Anda di halaman 1dari 2

ULUL ALBAB

Oleh Masad Kholid Ada sebuah alasan mendasar mengapa kita mesti memerlukan diri untuk menengok kiri kanan, memperhatikan sekeliling kita, yakni : bahwa hal tersebut merupakan tuntutan logis dari gegayuhan kita dalam mencapai derajat ulul albab. Sebuah derajat yang cukup prestisius disisi Allah SWT. Oleh-Nya difirmankan : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang menggunakan akalnya (ulul albab). Yaitu orang-orang yang senantiasa mengingat Allah sambil berdiri, duduk dan berbaring, dan memikirkan perihal penciptaan langit dan bumi, seraya berucap : Wahai Rabb kami, tidaklah Engkau ciptakan segala sesuatu dengan sia-sia, maha suci Engkau, maka selamatkanlah kami dari adzab neraka (QS Ali Imran : 190-191). Diantara sekian banyak ciptaan Allah SWT di sekitar kita, ambillah contoh : Pohon pisang misalnya. Sekilas tak ada yang menarik darinya. Namun justru ketidakmenarikannya itulah yang cukup menggoda, rahasia apakah gerangan yang menyelimutinya? Adakah ia sekedar pohon yang tumbuh, berkembang besar, beranak pinak dan buahnya dimakan manusia? Secara mujmal, pohon pisang nampaknya sama saja dengan pohon yang lain : bahwa ia diciptakan sekedar untuk dimanfaatkan manusia. Meskipun memang demikian adanya, namun anggapan ini akan segera berubah, manakala kita sedikit saja mau menggunakan bashirah (mata hati) kita. Lihatlah, seperti pohon yang lain, pohon pisang tumbuh untuk kemudian berbuah. Namun demikian, ada beberapa catatan yang membedakan keberadaannya disamping pohon yang lainnya. Pertama, ia sama sekali tak mau premature (tergesa-gesa) untuk segera berubah. Ia sadar betul bahwa ia memerlukan persiapan dan energi yang cukup untuk tidak sekedar berbuah, namun mampu untuk memberikan buah yang terbaik. Kedua, ia tidak akan segera berbuah sebelum ia secara sistematis menyiapkan tunas generasi berikutnya yang akan terus memberikan buah sepeninggalannya kelak. Ketiga, ia baru mau mati setelah memberikan buahnya bagi manusia, sejelek apapun buahnya itu. Kita bisa membuktikannya dengan memotong sebatang pohon pisang yang sudah siap berbuah. Maka ia akan berusaha untuk tumbuh kembali menyempurnakan struktur pohonnya, guna mempersiapkan kembali buahnya. Jika kita memotongnya kembali sebelum ia berbuah, maka kita akan dapati ia melakukan hal yang sama, dan ia tak akan mati serta akan terus begitu sampai ia berhasil memberikan yang terbaik yang dimilikinya; buahnya. Seakan-akan ia baru rela mati setelah ia bermanfaat bagi sekitarnya (manusia), dengan memberikan buah. Nah, betapa luar biasanya pohon pisang ini. Bahkan sosok makhluk yang bernama manusiapun, yang konon merupakan makhluk paling sempurna, tidak tentu mampu berbuat atau bertradisi demikian mulianya.

Pertama, kita manusia, cenderung untuk serba instant (cepat). Kita sering tidak berkaca dan mengukur diri, apakah kita telah benar-benar mampu memberikan sesuatu (yang baik tentunya), tanpa merusak potensi kita sendiri untuk tetap bisa berbuat, setelah perbuatan kita yang pertama kita tadi. Kita sering tergesa dalam berbuat, yang justru menyebabkan kita kesulitan untuk berbuat yang sama, atau bahkan menjadi tidak mampu sama sekali untuk berbuat, disebabkan energi kita sudah habis hanya pada gebrakan yang pertama saja. Kedua, kita juga sering tidak berhitung, dan kemudian berbuat habis-habisan tanpa peduli apakah jika kita mati, sudah ada generasi yang siap meneruskan misi kita, mengusung apa yang kita perjuangkan. Ini kelemahan kita, dalam berjuang khususnya, sebab dengan demikian tidak ada kaderisasi yang kontinu dan sistematis. Dalam politik praktis, kecenderungan seperti ini biasa terjadi. Regenerasi semua menjadi biasa saja. Ketiga, kalau pohon pisang mampu bersikeras untuk tidak mati sebelum memberikan yang terbaik (bermanfaat), apakah kita juga demikian? Ia (pohon pisang) telah benar-benar menjadi perwujudan dari sebaik-baiknya makhluk, setidaknya jika kita ingat sabda Rasulullah SAW : Sebaik-baik diantara kamu adalah yang paling bermanfaat untuk manusia. Dalam wacana sosial, manusia terlahir sebagai zoon politicon (makhluk yang tidak mungkin berdiri sendiri). Dalam kebersamaan inilah sesungguhnya, kita akan memahami kemanfaatan keberadaan orang lain, sebagaimana seharusnya orang lain juga bisa menikmati manfaat keberadaan kita. Meskipun secara realitis kita dapati, yang terjadi justru upaya untuk saling menanfaatkan, atau malah kanibalistik. Yang mestinya kita kembangkan adalah simbiosis mutualisme (saling menguntungkan), sembari berlomba agar kita menjadi yang paling bermanfaat untuk sesama, seperti pohon pisang itu. Sementara itu, disamping pohon pisang tadi, masih berjuta pohon, binatang dan segala gejala alam yang ada diantara langit dan bumi serta hidup diantara siang dan malam, semuanya adalah makhluk Allah SWT yang bisa-bahkan kita ambil pelajaran dalam perjalanannya. Tentu, upaya eksplorasi ini akan melibatkan akal sebagai variabel pokoknya. Sebagai catatan, bahwa ayat qauliyah maupun qaunuyah ini tidak satupun yang bertentangan dengan akal kita. Kalaupun suatu ketika ada hal yang akal kita tidak bisa menerimanya, tentulah bukan karena benar-benar tidak bisa diterima, namun lebih karena keterbatasan akal kita. Kata Ibnu Khaldun : akal itu bagaikan timbangan emas. Ia sangat teliti, namun ia tak akan mampu menimbang sesuatu yang melebihi kemampuan timbangannya itu. Wallahu alam.

Anda mungkin juga menyukai