Anda di halaman 1dari 16

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Sejarah Indonesia telah membuktikan pergeseran dan perubahan format acara, scope dan otoritas hukum Islam. Menguatnya dua bentuk hukum, hukum adat dan hukum Islam, pada masa formatif menjadi model awal hubungan hukum di Indonesia. Hal ini kemudian bergeser menjadi penguatan dua kutub kepentingan yang berfokus pada subyek yang berbeda, yakni negara dan masyarakat. Kalau pada masa awal terjadi persaingan, disamping proses akulturatif, antara hukum adat dan hukum Islam, maka pada masa-masa berikutnya sampai pada masa Orde Baru persaingan kekuatan itu berubah menjadi persaingan antara kepentingan masyarakat untuk tetap tunduk pada otoritas teks fikih klasik yang mentradisi melawan kehendak pemerintah untuk melakukan unifikasi hukum. Persaingan ini menjadi parameter ekspresi baru yang cukup sensitif antara state dan society. Kecenderungan persaingan seperti yang terakhir ini menjadi sangat jamak di banyak negara Muslim. Pergeseran semacam tersebut di atas, dalam konteks Indonesia, secara jelas digambarkan oleh munculnya teori-teori, yang salah satunya adalah teori receptie, salah satu teori yang mengindikasikan perdebatan otoritas penerapan hukum Islam. Teori receptie ini diprakarsai oleh Van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje. Teori receptie ini menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat. Dengan demikian menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum Islam harus diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum Adat.

B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut: 1. Apa pengertian hukum adat dan hukum islam..? 2. Bagaimanakah hubungan hukum adat dengan hukum islam..? 3. Bagaimanakah lembaga adat aceh..?

4. Bagaimanakah perbandingan hokum adat dan hokum islam..?

C. Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui pengertian hukum adat dan hukum islam. 2. Untuk mengetahui hubungan hukum adat dengan hukum islam. 3. Untuk mengetahui lembaga adat aceh. 4. Untuk mengetahui perbandingan hokum adat dan hokum islam.

D. Manfaat Penulisan Paper ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi rekanrekan mahasiswa, khususnya penulis untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pengertian hukum adat dan hukum islam, hubungan hukum adat dengan hukum Islam, lembaga adat aceh, dan perbandingan hokum adat dan hokum islam.

BAB II PEMBAHASAN

A. Hukum Adat dan Hukum Islam 1. Pengertian hukum adat Menurut pakar dan ahli hukum, definisi hukum adat adalah sebagai berikut : a. Van Vollenhoven Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak memiliki sanksi dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan. b. Reolef Van Dijk Hukum adat adalah istilah untuk menunjukan hukum yang tidak dikodifikasikan dikalangan orang-orang indonesia asli dan kalangan orang Timur Asing (Cina, Arab, dan lain-lain) 2. Pengertian hukum islam Syariat islam adalah ketetapan atau pelaturan Allah yang baku dan tidak dapat diubah lagi,baik itu oleh Nabi Muhammad sendiri maupun umatnya. Sifat Syariat sendiri adalah qathI ya itu tetap dan tidak dapat diubah kecuali dengan kehendak-Nya.

B. Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam Hubungan hukum adat dengan hukum Islam dalam makna kontak antara kedua sistem hukum itu telah lama berlangsung di tanah air kita. Hubungannya akrab dalam masyarakat. Keakraban itu tercermin dalam berbagai pepatah dan ungkapan dibeberapa daerah, misalkan ungkapan dalam bahasa Aceh yang berbunyi : "hukum ngon adat hantom cre, lagee zat ngon sipeut". Artinya hukum Islam dengan hukum adat tidak dapat dicerai pisahkan karena erat sekali hubungannya seperti hubungan zat dengan sifat sesuatu barang atau benda. Hubungan demikian terdapat juga di Minangkabau yang tercermin dalam pepatah; "adat dan syarasanda menyanda syara mengato adat memakai".

Makna pepatah ini adalah hubungan (hukum) adat dengan hukum Islam (syara) erat sekali, saling topang-menopang, karena sesungguhnya yang dinamakan adat yang benar-benar adat adalah syara itu sendiri. Dalam hubungan ini perlu dijelaskan bahwa adat dalam ungkapan ini adalah cara melaksanakan atau memakai syara itu dalam masyarakat. Hubungan adat dan Islam erat juga di Jawa. Ini mungkin disebabkan karena prinsip rukun dan sinkretisme yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jawa, terutama didaerah pedesaan Dalam buku-buku hukum yang tertulis oleh para penulis barat/Belanda dan mereka yang sepaham dengan penulis-penulis Belanda itu, hubungan hukum adat dengan hukum Islam di Indonesia, terutama di daerah-daerah, selalu digambarkan sebagai dua unsur yang bertentangan. Ini dapat dipahami, karena teori konflik yang mereka pergunakan untuk mendekati masalah hubungan kedua sistem hukum itu dengan sadar mereka pergunakan untuk memecah belah dan mengadu domba rakyat Indonesia guna mengukuhkan kekuasaan Belanda di tanah air kita. Karena itu pula sikap penguasa jajahan terhadap kedua sistem hukum itu dapat diumpamakan seperti sikap orang yang membelah bambu, mengangkat belahan yang satu (adat) dan menekan belahan yang lain (Islam). Sikap ini jelas tergambar dalam salah satu kalimat Van Vollenhoven, seorang ahli hukum adat yang terkenal, ketika ia berpolemik dengan pemerintahnya mengenai politik hukum yang akan dilaksanakan di Hindia Belanda. Menurut Van Vollenhoven. Hukum adat harus dipertahankan sebagai hukum bagi golongan bumi putera, tidak boleh didesak oleh hukum Barat. Sebab, kalau hukum adat didesak (oleh hukum Barat), hukum Islam yang akan berlaku. Ini tidak boleh terjadi di Hindia Belanda. Karena itu ada yang mengatakan bahwa apa yang disebut sebagai konflik antara hukum Islam dengan hukum adat pada hakikatnya adalah isu buatan politikus hukum kolonial saja. Salah seorang diantaranya adalah B. Ter Haar yang menjadi master architect pembatasan wewenang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Menurut Ter Haar, antara hukum adat dengan hukum Islam tidak mungkin bersatu, apalagi bekerja sama, karena titik tolaknya berbeda.

Hukum adat bertitik tolak dari kenyataan hukum dalam masyarakat, sedang hukum Islam bertitik tolak dari kitab-kitab hukum (hasil penalaran manusia) saja. Karena perbedaan titik-tolak itu, timbulah pertentangan yang kadang-kadang dapat diperlunak tetapi seringkali tidak. Dalam mengambarkan hubungan adat dengan Islam di daerah, umpamanya, para penulis barat/Belanda selalu mengambarkan kelanjutannya dalam pertentangan antara kalangan adat dan kalangan agama (Islam). Keduaduanya seakan-akan merupakan dua kelompok yang terpisah yang tidak mungkin bertemu atau dipertemukan. Padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian, karena dikalangan adat terdapat orang-orang alim dan kalangan ulama dijumpai orang yang tahu tentang adat. Gambaran Pertentangan antara kalangan adat dengan kalangan agama mereka kontruksikan dalam pertentangan antara hukum perdata adat dengan hukum perdata Islam dalam perkawinan dan kewarisan. Mereka gambarkan seakan-akan Pertentangan itu tidak mungkin diselesaikan. Menurut penglihatan penulis-penulis barat/Belanda, perkawinan yang dilangsungkan menurut ketentuan hukum Islam hanyalah kontrak antara pribadi-pribadi yang melangsungkan pernikahan itu saja, sedang perkawinan yang dilakukan menurut hukum adat adalah ikatan yang menghubungkan dua keluarga, yang tampak dari upacara waktu melangsungkan perkawinan itu. Karena penglihatan yang demikian, mereka lebih menghargai dan menghiduphidupkan perkawinan menurut hukum adat saja dari pada perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum Islam. Mereka tidak mau melihat kedalam tradisi Islam dimana keluarga (terutama orang tua) ikut bertanggung jawab mengenai hubungan kedua mempelai tidak hanya waktu mencari jodoh, tetapi juga waktu melangsungkan perkawinan. Bahkan keluarga akan turut berperan pula untuk menyelesaikan perselisihan kalau kemudian hari terjadi kekusutan dalam kehidupan rumah tangga orang yang menikah itu. Mereka tidak tahu, karena tidak mempelajarinya, bahwa pernikahan menurut Islam adalah sarana Pembinaan rasa cinta dan kasih sayang dalam dan antar keluarga.

Menurut penulis-penulis Barat/Belanda, masalah kewarisan adalah contoh yang paling klasik yang menampakkan pertentangan antara hukumIslam dengan hukum adat di Minangkabau. Seperti yang telah dikemukakan diatas, secara teoritis, menurut mereka, konflik ini tidak mungkin diselesaikan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan tidaklah demikian halnya. Kesepakatan antar ninik mamak dan alim ulama di Bukit Marapalam dalam perang Paderi di abad ke-19 dahulu telah melahirkan rumusan yang mantap mengenai hubungan hukum adat dengan hukum Islam. Rumusan itu antara lain berbunyi (di Indonesiakan) adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah (Quran). Rumusan itu diperkuat oleh Rapat (oarang) empat jenis (ninik, mamak, imam khatib, cerdik-pandai, manti-dubalang) Alam Minangkabau yang diadakan di Bukittinggi tahun 1952 dan dipertegas lagi oleh kesimpulan seminar hukum Adat Minangkabau yang diadakan di Padang Bulan Juli 1968. Dalam rapat dan seminar itu ditegaskan bahwa pembagian warisan orang Minangkabau, untuk (1) harta pusaka tinggi yang diperbolehkan turun-menurun dari nenek moyang menurut garis keibuan dilakukan menurut adat, dan (2) harta pencaharian, yang disebut pusaka rendah, diwariskan menurut syara (hukum Islam). Dengan kata lain, sejak tahun 1952 kalau terjadi perselisihan mengenai harta pusaka tinggi maka penyelesaiannya berpedoman pada garis kesepakatan hukum adat, sedang terhadap harta pencaharian berlaku hukum faraaid (hukum kewarisan Islam). Oleh seminar hukum adat Minang kabau tahun 1968 itu juga diserukan kepada seluruh hakim di Sumatera Barat dan Riau agar memperhatikan kesepakatan tersebut. Demikianlah, hubungan hukum adat dengan hukum Islam yang dianggap oleh penulis-penulis barat/Belanda sebagai pertentangan yang tidak dapat terselesaikan, telah diselesaikan oleh orang Minangkabau sendiri dengan kesepakatan di Bukit tinggi dan seminar di Padang seperti yang telah dikemukakan di atas. Hal yang sama terjadi pula di Aceh dengan pembentukan propinsi (1959) mempunyai status istemewa, sesuai dengan keinginan orang Aceh sendiri, untuk mengembangkan agama, termasuk hukumnya, adat-istiadat dan pendidikan.

Sementara itu, perlu dicatat bahwa setelah Indonesia merdeka, khusus di alam Minangkabau telah berkembang pula suatu ajaran yang mengatakan bahwa hukum Islam adalah penyempurnaan hukum adat. Karena itu, kalau terjadi perselisihan antara keduanya, yang dijadikan ukuran adalah yang sempurna yakni hukum Islam. Dengan kata lain, adat atau hukum adat hanya dapat berlaku dan dilaksanakan dalam masyarakat kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.

C. Lembaga Adat Aceh Adat berasal dari bahasa arab iaitu perbuatan yang berulang-ulang atau kebiasaan yang berlakuy bagi sesebuah masyarakat. Adat pada umumnya bermaksud aturan baik berupa perbuatan ataupun ucapan yang lazim diturut dan dilakukan sejak dahulu kala. Adat istiadat merupakan seperangkat nilai-nilai dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat Aceh. Dr. Muhammad Hakim Nyak Pha, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala/ Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI, dalam buku yang berjudul Pedoman Umum Adat Aceh Edisi I, menuliskan bahwa adat istiadat adalah tata kelakuan atau tata tindakan atau tata perbuatan yang selanjutnya merupakan kaedah-kaedah yang bukan saja dikenal, diakui dan dihargai, akan tetapi juga ditaati oleh sebahagian besar warga masyarakat yang bersangkutan. 1. Hukum adat Adat ialah suatu hokum yang tidak tertulis dan merupakan hukum Indonesia asli dalam bentuk laporan perundang-undangan republik Indonesia yang terkandung di dalamnya unsur-unsur keagamaan yang berkembang di dalam masyarakat secara turun-temurun melalui keyakinan yang tertentu. Oleh kerana itu aturan dan tindakan yang dianggap patut itu mengikat para penduduk, dan konsekuensinya aturan itu dipertahankan oleh kepala adat dan petugas hokum lainnya, DSisini dapat disimpulkan bahawa aturan adat bersifat hokum.

Pengaturan

tatatertib

masyarakat

oleh

hokum

adat

ini

mengindikasikan, hukum adat mengandungi sanksi yang dikenakan jika aturan-aturan tersebut dilanggar. 2. Definisi lembaga adat Dalam Pasal 1 ayat (5) Perda No 7 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, disebutkan bahwa Lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu, mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh. 3. Unsur pembangunan lembaga adat a. Organisasi desa Desa ialah suatu kesatuan kemasyarakatan berdasarkan ketunggalan wilayah yang organisasinya didasarkan atas tradisi yang hidup dalam suasana rakyat dan mempunyai suatu badan tata urusan pusat yang berwibawa di seluruh lingkungan wilayahnya. Ia merupakan kesatuan bertunggal wilayah terbesar sdalam suasana rakyat dan merupakan organisasi pemerintahan. Oleh karena itu bolehlah dikatakan bahwa ia merupakan suatu sendi organisasi Negara. b. Ketunggalan silsilah Dalam menyelidiki ketunggalan silsilah maka perlu diperhatikan : 1) Dihitung satu orang leluhur yaitu sang pemuka menjadi peletak dasar garis keturunan. 2) Dihitung dari seorang terkemuka tanpa pembatasan berapa generasi jauhnya. 3) Diperhitungkan suatu rantai keturunan istimewa. 4) Mungkin jua dihitung melalui garis yang tidak berketentuan. c. Paguyuban hidup Bermaksud suatu himpunan manusia dengan penonjolan berbagai hubungan guyub, sedangkan suatu penguyuban hidup ialah suatu penguyuban, yang di situ perhatian orang yang perlu dan penting

baginya dalam kehidupan dan penghidupannya seperti kebahagiaan, kesehatannya dan lainnya. 4. Penyelenggaraan kehidupan adat di Aceh Menurut PERDA No 7 tahun 2000, Penyeleggaraan tentang hokum adat di Aceh adalah seperti berikut; a. Geuchik adalah orang yang dipilih dan dipercaya oleh masyarakat serta diangkat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk memimpin Pemerintahan gampong. b. Irnurn rnukirn adalah Kepala Mukim dan Pemangku Adat di Kemukiman c. Tuha Peut, suatu badan kelengkapan gampong dan Mukim yang terdiri dari unsur Pemerintah, unsure Agama, unsur Pimpinan Adat, unsur Cerdik-Pandai yang berada dalam gampong dan Mukim yang berfungsi memberi nasehat kepada Geuchik dan lmum Mukim dalam bidang pemerintahan, hokum adat, adat istiadat, dan kebiasan- kebiasaan masyarakat serta menyelesaikan segala sengketa di gampong dan Mukim. d. Tuha Lapan adalah suatu Badan Kelengkapan gampong dan Mukim yang terdiri dari unsur pemerintah, unsur Agama, unsur Pimpina adat, Pemuka Masyarakat, unsur Cerdik-Pandai, unsur Pemuda-Wanita dan unsur Kelompok Organisasi Masyarakat. e. Mum Meunasah adalah orang yang rnernimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di gampong yang kerkaitan dengan bidang agama lslam dan pelaksanaan Syariat lslam. f. Keujruen Blang adalah orang yang membantu Geuchik di bidang pengaturan dan penggunaan irigasi untuk persawahan g. Panglimo Loot adalah orang yang memimpin adat-istiadat, kebiasaankebiasaan yang berlaku di bidang penangkapan ikan di laut, terrnasuk rnengatur tempatlareal penangkapan ikan dan penyelesaian sengketa h. Peutua Seuneubok adalah orang yang memimpin dan mengatur ketentuan-ketenuan tentang pembukaan dan penggunaan lahan untuk perladangan-perkebunan

i. Haria Peukan adalah orang yang mengatur ketertiban, keamanan dan kebersihan pasar serta mengutip retribusi pasar gampong. j. Syahbanda adalah orang yang mernimpin dan mengatur tambatan kapal/perahu, lalu lintas keluar dan masuk kapal/perahu di bidang angkutan laut, danau dan sungai. Adat istiadat tersebut telah memberikan sumbangan yang sangat berharga terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, bidang adat merupakan salah satu keistimewaan yang diakui oleh Pemerintah di Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Berdasarkan Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 11 tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat istiadat di Tingkat Desa/Kelurahan, pengaturan masalah lembaga Adat telah mempunyai landasan hukum yang kongkrit. Dengan demikian pemerintah Propoinsi Daerah Istimewa Aceh dapat mengatur pembinaan, pengembangan dan pelestarian adat istiadat. Fungsi umum Adat istiadat adalah mewujudkan hubungan yang harmonis dalam kehidupan masyarakat. Di Aceh sendiri, menurut Wakil Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) A. Rahman Kaoy, adat dan proses hukum nyaris tidak bisa dipisahkan. Oleh karenanya dalam setiap kumpulan masyarakat yang hidup dalam satu komunitas atau yang dikenal dengan gampong (istilah untuk desa), masyarakat harus memiliki satu lembaga adat, yang terdiri dari unsur pemerintahan, pemuka agama dan kaum penasihat. 5. Hukum dan lembaga adat untuk penyelesaian sengketa Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para fungsionaris hukum yang mempunyai wibawa serta pengaruh dalam pelaksanaannya, berlaku serta merta dan dipatuhi sepenuh hati. hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan para warga masyarkat hukum, terutama keputusan-keputusan berwibawa dari pimpinan rakyat yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan hukum atau dalam hal yang bertentangan dengan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keyakinan

tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan hukum adat. Jika sengketa diselesaikan secara hukum adat, dipastikan penyelesaiannya akan bisa lebih mudah. Menyelesaikan masalah dengan hukum adat, dipastikan tidak ada ekses, dan beban yang diemban oleh pihak kepolisian yang dalam hal ini adalah perangkat hukum positif, juga akan lebih ringan. Berbagai sengketa, jika diselesaikan dengan hokum positif dinilai bisa menimbulkan ekses, misalnya, seseorang yang bersalah kemudian divonis penjara, dan suatu saat bisa menimbulkan rasa dendam di kemudian hari. Dalam Pasal 10 Perda Nomor 7 tahun 2000 disebutkan : Aparat penegak hukum member kesempatan terlebih dahulu kepada geuchik dan imum mukim untuk menyelesaikan masing-masing. sengeketa-sengketa/perselisihan Sekretaris Panglima Laot di Aceh, gampong/mukim Adli Abdullah,

mengatakan, sistem peradilan adat amat sesuai dengan perasaan masyarakat. Sejak zaman Iskandar Muda, semua sengketa, baik itu perdata maupun pidana selalu menempuh prosedur penyelesaian melalui lembaga hukum adat, misalnya perkelahian, pembunuhan bahkan untuk sekarang ini, kecelakaan lalu lintas di jalan raya penanganannya dilakukan melalui geuchik atau orang tua gampong yang dilakukan di meunasah. Dengan demikian maka berbagai kasus tersebut bias diselesaikan dengan cepat, sederhana dan murah serta hasil keputusannya akan membentuk kembali jalinan persaudaraan dan kedamaian. Namun, jika dalam waktu tertentu sengketa tidak juga bisa diselesaikan, atau ada pihak yang belum puas, maka sengketa bisa diajukan kepada aparat penegak hukum, sesuai dengan Pasal 15 ayat (1) Perda Nomor 7 tahun 2000 disebutkan : Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan Imum Mukim tidak dapat menyelesaikan atau para pihak yang berselisih/bersengketa merasa tidak puas terhadap keputusan adat tingkat Mukim, maka ia dapat mengajukan perkaranya kepada aparat penegak hukum. Pasal 15 ayat (2) menyebutkan : Keputusan adat yang telah dijatuhkan kepada pihak-pihak yang bersengketa dapat dijadikan salah satu pertimbangan oleh aparat penegak hokum dalam menyelesaikan perkara.

Dalam menyelesaikan berbagai sengketa, banyak sanksi yang bisa dijatuhkan kepada sipelanggar hukum. Pasal 19 Perda Nomor 7 tahun 2000 menyebutkan: Jenisjenis penyelesaian sengketa dan sanksi yang dapat dijatuhkan sebagai berikut; a. Nasihat dan teguran b. Pernyataan maaf di hadapan orang banyak di meunasah atau mesjid, diikuti dengan acara peusijuk c. Denda dan ganti kerugian d. Dikucilkan oleh masyarakat gampong, dan dikeluarkan dari masyarakat gampong e. Pencabutan gelar adat f. Dan lain-lain bentuk sanksi sesuai dengan adat setempat 6. Realiti fungsi lembaga adat kini Kini peran lembaga adat agak terpinggirkan oleh berbagai kondisi yang terjadi di Aceh. A Rahman Kaoy mengatakan, kondisi Aceh, yang selalu dalam keadaan bersengketa membuat penyelenggaraan adat menjadi terlupakan. 73 tahun berperang melawan belanda, ditambah lagi dengan konflik bersenjata, membuat masyarakat tidak sempat berpikir untuk menyelenggarakan adat dan hukum adat, terlebih lagi mewarisinya kepada generasi muda. kehidupan yang berdasarkan adat, kini hanya mengakar dalam kehidupan generasi tua saja. Perubahan zaman yang dibarengi dengan kemodernisasian, telah menyisihkan keseharian adat dari kehidupan masyarakat, khususnya kaum muda. Tidak heran, jika kini muncul satu keresahan akan kelangsungan keberadaan adat di masyarakat Aceh. Senada dengan itu, Adli Abdullah, mengatakan telah terjadi dekradasi pemahaman adat di kalangan masyarakat Aceh untuk saat ini. Pasca tsunami Aceh, membawa dua dampak sekaligus untuk perkembangan adat di Aceh. Dampak pertama, kearifan-kearifan lokal mulai terkikis dengan masuknya budaya modernisasi yang datang beserta banyaknya orang dari berbagai penjuru dunia, yang datang melawat ke Aceh, melalui berbagai bantuan. Contoh terdekat, sebut Adli, adalah kebersamaan membangun gampong. Jika sebelumnya masyarakat masih

mau bergotong royong dengan sukarela membangun gampongnya, tetapi kini hal yang kontras yang terlihat. Dampak kedua, adalah dampak positif, dimana segala hal tentang adat dan hukum adat, kini mulai dibincangkan hingga ke tingkat akademisi di kampus. Dengan adanya kondisi ini, diharapkan implementasi adat Aceh dalam keseharian masyarakat bisa dikembalikan seperti zaman keemasannya dulu, apalagi sekarang sudah didukung kuat dengan adanya Undang-undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Saat ini, sebut A Rahman Kaoy, tengah diupayakan kembali membentuk lembaga-lembaga adat di gampong-gampong di seluruh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, hal ini dilakukan dengan melatih semua aparat gampong, untuk bisa menerapkan adat seperti sebelumnya. Dari pelatihan Sosialisasi Lembaga Adat di gampong yang dilakukan oleh Majelis Adat Aceh selama periode 2007 hingga saat ini diperkirakan baru 5% saja aparat gampong di Aceh yang sudah mendapatkan pelatihan tersebut. Selain dilatih untuk menjalankan adat, mereka juga dilatih untuk menjadi pengurus di peradilan gampong, sehingga setiap terjadi sengketa di gampong, bisa diselesaikan dengan hokum adat dan peradilan gampong.

D. Perbandingan Hukum Adat dan Hukum Islam Perbandingan hukum adat dengan hukum islam antara lain dapat dilihat dari segi : 1. Keadaan a. Hukum adat; lebih dahulu berlaku di Indonesia b. Hukum islam; M.D. Mansyur mengatakan islam masuk keindonesia pada abad ke 7 M/I H, Hamka menyebut pada tahun 684 M terdapat tokoh arab di Sumatra Barat. 2. Bentuk a. Hukum adat; tidak tertulis, namun ada upaya untuk menjadi UndangUndang, antara lain pasal 22 ayat UUPA No.5 Th 1960 (L.N. 1960 No.104). b. Hukum islam; tidak tertulis dalam Undang-Undan NKRI.

3. Tujuan a. Hukum adat; menyelenggarakan kehidupan masyarakat yang aman, tentram, dan damai. b. Hukum Islam; menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganlaranganNya. 4. Sumber, a. Pengenal 1) Hukum adat; menurut Prof. Bzn Ter Haar adalah putusan penguasa adat sedangkan menurut Prof.Koesnoe adalah apa yang terlaksana dalam pergaulan hukum masyarakat berupa tingkah laku nyata. 2) Hukum Islam; dalam pengertian syariah adalah Al-Quran dan Hadits sedangkan dalam hal fiqh adalahkitab-kitab fiqh. b. Isi 1) Hukum adat; kesadaran hukumyang hidup dalam masyarakat. 2) Hukum Islam; kemauan Allah berupa wahyu dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi SAW. c. Pengikat 1) Hukum adat; sumber yang menjadi kekuatan. 2) Hukum Islam; iman dan taqwa kepada Allah. d. Struktur 1) Hukum adat; Adat nan sabana adat dan adat pustaka. 2) Hukum Islam; Al-Quran, Hadits, Ijtihad, dan Ijma. e. Ruang lingkup masalah, 1) Hukum adat; mengatur lahiriah antara manusia dengan manusia serta penguasa dalam masyarakat. 2) Hukum Islam; hamlumminannas dan hablumminallah. f. Kewajiban dan hak 1) Hukum adat; mendahulukan hak. 2) Hukum Islam; mendahulukan kewajiban. g. Norma dan kaidah, 1) Hukum adat; kesusilaan, hukum, dan agama.

2) Hukum Islam; Al-ahkam al-khamsah yaitu fardhu, sunnah, jaiz, makruh, dan haram

PENUTUP Berdasarkan pada bab pembahasan, pemakalah menyimpulkan bahwa hukum Islam dalam prosesnya sangat memperhatikan adat setempat. Namun, baru dapat diterima jika adat tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dan tujuan dari ajaran Islam. Hukum Adat adalah hukum yang mengatur pergaulan masyarakat, dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat itu sendiri, dan bukan merupakan hukum tertulis. Hukum Islam adalah ketetapan Allah yang baku dan tidak dapat diubah lagi baik oleh Nabi Muhammad ataupun umatnya dan mencakup perintah dan larangan. Dari semua pembahasan makalah ini,sudah pasti banyak kekurangan untuk itu pemakalah mengharapkan partisipasi saran dan kritik yang membangun kearah perubahan yang lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca. Pembaharuan hukum waris islam di Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung telah dipengaruhi oleh keadaan realita masyarakat Indonesia dengan hukum waris adatnya. Sehingga dengan memperhatikan keadaan masyarakat Indonesia ( adat ), hukum waris islam di Indonesia dapat dilaksannakan dengan semestinya dengan tidak adanya penyimpangan-penyimpangan terhadap hukum waris baik secara langsung ataupun tidak langsung.

DAFTAR PUSTAKA Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. TT. Tafsir al-Maraghi, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr. Daud Ali Mohammad. 1999. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Fatah, Syekh Abdul. 1990. Tarikh al-Tasyri al-Islam. Kairo: Dar al-Ittihad alArabi. Hamka. 1976. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Mansyur. 1991. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bhara.

Ridla, Muhammad Rasyid. TT. Tafsir al-Manar, Juz I. Bairut: Dar al-Fikr. Suepomo. 1977. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita. Yamanni, Ahmad Zaki. 1388 H. Islamic Law and Contemporary Issues. Jeddah: The Saudi Publishing House.

Anda mungkin juga menyukai