah adalah serangkaian usaha yang dilakukan untuk menilai proses pengelolaan keuangan daerah, yang dimulai dari

perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban, dengan mengecek dan mencatat berbagai keadaan dan melihat perkembangan yang ada di lapangan. 4. Menyusun sistem monitoring keuangan daerah Pengertian menyusun sistem monitoring keuangan derah adalah membuat instrumen yang berisikan tool-tool yang akan memandu atau membantu usaha monitoring keuangan daerah. Dengan instrumen tersebut proses pengelolaan keuangan daerah bisa diamati dan dinilai dengan cara-cara praktis dan sederhana. Tujuan

Upaya melakukan serangkaian kegiatan monitoring keuangan daerah tidak lepas dari tujuantujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut meliputi: (1) tujuan utama (goal), dan (2) tujuan khusus.

Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi

13

Tujuan Umum Tujuan umum (goal) dari monitoring keuangan daerah adalah terciptanya tata kelola pemerintahan yang good governance. Pengertian good governance disini adalah

penyelenggaraan pemerintahan yang menjalankan prinsip-prinsip seperti: Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat mutlak diperlukan agar penyelenggara pemerintahan dapat mengenal lebih dekat siapa masyarakat dan warganya berikut cara pikir dan kebiasaan hidupnya, masalah yang dihadapinya, cara atau jalan keluar yang disarankannya, apa yang dapat disumbangkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi, dan sebagainya. Transparansi Semua urusan tata pemerintahan berupa kebijakan-kebijakan publik baik yang berkenaan dengan pelayanan publik maupun pembangunan di daerah harus diketahui publik. Isi keputusan dan alasan pengambilan kebijakan publik harus dapat diakses oleh publik dan harus diumumkan agar pendapat tanggapan publik. Demikian pula informasi tentang kegiatan pelaksanaan kebijakan tersebut dan hasil-hasilnya harus terbuka dan dapat diakses publik. Tegaknya Supremasi Hukum Wujud nyata dari prinsip supremasi hukum antara lain mencakup upaya pembentukan peraturan perundangan, pemberdayaan lembaga-lembaga penegak hukum, penuntasan kasus KKN dan pelanggaran HAM, peningkatan kesadaran hukum dan

pengembangan budaya hukum. Akuntabilitas Penerapan prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan diawali pada saat penyusunan program pelayanan publik dan pembangunan (program

accountability), pembiayaannya (fiscal accountability), pelaksanaan, pemantauan dan penilaiannya (process accountability) sehingga program tersebut dapat memberikan hasil atau dampak seoptimal mungkin sesuai dengan sasaran atau tujuan yang ditetapkan (outcome accountability). Peduli pada Stakeholder Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 14

Berorientasi pada Konsensus Perumusan kebijakan tentang pelayanan publik dan pembangunan di pusat dan daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif. Keputusan-keputusan yang diambil, baik oleh lembaga eksekutif maupun legislatif, dan keputusan antara kedua lembaga tersebut harus didasarkan pada konsensus agar setiap kebijakan publik yang diambil benar-benar merupakan keputusan bersama. Kesetaraan Semua komponen masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. Efektifitas dan Efisiensi Agar dapat meningkatkan kinerja tata pemerintahan dibutuhkan dukungan struktur yang tepat. Di samping itu, pemerintahan yang ada juga harus selalu berupaya mencapai hasil yang optimal dengan memanfaatkan dana dan sumber daya lainnya yang tersedia secara efisien. Dalam konteks ini, harus ada upaya untuk selalu menilai tingkat efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya yang tersedia. Visi Strategis Semua kegiatan pemerintahan berupa pelayanan publik dan pembangunan di berbagai bidang seharusnya didasarkan pada visi dan misi tertentu disertai strategi implementasi yang jelas.

Tujuan Khusus

a. Sesuai aturan Pengelolaan keuangan daerah telah diatur dengan berbagai peraturan mulai dari undang-undang, keputusan presiden (kepres), peraturan pemerintah (PP) dan

keputusan mentri dalam negeri (kepmendagri). Pada prakteknya sejauh mana proses pengelolaan keuangan daerah telah merujuk pada aturan-aturan tersebut diatas. b. Transparan Transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan telah menjadi tuntutan masyarakat luas dan keberadaannya sudah didukung oleh payung hukum. Dalam kontek

pengelolaan keuangan daerah, sudah sejauh mana hal itu berjalan secara transparan. c. Partisipatif Tuntutan partisipasi dalam proses pengelolaan keuangan daerah sudah menjadi kecenderungan umum masyarakat. Keberadaannya juga sudah dipayungi oleh payung
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 15

hukum. Dalam monitoring keuangan daerah ini sudah sejauh mana pengelolaan keuangan daerah melibatkan partisipasi aktiv masyarakat. Sasaran

Sasaran monitoring keuangan daerah ini adalah sebagai berikut:

Untuk memperbaiki prosedur pengelolaan keuangan daerah agar sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.

Untuk meningkatkan kapasitas dan pemahaman dari orang-orang yang terlibat dalam proses pengelolaan keuangan daerah.

Untuk menyediakan informasi bagi berbagai pihak yang membutuhkan pengelolaan keuangan daerah

Untuk mendorong transparansi dan partisipasi masyarakat pada seluruh proses pengelolaan keuangan daerah

5. Waktu Monitorng Idealnya pelaksanaan monitoring dilaksanakan pada seluruh proses pengelolaan keuangan daerah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Bila hal itu tidak memungkinkan, pelaksanaan monitoring dapat dilakukan pada tahap manapun dengan mengikuti panduan yang ada. Melalui panduan ini, proses pengelolaan keuangan daerah yang sudah lewat dapat dilacak dinamikanya sehingga keberadaannya juga bisa diukur. 6. Pelaksana Monitoring Secara umum instrumen monitoring ini disusun sebagai sarana bantu pengawasan masyarakat terhadap pemerintah daerah, utamanya dalam hal pengelolaan keuangan daerah. Namun yang lebih utama sistem monitoring keuangan daerah ini di laksanakan untuk kelompok strategis masyarakat seperti:

NGO Selama ini NGO, utamanya NGO antikorupsi adalah kelompok masyarakat yang paling progresif dalam melakukan pengawasan dan advokasi terhadap tindak penyimpangan dilingkungan pemerintahan.

Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi

16

Jurnalis Sudah menjadi kebutuhan bagi Media massa untuk menjebatani komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian kalangan media sangat butuh informasi aktual seputar penyelenggaraan pemerintahan. Instrumen monitoring ini akan bermanfaat bagi media untuk turut memantau proses keuangan daerah sebagai sarana mempertajam bahan berita.

Aktivis mahasiswa Mahasiswa merupakan lapisan generasi muda yang paling potensial dan progresif dalam menyuarakan isyu-isyu penyimpangan dan ketidakadilan, utamanya yang dilakukan oleh pemerintahan. Bila gerak progresif tersebut didukung oleh instrumen yang memadai akan memberikan bobot tersendiri.

7. Obyek dan Subyek yang dimonitor

Obyek yang dimonitor Obyek yang akan menjadi sasaran dalam monitoring keuangan daerah ini meliputi prosedur proses pengelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan, implementasi dan pertanggungjawaban. Termasuk dalam obyek yang dimonitor disini berkenaan dengan waktu kegiatan dan dokumen-dokumen resmi yang dihasilkan.

Subyek yang dimonitor Sasaran dari subyek yang dimonitor dalam buku panduan monitoring ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengelolaan keuangan daerah. Pihak-pihak tersebut adalah anggota:legislatif, aparat pemerintah daerah dan unsur-unsur masyarakat yang terlibat dalam proses pengelolaan keuangan daerah.

8. Instrumen monitoring

Lembar monitoring

Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi

17

Lembar monitoring berbentuk formulir pengisian untuk memandu melakukan pemantauan dilapangan. Pelaksana monitoring dengan bantuan formulir tersebut tinggal melakukan verifikasi dilapangan dengan memastikan apakah seluruh proses pengelolaan keuangan daerah berjalan sesuai dengan aturan, transparan dan partisipatif.

Penilaian hasil Hasil dari pengisian formulir selanjutnya dilakukan penilaian yang sifatnya kuantatif maupun kualitatif. Kuantitatif adalah jenis penilaian dengan menggunakan skor.

Sedangkan kualitatif adalah jenis penilaian yang sifatnya deskriptif.

9. Manfaat yang diharapkan dari Monitoring

Pemerintahan daerah Bagi pemerintahan daerah monitoring keuangan daerah dapat dimanfaatkan sebagai alat koreksi dari pelaksanaan kebijakan, sistem. meningkatkan kinerja dan memperbaiki

Masyarakat pemantau Sistem monitroing yang menyertakan peta proses pengelolaan keuangan daerah ini diharapkan mampu menambah bobot para aktivis dalam melakukan advokasi. Dengan instrumen pemantauan rinci sejak di perencanaan hingga

pertanggungjawaban akan menambah jumlah (kualitas dan kuantitas) masalah yang akan didesakkan oleh para aktivis dilapangan. Selain itu, pemantauan dengan sistem monitoring ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mendeteksi masalah secara dini. 10. Dampak yang diharapkan dari Monitoring

Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi

18

Dampak bagi Pelaksana monitoring

a. Peningkatan kapasitas Dengan intrumen monitoring ini diharapkan berdampak pada peningkatan pengetahuan pelaksana monitoring utamanya berkenaan dengan proses-proses dalam pengelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pertanggungjawaban. b. Keterlibatan yang lebih luas Dengan instrumen monitoring yang sederhana dan relatif mudah dikerjakan, diharapkan berdampak pada keterlibatan komponen masyarakat yang lebih luas untuk menjadi pelaksana monitoring.

Dampak bagi Subyek yang dimonitor

a. Mawas diri aparat Dampak yang diharapkan dari monitoring keuangan daerah ini akan menimbulkan rasa mawas diri aparat dan tidak gegabah dalam melakukan tindakan penyimpangan pada tiap proses pengelolaan keuangan daerah. b. Peningkatan kapasitas Oleh karena sistem monitoring ini menggunakan instrumen yang relatif detail dalam memantau proses, diharapkan aparat pemerintah daerah akan semakin jeli dalam mengelola proses dan berusaha meningkatkan kapasitas diri. c. Komitmen pada aturan Seluruh indikator dalam instrumen monitoring ini merujuk sepenuhnya pada aturanaturan yang berlaku. Pada kondisi demikian diharapkan kegiatan monitoring ini berdampak pada kepatuhan aparat dalam mengikuti aturan-aturan yang berlaku.
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 19

Dampak terhadap sistem

a. Perbaikan sistem Usaha monitoring yang dilakukan secara terus menerus dengan perangkat yang dapat memantau seluruh proses pengelolaan keuangan daerah diharapkan dapat berdampak pada perbaikan sistem pengelolaan keuangan di daerah. Perbaikan yang dimaksud mencakup dua hal: b. Menekan korupsi dan penyimpangan Dampak yang paling penting diharapkan dari usaha monitoring keuangan daerah ini adalah mendeteksi sejak dini gejala penyimpangan yang gejala itu kemudian disuarakan kepublik sehingga berbagai upaya penyimpangan menjadi tereliminasi.

2.7. SISTEM DAN METODOLOGI MONITORING 1. Komponen dan Indikator a. Komponen Secara umum, monitoring keuangan daerah mencakup 3 komponen utama, yaitu: Taat aturan tata kelola, transpransi dan partisipasi publik. Ketiga komponen tersebut diturunkan dari tiga prinsip utama Good governance yakni Supremasi hukum, transparansi dan partisipasi. Adapun batasan-batasan dalam komponen diatas adalah sebagai berikut: Taat aturan tata kelola Segala kegiatan pengelolaan keuangan daerah yang berjalan beserta seluruh aspekaspek yang melingkupinya merujuk pada Transparan Mekanisme akses publik yang diberikan pemerintah berkenaan dengan seluruh proses pemerintahan, khususnya dalam pengelolaan keuangan daerah. aturan yang telah ditetapkan

Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi

20

Partisipasi Keterlibatan masyarakat dalam proses pengelolaan keuangan daerah.

Pilihan terhadap komponen monitoring dari tiga prinsip utama Good Governance didasari pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: Pertama, terlalu besar dan luas

cakupannya bila komponen itu diturunkan dari seluruh prinsip-prinsip good governance. Luasnya cakupan akan cenderung membuat monitoring kurang fokus. Kedua, pilihan prinsip utama good governance yang menjadi komponen dalam monitoring ini merupakan unsur fundamental dalam mewujudkan good governance. Tiga prinsip utama good governance sebagai disebutkan diatas, bila berjalan semua akan mempengaruhi prinsip-prinsip lainya. Ketiga, adanya berbagai keterbatasan dalam penyusunan sistem monitoring baik dari segi waktu, dana dan SDM sehingga membatasi komponen ruang lingkup dalam monitoring menjadi tidak dapat dihindari. b. Indikator Komponen monitoring sebagaimana disebutkan diatas belum dapat dijadikan alat untuk menilai atau mengukur suatu proses kegiatan. Komponen tersebut harus diterjemahkan kedalam indikator-indikator yang lebih operasional. Perumusan indikator tersebut adalah sebagai berikut:

Indikator dari komponen taat aturan. komponen taat aturan pada dasarnya mempertanyakan pengelolaan keuangan daerah, dalam hal ini apakah seluruh proses perencanaan dan pelaksanaan APBD telah sesuai dengan aturan yang berlaku? Komponen taat aturan mencakup indikator: (a) prosedur yang dijalankan (b)

dokumen-dokumen yang tersedia (c) waktu yang ditetapkan dan (d) pihak-pihak yang harus

terlibat dalam proses.

Indikator dari komponen transaparansiKomponen transparansi pada dasarnya mempertanyakan apakah proses dalam pengelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan, implementasi dan pertanggungjawaban telah dilakukan secara transparan. Komponen transparan mencakup indikator (a) publikasi proses (b)

ketesedian dokumen untuk diakses dan (c) kesediaan aparat memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat

Indikator

dari

komponen

partisipasiKomponen

partisipasi

pada

dasarnya

mempertanyakan apakah proses pegelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan,


Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 21

pelaksanaan dan pertanggungjawaban telah melibatkan masyarakat. partisipasi dalam pengelolaan keuangan daerah

Komponen

mencakup indikator: (a) Media

aspirasi (b) forum publik dan (c) unsur-unsur masyarakat yang terlibat. 2. Indikator dan Sumber Referensi Pengelolaan keuangan daerah merupakan bagian dari kegiatan pemerintahan yang segala sesuatunya mengacu pada aturan-aturan yang telah ditetapkan. Berkenaan dengan hal tersebut diatas, menurunkan indikator monitoring keuangan daerah juga harus berdasarkan pada sumber-sumber resmi yang dapat dijadikan rujukan aparat pemerintah di lapangan. Berikut ini tabel perumusan indikator dan sumber referensi: Kegiatan Monitoring I. Prosedur Tata Kelola Keuangan Daerah Pasal 5,9,10,11, 12,13,15,27, 34, Pasal 150 2. Penyusunan RPJM Daerah UU NO.25/2004 UU NO.32/2004 Pasal 5,7,9,14,15,16,17,18,19 Pasal 150,151 3. Penyusunan RKPD UU NO.25/2004 UU NO.32/2004 Pasal 20,21,22,23,24,25,26,27 Pasal 150, 151 4. Penyusunan APBD UU NO.25/2004 UU NO.17/2003 5. Implementasi APBD 1. Pengelolaan Kas APBD 2. Pengadaan Barang/Jasa 6. Pertanggungjawaban UU NO.17/2003 UU NO.1/2004 KEPMENDAGRI No.29/2002 KEPPRES NO. 80/2003 UU NO.1/2004 Pasal 51,52,52,54,56,57
22

Dasar Hukum

Pasal - Pasal

1. Penyusunan RPJP Daerah UU NO.25/2004 UU NO.32/2004

Pasal 179,180,181,182 Pasal 16,17,18,19,20 Pasal 28, 29 Semua Pasal Semua Pasal Semua Pasal

Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi

APBD

UU NO.17/2003 UU NO.24/2005 UU NO.32/2004

Pasal 31, 32,33 Pasal 1,2,3,4,5,6,7,8 Pasal 184

II. Transparansi Tata Kelola Keuangan Daerah 1. Akuntabilitas dan Ketersediaan Dokumen UU NO.32/2004 UU NO.1/200 Pasal 20,43,181,182,183,190 Pasal 27, 67, 76, 151 2. Ketersediaan Aparat Memberikan Informasi yang Dibutuhkan Masyarakat III. Partisipasi Masyarakat dalam Tata Kelola Daerah 1. Musrenbang UU NO.25/2004 SE BERSAMA KABAPPENAS MENDAGRI 0259/M.PPN/I/2005 2. Penjaringan Aspirasi Masyarakat 3. Dengar Pendapat (hearing) DPRD dengan masyarakat 3. Instrumen Monitoring Instrumen yang digunakan dalam monitoring menggunakan formulir yang berisi pokokpokok masalah untuk dilakukan pengecekan di lapangan. Formulir monitoring ini meliputi formulir untuk monitoring proses perencanaan, pelaksanaan dan pertanggung jawaban. Selain untuk memantau proses, disediakan pula formulir untuk memantau aspek transparansi dan partisipasi. Perlu dipahami bahwa kondisi daerah dan permasalahan yang dihadapi sangat
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 23

UU NO.32/2004

Pasal 27,67, 76, 151

Pasal 1,10,11, 12,16,17,18,22,23,24,27

UU N0.32/2004

Pasal 45, 209

UU NO.32/2004

Pasal 4

bervariasi. Oleh karena itu, tidak mungkin disusun instrumen yang rinci untuk masingmasing daerah. Instrumen pada panduan ini sifatnya umum yang berlaku di setiap daerah. 4. Data Monitoring Untuk keperluan mengisi cek list monitoring diperlukan sejumlah data-data tertentu. Datadata tersebut meliputi: a. Prosedur kegiatan Prosedur adalah segala jenis kegiatan pengelolaan keuangan daerah yang harus dijalankan dalam rentang waktu yang telah ditetapkan dan dilaksanakan oleh pihakpihak tertentu.. b. Dokumen Dukumen adalah rumusan dari suatu kegiatan dalam proses pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. 5. Sumber Data Untuk memperoleh data-data monitoring dibutuhkan sumber data yang tepat. Adapun yang dimaksud dengan sumber data adalah:

Pelaksanaan kegiatan Sumber data monitoring keuangan daerah yang paling utama adalah pelaksanaan setiap proses kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan

pertanggungjawaban. Didalam kegiatan tersebut akan terlihat jelas kapan kegiatan itu dilaksanakan, siapa saja yang terlibat, masalah yang sedang dibahas, dokumen apa yang dipersiapkan dan dokumen apa yang akan dihasilkan.

Literatur Bila pelaksanaan langsung tidak dapat diikuti oleh pelaksana monitoring, maka sumber data lain adalah literatur. Maksud literlatur adalah segala dokumen atau data yang dapat memberi informasi tentang perisitwa kegiatan, pihak-pihak yang terlibat, rumusan (dokumen) yang dihasilkan dari kegiatan, waktu pelaksanaan dll.

Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi

24

Narasumber Selain literatur, sumber data lain adalah pihak-pihak yang terlibat dalam proses, atau pihak yang kredibel memberikan informasi seputar pengelolaan keuangan daerah. Pihak-pihak yang dimaksud misalnya, aparatur pemda, anggota legislatif dan unsur masyarakat yang terlibat dalam proses pengelolaan keuangan daerah.

6. Teknik Verifikasi lapangan Formulir monitoring hanya berisi form-form pemantauan. Pelaksana monitoring melakukan pengecekan dilapangan melalui sumber-sumber data dengan cara-cara sebagai berikut:

Observasi Kegiatan observasi adalah upaya monitoring dengan mengikuti proses secara langsung pada tiap proses pengelolaan keuangan daerah mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pertanggung jawaban. Apa yang perlu diamati dan dicatat dalam observasi adalah merekam proses dan mengamati apakah prosedur yang dilaksanakan, dokumen-dokumen yang tersedia, pihak-pihak yang terlibat dan waktu

pelaksanaannya telah sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan.

Literatur Verifikasi lapangan menggunakan literatur adalah upaya melakukan pengamatan proses melalui sumber-sumber literatur yang mendukung. Litelatur yang dimaksud dapat berupa dokumen hasil dari sebuah kegiatan atau dokumen proses itu sendiri, sumber media atau data-data pendukung lainya.

Wawancara Tehnik wawancara adalah upaya melacak proses dan kegiatan pengelolaan keuangan daerah melalui wawancara narusumber. Narasumber yang dimaksud adalah pihakpihak yang terlibat dalam proses dan utamanya yang kridebel untuk memberikan informasi.

7. Pelaksanaan Monitoring Penyusunan Rancangan

Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi

25

Sebelum melaksanakan monitoring, rancangan atau disain pelaksanaan monitoring perlu lebih dahulu dikembangkan. Hal ini mengingat banyak aspek yang akan terjadi dilapangan. Rancangan ini diperlukan sebagai pedoman dalam melaksanakan monitoring dilapangan. Secara umum, beberapa komponen utama yang perlu ada dalam rancangan Monitoring antara lain: (1) penentuan fokus monitoring (2) rancangan pengumpulan data (3) penyusunan rencana kerja.

Penentuan Fokus dan Tujuan Monitoring memfokuskan pada perolehan informasi mengenai pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, perlu dilakukan pencermatan pada bagian manakah monitoring dilakukan. Pada saat perencanaankah, pelaksanaankah atau pada saat pertanggungjawaban? Bila pada saat perencanaan, pada bagian manakah perencanaan itu dilakukan dan seterusnya.

Rancangan Pengumpulan Data Sesuai dengan fokus monitoring yang yang telah direncankan perlu ditentukan rencana pengumpulan data. Dalam hal ini, ata apa saja yang akan dijaring, kegiatan apa yang mesti dipantau, dokumen apa yang harus dicari, pihak-pihak manakah yang tepat menjadi narasumber. Selain itu yang perlu direncanakan dan dipersiapkan adalah alat-alat apa yang dibutuhkan untuk mendukung memperoleh data-data dilapangan.

Penyusunan Rencana Kerja Rencana kerja pelaksanaan monitoring perlu disusun, mencakup berbagai kegiatan dalam monitoring. Berikut ini merupakan salah satu contoh format rencana kerja penyelenggaraan monitoring:

Tabel 1. Rencana Kerja Pelaksanaan monitoring Hasil Yang Diharapkan Responden / Alat / Sumber data Instrumen

No Waktu Kegiatan 1.

Pelaksanaan Tempat

Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi

26

2. 3. dll. Pelaksanaan Kegiatan pelaksanaan monitoring keuangan daerah pada dasarnya memantau siklus anggaran pemerintah daerah yang dimulai pada saat perencanaan, pelaksanaan dan

pertanggungjawaban. Kegiatan dilakukan dengan cara mengisi form cek list pada seluruh proses tersebut diatas dengan berbagai metode yang telah direncanakan sebelumnya. Pengisian Cek list.(form cek list lihat lampiran)
1.

Bila pelaksana monitoring mengikuti kegiatan secara langsung, sebelum mengisi cek list dilakukan pengamatan dengan penuh seksama seperti mencermati jenis kegiatan yang sedang berjalan, masalah yang dibahas, pihak-pihak yang terlibat, waktu pelaksanaan dll. Selanjutnya dari pengamatan itu dijadikan dasar untuk mengisi form cek list.

2.

Bila pelaksana monitoring tidak dapat mengikuti proses secara langsung, upaya yang dapat dilakukan untuk mengisi cek list adalah dengan melakukan wawancara dengan narasumber yang relevan. Narasumber tersebut adalah pihak-pihak yang terlibat dalam proses seperti pihak eksekutif, legislatif atau unsur masyarakat yang terlibat dalam proses.

3.

Pelaksana monitoring dalam mengisi cek list dapat juga berdasar dokumen proses, seperti nolutulensi proses, dokumen produk kegiatan dll.

Analisa data Analisis data pada monitoring keuangan daerah pada dasarnya untuk menjawab pertanyaan pokok, antara lain: 1. Apakah prosedur pengelolaan anggara telah sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan? Jika telah sesuai dengan aturan, sejauh mana? Dan Jika tidak mengapa aturan itu tidak dipatuhi? Rakomendasi apa yang mesti disusun?

Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi

27

2. Apakah tiap prosedur pengelolaan anggaran yang dilaksanakan sudah cukup transparan? Jika sudah transparan sejauh mana? Dan jika tidak mengapa?

Rekomendasi apa yang perlu dibuat? 3. Apakah tiap prosedur pengelolaan anggaran sudah cukup melibatkan masyarakat? Jika melibatkan masyarakat sudah sejauh mana? Dan jika tidak, mengapa? Rekomendasi apa yang perlu dibuat? Pemanfaatan Hasil Sesuai dengan tujuan monitoring, yakni terciptanya tata pemerintahan yang bersih dan terselenggaranya pengelolaan keuangan daerah yang governance, maka hasil monitoring dapat dimanfaatkan untuk: 1. Informasi kepada stakeholeder (anggota legislatif, pejabat pemda, tokoh masyarakat, jurnalis dll) berkenaan dengan progres pengelolaan keuangan daerah. 2. Menjadi bahan tambahan untuk advokasi kalangan aktivis bila dirasa hasil monitoringnya sangat buruk dan menyimpang

2.8. Penyusunan Perda Partisipatif


Kebijakan otonomi daerah telah melahirkan sejumlah perubahan-perubahan yang cukup penting, terutama di daerah. Di bidang politik, otonomi daerah berdampak positif bagi perkembangan demokrasi lokal. Indikatornya antara lain misalnya, berfungsinya DPRD sebagai lembaga legeslatif daerah. Pada era diberlakukannya UU No.5/1974, DPRD hanyalah kelengkapan eksekutif daerah. Pada era otonomi daerah ini, DPRD benar-benar sebagai lembaga legeslatif dan mitra sejajar eksekutif daerah. Indikator lain masyarakat bisa turut berpartisipasi dalam setiap kebijakan pemerintah daerah. Hal tersebut bisa terjadi karena pendeknya rantai birokrasi yang menjadikan rakyat bisa dengan cepat mengikuti setiap kebijakan baru yang dibuat pemerintah daerah. Di sisi lain kebijakan otonomi daerah juga memendam banyak persoalan. Di antara persoalan tersebut adalah lemahnya SDM daerah yang sangat berpengaruh terhadap produk kebijakan daerah. Hal ini terlihat misalnya dari banyaknya produk Perda yang bermasalah.Disinyalir misalnya, dalam rentang waktu setahun setelah otonomi daerah saja, dari 1053 Perda yang diinventarisasi Departemen Dalam Negeri, 105 Perda diantaranya
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 28

bermasalah. Pada konteks inilah, dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, penyusunan Perda, perlu mengikutsertakan masyarakat dengan tujuan agar dapat mengakomodir kepentingan masyarakat. Peran serta masyarakat tersebut akan mempermudah sosialisasi dan penerapan substansi apabila Perda ditetapkan dan diundangkan 1. Mengapa Partisipasi diperlukan Kebijakan Otonomi Daerah telah melahirkan angin segar untuk pelibatan masyarakat, karena kebijakan ini diambil dengan tujuan meningkatkan pelibatan masyarakat. Pemerintahan lokal secara fisik memang lebih dekat dengan masyarakat sehingga masyarakat lebih mudah mengetahui kebijakan yang diambil pemerintah. Dan kebijakan yang diambil umumnya langsung berkaitan dengan keseharian masyarakat. Dampaknya jika ada kebijakan yang kurang sesuai masyarakat dapat segera mengkritisi kebijakan tersebut dan penyelenggara pemerintahan yang hidup bersama masyarakatnya mau-tidak mau harus merespon aspirasi masyarakatnya. Penyelengaraan pemerintahan lokal yang lebih dinamis ini telah

menimbulkan suatu kebutuhan bersama untuk mengatur pelibatan masyarakat.

2. Hak Masyarakat, Kewajiban Pemerintah dan Mekanisme Partisipasi Hak Masyarakat Sebagaimana tertuang dalam PP nomer 68 tahun 1999 berkenaan dengan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara, maka masyarakat mendapatkan hak-haknya sebagai berikut; 1. Hak mencari dan memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan negara 2. Hak menyampaikan saran dan pendapat 3. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara 4. Hak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan hak-haknya diatas
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 29

Kewajiban Pemerintah Sebagai konsekwensi adanya pengakuan terhadap hak masyarakat maka penyelenggara pemerintahan mempunyai kewajiban untuk mendengar pendapat masyarakat (yang

berkepentingan) dalam proses perumusan dan penetapan kebijakan yang menyangkut kepentingan masyarakat. Dengan demikian penyelenggara pemerintahan sebagai penerima mandat masyarakat berkepentingan untuk menjamin terlaksananya hak-hak masyarakat. Dan terjaminnya hak-hak masyarakat penyelenggaraan pamerintahan. Mekanisme Partisipasi Mekanisme yang memungkinkan pelibatan aktif masyarakat minimal harus menjamin terlaksananya hak masyarakat sehingga dalam mekanisme pelibatan masyarakat ini minimal harus mengatur:
1.

menjadi salah satu indikator

keberhasilan

Penyampaian informasi tentang kebijakan yang akan diambil termasuk jadwal dan prosedur pelibatan masyarakat.

2. 3. 4.

Tanggapan terhadap aspirasi masyarakat. Hasil akomodasi masyarakat dan Keberatan

3. Tingkatan Dan Bentuk Partisipasi Masyarakat Derajat Partisipasi Masyarakat

Contoh Lembaga Pemerintah, legislatif, LSM, mendorong masyarakat, untuk mengindentifikasikan masalah,

Tinggi

Memiliki Kontrol

tujuan, maksud dan kesimpulan-kesimpulan kunci. Lembaga memiliki kemauan membantu masyarakat dalam setiap langkah-langkahdalam menyelesaikan tujuan-tujuan tersebut. Lembaga pemerintah, legislatif, LSM mengidentifikasikan masalah dan menyampaikannya
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 30

Memiliki Kekuasaan

yang terlegasi

kepada masyarakat, mendefinisikan keterbatatasan serta membuat keputusan-keputusan yang dapat digabungkan dalam suatu rencana yang diterima Lembaga - pemerintah, legislatif, LSM

Keterlibatan dalam perencanaan

menyampaikan perencanaan tentative dan terbuka untuk menerima perubahan dari subjek yang dipengaruhi. Mengharapkan perubahan rencana paling sedikit dan mungkin lebih dari itu. Lembaga - pemerintah, legislatif, LSM

Saran

menyampaikan rencana dan mengundang tanggapan masyarakat. Rencana hanya dipersiapkan untuk dimodifikasi, jika memang diperlukan Lembaga - pemerintah, legislatif, LSM mencoba menawarkan rencana. Mencari dukungan agar,

Dikonsultasi

memperoleh penerimaan atau memberi sanksi, sehingga pengadaan administrasi tercapai seperti yang diharapkan. Lembaga pemerintah, legislatif, LSM membuat

Menerima informasi sosialisasi

perencanaan dan mengumumkannya. Masyarakat dikerahkan untuk tujuan mendengarkan informasi. Masyarakat berkumpul menjadi suatu yang diharapkan.

Rendah

Tidak ada sama sekali

Masyarakat tidak mengetahui sama sekali.

Sumber: Community participation for health for all. London, Community participation group of the United Kingdom for all network, 1991 dalam Suhardi Suryadi dan Julmansyah 2001 4. Alur Partisipasi Dalam Proses Penyusunan Peraturan Daerah Dalam penyusunan peraturan daerah, partisipasi dikatakan optimal bila masyarakat terlibat secara aktif dari awal proses penyusunan hingga peraturan daerah itu disahkan menjadi produk hukum. Hal ini dapat dilakukan bila masyarakat dan lembaga legislatif saling berjalan sinergis untuk mewujudkan produk hukum yang terbaik untuk daerah. Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 31

fungsinya sebagai Lembaga legilslasi, DPRD perlu menyerap aspirasi sebanyak-banyaknya dari masyarakat (selain menyerap masukan dari inisiatif anggota DPRD atau masukan dari Pemda) untuk bahan penyusunan kebijakan daerah. Semua aspirasi yang masuk dicatat dan didokumentasikan dengan baik. Selanjutnya DPRD melakukan proses seleksi dengan memperhitungkan berbagai aspek seperti sumberdaya, sumber dana, tingkat keperluan dan berbagai keterbatasan-keterbatasan lainya. Tujuan dari proses seleksi ini adalah untuk

menyusun prioritas usulan-usulan yang akan dibahas lebih lanjut di DPRD. Untuk mendapatkan partisipasi yang optimal, sebelum dibahas lebih lanjut di DPRD, usulan yang sudah diprioritaskan tersebut perlu disosialisasikan terlebih dahulu kepada masyarakat luas. Paling tidak masyarakat mengetahui dari sekian aspirasi yang masuk di DPRD ada priotitas yang akan dibahas lebih lanjut. Langkah ini dilakukan selain untuk mendapatkan masukan dari masyarakat, juga merupakan bentuk Transparansi lembaga Legislasi kepada publik. Dari sini masyarakat akan mengetahui aspirasi mana yang menjadi prioritas DPRD dan mengapa aspirasi tersebut yang dipilih. Setelah disosialisasikan, DPRD perlu menyerap aspirasi dari masyarakat. Aspirasi dari masyarakat cukup penting karena akan menjadi bahan pertimbangan dalam pembahasan. Upaya untuk menyerap aspirasi tersebut dapat dilakukan melalui dua cara, yakni cara pasif dan aktif. Cara pasif DPRD menunggu reaksi masyarakat setelah usulan-usulan prioritas disosialisasikan. Sedangkan cara aktif, DPRD mengundang atau mengajak bekerjasama dengan elemen masyarakat yang berkepentingan untuk melakukan pembahasan. Setelah mendapatkan masukan dari masyarakat, usulan prioritas di bahas di DPRD melalui Rapat Paripurna (I dan II). Dari rapat ini, usulan-usulan prioritas tersebut akan ditetapkan untuk dibahas lebih mendalam dalam rapat-rapat komisi. Jumlah usulan yang ditetapkan tergantung dari hasil pembahsan dalam rapat paripurna. Selama sidang komisi, DPRD kembali membuka ruang publik untuk mendapatakan masukan-masukan dari masyarakat. Bila perlu Draft Raperda yang telah dibahas di sidang komisi disosialisasikan dan dibahas bersama masyarakat untuk mendapatkan masukan-masukan. Cara yang ditempuh sebagaimana telah disebutkan diatas, yakni melalui dua cara. Cara pasif menunggu reaksi masyarakat setelah draft disebarluaskan. Sedangkan Cara aktif mengajak berbagai elemen yang berkepentingan dimasyarakat untuk melakukan pembahasan bersama.

2.9. Regulasi Otonomi Daerah


Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 32

Undang-Undang

UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah UU No.34/2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara UU No.22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara UU No.10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan UU No. 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Menggantikan UU N0.22/1999

Peraturan Pemerintah

PP No.16/2000 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

PP No.25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom

PP No.84/2000 tentang Pedoman Organisai Perangkat Daerah PP No.104/2000 tentang Dana Perimbangan PP No.105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah PP No.106/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

PP No.107/2000 tentang Pinjaman Daerah PP No.108/2000 tentang Tatacara Pertanggungjawaban Kepala Daerah PP No.109/2000 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

PP No.110/2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD PP No.129/2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi 33

PP No.2/2001 tentang Pengamanan dan Pengalihan Barang Milik/Kekayaan Negara dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam Rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah

PP No.11/2001 tentang Informasi Keuangan Daerah PP No.20/2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

PP No.39/2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi PP No.52/2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan PP No.56/2001 tentang Pelaporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah PP No.65/2001 tentang Pajak Daerah PP No.66/2001 tentangRetribusi Daerah PP No.76/2001 tentang Pedoman Umum Mengenai Desa PP No.84/2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.104/2000 tentang Dana Perimbangan

PP No.3/2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

PP No.65 /2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal

PP No.72/2005 tentang Desa PP No.7/2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan PP No.78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penggabungan dan Penghapusan Daerah

Keputusan Presiden

Keppres No.49/2000 tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Keppres No.52/2000 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Tindak Lanjut Pelaksanaan UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Keppres No.157/2000 tentang Pembentukan Tim Kerja Pusat Implementasi UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Keppres No.159/2000 tentang Pedoman Pembentukan Badan Kepegawaian Daerah

Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi

34

Keppres No. 181/2000 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 2001

Keppres No.5/2001 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota Keppres No.74/2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Keppres No.131/2001 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota 2002

Keputusan Menteri Dalam Negeri

Kepmendagri No.188.2-198 tentang Pembentukan Tim Kerja Pusat Percepatan Implementasi tentang UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999

Kepmendagri No.16 tahun 2000 tentang Pedoman Pembentukan Asosiasi Pemerintah Daerah dan Penetapan Wakil Asosiasi Perintah Daerah sebagai Anggota DPOD

Kepmendagri No.50 tahun 2000 tentang Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah

Kepmendagri No.11 tahun 2001 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah dan Manual Adiministrasi Barang Daerah

Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi

35

DAFTAR PUSTAKA
Rukmo, J. Endi Rukmo.2002.Kajian Hukum Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah. Indonesia. Darumurti, Krishna D. dan Rauta, Umbu.2003.Otonomi Daerah: Perkembangan Pemikiran dan Pelaksanaan.Citra Aditya, Indonesia. Yudoyono,Bambang.2001.Otonomi Daerah.Indonesia Widjaja,HAW.2008. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom.Rajawali Pers, Indonesia. Rosidin,Utang.2010. Otonomi Daerah dan Desentralisasi.Pustaka Setia, Indonesia. http://perpus.yipd.or.id/sub/publikasidetail/Kajian-Hukum-Terhadap-Pelaksanaan-OtonomiDaerah-Menurut-Undang-Undang-22-1999 http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=pelaksanaan+otonomi+daerah+dan+berbagai+ma salah+yang+dihadapi&source=web&cd=100&ved=0CFIQFjAJOFo&url=http%3A%2F%2F www.forumdesa.org%2Fadd%2Fsumedang.pdf&ei=9NPrTvGJJ8amrAfF6YjiCA&usg=AFQ jCNEhY7VAJiJPNR6Qr6BXoWrSvQSyZg&cad=rja

Pelaksanaan Otonomi Daerah dan Berbagai Masalah Yang Dihadapi

36

Anda mungkin juga menyukai