Anda di halaman 1dari 4

Hidup Pi dan Pilkada

The Life of Pi (Hidup Pi), film karya sutrara Ang Lee ini menuturkan kisah seorang pemuda India yang luput dari sebuah kapal yang tenggelam. Film ini menjadi salah satu yang dinominasikan untuk mendapat hadiah Oscar untuk sepuluh kategori, di antaranya karena musik dan gambar. Sepanjang The Life of Pi disajikan musik yang indah dan dihadirkan gambar-gambar yang memukau tentang alam: amukan badai di tengah samudara raya, berbagai jenis ikan di laut dalam, hutan di pulau tanpa penghuni dan perahu kecil yang dipermainkan gelombang. Film ini bermula dengan menuturkan pengalaman Pi, yang dalam masa kecil banyak menderita di sekolah karena namanya yang dianggap aneh. Sebenarnya, ayahnya memberi nama itu berdasarkan huruf pi dalam alphabet Yunani, yang digunakan sebagai variabel tetap dalam menghitung luas sebuah lingkaran. Pi menjadi tanda matematis bagi sesuatu yang penting, rujukan yang tetap dan karena itu terpercaya. Rasionalitas rumusan menjadi dasar kredibilitasnya. Sang putera mesti menjadi orang yang sangat rasional, menjadikan matematika sebagai basis kehidupannya. Demikian ambisi sang ayah bagi putera keduanya. Namun, Pi ternyata memiliki karakter tersendiri. Sang ayah yang sangat rasional tidak sanggup mencegah puteranya dari keterbukaan kepada hal-hal yang dianggap misterius. Sangat bertentangan dengan pandangan sang ayah, Pi memupuk keyakinannya akan Tuhan, yang tidak hanya dikenal dan disembahnya melalui Hinduisme, tetapi juga dalam kekristenan dan Islam. Batinnya menerawang ke halhal yang tidak bisa dijelaskannya dengan angka dan rumusan-rumusan fisika yang dipelajarinya di sekolah. Rasa religius ini menjadi kekuatan bagi Pi ketika mesti melewati samudera raya dalam sebuah perahu penyelamat, ketika kapal yang ditumpangnya bersama seluruh keluarga dan binatang-binatang milik mereka tenggelam di samudera Pasifik dalam pelayaran ke Kanada. Ya, ayah Pi memutuskan untuk pindah dengan seluruh keluarga, karena kondisi perekonomian yang kian sulit di India. Mereka membawa semua hewan dari kebun binatang, termasuk binatang-binatang buas, sebab di Kanada sang ayah hendak memulai usahanya sebagai pemilik kebun binatang. Dalam perjalanan

itu, pada tengah malam, karena badai yang amat dahsyat, kapal itu tenggelam. Pi didorong masuk ke sampan penyelamat, sementara ayah, ibu dan saudara sulungnya masih terkurung dalam kamar sewaan mereka. Dan karena terpaan gelombang yang sangat besar, akhirnya yang berhasil masuk ke perahu itu hanyalah Pi bersama empat binatang besar, satu di antaranya adalah seekor harimau Bengala yang bernama Richard Parker. Petualangan yang menegangkan di tengah lautan lepas menghadapkan Pi pada berbagai tantangan. Makanan yang semakin terbatas, angin dan badai yang tidak terkirakan, hewan yang menjadi rekan perjalanan, khususnya harimau yang menakutkan itu. Pada akhirnya, yang bertahan hanyalah keduanya, Pi dan Richard Parker sang harimau. Kehidupan Pi menghadapi ancaman ganda, ditelan gelombang yang tak kenal ampun, atau menjadi mangsa harimau yang kelaparan. Setelah lama berusaha, Pi kemudian dapat berkomunikasi dengan harimau itu. Sepertinya ada pengertian di antara keduanya. Bagi Pi, tantangan dari sang harimau membuatnya dapat bertahan hidup. Dia mesti memutar otak memikirkan jalan terbaik untuk menyelamatkan diri dan menolong si harimau. Dan itulah yang memberinya semangat dan kekuatan untuk hidup. Setelah sekian lama berada antara batas kehidupan dan kematian, Pi dan Richard Parker terdampar di sebuah pantai. Yang paling menyakitkan dan membingungkan Pi adalah kepergian sang harimau ke hutan, tanpa ritual pamit apapun. Pi merasakan sebuah kehilangan yang sangat besar, ditinggal pergi oleh seekor binatang buas yang telah menjadi sahabatnya dalam perjuangan menghadapi ancaman kematian. Kecerdasan film ini terletak pada bagian akhir kisah. Sesudah terbawa hanyut oleh gambar dan musik ke dalam petualangan Pi, penonton dihadapkan pada sebuah adegan aneh. Kisah petualangan Pi yang menegangkan ini dianggap terlalu tidak realistis oleh dua investigator dari Jepang. Pi pun mengarang sebuah kisah lain, yang lebih masuk akal, tanpa harimau dan pulau tanpa penghuni. Pada akhir film pemirsa tidak hanya disadarkan bahwa ini hanya sekadar sebuah film, tetapi diberi pekerjaan rumah untuk menentukan pilihan: cerita mana yang hendak dipercaya? Yang satu terlampau menarik dan menegangkan untuk sungguh terjadi, yang lain terlalu biasa untuk menjadi menarik.

Mungkin begitu pula situasi yang dihadapi banyak warga menjelang pemilihan umum. Kisah-kisah mulai dirangkai dan disebarkan. Ada kisah yang menampilkan keunggulan dan kecerdasan seorang calon, bagaimana keberhasilannya di masa lalu, keluasan pergaulan dan kecerdasannya dalam melobby. Ceritera dituturkan mengenai ketajaman nalar si calon dan kemampuannya menyusun strategi pembangun. Karakter kerakyatan digarisbawahi. Ada kisah mengenai ketegasan seseorang menghadapi berbagai godaan penyalahgunaan. Dan untuk membuat kisah itu semakin menarik, orang melirik jauh ke masa lalu, membangun jembatan dengan para penguasa tradisional, atau memamerkan relasinya dengan para pejabat agama. Sangat indah semuanya, seperti kisah Pi. Apakah pantas dipercaya? Namun, tidak sedikit pula beredar cerita dan berita mengenai kebobrokan seseorang. Tentang keterlibatannya dalam kasus korupsi yang seperti panau makin digaruk makin meluas namun tak pernah terbongkar seluruhnya. Mengenai arogansinya ketika menjalankan kekuasaan, tega melupakan semua yang pernah merasa berkontribusi bagi kesuksesannya. Cerita pun ditutur tentang istri atau suaminya yang suka campur tangan dan aduk mulut dalam urusan kedinasan, yang bagai tim Litsus pada zaman Orde Baru mau meneliti semua yang menjadi rekan kerja suami atau istrinya. Ada kisah tentang saham sang calon dalam perusahaan tambang, kendati dia sendiri tampil sebagai penentang industri tambang di wilayah ini. Entahkah benar cerita ini? Musim menjelang pemilu adalah waktu bagi para calon untuk berkeliling, menunjukkan diri, menjual program dan meyakinkan warga. Tetapi inilah pula saat untuk mengarang dan mengedarkan banyak cerita dan kisah. Mana yang hendak dipercaya? Dilema kita tidak serumit kisah hidup Pi. Dia sendirian di laut lepas. Tak ada saksi lain yang bisa memberikan penegasan. Buku harian yang ditulisnya pun hilang ditelan gelombang. Berbeda dengan cerita hidup Pi, dalam Pilgub kita berhadapan dengan calon-calon yang tidak hidup sendirian. Mereka pun tidak berjuang tanpa sekutu dan tidak berkompetisi tanpa lawan. Sejarah mereka tanpa benang yang putus dan tanpa jejak yang hilang. Bisa diunduh dan diendus. Rekam jejak sangat mungkin dan mutlak perlu. Kita dapat menilai apa yang sudah dilakukannya dalam jabatannya sebelumnya, tidak perlu hanya untuk orang NTT, tetapi untuk semua mereka yang

memang pantas mendapt perhatiannya. Kita bisa menghitung-hitung kekuatan keuangannya dari sejarah pekerjaannya. Jika terlampau besar pasak daripada tiang, sangat mungkin dia sudah bernegosiasi dengan perusahaan tambang untuk menutup lubang utangnya. Kendati image bisa dibangun dari cerita dan kabar, namun, karena mereka adalah manusia historis, maka bisa dibuktikan mana cerita bohong dan mana kabar angin. Kecerdasan sebagai pemilih ditunjukkan, ketika kita masih bertanya seperti pada akhir film tadi: manakah cerita yang benar? Dan tanggung jawab sebagai warga menjadi nyata dalam usaha untuk mencari jawab atas pertanyaan ini. Kalau saya menilai versi ini sebagai yang benar, saya mesti punya alasan rasional, sekurang-kurangnya untuk saya sendiri. Paul Budi Kleden, SVD Pos Kupang, 9 Februari 2013

Anda mungkin juga menyukai