Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN OBSERVASI

UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN MASYARAKAT BADUY (KANEKES)

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Matakuliah Kebudayaan Daerah Jurusan Teknologi Pangan

Disusun oleh : Kelompok 2 TP11 C Ahmad Fadil Hilmi Muhammad Fakhmi Nafisah Amira Nazir Siddiq NRP. 113020079 NRP. 113020078 NRP. 113020073 NRP. 113020080

JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG 2012

KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan kekuatan, kesehatan dan kenikmatan yang tidak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan observasi ini. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang terang benderang. Laporan ini berjudul Unsur-Unsur Kebudayaan Masyarakat Baduy (Kanekes) merupakan salah satu syarat kelulusan dari matakuliah Kebudayaan Daerah, Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Pasundan Bandung. Dalam menyelesaikan laporan ini, penulis banyak memperoleh saran, nasehat serta bantuan dari berbagai pihak baik moril maupun material maka dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih. Penulis menyadari banyak sekali kekurangan dalam penyusunan laporan ini. Oleh karena itu kritik, saran dan masukkan sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi

penulis pada khususnya dan umumnya bagi semua pihak yang membaca dan menggunakan laporan ini. Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kalimat-kalimat yang kurang berkenan untuk dibaca. Terima kasih.

Bandung, Mei 2012

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 1.3 Maksud dan Tujuan .............................................................................. 1.4 Sistematika Penulisan Laporan ............................................................ BAB II KAJIAN TEORI ................................................................................. 2.1 Unsur-Unsur Kebudayaan .................................................................... 2.2 Masyarakat Baduy (Kanekes) .............................................................. 2.2.1 Sejarah Baduy (Kanekes) ........................................................... 2.2.2 Asal Usul Masyarakat Baduy (Kanekes) ................................... 2.2.3 Wilayah Masyarakat Baduy (Kanekes) ...................................... 2.2.4 Kepercayaan Masyarakat Baduy (Kanekes) ............................... 2.2.5 Kelompok dalam Masyarakat Baduy (Kanekes) ........................ 2.2.6 Pemerintahan Masyarakat Baduy (Kanekes) ............................. 2.2.7 Sistem Pengetahuan Masyarakat Baduy (Kanekes) ................... 2.2.8 Bahasa Masyarakat Baduy (Kanekes) ........................................ 2.2.9 Kesenian Masyarakat Baduy (Kanekes) ..................................... 2.2.10 Mata Pencaharian Masyarakat Baduy (Kanekes) ..................... 2.2.11 Peralatan dan Teknologi Masyarakat Baduy (Kanekes) .......... i ii 1 1 2 2 2 4 4 6 6 6 7 8 8 9 10 10 10 11 11

2.2.12 Interaksi Masyarakat Baduy (Kanekes) dengan Masyarakat Luar 11

ii

BAB III PEMBAHASAN ............................................................................... 3.1 Pelaksanaan Observasi ......................................................................... 3.2 Hasil Observasi ..................................................................................... BAB IV KESIMPULAN ................................................................................ 4.1 Kesimpulan ........................................................................................... 4.2 Saran ..................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... LAMPIRAN

12 12 12 18 18 18 19

iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perkembangan globalisasi dan modernisasi yang sangat pesat membawa pengaruh besar bagi kehidupan manusia sehari-hari. Pola pikir dan sikap manusia diubah sesuai dengan perkembangan zaman. Secara tidak sadar, manusia membentuk kebiasaan-kebiasaan yang cenderung melihat dan meniru

kebudayaan-kebudayaan asing yang masuk. Sebagian besar masyarakat Sunda pun telah terpengaruh oleh globalisasi dan modernisasi. Akan tetapi hal ini berbeda dengan Masyarakat Baduy (Kanekes) di Provinsi Banten yang masih mempertahankan kebudayaan asli mereka khususnya Masyarakat Baduy Dalam. Mereka masih memegang erat tradisi yang telah diturunkan oleh nenek moyang mereka. Bahasa, pakaian, tempat tinggal, dan perilaku mereka pun masih bersifat tradisional sehingga nilai-nilai budaya masih tertanam dan terlihat dengan jelas. Namun, keberadaan mereka kini kurang diperhatikan dan dilestarikan oleh generasi penerus bangsa yang cenderung hidup modern, bersifat individu, egois, dan acuh terhadap budayanya sendiri. Solusi dari masalah ini yaitu setiap manusia/individu generasi penerus bangsa seharusnya lebih selektif terhadap budaya asing yang masuk sehingga tidak mudah terpengaruh. Selain itu, mereka harus lebih mencintai, melestarikan, mempelajari, dan mempertahankan nilai-nilai budaya asli termasuk dalam hal etika, moral, dan tatakrama dalam kehidupan sehari-hari mulai dari membiasakan dan menerapkannya pada diri sendiri, keluarga, lingkungan tempat tinggal, dan lingkungan masyarakat luas.

1.2 Rumusan Masalah Pokok permasalahan yang timbul dengan adanya arus globalisasi dan modernisasi yang pesat membuat perubahan pola pikir dan pola perilaku manusia. Akan tetapi berbeda dengan Masyarakat Baduy (Kanekes) yang masih mempertahankan kebudayaan asli mereka khususnya Masyarakat Baduy Dalam. 1. Bagaimanakah unsur-unsur kebudayaan masyarakat Baduy (Kanekes) jika dikaitkan dengan 7 unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat? 2. Bagaimanakah peran kita sebagai generasi penerus bangsa peduli terhadap budaya asli negeri kita sendiri? 1.3 Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan dengan disusunnya laporan ini supaya generasi muda mengetahui unsur-unsur kebudayaan masyarakat Baduy (Kanekes) dan mereka akan lebih mencintai budaya asli negerinya dibandingkan dengan budaya asing. 1.4 Sistematika Penulisan Laporan BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, maksud dan tujuan serta sistematika penulisan laporan. BAB II KAJIAN TEORI Bab ini berisi unsur-unsur kebudayaan dan masyarakat Baduy (Kanekes) yang menguraikan sejarah, asal usul, wilayah, kepercayaan, kelompok, pemerintahan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, mata pencaharian, peralatan dan teknologi serta interaksi masyarakat Baduy (Kanekes) dengan masyarakat luar.

BAB III PEMBAHASAN Bab ini berisi pelaksanaan observasi, hasil observasi dan pembahasan masalah. BAB IV KESIMPULAN Bab ini berisi kesimpulan dan saran.

BAB II KAJIAN TEORI


2.1 Unsur-Unsur Kebudayaan Kebudayaan umat manusia mempunyai unsur-unsur yang bersifat universal. Unsur-unsur kebudayaan tersebut dianggap universal karena dapat ditemukan pada semua kebudayaan bangsa-bangsa di dunia. Menurut Koentjaraningrat ada tujuh unsur kebudayaan sebagai cultural universal (Anonim, 2010), yaitu : 1. Sistem religi, yang meliputi : sistem kepercayaan sistem nilai dan pandangan hidup komunikasi keagamaan upacara keagamaan 2. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial, yang meliputi : kekerabatan asosiasi dan perkumpulan sistem kenegaraan sistem kesatuan hidup perkumpulan 3. Sistem pengetahuan, meliputi pengetahuan tentang : flora dan fauna waktu, ruang dan bilangan tubuh manusia dan perilaku antar sesama manusia

4. Bahasa, yaitu alat untuk berkomunikasi yang berbentuk : lisan tulisan 5. Kesenian yang meliputi: seni patung/pahat relief lukis dan gambar rias vokal musik bangunan kesusastraan drama 6. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi, yang meliputi : berburu dan mengumpulkan makanan bercocok tanam peternakan perikanan perdagangan 7. Sistem peralatan hidup atau teknologi, yang meliputi : produksi, distribusi, transportasi peralatan komunikasi peralatan konsumsi dalam bentuk wadah pakaian dan perhiasan

tempat berlindung dan perumahan senjata. 2.2 Masyarakat Baduy (Kanekes) 2.2.1 Sejarah Baduy (Kanekes) Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan Baduy merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindahpindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau orang Kanekes sesuai dengan nama wilayah mereka atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti urang Cibeo (Garna, 1993). 2.2.2 Asal Usul Masyarakat Baduy (Kanekes) Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Namun versi lain mengatakan bahwa masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda wilayah ujung barat Pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Dimana Banten merupakan pelabuhan dagang yang besar dengan Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu sungai Ciujung di Gunung kendeng tersebut (Adimiharja, 2000). 2.2.3 Wilayah Masyarakat Baduy (Kanekes) Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat

62727-6300 LS dan 10839-106455 BT tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak berjarak sekitar 38 km dari kota Rangkasbitung. Luas areal sekitar 5.101 hektar, Pegunungan Kendeng memiliki ketinggian 300-600 meter di atas permukaan laut (DPL) dengan topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). Suhu ratarata 20C. Panorama alam yang indah dan dikelilinginya sungai yang jernih dengan dihiasi hamparan hutan tropis adalah nuansa alam eksotis di Baduy, rumah-rumah asli kampung masih bergaya arsitektur tradisional yang berjajar rapi

mencerminkan bahwa masyarakat Baduy hidup harmonis dengan alam dan lingkungannya. 2.2.4 Kepercayaan Masyarakat Baduy (Kanekes) Kepercayaan masyarakat Kanekes disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada

perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari pikukuh (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep tanpa perubahan apapun atau perubahan sesedikit mungkin. Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tesebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada Bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. 2.2.5 Kelompok dalam Masyarakat Baduy (Kanekes) Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). 1. Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat yaitu warga yang tinggal di tiga kampung : Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih.

2. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketug, kaduolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. 3. Kelompok masyarakat dangka adalah masyarakat yang tinggal di luar wilayah Kanekes dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar. 2.2.6 Pemerintahan Masyarakat Baduy (Kanekes) Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu : 1. Sistem nasional, dimana sistem pemerintahan ini mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 2. Sistem adat, dimana sistem yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu puun.

2.2.7 Sistem Pengetahuan Masyarakat Baduy (Kanekes) Sistem pengetahuan orang Baduy adalah Pikukuh yaitu memegang teguh segala perangkat peraturan yang diturunkan oleh leluhurnya. Dalam hal pengetahuan ini, orang Baduy memiliki tingkat toleransi, tata krama, jiwa sosial, dan teknik bertani yang diwariskan oleh leluhurnya. Dalam pendidikan modern orang Baduy masih tertinggal jauh namun mereka belajar secara otodidak. Jadi sebetulnya orang Baduy sangat informasional sekali sebetulnya, tahu banyak informasi. Hal ini ditunjang karena kegemaran sebagai orang rawayan (pengembara). 2.2.8 Bahasa Masyarakat Baduy (Kanekes) Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda-Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes dalam tidak mengenal budaya tulis sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. 2.2.9 Kesenian Masyarakat Baduy (Kanekes) Dalam melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu seni musik (lagu daerah yaitu Cikarileu dan kidung (pantun) yang digunakan dalam acara pernikahan), alat musik (angklung buhun dalam acara menanam padi dan alat musik kecapi), dan seni ukir batik.

10

2.2.10 Mata Pencaharian Masyarakat Baduy (Kanekes) Mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buahbuahan yang didapat di hutan seperti durian dan asam keranji serta madu hutan. 2.2.11 Peralatan dan Teknologi Masyarakat Baduy (Kanekes) Kehidupan orang Baduy berpusat pada daur pertanian yang diolah dengan menggunakan peralatan yang masih sangat sederhana. Dalam adat Baduy terutama Baduy Dalam, masyarakat tidak boleh menggunakan peralatan yang sudah modern. Mereka mengandalkan peralatan yang masih sangat primitif seperti bedog, kampak, cangkul, dll. 2.2.12 Interaksi Masyarakat Baduy (Kanekes) dengan Masyarakat Luar Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa terkecuali Baduy Dalam. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten. Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan (DISBUDPAR Banten, 2012).

11

BAB III PEMBAHASAN


3.1 Pelaksanaan Observasi Tanggal Observasi Waktu Observasi Tempat Observasi : Minggu, 13 Mei 2012 : Pukul 10.00-16.00 WIB. : Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. 3.2 Hasil Observasi 1. Bagaimanakah unsur-unsur kebudayaan masyarakat Baduy (Kanekes) jika dikaitkan dengan 7 unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat? Unsur-unsur kebudayaan masyarakat Baduy (Kanekes) memenuhi kriteria 7 unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat, yaitu : 1. Sistem Religi Masyarakat Baduy (Kanekes) mengakui kepercayaannya yaitu Sunda Wiwitan, yang mana kepercayaan ini meyakini akan adanya Allah sebagai Guriang Mangtua atau disebut Pencipta Alam Semesta dan

melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini. Beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut kepercayaan Sunda Wiwitan : a. Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut Bulan Kawalu yang dianggap suci dimana pada Bulan Kawalu masyarakat Baduy melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa, Karo, dan Katiga.

12

b.

Upacara Ngalaksa yaitu upacara besar yang dilakukan sebagai ucapan syukur atas terlewatinya Bulan-Bulan Kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan.

c.

Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi antara masyarakat Baduy dengan pemerintah, dan bentuk penghargaan dari masyarakat Baduy.

d.

Upacara menanam padi, dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan kepada Dewi Sri lambang kemakmuran.

e.

Kelahiran, yang dilakukan melalui urutan kegiatan yaitu : Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil. Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untuk dijampi-jampi. Setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan. Upacara angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran. Akikah yaitu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun (kokolot) yang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.

f.

Perkawinan, dilakukan berdasarkan perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot menurut lembaga adat (tangkesan) sedangkan naib sebagai penghulunya. Adapun mengenai mahar atau seserahan yaitu sirih, uang semampunya, dan kain poleng.

13

2. Sistem Kemasyarakatan atau Organisasi Sosial Pelaksana sehari-hari masyarakat Baduy (Kanekes) pemerintahan adat kapuunan dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Struktur Pemerintahan Adat Kapuunan :

Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam

14

tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung. 3. Sistem Pengetahuan Sistem pengetahuan masyarakat Baduy (Kanekes) adalah pikukuh yaitu memegang teguh segala perangkat peraturan yang diturunkan oleh leluhurnya. 4. Bahasa Bahasa masyarakat Baduy (Kanekes) adalah Bahasa Sunda dialek SundaBanten. Mereka tidak mengenal budaya tulis sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. Namun mereka tak menutup diri untuk terus mempelajari bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia. Terbukti, tidak sedikit masyarakat Baduy yang dapat berbahasa Indonesia. 5. Kesenian Dalam melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy (Kanekes) menggunakan kesenian untuk memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu : Seni Musik (Lagu daerah yaitu Cikarileu dan kidung ( pantun)). Alat musik (angklung buhun dan alat musik kecapi). Seni Ukir Batik. 6. Mata Pencaharian Masyarakat Baduy (Kanekes) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari belum pernah mengharapkan bantuan dari luar. Mereka secara mandiri dengan cara bercocok tanam dan berladang. Selain itu mereka

15

menjual hasil kerajinan seperti koja dan jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu), tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung, golok, parang dan berburu. 7. Peralatan dan Teknologi Masyarakat Baduy (Kanekes) masih setia dengan kesederhanaan dan hidup menggunakan penerangan lilin atau lampu teplok. Kemana-mana mereka berjalan kaki dan tidak ada telepon. Segala sesuatuanya dipenuhi sendiri dari sumber daya alam yang mereka miliki, seperti kebutuhan makan, pakaian, dan rumah. 2. Bagaimanakah peran kita sebagai generasi penerus bangsa peduli terhadap budaya asli negeri kita sendiri? Kita selaku generasi muda harus lebih mencintai budaya asli negeri kita dibandingkan dengan budaya asing. Budaya asli negeri merupakan warisan yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita yang harus kita jaga, pertahankan, dan dilestarikan. Beberapa cara untuk mencintai budaya asli negeri, antara lain : 1. Membaca buku-buku yang berkaitan dengan tradisi dan nilai-nilai budaya asli negeri ini, 2. 3. 4. 5. 6. Membiasakan berbicara dengan mengunakan bahasa daerah sehari-hari, Mendengarkan musik-musik khas budaya asli Indonesia, Melestarikan tarian-tarian khas budaya asli Indonesia, Memakan makanan dan minuman khas budaya asli Indonesia, dan Membaca dan mempelajari karya-karya budaya asli Indonesia.

16

Oleh karena itu, marilah kita mulai dari saat ini, mulai dari diri sendiri, dan mulai dari hal yang terkecil untuk membiasakan mengenali, mempelajari, mengaji, dan melestarikan budaya-budaya asli Indonesia sehingga budaya-budaya asli negeri ini tidak akan hilang seiring berkembangnya zaman dan tidak akan kalah bersaing dengan budaya-budaya asing.

17

BAB IV KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan Kesimpulan dari laporan ini yaitu Masyarakat Baduy (Kanekes) di Provinsi Banten merupakan salah satu masyarakat tradisional Indonesia yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai budaya dan adat istiadat nenek moyangnya, memiliki unsur-unsur kebudayaan yang unik serta mempunyai ciri khas tersendiri. 4.2 Saran Saran dari kami untuk semua pihak, khususnya mahasiswa sebagai Agent of Change untuk memulai kebiasaan-kebiasaan mengenali, mempelajari, mengaji, dan melestarikan budaya-budaya asli Indonesia sesuai dengan matakuliah yang telah didapatkan selama perkuliahan sehingga budaya-budaya asli negeri ini tidak akan hilang seiring berkembangnya zaman dan tidak akan kalah bersaing dengan budaya-budaya asing yang ada.

18

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Unsur-Unsur Kebudayaan. http://black59.blogspot.com/2010/02/7-unsur-unsur-kebudayaan.html. Accessed : 28 Mei 2012. Anonim. 2012. Orang Kanekes. http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Kanekes. Accessed : 28 Mei 2012. Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Banten . 2012. Histografi Kebudayaan Suku Baduy. http://bantenculturetourism.com/?p=2380. Accessed : 28 Mei 2012.

19

LAMPIRAN
7 unsur-unsur kebudayaan Unsur-unsur kebudayaan Kebudayaan umat manusia mempunyai unsur-unsur yang bersifat universal. Unsur-unsur kebudayaan tersebut dianggap universal karena dapat ditemukan pada semua kebudayaan bangsa-bangsa di dunia. Menurut Koentjaraningrat ada tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu: 1. Sistem religi yang meliputi: sistem kepercayaan sistem nilai dan pandangan hidup komunikasi keagamaan upacara keagamaan 2. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi: Kekerabatan asosiasi dan perkumpulan sistem kenegaraan dan sistem kesatuan hidup perkumpulan 3. Sistem pengetahuan meliputi pengetahuan tentang: flora dan fauna waktu, ruang dan bilangan tubuh manusia dan perilaku antar sesama manusia 4. Bahasa yaitu alat untuk berkomunikasi berbentuk: Lisan tulisan 5. Kesenian yang meliputi: seni patung/pahat relief lukis dan gambar rias vokal musik bangunan kesusastraan drama 6. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi yang meliputi: berburu dan mengumpulkan makanan bercocok tanam peternakan perikanan perdagangan 7. Sistem peralatan hidup atau teknologi yang meliputi: produksi, distribusi, transportasi peralatan komunikasi peralatan konsumsi dalam bentuk wadah pakaian dan perhiasan tempat berlindung dan perumahan senjata

Unsur-unsur budaya tersebut bersifat universal dan untuk memudahkan dapat Anda amati pada gambar 1 Lingkaran kebudayaan berikut ini. Sumber : http://black59.blogspot.com/2010/02/7-unsur-unsur-kebudayaan.html

Orang Kanekes Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto. Etimologi Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para penelitiBelanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993). Wilayah Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 62727 6300 LS dan 10839 106455 BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 600 m di atas permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20 C. Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo. Bahasa Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek SundaBanten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adatistiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja. Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidupmereka dan membangun fasilitas sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut. Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis menggambar. Orang Kanekes masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga

cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam. Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). tiga kelompok

Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing (non WNI) Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka. Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain: Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat) Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi) Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern. Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar: Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam. Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam Menikah dengan anggota Kanekes Luar Ciri-ciri masyarakat orang Kanekes Luar Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam. Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alatalat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam. Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk lakilaki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans. Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.

Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.

Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar (Permana, 2001). Asal-usul Delegasi Kanekes sekitar tahun 1920 Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya padaabad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran. Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda

Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa. Kepercayaan Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin: Lojor heunteu beunang dipotong, pndk heunteu beunang disambung. (Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung) Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar. Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a). Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam. Pemerintahan Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional,

penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".

Struktur pemerintahan Kanekes Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut. Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu'unan (kepu'unan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung (Makmur, 2001). Mata pencaharian Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan. Interaksi dengan masyarakat luar Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan

Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh. Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger. Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk. Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup. Halaman ini terakhir diubah pada 18.08, 21 Mei 2012. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Kanekes

Histografi Kebudayaan Suku Baduy WRITTEN BY DISBUDPAR BANTEN ON MAY 1 S T , 2012. PENGERTIAN Histogrfi dapat diartikan sebagai sejarah intelektual atau mentalitas. Histografi juga mengajarkan untuk mencari sebuah pemikiran seorang penulis sejarah. Dalam hal ini sejarawan akan mengalami proses pemahaman untuk mengerti subjektivitas penulis sejarah. Penulis sejarah akan selalu aktif melakukan seleksi terhadap gejala yang diamatinya. Gejala yang diamati akan menjadi titik pendirian masa kini yang dijadikan faktor penentu perhatian seseorang terhadap gejala masa lampau. SEJARAH BADUY Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan Baduy merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau orang Kanekes sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993). WILAYAH Wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 62727-6300 LS dan 10839-106455 BT tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak berjarak sekitar 38 km dari kota Rangkasbitung. Luas areal sekitar 5.101 hektar, Pegunungan Kendeng memiliki ketinggian 300-600 meter di atas permukaan laut (DPL) dengan topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara), tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). Suhu rata-rata 20C. Panorama alam yang indah dan dikelilinginya sungai yang jernih dengan dihiasi hamparan hutan tropis adalah nuansa alam eksotis di Baduy, rumah-rumah asli kampung masih bergaya arsitektur tradisional yang berjajar rapi mencerminkan bahwa masyarakat Baduy hidup harmonis dengan alam dan lingkungannya. BAHASA Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda-Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.

ASAL-USUL Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia. Namun versi lain mengatakan bahwa masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda wilayah ujung barat Pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Dimana Banten merupakan pelabuhan dagang yang besar dengan Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu sungai Ciujung di Gunung kendeng tersebut (Adimiharja, 2000). KEPERCAYAAN Kepercayaan masyarakat Kanekes disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari pikukuh (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep tanpa perubahan apapun, atau perubahan sesedikit mungkin. Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tesebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. KELOMPOK DALAM MASYARAKAT KANEKES Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001): 1. Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam, yang paling ketat mengikuti adat yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas Orang Baduy Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. 2. Kelompok masyarakat panamping adalah mereka yang dikenal sebagai baduy Luar, yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketug, kaduolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. masyarakat baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.

3. Kelompok masyarakat dangka adalah masyarakat yang tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar. PEMERINTAHAN Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan: 1. Sistem nasional, dimana sistem pemerintahan ini mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 2. Sistem adat, dimana sistem yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikianrupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu Puun. MATA PENCAHARIAN Mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan. INTERAKSI DENGAN MASYARAKAT LUAR Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang rupiah biasa terkecuali Baduy Dalam. Sebagai tanda kepatuhan/ pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten. Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. KESENIAN Dalam melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu Seni Musi (lagu daerah yaitu Cikarileu dan Kidung (pantun) yang digunakan dalam acara pernikahan). Alat musik (angklung Buhun dalam acara menanam padi dan alat musik kecapi). Dan seni Ukir Batik. PERALATAN DAN TEKNOLOGI Kehidupan orang Baduy berpusat pada daur pertanian yang diolah dengan menggunakan peralatan yang masih sangat sederhana. Dalam adat Baduy terutama Baduy Dalam, masyarakat tidak boleh menggunakan peralatan yang

sudah modern. Mereka mengandalkan peralatan yang masih sangat primitive seperti bedog, kampak, cangkul dan lain-lain. SISTEM PENGETAHUAN Sistem pengetahuan orang Baduy adalah Pikukuh yaitu memegang teguh segala perangkat peraturan yang diturunkan oleh leluhurnya. Dalam hal pengetahuan ini, orang Baduy memiliki tingkat toleransi, tata krama, jiwa sosial, dan teknik bertani yang diwariskan oleh leluhurnya. Dalam pendidikan modern orang Baduy masih tertinggal jauh namun mereka belajar secara otodidak. Jadi sebetulnya orang Baduy sangat informasional sekali sebetulnya, tahu banyak informasi. Hal ini ditunjang karena kegemaran sebagai orang rawayan (pengembara). sumber: Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Banten Sumber : http://bantenculturetourism.com/?p=2380

Foto-Foto Hasil Observasi

Persiapan memasuki kawasan Baduy

Papan Peraturan memasuki Baduy

Pintu Masuk Baduy Luar

Rumah Masyarakat Baduy Luar

Kerajinan Tangan Masyarakat Baduy

Perjalanan menuju Perkampungan Baduy

Perjalanan menuju Perkampungan Baduy

Sesi tanya jawab bersama jaro dari Baduy Dalam

Anda mungkin juga menyukai