Anda di halaman 1dari 29

BATUK BERKEPANJANGAN

KELOMPOK B-8 Ketua : Andhika Aryandhie Dwi Putra (1102008026)


Sekertaris : Fadhilah (1102008331) Anggota : Radi Tri Hadrian (1102009232) Rinda Putri Anggraini (1102009248) Pribunga Fathma Sagardi (1102009216) Puput Indah Pratiwi (1102009224) Reza Akbar Rafsanzani (1102009240) Soraya Muchlisa (1102009272) Santi Intansari (1102009260) Trianggi Putri Husni (1102009286)

BATUK BERKEPANJANGAN
(surat kepada dokter pada kolom konsultasi di makjalah wanita X) Dokter yang terhormat, Saya memiliki seorang anak berusia 6 tahun yang selama 3 bulan terakhir batuk berkepanjangan. Setiap bulan anak saya hanya bebas dari batuk selama seminggu sampai 10 hari saja kemudian mulai batuk kembali. Anak saya hanya batuk pada dini hari saja sehingga tidurnya menjadi terganggu. Pada siang hari anak saya jarang batuk. Saya sudah membawanya kedokter dan anak saya dicurigai menderita asma. Tidak ada seorangpun di rumah menderita asma. Saya menderita eksim ketika masih kecil dan suami saya sering pilek yang menurut dokter pilek karena alergi. Menurut dokter yang memeriksa anak saya, kami berdua membawa sifat atopi yang menyebabkan anak kami menderita asma. Kata orang penderita asma biasanya sesak napas. Anak saya tidak pernah sesak napas. Bagaimana menurut dokter? Apa yang perlu saya lakukan agar anak saya tidak batuk lagi.

I. MENCARI KATA-KATA SULIT 1. Eksim : kelainan kulit kronis gatal-gatal, ditandai inflamasi kulit kering, eksudasi yang kambuh-kambuhan. 2. Atopi : kelainan dengan dasar genetik ditandai dengan kecenderungan individu memproduksi IgE.

II. BRAIN STORMING 1. 2. 3. 4. 5. Kenapa batuk terjadi pada dini hari ? Kenapa batuk hilang timbul ? Kenapa anak tersebut didiagnosis asma ? Apakah sesak napas ciri khas asma ? Apakah asma bersifat genetik, dan apa hubungan atopi dengan asma ?

III. 1. 2. 3. 4. 5. Karena fisiologi paru pada dini hari, terjadi bronkokonstriksi Karena ada pengaruh dari sistem imun yang menurun Karena dari gejala menunjukkan anak tersebut asma. Iya, sesak napas terjadi karena bronkokonstriksi. Iya, karena dipengaruhi oleh peningkatan IgE yang berasal dari sifat atopi.

IV.

HIPOTESA

Asma terjadi pada dini hari karena terjadi bronkokonstriksi pada paru. Meliputi gejala batuk hilang timbul, pilek dan tidak selalu sesak napas. Asma juga merupakan penyakit genetik.

V.

SASARAN BELAJAR

1. Memahami dan menjelaskan definisi, patogenesis,dan patofisiologi, penegakkan diagnosis dan tatalaksana asma bronkial pada anak. 1.1) Definisi asma bronkial 1.2) Epidemiologi 1.3) Etiologi 1.4) Patogenesis dan patofisiologi 1.5) Klasifikasi 1.6) Manifestasi klinis 1.7) Diagnosis 1.8) Komplikasi 1.9) Penatalaksanaan 2. Memahami dan menjelaskan serangan asma pada anak. 2.1) Patofisiologi 2.2) Manifestasi klinik 2.3) Penatalaksanaan. 3. Memahami dan menjelaskan pencegahan dan prognosis asma bronkial pada anak. 3.1) Pencegahan 3.2) Prognosis

VI. MANDIRI

VII. 1. Memahami dan menjelaskan definisi, patogenesis,dan patofisiologi, penegakkan diagnosis dan tatalaksana asma bronkial pada anak. 1.1) Definisi asma Asma didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran respiratorik dengan banyak sel yang berperan khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan, inflamasi ini menyebabkan episod wheezing berulang, sesak napas, rasa dada tertekan dan batuk khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan hiperreaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan. 1.2) Epidemiologi Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6- 7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2% (Kartasasmita, 2002). Berdasarakan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta), dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang mengalami serangan lebih banyakdari pada lelaki. WHO memperkirakan sekitar 250.000 kematian akibat asma. Sedangkan berdasarkan laporan NCHS (2004) terdapat 4487 kematian akibat asma atau1,6 / 100.000 per populasi. Kematian anak akibat asma jarang. 1.3) Etiologi Sampai saat ini patogenesis etiologi asma belum diketahui dengan pasti, berbagai teori patogenesis telah diajukan, tapi yang paling disepakati para ahli adalah yang berdasarkan gangguan saraf otonom dan sistem immun, gangguan saraf meliputi : parasimpatis (hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan saraf simpatis (blokade adrenergik beta) dan hiperaktivitas adrenergik alfa. Kedua rangsangan ini reseptor tersebut menimbulkan broncus konstruksi dan pada gangguan reseptor. Kolinergik rangsangan seperti dingin, asap rokok, partikel-partikel yang ada pada udara, tertawa dan sebagainya. (Price. SA dan Wilson LM, 1995). Pada teori terjadi karena : o Faktor ekstrinsik. Reaksi antigen-antibodi, karena inhalasi alergen (debu, serbukserbuk bulu binatang). o Faktor intrinsik. Infeksi para influenza virus, pneumonia, mycoplasma. Kemudian dari fisik, cuaca dingin, perubahan temperatur. Iritasi kimia dan polusi udara (CO2, asap rokok, parfum). Emosional (tekut, lemas, dan tegang). Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus. 1.4) a) Patogenesis

Sedikitnya ada dua jenis Th. Th1 memproduksi IL-2, IF-g, dan TNF-b. Sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16. Antigen di bawa ke sel dendritik, dengan melibatkan MHC kelas II, limfosit T teraktivasi (Th2). GMCSF yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast. Pengaktifan sel mast menyebabkan pembebasan beragam mediator primer dan sekunder yang berfungsi pada fase awal dan lanjut asma. Mediator fase awal meliputi : Leukotrin C4, D4, E4. Mediator yang menyebabkan bronkokonstriksi berkepanjangan, peningkatan permeabilitas vaskular, dan peningkatan sekresi musin. Prostaglandin D2, E2, dan F2a. Memicu bronkokonstriksi dan vasodilatasi. Platelet activiting factor. Menyebabkan agregasi trombosit dan pembebasan histamin dari granula. Histamin. Menyebabkan brokopasme dan meningkatkan permeabilitas vaskular. Triptase sel mast. Menginaktifkan peptida yang menyebabkan bronkodilatasi vaskular.

Reaksi awal diikuti oleh fase lanjut (atau selular), yang didominasi oleh leukosit rekrutmen : basofil, neutrofil dan eosinofil. Terjadi obstruksi saluran napas gejala asma. b) Patofisiologi Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi : obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang dihubungkan dengan gejala khas pada asma ; batuk, sesak dan wheezing dan disertai hipereaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratorik oleh mediator inflamasi dan terutama pada anak, batuk berulang bisa jadi merupakan satu-satunya gejala asma yang ditemukan.

i) saluran nafas normal

(ii) saluran nafas penderita asma

Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernapas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhiolus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. (Tanjung, 2003) Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan

menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor- faktor ini akan menghasilkan edema lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat. (Tanjung, 2003) Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest. 1.5) (Tanjung, 2003) Klasifikasi Berdasarkan penyebabnya, asma bronkial diklasifikasikan menjadi 3 tipe : Ekstrinsik (alergik) Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanyasuatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktorfaktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik. Intrinsik (non alergik) Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.

Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum pengobatan)1 Derajat Asma Intermiten Bulanan Gejala < 1x / minggu Tanpa gejala diluar serangan

Gejala

Gejala Malam <2 kali sebulan

Faal paru APE >80%

Serangan singkat Persisten Ringan Mingguan Gejala > 1x/minggu, tetapi < 1x/hari serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur > 2 kali sebulan

VEP, > 80% nilai prediksi APE 80% nilai terbaik Variabiliti APE < 80%

APE > 80%

VEP, 80 > nilai prediksi APE > 80% nilai terbaik Variability APE 20-30%

Persisten Sedang

Harian Gejala setiap hari Serangan mengganggu aktivitas dan tidur

> 1x / seminggu

APE 60-80%

Membutuhkan bronkodilator setiap hari Persisten Berat Kontinyu Gejala terus menerus Seing kambuh Aktivitas fisik terbatas

VEP, 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik Variabiliti APE > 30%

Sering

APE < 60%

VEP, < 60% nilai prediksi APE < 60% nilai terbaik Variabiliti APE > 30%

1.6)

Manifestasi klinik Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerjadengan keras.

Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi ( whezing ), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan. Pada serangan selanjutnya, mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih, kadangkadang purulen. Pada serangan asma yang lebih berat , gejala-gejala yang timbul makin banyak antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi dan pernafasan cepat dangkal . Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari. 1.7) Diagnosis a) Anamnesa Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang tak kunjung sembuh, atau batuk malam hari. Semua keluhan biasanya bersifat episodik dan reversible. Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit alergi yang lain. b) Pemeriksaan fisik Keadaan umum : penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih nyaman dalam posisi duduk. Jantung : pekak jantung mengecil, takikardi. Paru : Inspeksi : dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong ke bawah. Auskultasi : terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang. Perkusi : hipersonor Palpasi : Vokal Fremitus kanan=kiri c) Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan sputum Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya: Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil. Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang bronkus. Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus. Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug. Pemeriksaan darah Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis. Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi. Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan. d) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan radiologi Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paruparu yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut: Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah. Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru. Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal. Bila ada pneumonia mediastinum , pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru. Pemeriksaan tes kulit Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma. Elektrokardiografi Gambaran elektrokardiografi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gamabar yang terjadi pada empisema paru yaitu : Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation. Terdapatnya tanda-tanda hipertropi jantung, yakni terdapatnya RBB (Right bundle branch block) Tanda-tanda hipoksemia terdapatnya sinus tachicardia SVES dan VES atau terjadinya depresi segmenST negatif Scaning paru Dengan scaning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru. Spirometri Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. e) Diagnosis banding Bronkhiolitis. Bila bayi >2 thn mengalami serangan wheezing dan sesak untuk pertama kali. Untuk membedakan antara bronkhiolitis dan asma serangan pertama dilakukan tes bronkodilator. Bila sesak segera hilang, diagnosisnya adalah asma serangan pertama. Aspirasi benda asing (susu, makanan, dll). Pada anamnesis ada riwayat tersedak. Tuberkulosis kelenjar. TB kelenjar menekan trakea atau bronki kadang-kadang menimbulkan wheezing persisten. Tumor atau kista mediastinum. Sindrom hiperventilasi. 1.8) Komplikasi

Status amatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian menjadi berat dan tidak memberikan respon adrenalin atau aminofilin. Penderita harus dirawat dengan terapi yang intensif. Atelaktasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernapasan yang sangat dangkal. Hipoksemia adalah tubuh kekurangan O2. Pneumotoraks adalah penyakit yang gejala utamanya penyempita (obstruksi) saluran napas karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas. 1.9) Penatalaksanaan Tatalaksana Asma Jangka Panjang A. Tujuan Tatalaksana Umum : Untuk menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Khusus : a. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga. b. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah c. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari d. Uji fungsi patu senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok e. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan f. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul, yang mempengaruhi tumbuh kembang anak. Apabila tujuan ini belum tercapai maka perlu reevaluasi tatalaksananya. B. Tatalaksana Medikamentosa Obat asma dapat dibai dalam 2 kelompok besar yaitu obat pereda ( reliever ) dan obat pengendali ( controller ). Obat pereda ada yang menyebutnya obat pelega atau obat serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi, maka obat ini tidak digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang sering disebut sebagai obat pencegah, atau profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi repiratorik kronik. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan responsnya terhadap pengobatan / penanggulangan. Obat-obat pengendali diberikan pada asma episodik sering dan asma persisten. Tabel 1. Klasifikasi Asma Asma Episodik Jarang Parameter klinis, kebutuhan obat, dan faal paru Frekuensi Serangan Lama Serangan < 1x / bulan < 1 minggu > 1 x / bulan > 1 minggu Sering Hampir sepanjang tahun, hampir tidak ada remisi

Asma Episodik Sering

Asma Persisten

Intensitas ringan Di antara serangan Tidur dan aktivitas Pemeriksaan fisik di luar serangan Obat pengendali ( anti inflamasi ) Uji faal paru ( di luar serangan ) Variabilitas faal paru

Biasanya ringan Tanpa gejala Tidak terganggu Normal ( tidak ditemukan kelainan ) Tidak perlu PEF / FEV1 > 80 % Variabilitas > 15 %

Biasanya sedang Sering ada gejala Sering terganggu Mungkin terganggu ( ditemukan kelainan ) Perlu, steroid PEF / FEV1 60 80 % Variabilitas > 30 %

Biasanya berat Gejala siang dan malam Sangat terganggu Tidak pernah normal Perlu, steroid PEF / FEV1 < 60 % variabilitas 20 30 % Variabilitas > 50 %

Tabel 1 . Klasifikasi Derajat Penyakit Asma pada Anak

Alur Tatalaksana Asma Jangka Panjang Asma Episodik Ringan


Obat pereda-agonis atau teofilin (hirupan atau oral) bila perlu

3-4 minggu,obat Dosis/mgg

>3x

3x

Tambahkan obat pengendali :


Asma Episodik Sering

steroid hirupan dosis rendah

6-8mgg, respons

-- (-)

(+)

Asma Persisten

Pertimbangkan alternatif penambahan salah satu obat : a. Beta-agonis kerja panjang ( LABA ) b. teofilin lepas lambat c. Antileukotrien Atau dosis steroid hirupan ditingkatkan ( tinggi )

(-) 6 8 minggu , respon :

(+)

Steroid dosis medium ditambahkan salah satu obat : a. Beta agonis kerja panjang b. teofilin lepas lambat c. antileukotrien d. atau dosis steroid hirupan ditingkatkan ( tinggi )

(-)

(+)

6 8 minggu, respon :

(-)

(+)

Obat diganti steroid oral

Tatalaksana Serangan Asma

A. Tujuan Tatalaksana Pada serangan asma, tujuan tatalaksananya adalah untuk : a. Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin

b. Mengurangi hipoksemia c. Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya d. rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan

Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak

KLINIK / UNIT GAWAT DARURAT

Nilai derajat serangan

Tatalaksana awal : a. nebulisasi Beta agonis 1 - 3 kali, selang 20 menit b. nebulisasi ketiga + antikolinergik c. jika serangan berat, nebulisasi Beta agonis + anti kolinergik

Serangan sedang Serangan ringan ( nebulisasi 1 x , respon baik ) a. Observasi 1 jam b. Jika efek bertahan, boleh pulang c. jika gejala timbul lagi, perlakukan sebagai serangan sedang ( nebulisasi 2 x, respons parsial ) a. Berikan oksigen b. Nilai kembali derajat serangan, jika sesuai dengan serangan sedang, onservasi di Ruang Rawat Sehari c. Berikan steroid oral d. Pasang jalur parenteral

Serangan Berat ( nebulisasi 3 x, respon buruk ) a. sejak awal berikan O2 saat / diluar nebulisasi b. Pasang jalur parenteral c. steroid intravena d. nilai ulang klinisnya, jika sesuai dengan serangan berat, rawat di Ruang Rawat Inap e. Foto rontgen toraks

Boleh Pulang : a. Bekali obat agonis ( hirupan / oral ) b. Jika sudah ada obat pengendali, teruskan c. Jika infeksi virus sebagai pencetus, dapat diberi steroid oral ( 3 5 hari ) d. Dalam 24 48 jam kontrol ke klinik rawat jalan untuk reevaluasi

Ruang Rawat Sehari / Observasi a. Oksigen teruskan b. Steroid oral dilanjutkan c. Nebulisasi tiap 2 jam

Ruang Rawat Inap a. Oksigen teruskan b. atasi dehidrasi dan asidosis jika ada c. Steroid IV tiap 6 8 jam d. Nebulisasi tiap 1 2 jam e. Aminofilin IV awal, lanjutkan rumatan

d. bila dalam 12 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang, tetapi jika klinis tetap belum membaik atau memburuk, alih rawat ke Ruang Rawat Inap

f. Jika membaik dalam 4 6 kali nebulisasi, interval jadi 4 6 jam g. Jika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulang h. Jika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan tibul ancaman henti napas, alih ke Ruang Rawat Intensif

Catatan : 1. Jika menurut penilaian serangannya berat, nebulisasi pertama kali langsung dengan agonis + antikolinergik. 2. Bila terdapat tanda ancaman henti napas, segera ke Ruang Rawat Intensif 3. Jika tidak ada alatnya, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan 0,01 ml/kgBB/kali maksimal 0,3 ml/kali 4. Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2 4 L/menit diberikan Tabel 2. Penilaian Derajat Serangan Asma Parameter klinis, fungsi paru, laboratorium Ringan Sedang Berat Ancaman Henti Napas

Sesak ( breathless ) Berjalan

Berbicara

Istirahat

Bayi : Menangis keras

Bayi : Bayi : - tangis pendek dan - Tidak mau lemah minum / makan - kesulitan menetek / makan Lebih suka duduk Penggal kalimat Biasanya Iritable Tidak ada Duduk dengan bertopang lengan Kata-kata Biasanya Iritable Ada Kebingungan Nyata Sulit /tidak terdengar Gerakan paradok torako-abdominal Dangkal / hilang

Posisi Bicara Kesadaran Sianosis Wheezing

Bisa berbaring Kalimat Mungkin Iritable Tidak ada Sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi Biasanya tidak Dankgal, retraksi Interkostal Takipnu

Nyaring, sepanjang Sangat nyaring, ekspirasi + terdengar tanpa inspirasi stetoskop Biasanya iya Sedang, ditambah retraksi suprasternal Takipnu Iya Dalam, ditambah napas cuping hidung Takipnu

Penggunaan otot bantu respiratorik Retraksi

Frekuensi napas

Bradipnu

Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar : Usia Frekuensi napas normal < 2 bulan < 60x / menit 2 12 bulan < 50x / menit 1 5 tahun < 40x / menit 6 8 tahun < 30x / menit Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Takikardi Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak sadar : Usia Frekuensi nadi normal 2 12 bulan < 160x / menit 1 2 tahun < 120x / menit 3 8 tahun < 110x / menit Pulsus paradoksus Tidak ada ( pemeriksaannya < 10 mmHg tidak praktis ) PEFR atau FEV1 ( % nilai dugaan ) - pra bronkodilator > 60 % - pasca > 80 % bronkodilator SaO2 % PaO2 > 95 % Ada 10 20 mmHg Ada > 20 mmHg Tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik

40 60 % 60 80 % 91 95 %

< 40 % < 60 % respon < 2 jam < 90 % < 60 mmHg

Normal ( biasanya > 60 mmHg tidak perlu diperiksa )

PaCO2

< 45 mmHg

< 45 mmHg

< 45 mmHg

Tabel 3. Jenis Alat Inhalasi disesuaikan dengan usia

Umur < 2 tahun 2 4 tahun 5 8 tahun > 8 tahun

Alat Inhalasi Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler Nebuliser, Aerochamber, Babyhaler, Alat hirupan ( MDI ) dengan alat perenggang ( spacer ) Nebuliser MDI dengan spacer, Alat hitupan bubuk (Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler ) Nebuliser MDI ( metered dose inhaler ) , Alat hirupan bubuk , Autohaler

2. Memahami dan menjelaskan serangan asma pada anak 2.1) Patofisiologi

Untuk serangan asma yang lebih berat,banyak saluran nafas dan alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan terjadinya pertukaran gas.Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernafasan bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi CO2.Peningkatan CO2 dengan disertai penurunan

ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2(hiperkapnia)dan terjadi asidosis respiratorik/gagal nafas.Hipoksemia yang berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan kontriksi pembuluh darah apru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang baik,mengakibatkan memperburuk hiperkapnia Penyempitan saluran nafas pada asma akan menimbulkan hal-hal sbb: 1. Gangguan ventilasi berupa hipoventilasi 2. Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana distribusi ventilasi tidak seimbang dengan sirkulasi darah paru 3. Gangguan difusi gas di tingkat alveoli 2.2) Manifestasi klinik Pernafasan berbunyi (wheezing/mengi/bengek) terutama saat mengeluarkan nafas (exhalation). Tidak semua penderita asma memiliki pernafasan yang berbunyi, dan tidak semua orang yang nafasnya terdegar wheezing adalah penderita asma Adanya sesak nafas sebagai akibat penyempitan saluran bronki (bronchiale). Batuk berkepanjangan di waktu malam hari atau cuaca dingin. Adanya keluhan penderita yang merasakan dada sempit. Serangan asma yang hebat menyebabkan penderita tidak dapat berbicara karena kesulitannya dalam mengatur pernafasan. klasifikasi asma berdasarkan frekuensi munculnya: 1. Intermitten, yaitu sering tanpa gejala atau munculnya kurang dari 1 kali dalam seminggu dan gejala asma malam kurang dari 2 kali dalam sebulan. Jika seperti itu yang terjadi, berarti faal (fungsi) paru masih baik. 2. Persisten ringan, yaitu gejala asma lebih dari 1 kali dalam seminggu dan serangannya sampai mengganggu aktivitas, termasuk tidur. Gejala asma malam lebih dari 2 kali dalam sebulan. Semua ini membuat faal paru relatif menurun. 3. Persisten sedang, yaitu gejala asma terjadi setiap hari dan serangan sudah mengganggu aktivitas, serta terjadinya 1-2 kali seminggu. Gejala asma malam lebih dari 1 kali dalam seminggu. Faal paru menurun. 4. Persisten berat, gejala asma terjadi terus-menerus dan serangan sering terjadi. Gejala asma malam terjadi hampir setiap malam. Akibatnya faal paru sangat menurun. GEJALA ASMA 1. Serangan asma akut ringan, dengan gejala: Rasa berat di dada. Batuk kering ataupun berdahak, Gangguan tidur malam karena batuk atau sesak napas, Mengi tidak ada atau mengi ringan, APE (Arus Puncak Aspirasi) kurang dari 80 %.

2. Serangan Asma akut sedang, dengan gejala: Sesak dengan mengi agak nyaring, Batuk kering/berdahak, Aktivitas terganggu, APE antara 50-80%.

3. Serangan Asma akut berat, dengan gejala: Sesak sekali, Sukar berbicara dan kalimat terputus-putus, Tidak bisa berbaring, posisi mesti 1/2 duduk agar dapat bernapas, APE kurang dari 50 %. Penatalaksanaan Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda ada yang menyebutnya pelega, atau obat serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi maka obat ini tidak digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengendali, yang sering disebut sebagai obat pencegah, atau obat profilaksis. Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma yaitu inflamasi respitorik kronik. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus dalam jangka waktu yang relatif lama, tergantung derajat penyakit asma dan responsnya terhadap pengobatan/penanggulangan. Obatobat pengendali diberikan pada Asma Episodik Sering dan Asma Persisten. Asma Episodik Jarang Asma Episodik Jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator -agonis hirupan kerja pendek (Short Acting 2-Agonist, SABA) atau golongan santin kerja cepat bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. Anjuran memakai hirupan tidak mudah dilakukan mengingat obat tersebut mahal dan tidak selalu tersedia disemua daerah. Di samping itu pemakaian obat hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler) memerlukan teknik penggunaan yang benar (untuk anak besar), dan membutuhkan alat bantu (untuk anak kecil/bayi) yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya.3 Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan, maka -agonis diberikan per oral. Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator makin kurang perannya dalam tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit. Namun mengingat di Indonesia obat -agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping. Di samping itu penggunaan -agonis oral tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta dikombinasi dengan teofilin. Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak seperti terlihat dalam klasifikasi asmanya tidak menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma ringan.9 Jadi secara tegas PNAA tidak menganjurkan pemberian pemberian obat controller pada Asma Episodik

2.3)

Jarang. Hal ini sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan obat controller pada Asma Intermiten, dan baru memberikannya pada Asma Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah, atau kromoglikat hirupan. Jika tatalaksana Asma Episodik Jarang sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 4-6minggu, maka tatalaksananya berpindah ke Asma Episodik Sering. Konig menemukan bukti bahwa dengan mengikuti panduan tatalaksana yang lazim, yaitu hanya memberikan bronkodilator tanpa anti-inflamasi pada Asma Episodik Jarang, ternyata dalam jangka panjang (+8 tahun) pada kelompok tersebut paling sedikit yang mengalami perbaikan derajat asma.10 Di lain pihak, Asma Episodik Sering yang mendapat kromoglikat, dan Asma Persisten yang mendapat steroid hirupan, menunjukkan perbaikan derajat asma yang lebih besar. Perbaikan yang dimaksud adalah menurunnya derajat asma, misalnya dari Asma Persisten menjadi Asma Episodik Sering atau Asma Episodik Jarang, bahkan sampai asmanya asimtomatik. Asma Episodik Sering Jika penggunaan -agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa menghitung penggunaan praaktivitas fisis), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi.1,3 pada awalnya, anti-inflamasi tahap pertama yang digunakan adalah kromoglikat, dengan dosis minimum 10 mg 2-4 kali perhari. Obat ini diberikan selama 6-8 minggu, kemudian dievaluasi hasilnya. Jika asma sudah terkendali, pemeberian kromoglikat dapat dikurangi menjadi 23 kali perhari. Penelitian terakhir, Tasche dkk,11 mendapatkan hasil bahwa pemberian kromolin kurang bermanfaat pada terlaksana asma jangka panjang. Dengan dasar tersebut PNAA revisi terakhir tidak mencantumkan kromolin (kromoglikat dan nedokromil) sebagai tahap pertama melainkan steroid hirupan dosis rendah sebagai anti-inflamasi. Tahap pertama obat pengendali adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah yang biasanya cukup efektif. Obat steroid hirupan yang sudah sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200 ug/hari budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 ug/hari, atau setara flutikason 50-100 ug belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang. Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat pengendali berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Oleh karena itu penilaian efek terapi dilakuakn setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Setelah pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupan dosis rendah tidak respons (masih terdapat gejala asma atau atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua (Lampiran 3) yaitu menaikkan dosis steroid

hirupan sampai dengan 400 ug/hari yang termasuk dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksanya berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down). Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya. Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran pencetus, cara penggunaan obat, faktor komorbid yang mempersulit pengendalian asma seperti rintis dan sinusitis. Telah dibuktikan bahwa penatalaksanaan rintis dan sinusitis secara optimal dapat memperbaiki asma yang terjadi secara bersamaan. Asma Persisten Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi ke rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam keadaaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai dosis terkecil yang masih optimal. Dosis steroid hirupan yang masih dianggap aman adalah setara budesonid 400 ug/hari. Di atas dilaporkan adanya pengaruh sistemik minimal, sedangkan dengan dosis 800 ug/hari agaknya mulai berpengaruh terhadap poros HPA (hipotalamus-hipotesis-adrenal) sehingga dapat berdampak terhadap pertumbuhan. Efek samping steroid hirupan dapat dikurangi dengan penggunaan alat pemberi jarak berupa perenggang (spacer) yang akan mengurangi deposisi di daerah orofaringeal sehingga mengurangi absorbsi sistemik dan meningkatkan deposisi obat di paru. Selain itu untuk mengurangi efek samping steroid hirupan, bila sudah mampu pasien dianjurkan berkumur dan air kumurannya dibuang setelah menghirup obat. Setelah pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai respons yang baik, diperlukan terapi alternatif pengganti yaitu meningkatkan steroid yang baik, diperlukan terapi alternatif pengganti yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis medium atau terapi steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (Long Acting -2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline Slow Release (TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriene Receptor (ALTR)(1,3). Yang dimaksud dosis medium adalah setara dengan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, 400-600 ug/hari budesonid (200-300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi, atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau ALTR. yang dimaksud dosis tinggi adalah setara dengan >400 ug/hari budesonid (>200 ug/hari

flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan >600 ug/hari budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan keberhasilannya yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan memperbaiki kualitas hidupnya. Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap tidak mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir setelah penggunaan steroid hirupan atau alternatif di atas telah dijalankan. (Evidence B) Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat. Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara sistemik harus berhati-hati karena mempunyai efek samping yang cukup berat. Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya peningkatan enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi. Mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien belum ada rekomendasi. Mengenai obat antihistamin generasi baru non-sedatif (misalnya ketotifen dan setirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak dengan asma tipe rinitis, hanya untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini penggunaan kototifen sebagai obat pengendali (controller) pada asma anak tidak lagi digunakan karena tidak mempunyai manfaat yang berarti. Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan asmanya. Sementara itu penggunaan -agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan. 3. Memahami dan menjelaskan pencegahan dan prognosis asma bronkial pada anak 3.1) Pencegahan Yang sering menjadi faktor pencetus adalah debu tumah. Untuk menghindari pencetus karena debu rumah dianjurkan dengan mengusahakan kamar tidur anak :Sprei, tirai, selimut minimal dicuci 2 minggu sekali. Sprei dan sarung bantal lebih sering. Lebih baik menghindari menggunakan karpet di kamar tidur atau tempat bermain anak Untuk menghindari penyebab dari makanan bila belum tau pasti, lebih baik jangan makan coklat, kacang tanah, makanan mengandung es, dan makanan mengandung zat pewarna. Hindarkan kontak dengan penderita influenza, hindarkan anak berada di tempat yang sedang terjadi perubahan cuaca., misalnya sedang mendung. Kegiatan fisik. Anak menderita asma jangan dilarang bermain atau berolahraga. Namun olahraga perlu diatur karena merupakan kebutuhan untuk tumbuh kembang anak. Pengaturan dilakukan dengan cara:

Menambahkan toleransi secara bertahap, menghindarkan percepatan gerak mendadak. Bila mulai batuk-batuk, istirahatlah sebentar, minum air, dan setelah batuk, kegiatan diteruskan. Adakalanya beberapa anak sebelum melakukan kegiatan perlu minum obat atau menghirup aerosol terlebih dahulu. Menghindari stress psikis Mencegah/mengobati ISPA sedini mungkin Olahraga renang, senam asma 3.2) Prognosis Banyak bayi dengan wheezing tidak berlanjut menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Adanya asma pada orang tua dan dermatitis atopik pada anak dengan wheezing merupakan salah satu indikator penting untuk terjadinya asma kemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut maka kemungkinan menjadi asma lebih besar atau terjadi salah satu diatas disertai dengan dua dari tiga keadaan berikut yaitu eusinofilia, rinitis alergika, dan wheezing yang menetap pada keadaan bukan flu.

DAFTAR PUSTAKA
W. Sudoyo Ari, dkk.2006 Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Harjadi Slamet. 2004. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Rahajoe Noenoeng, dkk. 2004. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta : UKK Pulmunoogi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Tanuwidjaja Suganda, dkk. 2005. Ilmu Kesehatan Anak Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bandung : Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.

Anda mungkin juga menyukai