Anda di halaman 1dari 6

Beragama dan Bertoleransi adalah Satu Paket

M. Ichsan Loulembah:
13/06/2005

Sikap toleran, selain dapat ditempa lewat pergaulan lintasagama (aspek pengalaman), juga dapat tumbuh dari penghayatan atas doktrin-doktrin agama (aspek permenungan). Itulah sebagian dari isi perbincangan Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis (2/6) lalu, dengan M. Ihcsan Loulembah, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) mewakili Sulawesi Tengah. Berikut petikannya. Menjadi alim atau taat dalam beragama, mestinya tidak membuat kaku di dalam beragama dan mengabaikan pentingnya toleransi dalam relasi antaragama. Sikap toleran, selain dapat ditempa lewat pergaulan lintasagama (aspek pengalaman), juga dapat tumbuh dari penghayatan atas doktrin-doktrin agama (aspek permenungan). Itulah sebagian dari isi perbincangan Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Kamis (2/6) lalu, dengan M. Ihcsan Loulembah, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI) mewakili Sulawesi Tengah. Berikut petikannya. ULIL ABSHAR ABDALLA (UAA): Bung Ichsan, bagaimana latar belakang keluarga dan pendidikan agama Anda? M. IHCSAN LOULEMBAH (MIL): Saya kebetulan dari Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), tapi saudara saya banyak yang di Poso. Salah satu kakek saya pernah menjadi bupati pertama Poso, dan paman saya juga pernah menjadi bupati di sana. Jadi ada hubungan kuat antara saya dengan orang-orang Poso. Saya juga dekat dengan lingkungan Pesantren al-Khairat dan pernah juga menjadi Ketua HMI Cabang Palu (1989-1990). UAA: Apa pernah sekolah formal di Pesantren alKhairat? MIL: Hanya adik saya yang sekolah formal di Pesantren al-Khairat. Sebagai anak pertama, saya pernah ditawarkan orangtua masuk di sana, tapi saya menolak. Saya menganggap, lebih baik adik saya saja yang ke sana, bukan saya. Waktu itu saya membayangkan, kalau masuk al-Khairat, saya tidak bisa lagi keluyuran. Tapi rupanya adik saya yang kedua dan seterusnya juga menolak masuk pesantren. Adik saya yang keenam baru mau masuk al-Khairat. Tapi memang, ada kebanggaan di keluarga bila salah satu anaknya belajar di pesantren yang sangat dihormati dan berpengaruh itu. Al-Khairat memang pesantren yang sangat besar di Indonesia Timur, dan cabangnya sampai ke Fakfak dan Papua. Jadi, secara

formal saya tidak sekolah di al-Khairat, tapi pergaulan sosial dan sosialisasi masa kecil saya sangat dipengaruhi suasana al-Khairat. UAA: Bung Ichsan, bisa digambarkan komposisi Islam-Kristen di Sulawesi Tengah? MIL: Kalau di Poso, komposisinya hampir seimbang. Di Palu, sekitar 70% orang Islam dan 30% Kristen. Tapi hampir di semua daerah selalu ada Islam dan Kristen. Saudara jauh saya banyak juga yang masih Kristen, baik sejak lahirnya begitu ataupun melalui proses kawin-mawin. UAA: Bagaimana hubungan Islam-Kristen sebelum meletusnya konflik Poso sekitar 6 tahun lalu? MIL: Sebetulnya hubungan Islam-Kristen itu banyak yang menggelikan dan lucu-lucu. Makanya, ketika sekarang terjadi konflik, kita sering ketawa dan bertanya-tanya, Kok bisa begini, ya? Waktu masih kecil, saya sendiri bergaul akrab dengan orang-orang Kristen. Di belakang rumah ada gereja besar bernama Gereja Imanuel. Berjarak 50 meter dari gereja, tepatnya di Kampung Lolu, ada masjid besar, Masjid Raya. Saya ingat, pada hari-hari yang tidak adanya kebaktiannya, kami lari-larian dan sering memainkan piano gereja. Pada hari lainnya, teman-teman Kristen dan Islam pergi ke masjid yang punya kolam wudhu yang besar sekali. Biasanya, di hari Selasa atau Rabu air kolam diganti untuk salat Jumat. Ketika itulah kami mandi bersama karena airnya masih jernih. Padahal, di hari Jumat air itu dipakai berwudu. Kenakalan-kenakalan seperti sebetulnya indah juga kalau dikenang lagi. UAA: Artinya, di masa kecil Anda, hubungan Islam-Kristen itu cair saja? MIL: Ya. Malahan Natal dan Idulfitri kita anggap sama saja. Kedua-duanya bisa memberi peluang untuk dapat baju baru dan hagala (semacam angpau atau bingkisan lebaran). Jadi kita ramai-ramai mendatangi rumah-rumah yang sedang bergembira dengan rombongan gabungan antara anak Kristen dan Islam. Ketika itu, predikat-predikat dan sekat-sekat antaragama bagi kami seperti tak ada. Bahkan sampai masa saya SMP, masih banyak keluarga-keluarga yang bapak-ibunya beda agama, isteri ikut agama suami, atau sebaliknya. Keluarga-keluarga yang beda agama itu, tetap saling kunjung satu sama lain, dan tidak mempermasalahkan apa-apa. UAA: Praktik pernikahan antaragama juga banyak, ya? MIL: Tentu saja. Sistem sosial di Palu dan Sulteng umumnya memang sangat terbuka, jauh lebih terbuka dari Sulawesi Selatan. Selain itu, di Sulteng juga tidak ada bahasa daerah yang dominan. Kalau ke Poso, Palu, Parigi, Ampana, atau Luwuk, kita bisa pakai dialek Arab dengan idiom ane- ente dengan biasa saja. Semua orang akan paham dan itu juga dilakukan orang-orang Kristen. Bahkan kita sering juga memakai idiom-idiom saudara kita kalangan Tionghoa. Kita bisa pakai logat Manado, dan sesekali logat Makassar. Banyak orang yang paham dan semua lebur saja.

UAA: Jadi sebetulnya masyarakat Sulteng itu sangat terbuka dan multikultural, ya? MIL: Sangat terbuka dan siap menerima posisinya sebagai melting pot atau titik perjumpaan pelbagai kultur. Buktinya, Islam datang di sana dari berbagai jurusan. Ada yang dari Minangkabau lewat Sulsel; dari Kerajaan Ternate yang masuk ke Luwuk dan Poso; dan sebagian dibawa langsung tokoh-tokoh Muhammadiyah. Pesisir Tojo Ona-ona, sebagian masih terlihat terpengaruh HOS Cokroaminoto. Jadi, corak Islam di sana sudah begitu banyak walau yang paling besar adalah al-Khairat yang mirip NU dalam tata ibadah dan aktivitas lainnya. Kesepahaman antar tokoh-tokoh Islam selama ini selalu ada. Kalau Muhammadiyah sudah masuk Donggala, maka al-Khairat tidak akan masuk lagi. Jadi, tidak ada rivalitas di lingkungan internal agama. Antaragama bahkan juga begitu. Dari dulu, semua orang tahu bahwa Tentena adalah tempatnya para misionaris asing, dan itu tidak ada masalah. UAA: Jadi di Palu, Anda tidak pernah mendapatkan pengajaran Islam yang membenci Kristen, ya? MIL: Tidak sama sekali. Paling tinggi, saya hanya mengaji dengan teman-teman satu kompleks. Kalau tidak mengaji, kami akan dihukum, dimarahi, dicambuk atau dicubit. Adik saya memang sekolah agama secara khusus. Sementara saya pergi ke Bandung dan bersekolah di sana lebih kurang 2,5 tahun setelah lulus SMP. Tapi kemudian saya dipulangkan lagi ke Palu karena sempat disidak (inspeksi mendadak) salah seorang paman saya yang waktu itu tidak menemukan saya di sekolah. Saya memang sering bolos, jalan-jalan ke Jakarta, atau main dengan para mahasiswa sambil memantau aktivitas mereka. Saya dipaksa pulang dan disuruh melanjutkan kuliah di Palu pada tahun 1984. Ketika masih SMA, saya memang banyak dipengaruhi pergerakan mahasiswa, karena di kos hanya ada dua orang yang SMA, yaitu saya dan teman lain dari Palu. Selebihnya mahasiswa ITB, Itenas, Unpad, Unpar, dan lain-lain. Karena itu, saya banyak mengecap pendidikan politik dari kalangan aktivis mahasiswa waktu itu. Saya sering diberi selebaran-selebaran yang waktu itu tidak saya tahu artinya. Setelah kuliah, saya terlibat dalam aktivisme kemahasiwaan. Saya menjadi aktivis kampus, walau di SMP dan SMA saya lebih banyak menjadi aktivis kantin. UAA: Ketika kuliah, Anda berubah menjadi aktivis HMI? MIL: Belum. Tapi kemudian saya dilirik beberapa senior HMI yang selalu memantau dan mencari bakat yuniornya. Akhirnya saya diajak aktif di HMI, meski tidak pernah terlibat sebelumnya. Setelah masa perpeloncoan, saya ikut LK (Latihan Kader) HMI. Dari sanalah saya dianggap cukup pemberang, dan berani memrotes aturan-aturan di dalam training. Dari situ, teman-teman mulai memercayai saya menjadi pemimpin formal intrakampus. Saya tidak tahu, tiba-tiba saya harus menjadi Sekretaris Senat Mahasiswa, padahal saya baru semester dua. Sesuatu yang kurang lazim waktu itu.

UAA: Bung Ichsan, Orde Baru tahun 1984 tentu semangat-semangatnya mengampanyekan asas tunggal Pancasila. Bagaimana perdebatan di internal HMI ketika itu? MIL: Sebelum saya masuk, khususnya pada Kongres HMI di Medan (1983), pemerintah memang tidak bisa memaksakan asas tunggal lewat sejumlah tokohnya. Tapi setelah Kongres Medan, tepatnya di Kongres Padang (1985), HMI menerima asas tunggal. Sebetulnya, di tahun 1983 memang sudah ada janji dari beberapa pengurus HMI yang akan demisioner bahwa mereka akan menerima asas tunggal. Tapi seluruh forum di kongres tidak menerima. Tapi itu di tingkat nasional. Di berbagai daerah, soal asas tunggal juga memunculkan pergulatan luar biasa. Di lingkungan aktivis HMI Palu, ada dualisme pendapat yang sama-sama kuat dalam menyikapi asas tunggal. Tapi ketika itu saya memang masih hijau. Karena itu, kalau ada yang bependapat lebih baik menerima asas tunggal sebagai siyasah, saya ikut; dan kalau ada yang menolak dengan anggapan melawan akidah dan sebagainya, saya juga dengarkan. UAA: Ketika mulai aktif di HMI, apakah Anda sudah tertarik dengan wacana keislaman? MIL: Waktu kecil, saya sebenarnya sudah berkenalan dengan pikiran-pikiran HOS Cokroaminoto lewat buku tua yang diberi kakek saya secara tidak sengaja. Saya lupa judulnya. Kalau tidak salah tentang Islam dan sosialisme. Yang jelas, buku itu sudah tidak bersampul lagi. Dari buku saya mendapat kesan bahwa, Islam pada akhirnya harus mengurus dunia. Artiannya, selain mengejar akhirat, kita juga harus menyelesaikan urusan dunia. Pekerjaan dunia yang juga penting adalah soal mencari materi, karena ada dalil (haidis) bahwa kemiskinan bisa mengantarkan kita pada kekufuran. Itulah dalil yang saya pegang betul sejak dulu, sehingga saya merasa bahwa jiwa enterpreneurship atau wirausaha itu harus muncul pada diri kita. UAA: Selain pemikiran Cokro, apa lagi buku yang mempengaruhi Anda? MIL: Tentu saja buku yang diberikan senior saya, yaitu Pergolakan Pemikiran Ahmad Wahib. Saya juga membaca buku-buku kiri, kanan, dan lainnya, karena saya kuliah di sosiologi. Soal buku Wahid saya ingat, dulu kita hanya bisa dapat buku-buku seperti itu secara sembunyi-sembunyi. Selain membaca Wahib, saya juga membaca buku-buku Ali Syariati, meskipun saya lebih oleh Wahib. Saya tahu, buku itu pernah dilarang Kejaksaan Agung dan saya sudah membacanya berkali-kali. Tapi ada beberapa hal dari buku itu yang sering saya cek lagi. Saya misalnya bertanya pada teman-teman IAIN yang lebih mengerti agama, Kok, ada pertanyaan-pertanyaan agama seperti itu, ya? Bagi saya, terlalu banyak pertanyaan luar biasa yang diajukan pemuda kerempeng dari Madura yang mestinya religius itu. Tapi saya sampai juga pada suatu kesimpulan bahwa, Islam itu adalah agama yang mengagungkan akal. Sebab, orang yang tidak berakal, seperti gila, justru dalam Islam

dibebaskan dari beban agama. Kesimpulan saya: orang yang beragama tanpa menggunakan akalnya, ia telah menurunkan nilai keberagamaannya. Saya merasa akal itu perlu sekali untuk memandu kita di dalam beragama. Artinya, ketika dihujani doktrindoktrin agama sekalipun, kita harus bereaksi dengan akal yang tentu berbeda level dari satu orang ke orang lain. UAA: Apakah buku Wahib ikut membentuk persepsi Anda dalam memandang Islam dan agama lain? MIL: Pada bab-bab toleransi, ia memang selalu memberi afirmasi. Itulah yang meyakinkan saya bahwa apa yang diyakini Wahib tidak berbeda dengan apa yang saya lakukan. Artinya, saya lalu merasa bahwa menjalankan agama dengan baik serta bertoleransi pada agama lain adalah satu paket. Saya jadi ingat pengalaman masa kecil saya ketika bermain dengan teman-teman Kristen. Waktu itu, mereka tidak bisa bermain bersama kita karena kita akan tarawih. Tapi kita justru menyelundupkan mereka untuk ikutan tarawih. Mereka senang sekali. Sesekali, saya dan teman-teman juga diajak main ke gereja. Ini adalah bagian dari pengalaman masa kecil saya. Pengalaman itu membentuk pola pandang bahwa beragama itu tidak mesti membuat kaku terhadap agama lain. Bahwa dalam agama ada prinsip-prinsip tertentu, itu sudah pasti. Tapi semua itu tidak harus menghalangi kita untuk bersikap dan bertindak fleksibel. UAA: Bung Ichsan, sekarang ada ketegangan antaragama di Poso dan beberapa tempat lain. Selaku anggota DPD dari Sulteng, bagaimana Anda melihat konflik di Poso? MIL: Sebetulnya di masyarakat sudah tidak ada konflik lagi. Setelah konflik Poso pertama, memang ada upaya-upaya menggunakan agama sebagai label atau alat untuk membangun solidaritas kelompok. Tapi belakangan, masyarakat sadar bahwa semua akan merugi dalam konflik. Yang memang jadi arang, yang kalah jadi abu. Jadi, tidak ada yang bakal untung. Tapi selalu ada tangan-tangan luar yang ikut main dan memperkeruh suasana. Padahal, masyarakat sudah bergandeng tangan memprakarsai rekonsiliasi. Proses rekonsiliasi itu bukan prakarsa pemerintah, tapi dirintis oleh tokoh-tokoh masyarakat sendiri. Banyak hal yang sudah mereka lakukan untuk mencairkan suasana. Itu semua berguna untuk mengembalikan sifat dasar masyarakat Sulteng dan Poso yang plural. UAA: Jadi kalau ada pergolakan baru, masyarakat Poso berpikir itu pasti bersumber dari luar, ya? MIL: Ya. Sekarang mereka merasa konflik Poso bukan lagi milik orang Poso. Itulah kesadaran kolektif masyarkat di sana. Mereka sadar, pihak dari luar hanya datang untuk bertikai, sementara yang menjadi puing tetap saja rumah mereka. Mereka juga sadar, orang Kristen tidak mungkin bisa membunuh seluruh orang Islam, begitu juga sebaliknya. Satu-satunya jalan adalah membangun suasana rukun seperti dulu. Sekarang persoalannya adalah: bagaimana mengelola sumber daya ekonomi, politik, birokrasi, dan

lain sebagainya. Formula-formula politik gabungan antara Islam dan Kristen kini sudah mulai dibangun. UAA: Kalau masyarakat sudah giat dalam rekonsiliasi, mengapa konflik terus berlarut-larut? MIL: Itu pertanyaan semua orang, dan bukan lagi menjadi tugas masyarakat untuk menjawabnya. Tokoh-tokoh masyarakat, terutama pemuka agama, selalu merasa diri mereka difungskan sebagai pemadam kebakaran. Tiap ada masalah baru, mereka diajak untuk menghimbau masyarakat agar tenang. Padahal yang melakukan teror hanya satudua orang saja. Mestinya, itu sudah menjadi tugas aparat untuk menangkap. Masyarakat sudah sadar bahwa benturan tidak boleh terjadi lagi. Masyarakat sudah paham betul, yang melakukan ini semua adalah teroris, orang luar, atau orang yang tidak suka Poso berdamai. UAA: Kalau merujuk pada masa kecil Anda, sebetulnya ketegangan Islam-Kristen di Poso ini aneh sekali, ya? MIL: Aneh sekali. Padahal di masa lebaran, orang Islam mengirim tetangganya burasa atau nasi seperti lontong. Sebaliknya menjelang Natal, teman-teman Kristen mengirim jaha atau nasi dalam bambu. Jadi, konflik-konflik ini sebetulnya ahistoris dan tidak masuk akal karena tidak ada presedennya. Dulu, guru-guru tua seperti Syekh Idris bin Salim al-Jufri, banyak sekali memberi teladan soal toleransi. Dia tetap melakukan dakwah, tapi dalam hal-hal tertentu juga menunjukkan sikap toleran yang luar biasa. Dia tidak kaku dalam mengambil langkah dan sikap dalam beragama. UAA: Menurut Anda, apa yang perlu dilakukan untuk memperkokoh hubungan antaragama? MIL: Bagi saya, relasi antaragama juga sangat ditentukan oleh basis material. Problem ekonomi-politik seringkali mempengaruhi hubungan antaragama. Jadi kalau ingin memperbaiki relasi antaragama, antaretnis, atau antarkelompok sosial, jangan lupa membenahi soal-soal ekonomi-politik. Kalau kita mampu membenahi itu, artinya kita telah menciptakan struktur sosial yang punya mainan lain selain agama dan etnis. UAA: Itu tentu berkaitan dengan soal keadilan sosial juga, ya? MIL: Ya. Kita harus bisa mematikan api tepat pada sumbunya. Kalau tidak, dia akan menjalar ke mana-mana. Di Jakata, konflik antarkelompok yang menggunakan asosiasi etnis juga selalu berkaitan dengan perebuaan porsi sumber daya ekonomi. Di kota-kota yang heterogen, perebutan lahan nafkah, parkir, dan lain sebagainya pasti terjadi. [] Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=831

Anda mungkin juga menyukai