Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, tujuan bangsa Indonesia adalah menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian merupakan tanggung jawab dan kewajiban setiap warga negaranya untuk turut serta dalam mewujudkan keamanan dan kesejahteraan di seluruh wilayah Indonesia dan berhak untuk hidup dengan bebas dan merdeka di setiap wilayah negara kesatuan Indonesia. Penegakan hukum merupakan jaminan bagi adanya kepastian hukum. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas ini, adanya kepastian hukum merupakan suatu tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Sebagai masyarakat yang terkait dengan komunitas internasional, Indoesia mau tidak mau harus membuka diri terhadap arus globalisasi. Menghadapi era ini maka salah satu tugas pemerintah Indonesia adalah memperbaiki dan memantapkan sistem hukum, meliputi perangkat lunaknya (peraturan perundangundangan) maupun perangkat kerasnya (infrastruktur, personil, dan sarana prasaranya) agar tidak dijauhi dan tertinggal oleh masyarakat internasional. Termasuk di dalam perbaikan sistem hukum (law enforcement) untuk menjamin tertib hukum dan memberikan jaminan adanya kepastian hukum. Bekerjanya suatu hukum tidak dapat dilepaskan dari pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Artinya hukum tidak bekerja menurut ukuran dan pertimbangan sendiri, melainkan dengan memikirkan dan mempertimbangkan hal terbaik untuk dilakukan bagi masyarakat. Pertimbangan seperti ini muncul dalam bentuk persoalan tentang bagaimana membuat keputusan yang pada akhirnya dapat memberikan kontribusi terhadap efisiensi produksi masyarakatnya. Hukum di abad kedua puluh pada dasarnya adalah hukum tertulis. Oleh karena itu, apabila dikatakan bahwa bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan hukum, maka seharusnya ditambahkan bahasa yang dituliskan atau bahasa tertulis. Hukum dalam
1

wujud bahasa tertulis itu tidak lain adalah peraturan perundaang-undangan, ragam bahasa perundang-undangan sekarang mempunyai ciri khas tersendiri, yaitu berusaha untuk memaksa melalui penggunaan bahasa secara rasional. Oleh karena itu, dapat terlihat ciri-ciri utama dari bahasa perundang-undangan adalah bebas dan emosi, tanpa perasaan dan datar seperti rumusan matematik. Keberadaan hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Para profesional hukum, seperti hakim, jaksa, advokat akan melihat dan mengartikan hukum sebagai suatu perundang-undangan. Bagi mereka tidak ada keraguan bahwa hukum itu tampil dan ditemukan dalam wujud perundang-undangan tersebut, disini otoritas perundang-undangan adalah demikian besar, sehinggga dapat dikatakan bahwa diluar undang-undang tidak ada hukum. Para profesional adalah golongan yuridis sebagai pemain , sehingga posisi mereka berhadapan dengan hukum adalah posisi yang melekat pada hukum. Dewasa ini eksistensi negara hukum terancam, negara hukum yang kita cita-citakan sebagaimana dirumuskan oleh the founding fathers, ini dirasakan semakin jauh dari harapan dan realita. Artinya hingga kini, konsep negara hukum sebagaimana tertuang dalam penjelasan UUD 1945 barulah sebuah ide yaitu tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan dalam realitanya, yang merupakan hasil usaha manusia untuk mencapai ide itu, negara hukum tersebut belum terwujud. Dengan demikian pengkajian terhadap penegakan hukum dan permasalahannya merupakan momentum yang sangat tepat dalam situasi anomali dimana masyarakatnya tidak mengenal hukum lagi (lawless society). Jika kondisi ini berlangsung terus menerus, maka dapat dipastikan negara Indonesia akan terisolir dari komunitas internasional, lebihlebih dalam era globalisasi.

1.2 Rumusan Masalah 1. Mengapa upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan di Indonesia kacau balau? 2. Bagaimanakah strategi penegakan dan mempertahankan upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan dan kesejahteraan? 1.3 Tujuan 1. Mengetahui penyebab rusaknya upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan di Indonesia
2. Mengetahui

solusi-solusi

penegakan

dan

mempertahankan

upaya

untuk

memberikan jaminan terciptanya keadilan dan kesejahteraan.

BAB II PEMBAHASAN
Hukum merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa untuk mencapai citacita masyarakat yang adil dan makmur. Muladi menyebutkan bahwa sejak Indonesia merdeka, tema negara hukum paling banyak mendapat sorotan. Sebagian dikarenakan kelemahan yang nyata pada lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Institusi-institusi hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya yaitu menurut taraf keinginan, harapan, dan tuntutan rakyat dari hampir semua tingkatan masyarakat. Penyebab upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan di Indonesia Mengalami Kegagalan Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, kinerja hukum dan penegak hukum masih dianggap kurang memenuhi harapan dan perasaan keadilan masyarakat. Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir (last forttress) untuk mendapatkan keadilan sering tidak mampu memberikan keadilan yang didambakan. Akibatnya, rasa hormat dan kepercayaan terhadap lembaga ini nyaris tidak ada lagi sehingga semaksimal mungkin orang tidak menyerahkan persoalan hukum ke pengadilan. Sebagai negara yang termasuk ke dalam kelompok negara-negara berkembang, kondisi penegakan hukum di Indonesia belum dapat disejajarkan dengan negara-negara maju. Dalam kaitan dengan keadaan hukum di negara-negara berkembang patut disimak buku The challenge of the Worlf Poverty yang diterbitkan pada tahun 1970 oleh Gunnar Myrdal yang merupakan hasil penelitiannya terhadap negara-negara di Asia Selatan. Bab ke tujuh dari buku tersebut berjudul The Soft State menyebutkan Semua negara berkembang sekalipun dengan kadar yang berlainan, adalah negara-negara yang lembek. Istilah ini dimaksudkan untuk mencakup semua bentuk ketidak disiplinan sosial yang manifestasinya adalah kecacatan dalam perundang-undangan dan terutama dalam hal menjalankan dan menegakan hukum, suatu ketidak patuhan yang menyebar dengan luasnya di kalangan pegawai negeri pada semua tingkatan terhadap peraturan yang ditujukan kepada mereka,

dan sering mereka ini bertabrakan dengan orang-orang atau kelompok-kelompok yang berkuasa, yang justru harus mereka atur...... Salah satu aspek yang menarik untuk dikutip di sini adalah analisisnya mengenai faktor yang berdiri di belakang kelembekan suatu negara atau ketidak disiplinan sosial yang meluas itu, yaitu Perundang-undangan yang main sikat (sweeping legislation). Perundangundangan yang demikian itu dimaksudkan untuk memodernisasikan masyarakat dengan segera, berhadapan dengan keadaan masayarakat yang umumnya diwarisi, yaitu otoritarianisme, paternalisme, partikularisme dan banyak ketidak-teraturan lainnya. Perundang-undangan memang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan rakyat banyak yang sengsara, tetapi yang tidak memberikan hasil yang banyak seperti yang tercantum pada maksud dikeluarkannya peraturan itu. Gunnar Myrdal menyebutkan bahwa kondisi ini bukan disebabkan oleh ciri watak dari bangsa-bangsa di wilayah tersebut, melainkan karena faktor sejarahnya. Asia Selatan tidak mengalami perkembangan sejarah yang mulus seperti di Eropa Barat. Kolonialisme telah membawa negara-negara itu ke kemerosotan organisasi di tingkat pedesaan tanpa menciptakan penggantinya. Tekanan untuk mengintroduksikan bentuk pemilikan tanah secara Barat, ekonomi yang didasarkan pada uang, administrasi kolonial yang terutama ditujukan untuk mengumpulkan pajak dan mempertahankan ketentraman dan ketertiban, menyebabkan melemahnya sistem hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang asli, bahkan di daerah-daerah tertentu menyebabkan itu semua runtuh sama sekali. Tradisi otoriter yang telah ada sebelum masa penjajahan, dengan datangnya kolonialisme itu malah diperkuat oleh pemerintahan kolonial itu dan dialihkan kepada paternalisme. Dalam sistem yang demikian itu rakyat menjadi terbiasa untuk diperintah, tetapi juga sedapat mungkin untuk menghindarkan diri. Hal itu menyebabkan kontrol oleh masyarakat terhadap tindakantindakan pemerintahan menjadi lemah. Dengan demikian permasalahan yang mendasar yang dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang adalah bagaimana menciptakan suatu tatanan politik yang mantap. Tanpa membereskan hal-hal yang bersifat fundamental tersebut orang tidak bisa menciptakan suatu sistem politik dan hukum pada kedudukan yang lebih tinggi.

Kondisi yang sama juga dihadapi Indonesia. Dalam bidang hukum secara garis besar dapat dikemukakan bahwa hambatan utama yang dihadapi adalah pembuatan hukum dan penegakan hukumnya. Dalam hal penegakan hukum ini tentu tidak terlepas dari sistem peradilannya dan sorotan utama terhadap kinerja Peradilan dapat dirinci sebagai berikut: 1. Hukum hanya dapat dinikmati oleh golongan yang mampu; 2. Mencari keadilan adalah upaya yang mahal; 3. Aparat penegak hukum (dalam hal ini pejabat peradilan tidak senantiasa bersih); 4. Kualitas profesi di bidang hukum yang kurang memadai; 5. Ada beberapa putusan hakim yang tidak selalu konsisten. Buku Reformasi Hukum di Indonesia, menyimpulkan hasil penelitian tentang penegakan hukum di Indonesia menyatakan antara lain : a. Kurangnya rasa hormat masyarakat pada hukum; b. Tidak adanya konsistensi penerapan peraturan oleh aparat pengadilan; c. Management pengadilan sangat tidak efektif (mekanisme pengawasan); d. Peranan yang dominan dari eksekutif membawa pengaruh yang tidak sehat terhadap pengadilan (Peradilan yang tidak independent, karena dualisme kekuasaan kehakiman); e. Penegakan hukum yang berbau praktek korupsi, dan keberpihakan yang menguntungkan pemerintah. Sistem peradilan di Indonesia yang merupakan warisan kolonial Belanda sedikit banyak menyulitkan dalam prakteknya. Sisa-sisa perilaku sebagai bangsa terjajah masih nampak di kalangan para hakim. Dari sisi ini paling tidak ada tiga hal yang dapat dilihat yaitu: Pertama, hakim-hakim tidak mempunyai kepercayaan diri untuk mengutip yurisprudensi dari Mahkamah Agung Indonesia. Kedua, kemungkinan memang tidak ada putusan hakim (MA) yang dapat dianggap berkualitas untuk kasus itu. Ketiga, menganggap yurisprudensi asing selalu lebih valid dan bermutu.

Permasalahan yang berkaitan dengan hukum positif dan keadaan

untuk

memberikan jaminan terciptanya keadilan saat ini juga terletak pada kualitas perundangundangan yang mencakup kemungkinan-kemungkinan negatif sebagai berikut : 1. Perundang-undangan warisan kolonial yang sudah tidak memadai dengan suasan kemerdekaan. Sebagai contoh : ketentuan tentang Hatzaai Artikelen (Pasal 154, Pasal 156 KUHAP) yang bertentangan dengan kebebasan menyatakan pendapat, pasal-pasal yang memidana pengemisan dan penggelandangan (Pasal 504 dan Pasal 505 KUHAP). 2. Perundang-undangan yang diciptakan setelah Indonesia merdeka tetap dinilai bermasalah sehingga telah ditinjau kembali. Contoh Undang-Undang No. 11 PNPS 1963, yang merupakan gambaran sistem otoriter. 3. Undang-undang yang karena sesuatu hal belum beradaptasi dengan perkembangan internasional (sekalipun dimungkinkan) misalnya, ratifikasi dokumen internasional HAM masih sangat rendah intensitasnya. Contohnya, sampai saat ini belum diatur pertanggungjawaban korporasi (corporate criminal hability) dalam tindak pidana korupsi. 4. Penegakan hukum yang tidak bijaksana karena bertentangan dengan aspirasi masyarakat dan rasa keadilan masyarakat yang kadang-kadang terlalu menekankan kepastian hukum tetapi merugikan keadilan. 5. Kesadaran hukum yang masih rendah yang lebih banyak berkisar dengan kualitas sumber daya manusianya, sehingga terjadi kesenjangan antara law

awarenes/lawacquitance dengan law behaviour (aspek kesadaran hukum). Contohnya pada praktek-praktek penyiksaan dalam penegakan hukum, padahal jelas melanggar Pasal 422 KUHAP. 6. Rendahnya pengetahuan hukum, sehingga menimbulkan kesan tidak profesional, dan tidak jarang mengakibatkan malpraktek di bidang penegakan hukum (aspek illteracy). Misalnya terdapat banyak praktek main hakim sendiri baik antar warga masyarakat maupun oknum penegak hukum terhadap warga masyarakat. 7. Mekanisme Lembaga Penegak Hukum yang fargmentasi sehingga tidak jarang menimbulkan disparitas penegakan hukum dalam kasus yang sama atau kurang lebih sama.
7

8. Budaya hukum tentang HAM yang belum terpadu sebagai akibat perbedaan persepsi tentang HAM. Bagir Manan menyebutkan bahwa keadaan hukum (the existing legal system) Indonesia dewasa ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut : Dilihat dari substansi hukum asas dan kaidah hingga saat ini terdapat berbagai sistem hukum yang berlaku sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem hukum barat, dan sistem hukum nasional. Tiga sistem yang pertama merupakan akibat politik hukum masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut dimaksudkan untuk membiarakan rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasai untuk memasuki sistem hukum yang diperlukan bagi suatu pergaulan yang modern. Ditinjau dari segi bentuk --- sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-bentuk hukum tertulis, Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa mengarahakan pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut.16 Penggunaan Yruisprudensi dalam mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama. Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat. Keadaan hukum kita dewasa ini menunjukkan pula banyak aturan kebijakan (beleidsregel). Peraturan-peraturan kebijakan ini tidak saja berasal dari administrasi negara, bahkan pula dari badan justisial. Peraturan kebijakan merupakan instrumen yang selalu melekat pada administrasi negara. Yang menjadi masalah, adakalanya peraturan kebijakan tersebut kurang memperhatikan tatanan hukum yang berlaku. Berbagai aturan kebijakan menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku karena terlalu menekankan aspek doelmatigheid dari pada

rechtsmatigheid. Hal-hal semacam ini sepintas lalu dapat dipandang sebagai

terobosan tas ketentuan-ketentiuan hukum yang dipandang tidak memadai lagi. Namun demikian dapat menimbulkan kerancuan dan ketidak pastian hukum. Keadaan lain dari hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris. Hukum khususnya peraturan perundang-undangan sering dipandang sebagai urusan departemen bersangkutan. Peraturan perundang-undangan pemerintah daerah adalah semata-mata urusan Departemen Dalam Negeri. Peraturan perundangundangan industri adalah semata-mata urusan Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Tidak pula jarang dijumpai inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas hukum atau landasan teoretik yang dipergunakan. Keadaan hukum kita khususnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dalam kurun waktu dua puluh lima tahun terakhir sangat mudah tertelan masa, mudah aus (out of date). Secara obyektif hal ini terjadi karena perubahan masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya berjalan begitu cepat, sehingga hukum mudah seka;i tertinggal di belakang. Secara subyektif, berbagai peraturan perundang-undangan dibuat untuk mengatasi keadaan seketika sehingga kurang memperhatikan wawasan ke depan. Kekurangan ini sebenranya dapat dibatasi apabila para penegak hukum berperan aktif mengisi berbagai kekososngan atau memberikan pemahaman baru suatu kaidah. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum lebih suka memilih sebagai aplikator daripada sebagai dinamisator peraturan perundang-undangan. Berbicara tentang upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan, kita harus berbicara tentang masyarakat dimana hukum itu berlaku baik yang disebut masyarakat nasional maupun internasional. Upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan didalam masyarakat nasional kita karena didalamnya ada aturan yang disebut hukum. Secara sederhana kita dapat mendefinisikan hukum sebagai aturan tentang tingkah laku manusia dimasyarakat tertentu. Aturan yang disebut hukum tadi akan terkait dengan tindakan manusia atau tingkah laku manusia didalam suatu masyarakat nasional yang mempunyai berbagai macam aspek atau bidang, didalamnya ada bidang politik, bidang ekonomi, bidang sosial, bidang budaya, pendidikan dan juga keamanan. Didalam berbagai bidang itulah manusia melakukan tingkah laku dan manusia satu dengan yang lain
9

melakukan interaksi dan interaksi itu berjalan secara tertib, maka dibutuhkan aturan yang disebut hukum. Oleh karena itu ketika kita akan berbicara tentang upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan maka timbul beberapa pertanyaan yang perlu mendapat jawaban secara jelas yaitu apa dimaksud dengan upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan, untuk apa upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan itu perlu ditegakkan dan bagaimana caranya agar upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan itu bisa diwujudkan. Tetapi kita pertanyaan tadi dialam kehidupan masyarakat nasional pada akhirnya bermuara kepada apa yang disebut terwujudnya negara hukum. Jika berbicara dalam tataran koridor konstitusional, maka persoalan upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan yang hanya mungkin terwujud didalam sebuah masyarakat nasional yang disebut negara hukum konstitusional, yaitu suatu negara dimana setiap tindakan dari penyelenggara negara, pemerintah dan segenap alat perlengkapan negara di pusat dan di daerah terhadap rakyatnya harus berdasarkan atas hukum-hukum yang berlaku yang ditentukan oleh rakyat/wakilnya didalam badan perwakilan rakyat. Dan dalam wacana politik modern, maka dalam paktek negara demokrasi dengan sendirinya negara hukum. Sesuai prinsip kedaulatan rakyat yang ada, didalam negara demokrasi hukum dibuat untuk melindungi hak-hak azasi manusia warga negara, melindungi mereka dari tindakan diluar ketentuan hukum dan untuk mewujudkan tertib sosial dan kepastian hukum serta keadilan sehingga proses politik berjalan secara damai sesuai koridor hukum/konstitusional. UUD 1945 sebenarnya telah mempunyai ukuran-ukuran dasar yang bisa dipakai untuk mewujudkan negara hukum dimana upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan akan diwujudkan. Kalau kita pelajari UUD 1945 dengan seksama ada sebuah kalimat dalam kaitan dengan apa disebut negara hukum yang secara jelas disebutkan bahwa Indonesia adalah negara berdasar atas negara hukum, tidak berdasar atas kekuasaan belaka ini sebenarnya Grundnorm yang telah diberikan oleh Fonding father yang membangun negara ini. Bagaimana kita akan menyusun negara hukum, bagaimana negara hukum itu akan diarahkan, dalam arti untuk apa kita wujudkan negara hukum ini, sekaligus dituntut untuk menegakkan hukum sebagai salah satu piranti yang bisa dipergunakan secara tepat didalam mewujudkan keinginan atau cita-cita bangsa. Formula UUD 1945 tersebut
10

mengandung pengertian dasar bahwa didalam negara yang dibangun oleh rakyat Indonesia ini sebenarnya diakui adanya dua faktor yang terkait dalam mwujudkan negara hukum, yaitu satu faktor hukum dan yang kedua faktor kekuasaan. Artinya hukum tidak bisa ditegakkan inkonkreto dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat tanpa adanya kekuasaan dan dimanifestasikan pada adanya apa yang UUD disebut. Kata penyelenggara negara di bidang Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Sebaliknya pembentukan kekuasaan dan penggunaan kekuasaan sama sekali tidak boleh meninggalkan faktor hukum tersebut oleh karena hukum yang berupa Grundnorm dalam UUD 1945 ini memberikan dasar terhadap terbentuknya kekuasaan yaitu kedaulatan rakyat. Artinya rakyat yang berdaulat bukan negara yang berdaulat dan hukum juga memberikan dasar terhadap penggunaan kekuasaan tersebut hingga penggunaan kekuasaan yang ada pada negara tidak boleh diterapkan semena-mena tanpa ada dasar hukumnya yang jelas. Dengan demikian maka kekuasaan yang ada pada negara pada saat diterapkan harus menghormati kewenangan-kewenangan yang sifat terbatas diberikan kepada aparat negara. Begitu juga hukumlah yang menentukan arah kemana kekuasaan negara itu dipergunakan dan menentukan tujuan-tujuan apa yang hendak dicapai dengan menggunakan kekuasaan tersebut. Yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa hukum tidak hanya memberi dasar, tidak hanya memberi arah, tidak hanya menentukan tujuan, tetapi hukum juga menentukan cara atau prosedur bagaimana kekuasaan itu diterapkan didalam praktek penyelenggaraan negara. Dengan demikian dua faktor hukum dan kekuasaan, tidak bisa dilepaskan satu sama lain, bagaikan lokomotif dan relnya serta gerbong yang ditarik lokomotif. Artinya hukum tidak bisa ditegakkan bahkan lumpuh tanpa adanya dukungan kekuasaan. Sebaliknya kekuasaan sama sekali tidak boleh meninggalkan hukum, oleh karena apabila kekuasaan dibangun dan tanpa mengindahkan hukum, yang terjadi adalah satu negara yang otoriter. Fungsi kekuasaan pada hakekatnya adalah memberikan dinamika terhadap kehidupan hukum dan kenegaraan sesuai norma-norma dasar atau grundnorm yang dituangkan dalam UUD 1945 dan kemudian dielaborasi lebih lanjut secara betul dalam hierarki perundangundangan yang jelas. Jika dipahami dengan benar pemahaman dan norma ini sebenarnya secara konsepsional Indonesia memiliki landasan yang kuat untuk mewujudkan negara hukum konstitusional yang demokratis dan dengan dengan demikian secara konsepsiaonal upaya
11

untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan telah dijamin eksistensinya oleh UUD 1945. Artinya secara implementasi pemecahan-pemecahan segala dibidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain menggunakan legal approach dan apabila mau menggunakan pendekatan kekuasaan itu harus didasarkan atas hukum. Menegakan dan Mempertahankan upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan dan kesejahteraan Di Indonesia Penegakan upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia secara universal mengalami degradasi. Kondisi tersebut, antara lain, disebabkan banyaknya peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintahan pada masa lalu tidak mencerminkan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan yang bersendikan hukum agama dan hukum adat. Kurang berperannya pelaksanaan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) juga menyebabkan banyaknya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan mempunyai materi yang saling tumpang tindih satu sama lain serta masih adanya peraturan perundang-undangan yang kurang mencerminkan keadilan. Hal tersebut juga diikuti dengan tindakan pembatasan keterlibatan kekuasaan rakyat oleh pemerintah untuk ikut berperan serta secara aktif dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan permasalahan dan sekaligus menjadi tantangan yang akan dihadapi dalam pembangunan hukum. Upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan baru dapat ditegakkan apabila para penyelenggara negara berperilaku demokratis, legaliter dan manusiawi yang dijiwai oleh nilai-nilai ideologi pancasila, artinya letak persoalan pokoknya belum tegaknya upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan bukan pada konsepsi negara hukumnya, bukan konsepsi dasar ideologi negara pancasila yang tidak bisa memenuhi tantangan zaman, tetapi terletak pada praktek penyelenggara negara disemua bidang yang telah meninggalkan unsur-unsur yang ditanamkan oleh UUD 1945, yaitu semangat penyelenggara negara. Terutama butir 4 dari pokok-pokok pikiran yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang mengandung isi yang mewajibkan kepada pemerintah dan lainlain penyeleggara negara untuk budi pekerti kemanusiaan yang luhur dengan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur, yang digali berdasarkan nilai-nilai ketuhan yang
12

maha esa (moral religius), nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab (harkat dan martabat manusia dan hak-hak azasi manusia), nilai-nilai persatuan dan kesatuan, nilai-nilai kerakyatan dan prisip musyawarah mufakat, prinsip perwakilan, dan nilai-nilai keadilan kebenaran untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Upaya yang akan dilakukan adalah dengan menyusun dan membentuk peraturan perundang-undangan yang aspiratif dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat melalui peningkatan peran Prolegnas. Upaya lain adalah menyempurnakan mekanisme penyusunan undang-undang antara pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kunci penegakan hukum, adalah penerapan the rule of law secara konsekuen yang artinya upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan diatas segalanya. Atau dalam istilah lain, hukum harus menjadi panglima, suatu konsep yang diterapkan secara konsisten di Amerika Serikat. Sehubungan dengan pendapat diatas, maka rule of law tidak lain artinya daripada organized public power atau kekuasaan umum yang teroganisir. Maka hukum yang ada adalah produk penguasa (the rullling class). Dengan demikian negara yang memiliki pemerintahan diktator sekalipun memiliki the rule of law. Sedangkan dalam arti material, the rule of law menyangkut ukuran-ukuran tentang hukum yang baik dan yang buruk. Dalam mewujudkan perbaikan dan pertahanan jaminan terciptanya keadilan sebagaimana yang dicita-citakan, maka harus dilakukan penegakan hukum secara konsisten. Hal itu akan menimbulkan efektivitas dan kewibawaan hukum. Selanjutnya hukum yang efektif akan membawa adanya kepastian hukum. Sebaliknya, inkonsistensi dalam penegakan hukum akan merosotkan wibawa hukum sekaligus aparat peegak hukumnya. Dalam negara hukum, jaminan terciptanya keadilan pun harus menjamin bahwa HAM dijunjung tinggi dan dilindungi oleh hukum; HAM harus sebagai ciri negara hukum. Secara objektif, HAM merupakan kewenangan-kewenangan pokok yang melekat pada manusia (atau melekat pada kodrat manusia), yang harus diakui dan dihormati oleh masyarakat dan negara. HAM itu universal, tidak tersekat oleh suku, bangsa, dan agama; tetapi tatkala HAM dirumuskan dalam UUD (konstitusi), ia menjadi berbeda-beda menurut ideologi, menurut kultur negara masing-masing. Begitu juga di Indonesia, HAM Indonesia
13

adalah HAM yang berlandaskan pada Ideologi Pancasila. Ini berarti bahwa HAM di Indonesia (sila Kedua) harus yang berlandaskan pada dan bertanggungjawab kepada Tuhan (sila Pertama), harus yang mendahulukan kepentingan bangsa dan negara (sila Ketiga), harus yang diakui/disepakati dan dihormati oleh masyarakat/rakyat (sila Keempat), dan harus yang diimbangi oleh kewajiban-kewajiban sosial (sila Kelima). Secara yuridis diakui bahwa hak dan kewajiban warga negara indonesia dilindungi oleh undang-undang. Dalam Universal Declaration of Human Right dari PBB dijelaskan bahwa pengakuan hak martabat sebagai manusia. Hak dan kewajiban yang ada pada manusia diakibatkan adanya peraturan; yaitu hak yang berdasarkan undang-undang. Jika kita berbicara tentang hak, hak-hak itu tidak langsung berhubungan dengan manusia, tetapi menjadi hak, sebab tertampungnya dalam undang-undang yang sah. Oleh karena itu hakhak tersebut dapat dituntut didepan pengadilan. Kesadaran hukum baik menyangkut hakhak dan kewajiban-kewajiban alamiah maupun hak-hak dan kewajiban-kewajiban menurut undang-undang yakni secara yuridis. Hukum menurut undang-undang sepantasnya dialami sebagai lanjutan dan konkretisasi hukum alamiah. Dengan menyebut manusia menurut martabatnya dimaksudkan, bahwa manusia merupakan suatu mahluk yang istimewa yang tidak ada bandinganya di dunia. Keistimewaan ini nampak dalam pangkatnya, bobotnya, relasinya, fungsinya sebagai manusia, bukan sebagai manusia individual, melainkan sebagai anggota kelas manusia, yang berbeda dengan kelas tumbuh tumbuhan dan binatang. Dalam arti universal ini semua manusia bernilai, tiap-tiap pribadi masing-masing. Sesusai dengan nilainya semua itu, manusia harus dihormati. Tetapi terdapat perbedaan pandangan tentang hak-hak mana yang sebenarnya merupakan hak manusia itu. Perbedaan pandangan itu bertalian dengan pertanyaan mengapa manusia bernilai, mengapa ia mahluk istimewa. Teori yang paling sering muncul dalam sejarah pikiran manusia ialah bahwa keistimewaan manusia (sebagai dasar hak-hak) terletak dalam wujud manusia sendiri, sebagaimana didapati olehnya

melalui pikirannya. Maka keistimewaan manusia itu bersifat rasional. Buktinya adalah kesadaran semua orang akan hak-hak tertentu. Hak-hak yang didapati orang secara rasioanal. Dianggap bersifat abadi dan tetap berlaku. Tiap-tiap orang lain, termasuk pemerintah negara, harus mengindahkannya, dengan membuat hukum atas dasar hakhak alamiah tersebut.
14

Disadari atau tidak, selama tahun-tahun terakhir bangsa kita telah mengalami ketidakpercayaan yang luar biasa diantara sesama kita. Selain itu krisis berkepanjangan juga memiliki peran yang tidak sedikit dalam mengikis kepercayaan terhadap orang lain, terutama lembaga-lembaga negara. Padahal individualisme yang berlebihan akan membuat seseorang menjadi semakin picik dan tidak menghargai orang lain. Selain itu ada banyak persoalan dengan budaya individualisme yang tidak terkendali, dimana terjadi penghancuran berbagai aturan, dalam arti hanya ada satu aturan yang masih tersisa yaitu menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Oleh karenanya yang pertama harus ditegaskan adalah bahwa nilai-nilai moral dan aturan-aturan sosial bukan merupakan kendala yang semenamena terhadap pilihan individual, tetapi aturan dan nilai-nilai itu merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan pribadi. Hal pertama yang harus ditegaskan adalah bahwa nilai-nilai moral dan aturan-aturan sosial bukan merupakan prasyarat untuk menjalani upaya kooperatif. Persoalan kedua menyangkut budaya individualisme yang intens yaitu akan berakhir dengan hilangnya komunitas. Suatu komunitas tidak akan dibentuk setiap kali sebuah kelompok masyarakat terjadi dan melakukan interaksi satu dengan yang lain; komunitas sejati diikat bersama oleh nila-nilai, norma-norma, dan pengalaman-pengalaman yang dimiliki bersama diantara para angggotanya. Semakin dalam dan semakin kuat mereka memegang nilai-nilai bersama itu, paka semakin kuat rasa komunitasnya. Hukum di Indonesia pada dasarnya membutuhkan sosial kapital sendiri. Saat terjun ke kehidupan berbangsa dan bernegara hukum, setiap bangsa membawa bekal sosial kapital masing-masing. Malangnya Indonesia tidak mampu menunjukan sosial kapita dan baru sampai pada omongan masing-masing orang tanpa adanya penerapan. Tanpa perubahan cara bernegara hukum seperti itu, hukum hanya akan menjadi permainan kepentingan dan gagal membawa bangsa ini kepada kesejahteraan, keadilan, kebahagiaan, dan kemuliaan. Sosial kapital secara sederhana dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjadinya kerja sama diantara merek. Jika para anggota
15

itu mengharapkan anggota-anggota yang lain akan berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai. Kepercayaan ibarat pelumas yang membuat jalannya kelompok atau organisasi menjadi lebih efisien. Sangat mungkin sebenarnya untuk membentuk kelompok yang behasil

menggunakan varietas mekanisme koordinasi formal seperti kontrak, hierarki, konstitusi, sistem hukum, dan semacamnya. Namun norma-norma informal sangat besar mengurangi apa yang disebut para ekonom sebagai biaya transaksi, biaya pemantauan, kontrak, keputusan, dan pelaksanaan kesepakatan formal. Dalam kondisi tetentu, sosial kapital dapat memperlancar tingkat inovasi dan adaptasi kelompok yang lebh tinggi, yang memiliki keuntungan jauh melampaui wilayah ekonomi. Ia sangat penting bagi penciptaan kesehatan komunitas sosial, yaitu wilayah kelompok dan asosiasi yang ada di wilayah keluarga dan negara. Komunitas sosial sangat penting bagi keberhasilan demokrasi. Sosial kapital memungkinkan kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat yang kompleks untuk mengikat bersama demi membela kepentingan mereka, yang diabaikan oleh negara. Kenyataannya yang berhubungan dekat dengan asosiasi diantara komunitas sosial dan demokrasi liberal yang dikatakan oleh Ernest Gelliner bahwa demokrasi liberal merupakan pengganti virtual bagi komunitas sosial. Kepercayaan adalah suatu hal yang sangat penting dari norma-norma sosial kooperatif yang memunculkan sosial kapital. Jika kepercayaan adalah ukuran yang signifikan dari sosial kapital maka terdapat tanda-tanda yang jelas sosial kapital di Indonesia mengalami kemerosotan.Banyak yang menyadari bahwa kepercayaan terhadap lembagalembaga dalam segala bentuknya, mulai dari pemerintahan Indonesiatelah lama mengalami kemorosotan dan mencapai kerendahan historik selama terjadinya krisis bangsa. Semua orang tahu bahwa tidak ada seorangpun yang tidak pernah melakukan kesalahan. Artinya, kesempatan harus selalu diberi kepada mereka yang pernah melakukan kesalahan untuk memperbaiki kesalahannya, bukan dengan menghina dan menghujatnya. Namun, dalam upaya untuk menegakan ini, kita tidak boleh meninggalkan prinsip keadilan yang tertuang dalam sila Kelima. Sehingga, suatu kesalahan harus tetap menghadapkan sanksi sesuai hukum yang berlaku dan setelah hukuman itu selesai dijalankan, maka masyarakat harus memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri. Prinsip utama yang
16

harus diingat ialah rasa keadilan masyarakat jangan dilukai dan kesediaan masyarakat untuk memperbaiki kesalahannya. Namun, proses hukum harus berjalan untuk mencegah munculnya korban-korban potensial dan pelaku-pelakunya. Dengan demikian, dapat diharapkan membangun kembali tatanan masyarakat yang hancur akibat rasa tidak saling percaya dengan membina lagi kepercayaan, kejujuran, kearifan, dan kesediaan tolong menolong sebagai indikator dari sosial kapital. Menjalankan Hukum Dengan Kecerdasan Spiritual Pada akhir abad 20, muncul model berpikir spiritual atau kecerdasan spiritual. Kecerdasan intelektual amat menarik untuk dikaitkan kepada cara-cara berpikir dalam hukum, yang pada gilirannya mempengaruhi tindakan dalam menjalankan hukum.

Kecerdasan intelektual memang cerdas (akurat, persis) tetapi amat terikat pada patokan (rule bound) dan amat melekat pada progam yang telah dibuat (fixed progam) sehingga menjadi determinstik. Berbeda pada keduanya, kecerdasan spiritual tidak hanya bersifat konstekstual tetapi ingin keluar dari situasi yang ada dalam usaha untuk mencari kebenaran, makna, atau nilai yang lebih dalam. Dengan demikian berpikir menjadi suatu infinite game. Ia tidak ingin diikat dan dibatasi patokan yang ada, tetapi ingin melampaui dan menembus situasi yang ada (transenden). Kecerdasan spiritual tidak berhenti menerima keadaan dan beku, tetapi kreatif dan membebaskan. Dalam kreativitasnya ia mungkin bekerja dengan mematahkan patokan yang ada sekaligus membentuk yang baru.

17

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


3.1 Kesimpulan Dalam bidang hukum secara garis besar dapat dikemukakan bahwa hambatan utama yang dihadapi dalam mempertahankan dan memperbaiki jaminan terciptanya keadilan adalah pembuatan hukum dan penegakan hukumnya. Sistem peradilan di Indonesia yang merupakan warisan kolonial Belanda sedikit banyak menyulitkan dalam prakteknya. Selain itu, permasalahan yang berkaitan dengan hukum positif dan keadaan supremasi hukum saat ini juga terletak pada kualitas perundang-undangan. Penegakan upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia secara universal mengalami degradasi. Jaminan terciptanya keadilan baru dapat ditegakkan apabila para penyelenggara negara berperilaku demokratis, legaliter dan manusiawi yang dijiwai oleh nilai-nilai ideologi pancasila. Agar tujuan itu tercapai maka suatu kaidah hukum harus adil. Demikian juga untuk penegakan dan pelaksanaan tidak boleh menghilangkan etika dan martabat manusia.

3.2 Saran Upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan belum menghasilkan ketertiban dan keteraturan apalagi keadilan bagi masyarakat. Yang kita perlukan adalah kesungguhan untuk menegakan hukum dan kesungguhan untuk memberlakukan hukum secara adil di depan semua warga negara. Kita harus mengubah strategi menjadi mobilisasi hukum. Hukum bukanlah rinso yang bisa mencuci sendiri. Hukum tidak dapat bertindak tanpa campur tangan manusia. Pencuri baru dapat dihukum apabila ada polisi bertindak. Koruptor hanya bisa diadili dan dihukum bila polisi, jaksa, hakim, dan KPK bergandengan tangan. Hukum hanya sebuah kertas apabila kita tidak menggerakannya.
18

Daftar Pustaka
Bentham, Jeremi. 2006. Teori Perundang-undangan (Prinsip Legalisasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana). Bandung: Nuansa H, Haryono. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Surakarta: UNS Press M, Hisyam. 2003. Demokrasi dan Penegakan Supremasi Hukum. Jakarta: Prociding Seminar Nasional Rahardjo, Sunaryati. 1969. Apakah The Rule Of Law itu?. Bandung: Alumni Soche, H. Haris. 1985. Supremasi Hukum dan Prinsip Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta: PT. HANINDITA Yus, Thadeus. 2005. Penegakan Hukum, Upaya Menegakkan Supremasi Hukum, Jurnal Iman, Ilmu dan Budaya. Jakarta : Yayasan Bumi Aksara

19

Anda mungkin juga menyukai