Anda di halaman 1dari 4

Setia Menggemakan Sabda - PaulusBudiKleden@gmail.

com

Rasionalitas dalam Pemilu


Media massa Italia tidak hanya sibuk memberitakan soal pemilihan paus. Pemilihan umum di Italia yang telah berlangsung pada tanggal 24 dan 25 Februari yang lalu masih cukup mendominasi pemberitaan. Pasalnya, setelah lebih dari 10 hari, belum bisa dipastikan siapa yang bakal memerintah. Tidak ada partai atau koalisi partai-partai yang dapat membentuk pemerintahan. Pemilu itu memunjukkan hasil perolehan suara suara sebagai berikut. Koalisi tengah kiri di bawah pimpinan Bersani memperoleh 29,5% pemilih untuk parlemen dan 31,4 untuk senat, sementara koalisi tengah kanan yang dikomandoi mantan perdana mentri Berlusconi mendapat 29,1% untuk parlemen dan 30, 7% untuk senat. Kejutan dibuat satu partai baru yang mendapat dukungan dari 23,8% suara untuk senat dan 25,5% untuk parlemen. Yang paling menyedihkan, koalisi partai-partai yang mendukung perdana mentri sekarang, Monti, hanya mendapat 9,1% untuk senat dan 10,6 % untuk parlemen. Perdana mentri yang dijuluki Sang Profesor itu tidak berhasil menyakinkan penduduk akan kemanjuran program politiknya untuk masa depan Italia. Kendati hanya unggul kurang dari satu prosen suara, koalisi tengah kiri akan menempatkan 340 dari 630 kursi di parlemen, sebab undang-undang Italia menetapkan bahwa partai atau koalisi partai-partai yang memperoleh suara terbanyak, mendapat 54% kursi. Kendati mendapat mayoritas di parlemen, koalisi partai-partai ini tidak berdaya sebab di senat distribusi kursinya berbeda. Di sini tidak ada yang berhasil menempatkan mayoritas dari 315 kursi yang tersedia. Mayoritas di senat diperlukan sebab semua perundangan harus mendapat persetujuan dari lembaga ini. Hasil ini diprediksi membuat Italia tidak dapat dipimpin, partai dan koalisi partai-partai tidak bersedia membentuk pemerintahan bersama. Kendati Berlusconi menunjukkan kesediaan untuk bergabung bersama koalisi tengah kiri untuk membentuk pemerintahan, Bersani dan kawan-kawan menolak tawaran ini mentahmentah. Ideologi kedua kelompok ini terlampau berbeda. Dan pribadi Berlusconi

Setia Menggemakan Sabda - PaulusBudiKleden@gmail.com


terlalu kontroversial untuk dapat dipercaya oleh para politisi tengah kiri. Mereka merasa direndahkan kalau harus bernegosiasi dengan politisi tua yang sudah berulang kali dijatuhi hukuman karena berbagai macam kasus, tetapi masih tetap saja berlangkah bebas dan bersepak terjang di panggung politik. Kemungkinan untuk bergabung dengan partai baru pun mustahil. Partai ini bernama Movimento 5 Stelle (Gerakan Bintang Lima), dipimpin oleh seorang pelawak, Beppo Grillo. Berlusconi tidak punya niat untuk berunding dengannya. Bersani mulai berbicara tentang ide untuk mendekati Grillo. Namun, Grillo sendiri sudah dengan jelas menegaskan bahwa dia memilih menjadi partai oposan. Hanya untuk soal-soal tertentu dia bisa diajak berkoalisi. Banyak pengamat mengatakan, Grillo memang tidak bisa menjadi partai yang ikut memerintah, karena sebenarnya dia tidak memiliki program yang jelas. Yang ada dan dijual selama masa kampanye adalah sejumlah slogan berupa kritik dan penolakan. Tidak ada alternatif konstruktif yang bisa ditawarkan. Dia menolak Uni Eropa dan melawan politik pengetatan anggaran yang dijalankan Monti, tetapi tidak menyampaikan apa yang diusungnya sebagai jalan keluar. Dia pun menolak partai dan menyebut partainya sebagai gerakan. Kendati demikian, Grillo sanggup menarik minat hampir separuh pemilih muda. 47% pemilih berusaha antara 18 sampai 24 tahun memberikan suaranya untuk sang pelawak. Malah di wilayah dengan tingkat pengangguran tinggi seperti Sicilia, 67% orang muda menjatuhkan pilihannya pada orang ini. Dia dianggap sebagai alternatif di tengah frustrasi yang mereka alami karena ulah para politisi kawakan dan partaipartai tua. Orang-orang muda itu memilih Grillo sekadar untuk menunjukkan bahwa mereka tidak percaya lagi kepada partai-partai tua dengan para pemimpinnya. Memilih Grillo menjadi sebuah catatan untuk partai-partai besar. Secara ideologis, para pemilih ini lebih dekat dengan Berlusconi yang menjanjikan lapangan kerja dan pemotongan pajak. Namun, para pemilih Grillo tidak percaya pada Berlusconi yang sedang terlilit berbagai persoalan hukum. Pilihan pada Grillo dinilai sebagai pilihan yang diambil karena terdorong emosi tanpa pertimbangan yang mendalam mengenai keseriusan politik. Para pemilih tidak membayangkan dengan

Setia Menggemakan Sabda - PaulusBudiKleden@gmail.com


sungguh apa yang bakal terjadi selain bahwa mereka mengungkapkan frustrasi mereka pada sistem ekonomi dan para politisi mapan yang sedang berkuasa. Dengan sikap seperti ini, negara dibawa ke dalam situasi sulit karena ketiadaan peluang untuk membentuk pemerintahan. Satu-satunya kemungkinan yang dilihat adalah, setelah memilih Presiden pada bulan Mei mendatang, akan diadakan lagi pemilihan parlamen dan senat. Memang Italia sangat akrab dengan Pemilu. Namun, di tengah krisis ekonomi yang sedang melanda Eropa dewasa ini, menunda lagi pemecahan masalah karena ketiadaan pemerintahan berarti memperpanjang baris orang-orang yang semakin tidak pasti keadaan ekonominya. Tidak hanya itu. Pilihan yang dijatuhkan karena dorongan perasaan ini membawa pengaruh besar bagi masa depan Eropa. Dengan hasil seperti ini warga Eropa mendapat bukti bahwa hampir separuh orang Italia tidak setuju dengan politik Eropa yang sedang dijalankan di bawah komanda Angela Merke dibantu dengan setia oleh Hollande dari Prancis dan Montini dari Italia. Proyek besar Eropa dengan mata uang Euro dapat terancam. Demikian pula masa depan politisi pendukungnya seperti Angela Merkel di Jerman yang menghadapi Pemilu pada paruh kedua tahun ini. Pemilu di Italia mendemonstrasikan apa yang dapat terjadi apabila orang menjatuhkan pilihan pada seseorang atau satu partai karena tidak suka pada orang atau partai lain tanpa memperhatikan keunggulan dari partai atau orang tersebut. Memilih selalu berarti mengunggulkan yang satu dan mengeksklusi yang lain. Menjadi pemilih yang bertanggungjawab berarti mengunggulkan yang satu bukan sekadar karena tidak suka yang lain, melainkan karena yang satu itu memang memiliki kualitas yang membuatnya pantas diunggulkan dari yang lain. Rasionalitas dalam memilih menjadi nyata dalam kemampuan, kesediaan dan keberanian membandingkan keunggulan dan kekurangan. Yang dipilih oleh seorang pemilih rasional adalah yang paling banyak keunggulannya dan paling sedikit kekurangannya. Rasionalitas sebuah pilihan politik pun mesti melampaui kriteria suka atau tidak suka. Yang dipertaruhkan dalam sebuah pemilihan politik terlampau besar. Masa depan satu negara atau wilayah dan konsekuensi yang akan ditanggung pula oleh negara atau wilayah lain tidak membenarkan sebuah pertimbangan yang semata-mata didasarkan

Setia Menggemakan Sabda - PaulusBudiKleden@gmail.com


pada prinsip suka atau tidak suka. Suka akan membuat orang menjadi penggemar yang gampang larut dalam histeria, sementara dalam demokrasi diperlukan warga yang rasional dan kritis. Warga seperti ini menentukan pilihan berdasarkan kebutuhan dan tantangan yang harus dijawab serta kesanggupan seseorang untuk itu. Dalam konteks pemilihan gubernur, pertimbangan rasional adalah sebuah kemendesakan. NTT tidak seharusnya tetap berada pada deretan paling akhir dari sekian banyak perangkingan di Indonesia. Kita tidak seharusnya tetap seperti itu. Kita bisa berubah. Dan pemilihan gubernur adalah kesempatan untuk merancang dan menentukan langkah menuju perubahan itu. Jika perubahan menuju NTT yang lebih baik menjadi cita-cita bersama, orang mesti menjadi pemilih yang rasional. Pertimbangan berdasarkan suka tidak suka dan berbasis primordialitas kesukuan atau keagamaan sejatinya ditinggalkan. Paul Budi Kleden, SVD Pos Kupang, 9 Maret 2013

Anda mungkin juga menyukai