Anda di halaman 1dari 9

http://www.tempo.co.id/medika/arsip/102001/top-1.

htm TOPIK

Pemantauan Sistem Kardiorespirasi Invasif pada Anak Sakit Kritis


EDY MUHAMMAD Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan

Pendahuluan Kata pemantauan atau monitoring berasal dari bahasa Latin monere yang berarti 'mengingatkan'. Pada masa lalu, pemantauan pasien sakit kritis dilakukan dengan mengukur tanda-tanda vital secara manual. Namun, penemuan terakhir dalam bidang komputer dan teknologi telah memungkinkan untuk mendapatkan data-data pasien secara cepat dan beragam dalam jumlah yang banyak1. Tujuan pemantauan pasien adalah1-2: (1) Indikator diagnostik; (2) Memandu dan melihat respons pengobatan; (3) Sistem peringatan terhadap perubahan yang terjadi; dan (4) Prediksi prognosa. Sistem pemantauan yang ideal adalah1-4: (1) Tidak invasif; (2) Akurasi dan sensitivitasnya tinggi; (3) Bereaksi cepat terhadap perubahan yang terjadi; (4) Memberikan data secara terus-menerus; (5) Bisa direkam dan dibuat grafik; (6) Mudah digunakan; (7) Tidak membahayakan pasien dan penderita; (8) Harga dan biaya pemeliharaan murah; serta (9) Kecil dan mudah disimpan. Pemantauan sistem kardiorespirasi merupakan salah satu hal yang sangat penting pada anak sakit kritis. Fungsi utama sistem kardiorespirasi adalah memenuhi kebutuhan oksigen tubuh dan mengeliminasi karbondioksida yang dihasilkan jaringan. Oksigenasi mencakup seluruh proses transpor O2 dari paru dan penyebaran ke jaringan, transpor karbondioksdida dari jaringan, serta ekskresi CO2 dari paru melalui ventilasi. Distres sistem kardiorespirasi pada anak sering disertai dengan kelainan proses oksigenasi serta pengeluaran karbondioksida. Hal ini membutuhkan pemantauan yang teliti5. Pemantauan sistem kardiorespirasi dapat dilakukan secara invasif dan non-invasif. Pemantauan sistem kardiorespirasi secara invasif mencakup pemantauan terhadap4,6-9: (1) Tekanan arterial sistemik; (2) Tekanan arteri pulmonalis; (3) Tekanan vena sentral; (4) Curah jantung ( cardiac output); (5) Tekanan atrium kiri; dan (6) Analisa gas darah. Tulisan ini bertujuan untuk mengemukakan pemantauan sistem kardiorespirasi invasif pada anak sakit kritis. Pemantauan Tekanan Arterial Sistemik Pengukuran tekanan arteri sistemik atau perifer secara invasif adalah suatu metode untuk memeriksa tekanan darah secara langsung4,6-10. Pengukuran tekanan darah secara non-invasif dengan sphygmomanometer, oscilometri, dan lain-lain, dapat mendeteksi tekanan darah secara adekuat, bahkan pada bayi. Tapi, pada keadaan dimana didapatkan peningkatan resistensi vaskular atau penurunan aliran darah, metode indirek ini menjadi tidak efektif, misalnya tekanan darah yang terukur lebih rendah dari semestinya. Pada keadaan seperti ini, pemasangan kateter arteri sistemik diperlukan4,6-9.

Selain untuk pemantauan tekanan darah, pemasangan kateter arteri juga dapat dipakai untuk pengambilan sampel darah atau analisa gas darah6,7. Kateter arterial yang terbuat dari bahan plastik yang lembut (teflon) dapat dipasang pada beberapa tempat seperti: a. radialis, a. brachialis, a. axillaris, a. dorsalis pedis, a. tibialis posterior, a. temporalis superfisial, dan arteri femoralis, serta pada bayi dan neonatus dapat dipasang pada arteri umbilikalis4,6-16. Kriteria pemilihan tempat kateterisasi adalah ukuran pembuluh darah yang sesuai untuk kateter no. 20 atau 22, kolateral yang cukup, dekat ke sirkulasi sentral, dan mudah didapat. Dari sejumlah tempat tersebut, arteri radialis merupakan pilihan utama7,12. Sebelum kateterisasi dilakukan, perlu diketahui status sirkulasi kolateral dengan pemeriksaan Allen. Pada pemeriksaan ini, a. radialis dan ulnaris ditekan pada pergelangan tangan, setelah tangan pucat dan dingin, lepaskan arteri ulnaris, akan terlihat pengembalian sirkulasi4,7,8,11,13,15. Normalnya, dalam 5 detik sirkulasi akan adekuat. Jika sirkulasi baru kembali antara 6--15 detik, berarti terjadi pengisian lambat, sedang bila dalam 15 detik tidak kembali berarti tidak ada sirkulasi kolateral4,9,10,11,13,17,18. Selama pemasangan kateter, pantau terjadinya inflamasi serta iskemia pada bagian distal daerah pemasangan. Oleh karena itu, kateter harus diganti setelah 4--5 hari4,17,18. Pemeriksaan tekanan darah secara langsung biasanya 5--20 mmHg lebih tinggi daripada pemeriksaan tidak langsung. Perbedaan lebih nyata didapatkan pada pasien obesitas, edema, serta syok atau hipotermia. Pemeriksaan indirek 20--30 mmHg lebih rendah dari yang sebenarnya. Pada pasien kritis, tekanan intra arteri lebih tinggi 10--30 mmHg daripada tekanan dengan sphygmomanometer. Jika pengukuran indirek lebih tinggi, mungkin ada kesalahan pemeriksaan atau ada penyakit vaskular perifer4,9,17. Mendapatkan tekanan darah yang normal tidaklah cukup pada penanganan anak sakit kritis, sebab parameter yang normal pada anak sehat tidaklah sama dengan anak sakit kritis. Untuk itu, kita juga perlu memeriksa beberapa parameter perfusi jaringan yang lain, seperti suhu kulit, pengisian kapiler, pH darah, serta serum laktat karena pada pasien dengan penurunan perfusi jaringan, tekanan darah merupakan parameter terakhir yang mengalami penurunan. Hal ini tampak jelas pada pasien anak dimana pembuluh darahnya relatif lebih fleksibel, lebih responsif, serta daya kompensasi yang tinggi terhadap penurunan curah jantung8,10. Pemantauan Tekanan Arteri Pulmonalis Pengukuran tekanan arteri pulmonalis dan tekanan kapiler pulmonalis berguna pada penanganan pasien-pasien dengan perubahan hemodinamik yang cepat atau dengan gejala klinis yang belum jelas. Pemeriksaan ini akan memperlihatkan gambaran karakteristik ventrikel kiri dan kanan dengan mengukur tekanan pengisian masing-masing ventrikel serta curah jantung4. Pengukuran tekanan arteri pulmonalis dilakukan dengan pemasangan kateter arteri pulmonalis yang diperkenalkan pertama kali oleh Swan Ganz dkk. pada 1970. Kateter Swan Ganz juga digunakan untuk pemeriksaan tekanan vena sentral, curah jantung, analisa gas darah, penghitungan jumlah cairan, dan tekanan kapiler pulmonalis (Gambar 1)3,6,8,9,10,19,20. Kateter yang ada saat ini, ukurannya no. 3--8, sedangkan yang dipakai pada bagian anak no. 5 dan 7. Kateter no. 5 dipakai pada anak usia kurang 10 tahun atau berat badan kurang dari 18 kg sedangkan yang no. 7 dipakai untuk anak usia lebih 10 tahun dengan berat badan lebih 18 kg7,8,19. Kateter arteri pulmonalis untuk anak mempunyai empat lumen. Lumen pertama untuk pemeriksaan tekanan arteri pulmonalis, tekanan baji arteri pulmonalis, serta tempat pengambilan

sampel darah. Lumen kedua untuk pemeriksaan tekanan vena sentral serta curah jantung. Lumen ketiga untuk tambahan akses ke vena serta lumen keempat untuk meniup dan mengempeskan balon6,19. Pengukuran tekanan arteri pulmonalis akan memberikan hasil yang akurat bila dilakukan di zone west III arteri pulmonalis pada akhir ekspirasi. Tekanan rata-rata 20 mmHg. Pada keadaan normal, tekanan sistolik arteri pulmonalis sama dengan tekanan ventrikel kanan, tapi tekanan diastolik lebih tinggi karena penutupan katup pulmonal4,8,19,22. Berikut gambaran perjalanan kateter arteri pulmonalis dan hasil pengukurannya (Gambar 2)14: 1. Ketika kateter dimasukkan ke vena cava, ia akan memberikan tekanan vena cava di mana sama dengan tekanan vena sentralis. 2. Ketika memasuki katup trikuspid dan ventrikel kanan, maka muncul tekanan sistolik dan diastolik. 3. Ketika kateter memasuki katup pulmonal, tekanan diastolik meningkat tiba-tiba dan muncul gelombang tekanan arteri pulmonalis. 4. Ketika kateter melewati arteri pulmonalis, komponen sistolik hilang dan muncul tekanan baji pulmonalis. 5. Ketika tekanan baji didapat, balon segera dikempeskan dan gelombang arteri pulmonalis hilang, balon tetap kempes. Beberapa kelemahan pengukuran dengan kateter arteri pulmonalis14: 1. Perubahan tekanan bervariasi dipengaruhi oleh respirasi karena perubahan tekanan dalam rongga dada. 2. Perubahan tekanan bermakna bila peningkatan 4 mmHg atau lebih dari nilai normal. 3. Tekanan baji tidak boleh melebihi tekanan diastolik arteri pulmonalis. Jika ini terjadi berarti balon terlalu kembang dan harus segera diturunkan untuk mencegah ruptur arteri. 4. Peninggian tekanan diastolik arteri pulmonalis akan memberikan nilai yang positif palsu bila frekuensi jantung lebih dari 120 kali/menit karena tidak ada waktu bagi tekanan untuk kembali ke dasar. 5. Tekanan vena sentral dan tekanan baji tidak betul-betul menggambarkan penilaian volume darah, tapi perubahan pada parameter ini berkorelasi dengan perubahan volume darah. Munculan klinis yang ada bila dikaitkan dengan nilai tekanan arteri pulmonalis sebagai berikut: normal tekanan arteri pulmonalis 10--15 mmHg dan tekanan baji 6-15 mmHg. Bila tekanan baji arteri pulmonalis (pulmonary arterial wedge pressure atau PAWP) sama dengan tekanan kapiler, berarti ada pengaliran cairan dari vaskular ke interstitial. Sedangkan bila PAWP meningkat 18-20 mmHg, ada kongesti ringan pada paru dan bila peninggian sampai 30 mmHg, didapatkan edema pulmonal akut. Pada syok septik atau hipovolemik, tekanan baji arteri pulmonalis kurang dari 5 mmHg. Di samping mengukur, perlu dilihat kecenderungan yang terjadi. Bila PAWP cenderung meningkat, kemungkinan penyakit kronis17. Pemantauan Tekanan Vena Sentral Kateterisasi vena intra torakal sering dilakukan pada anak sakit kritis. Salah satu indikasinya adalah untuk mengukur tekanan vena sentral6. Tekanan vena sentral menggambarkan preload ventrikel kanan atau tekanan akhir diastolik ventrikel kanan sehingga dapat memberikan informasi tentang volume darah, gambaran ventrikel kanan, serta kapasitas vena8,9,12,19. Pemantauan tekanan vena sentral dilakukan pada pasien anak yang menjalani operasi jantung atau prosedur bedah lainnya dimana terjadi kehilangan darah atau perpindahan cairan dalam

jumlah yang besar. Juga dilakukan pada pasien yang mendapat obat vasoaktif, nutrisi parenteral, atau untuk mendapatkan akses vena karena tidak adekuatnya vena perifer4,8,9,10. Pengukuran tekanan vena sentral dilakukan pada percabangan vena cava dan atrium kanan. Hal ini sama pada bayi, anak, dan orang dewasa. Pemasangan kateter vena sentral dapat dilakukan melalui v. jugularis interna, v. antekubiti, v. brakialis, v. subclavia, serta v. femoralis. Pada pasien kecil, v. subclavia dan jugularis interna lebih mudah digunakan8,9,13,18. Pengukuran tekanan vena sentral dilakukan dengan pemasangan jarum atau kateter pada vena dan dihubungkan dengan suatu transduser. Biasanya dipasang pada saat operasi setelah induksi anestesi atau intubasi sedangkan pada ruang rawat intensif dilakukan dengan sedasi dan anestesi lokal. Pemasangannya harus dipandu dengan pemeriksaan EKG untuk mendeteksi terjadinya aritmia. Kateter yang digunakan bervariasi sesuai dengan usia anak, yaitu nomor 3 untuk anak dengan berat badan kurang dari 3 kg, nomor 4 untuk berat badan kurang dari 10 kg, nomor 5 untuk berat badan 10 sampai 20 kg, serta nomor 6 untuk berat badan lebih dari 20 kg4. Tekanan vena sentral diukur dengan transduser tekanan dalam milimeter air raksa (mmHg) atau manometer air (cm H2O). Untuk mengkonversi air raksa ke air, nilai air raksa dikalikan 1,36 (mmHg x 1,36); untuk mengkonversi air ke air raksa, nilai air dibagi 1,36 (cm H2O : 1,36)9,18. Tekanan vena sentral pada bayi yang sehat antara -2 sampai +4 mmHg, dan anak yang menderita kelainan jantung bawaan antara 4--8 mmHg. Pada pasien yang memakai ventilator nilainya antara 2--6 mmHg dan sering tidak toleran dengan tekanan yang rendah antara 0--3 mmHg. Nilai tekanan vena sentral yang lebih dari 8 mmHg biasanya sering disertai dengan disfungsi miokard atau tekanan dalam torak yang meninggi seperti pada pneumotorak, tamponade jantung, regurgitasi trikuspid, hipertensi pulmonal, atau gagal ventrikel4,9,18. Jika peninggian nilai tekanan vena sentral kurang 3 mmHg setelah pemberian cairan, misalnya 50--200 cc, maka tambahan cairan masih dapat diberikan. Sedangkan bila peninggian tekanan lebih dari 7 mmHg, berarti cairan yang diberikan telah maksimal18. Pada beberapa keadaan, didapatkan penurunan tekanan vena sentral, preload ventrikel kanan, serta curah jantung. Sistem kardiopulmonal yang lain normal, seperti pada dehidrasi berat, sepsis, perdarahan, diabetik ketoasidosis, dan lain-lain. Pada kasus-kasus yang berat, penanganannya sebaiknya dipandu dengan pemasangan tekanan vena sentral sehingga didapatkan data tentang kebutuhan cairan yang baik untuk membantu curah jantung18. Kelemahan pemeriksaan tekanan vena sentral sebagai indikator preload otot jantung adalah bahwa tekanan vena sentral hanya mengukur tekanan sisi kanan saja sehingga tidak menggambarkan tekanan sistemik. Toussain dkk.17 memperlihatkan kelemahan pemeriksaan tekanan vena sentral dibandingkan dengan tekanan baji pada diagnosa tanpa gangguan jantung dan lebih jelek lagi pada yang ada gangguan jantung. Shoemaker dkk. (1988) memperlihatkan bahwa pemeriksaan tekanan vena sentral dan parameter non-invasif yang lain seperti frekuensi jantung, EKG, serta urine output sama tidak adekuatnya untuk mendeteksi gagal sirkulasi4,8,17. Komplikasi pemasangan tekakan vena sentral adalah bakteremia, emboli udara, hematom lokal, pneumotorak, dan sepsis. Oleh karena itu, kateter vena sentral harus dicabut atau diganti setelah 3 hari pemasangan4,6,8. Pemantauan Curah Jantung Curah jantung atau cardiac output adalah jumlah darah yang dipompakan jantung ke sirkulasi dalam satu menit7-9. Pemeriksaan curah jantung merupakan dasar pemahaman proses

hemodinamik tubuh7. Pada pediatri gawat darurat, pemeriksaan curah jantung dilakukan pada pasien pasca operasi atau syok dan biasanya dipakai kateter Swan Ganz4,8,9,22. Curah jantung dapat dinilai dengan7,8,21,22: (1) Metode Fick; (2) Metode Dye dilution; dan (3) Metode Thermodilution. Metode thermodilution adalah yang terbanyak digunakan pada pediatri gawat darurat karena indikatornya alamiah serta tidak diperlukan sampel darah16 Cara pemeriksaan: 3--10 cc dextrose % dengan suhu 0 derajat sampai suhu kamar diinjeksikan ke dalam kateter melalui atrium kanan dan perubahan suhu dalam vaskuler dinilai dengan transduser pada arteri pulmonalis7,8. Agar didapatkan hasil yang akurat maka lama penyuntikan tidak lebih dari 2 detik, volume serta suhu obat stabil, suhu arteri pulmonalis stabil, dan lainlain4,21. Jumlah curah jantung dapat dihitung dengan formula4: Metode thermodilution dapat dipakai untuk mengukur aliran darah pada organ atau daerah tertentu dengan menempatkan themister pada organ tersebut. Misalnya, aliran pada paru kanan dengan anastomosis Glenn, dapat dilakukan injeksi melalui vena cava superior dan thermister pada arteri pulmonalis18. Pada anak, penilaian curah jantung dikonversikan dengan luas permukaan tubuh dan disebut indek jantung. Nilai normal tergantung pada usia, biasanya antara 3--5 1/menit/m2. Karena luas permukaan tubuh kurang dari satu, maka besar indek jantung lebih besar dari curah jantung. Demikian pula sebaliknya pada orang dewasa. Pada neonatus, curah jantung lebih kurang 400-500 ml/kg/menit4. Karena curah jantung dipengaruhi frekuensi jantung dan volume sekuncup, maka nilainya dapat ditingkatkan pada peninggian frekuensi jantung atau volume sekuncup, misalnya dengan pemberian cairan atau obat inotropik7,8. Pemantauan Tekanan Atrium Kiri Tekanan darah atrium kiri memberikan gambaran tekanan akhir diastolik ventrikel kiri bila tidak ditemukan kelainan katup mitral atau regurgitasi aorta20. Operasi jantung terbuka meningkatkan resistensi vaskuler perifer. Oleh karena itu, banyak ahli bedah jantung memasang kateter atrium kiri agar mendapatkan gambaran tekanan akhir diastolik ventrikal kiri yang lebih dipercaya. Pengukuran tekanan atrium kiri secara langsung dilakukan dan hasilnya lebih akurat dibandingkan dengan pemeriksaan tekanan baji karena tidak dipengaruhi paru-paru4,8. Kateter atrium kiri dipasang melalui vena pulmonalis superior kanan dan diarahkan ke atrium kiri. Pada kateter diinfuskan 3 ml NaCl 0,9% atau 0,45% disertai heparin 1 unit/ml sebagai antikoagulan. Selama pemasangan kateter, harus dijaga tidak terbentuknya gelembung udara dan jangan memasukkan obat atau produk darah melalui kateter1,2,8,16. Pada keadaan normal, tekanan atrium kiri lebih tinggi dari atrium kanan. Normalnya, tekanan rata-rata pada atrium kiri adalah 8 mmHg. Peninggian tekanan atrium kiri didapatkan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri dan gangguan aliran seperti mitral stenosis20. Pemantauan tekanan atrium kiri dan kanan sangat berguna pada penanganan pasien pasca operasi. Penurunan tekanan keduanya secara simultan menandakan peningkatan fungsi otot jantung atau hipovolemia sedangkan penurunan yang progresif menunjukkan penurunan fungsi otot jantung atau kelebihan cairan. Peninggian atau penurunan yang tiba-tiba biasanya pada kasus katastropik, seperti infark jantung atau aritmia dengan peningkatan tekanan yang bermakna. Diagnosa tamponade jantung perlu dipertimbangkan bila didapatkan peningkatan tekanan atrium kanan dan penurunan tekanan atrium kiri secara simultan8.

Komplikasi yang sering ditemui pada pemasangan kateter atrium kiri adalah perdarahan, emboli, pembekuan darah, atau kegagalan mengangkat kembali kateter yang dipasang8-9. Pemantauan Gas Darah Arteri Pengukuran gas darah arteri berguna untuk menentukan keefektifan paru sebagai oksigenator dan ventilator. Pengukurannya dapat dilakukan baik secara invasif maupun non-invasif. Pemeriksaan secara invasif dengan memasang jarum atau kateter1,5. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan analisa gas darah dapat dilakukan pada a. radialis, a. tibialis posterior, a. dorsalis pedis, dan lain-lain. Arteri femoralis atau brakialis sebaiknya tidak digunakan jika masih ada alternatif lain, karena tidak mempunyai sirkulasi kolateral yang cukup untuk mengatasi bila terjadi spasme atau trombosis. Sedangkan arteri temporalis atau axillaris sebaiknya tidak digunakan karena adanya risiko emboli otak2. Pada neonatus, dimana sering ditemukan kesulitan untuk mendapatkan darah dari arteri, sampel darah kapiler dapat digunakan. Korelasi nilai sampel darah arteri dan kapiler bervariasi, baik untuk pH dan PCO2, tapi jelek untuk PaO22,12. Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil pemeriksaan analisa gas darah2,5,22: 1. Gelembung udara Tekanan oksigen udara adalah 158 mmHg. Jika terdapat udara dalam sampel darah maka ia cenderung menyamakan tekanan sehingga bila tekanan oksigen sampel darah kurang dari 158 mmHg, maka hasilnya akan mengikat. 2. Antikoagulan Antikoagulan dapat mendilusi konsentrasi gas darah dalam tabung. Pemberian heparin yang berlebihan akan menurunkan tekanan CO2, sedangkan pH tidak terpengaruh karena efek penurunan CO2 terhadap pH dihambat oleh keasaman heparin. 3. Metabolisme Sampel darah masih merupakan jaringan yang hidup. Sebagai jaringan hidup, ia membutuhkan oksigen dan menghasilkan CO2. Oleh karena itu, sebaiknya sampel diperiksa dalam 20 menit setelah pengambilan. Jika sampel tidak langsung diperiksa, dapat disimpan dalam kamar pendingin beberapa jam. 4. Suhu Ada hubungan langsung antara suhu dan tekanan yang menyebabkan tingginya PO2 dan PCO2. Nilai pH akan mengikuti perubahan PCO2. Nilai pH darah yang abnormal disebut asidosis atau alkalosis sedangkan nilai PCO2 yang abnormal terjadi pada keadaan hipo atau hiperventilasi. Hubungan antara tekanan dan saturasi oksigen merupakan faktor yang penting pada nilai oksigenasi darah2. Beberapa hal yang perlu diperhatikan2: 1. Derajat ventilasi alveoli ditetapkan berdasarkan tekanan CO2

2. Apakah telah terjadi asidosis metabolik 3. Apakah ini keadaan primer atau kompensasi 4. Nilai efektivitas koreksi keadaan hipoksemia Pada pemeriksaan gas darah, yang pertama dinilai adalah kecukupan ventilasi untuk mengeliminasi CO2 yang terbentuk. Berdasarkan derajat ventilasi alveoli, hasil analisa gas darah dibagi atas: 5. Alkalosis respiratorik bila tekanan CO2 kurang dari 30 mmHg 6. Ventilasi normal bila tekanan CO2 antara 30--50 mmHg 7. Asidosis respiratorik bila tekanan CO2 lebih dari 50 mmHg Untuk menilai perubahan ventilasi pada fase akut, dapat dinilai hubungan anatara tekanan CO2 dan pH yang ada. Setiap peninggian tekanan CO2 20 mmHg, akan menurunkan pH 0,10 unit atau setiap penurunan tekanan CO2 10 mmHg maka pH akan meningkat 0,10 unit. Dengan melihat hubungan ini, kita dapat menilai keadaan ventilasi dan metabolisme yang mempengaruhi status asam basa2. Koreksi terhadap asidosis metabolik dapat dilakukan dengan menilai defisit basa, yaitu dengan mengalikan base excess dengan cairan ekstrasel. Jumlah cairan ekstrasel adalah sepertiga berat badan. Para ahli menganjurkan koreksi setengah dosis dan kemudian dinilai ulang2,12. Klasifikasi gangguan asam basa primer dan terkompensasi2: 1. Normal bila tekanan CO2 40 mmHg dan pH 7,4. Jumlah CO2 yang diproduksi dapat dikeluarkan melalui ventilasi. 2. Alkalosis respiratorik. Bila tekanan CO2 kurang dari 30 mmHg dan perubahan pH, seluruhnya tergantung pada penurunan tekanan CO2 di mana mekanisme kompensasi ginjal belum terlibat, dan perubahan ventilasi baru terjadi. Bikarbonat dan base excess dalam batas normal karena ginjal belum cukup waktu untuk melakukan kompensasi. Kesakitan dan kelelahan merupakan penyebab terbanyak terjadinya alkalosis respiratorik pada anak sakit kritis. 3. Asidosis respiratorik. Peningkatan tekanan CO2 lebih dari normal akibat hipoventilasi dan dikatakan akut bila peninggian tekanan CO2 disertai penurunan pH. Misalnya, pada intoksikasi obat, blokade neuromuskuler, atau gangguan SSP. Dikatakan kronis bila ventilasi yang tidak adekuat disertai dengan nilai pH dalam batas normal, seperti pada bronkopulmonari displasia, penyakit neuromuskuler, dan gangguan elektrolit berat. 4. Asidosis metabolik yang tak terkompensasi. Tekanan CO2 dalam batas normal dan pH di bawah 7,30. Merupakan keadaan kritis yang memerlukan intervensi dengan perbaikan ventilasi dan koreksi dengan bikarbonat. 5. Asidosis metabolik terkompensasi. Tekanan CO2 < 30 mmHg dan pH 7,30--7,40. Asidosis metabolik telah terkompensasi dengan perbaikan ventilasi. 6. Alkalosis metabolik tak terkompensasi. Sistem ventilasi gagal melakukan kompensasi terhadap alkalosis metabolik ditandai dengan tekanan CO2 dalam batas normal dan pH lebih dari 7,50 misalnya pasien stenosis pilorik dengan muntah lama. 7. Alkalosis metabolik terkompensasi sebagian. Ventilasi yang tidak adekuat serta pH lebih dari 7,50. 8. Hipoksemia yang tidak terkoreksi. Tekanan oksigen kurang dari 60 mmHg walau telah diberikan oksigen yang adekuat 9. Hipoksemia terkoreksi. Pemberian O2 dapat mengoreksi hipoksemia yang ada sehingga normal. 10. Hipoksemia dengan koreksi berlebihan. Jika pemberian oksigen dapat meningkatkan tekanan oksigen melebihi normal. Keadaan ini berbahaya pada bayi karena dapat menimbulkan retinopati of prematurity, peningkatan aliran darah paru, atau keracunan oksigen. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan yang lain seperti konsumsi dan distribusi oksigen.

Cara lain untuk memeriksa analisa gas darah arteri secara terus-menerus adalah dengan menempatkan suatu sensor (Paratrend 7) pada ujung kateter arteri. Dengan cara ini, kita dapat memantau perubahan nilai analisa gas darah secara kontinyu tanpa harus mengambil sampel darah23. Kesimpulan Pemantauan secara invasif dilakukan pada penanganan pasien di mana terjadi perubahan hemodinamik yang cepat atau diperlukan data yang banyak dan beragam dalam waktu yang singkat. Pemantauan sistem kardiorespirasi invasif dilakukan dengan memakai beberapa macam alat atau satu macam alat yang mempunyai fungsi ganda seperti kateter arteri pulmonalis. Pemeriksaan secara invasif menyebabkan terganggunya sistem barier tubuh dan dapat menimbulkan komplikasi. Pemantauan sistem kardiorespirasi secara invasif memberikan hasil yang lebih akurat sehingga dapat mempertajam diagnosa, melakukan intervensi pada saat yang tepat sehingga didapatkan hasil yang maksimal serta menekan angka kesakitan dan kematian serta prognosis paska perawatan yang lebih baik, yang menjadi tujuan utama perawatan anak sakit kritis dapat dicapai. Akhirnya, pemantauan dengan cara invasif tetaplah hanya merupakan suatu alat bantu yang tidak dapat menggantikan posisi pemeriksaan klinis yang dilakukan secara baik, terutama bila pemantauan tidak dilakukan dengan cara yang benar. Daftar Pustaka 1. Tobin MJ. Respiratory monitoring in the intensive care unit. Am Rev Respir Dis 1998; 138:1625-42. 2. Meliones JN, Wilson BG, Cheifetz IM, Hayden WR, Greenberg RS. Respiratory monitoring. Dalam : Rogers MC, Nichols DG, penyunting. Textbook of Pediatric intensive care. Edisi ke-3. London : Williams & Wilkins, 1996, h.331-63. 3. Cifra HL. Non invasive monitoring in neonatal intensive care. Disampaikan pada 5th Symposium on shock & critical care. Jakarta, 1996, h.39-41. 4. Heitmiller ES, Wetzel RC. Hemodynamic monitoring considerations in pediatric critical care. Dalam : Rogers MC, Nichols DG, penyunting. Textbook of pediatric intensive care. Edisi ke-3. London : Williams & Wilkins, 1996, h.607-40. 5. Venkataram ST. Respiratory : assesment of oxygenation & ventilation. Dalam : Singh NC, penyunting. Manual of pediatric critical care. Sydney : Saunders, 1996, h.48-57. 6. Notterman DA. Intensive hemodynamic monitoring. Dalam : Zimerman, penyunting. Critical care pediatrics. Sydney : Saunders, 1985. h.43-54. 7. Wetzel RC, Togers MC. Invasive monitoring. Pediatric hemodynamic monitoring. h.39-61. 8. Blitt CD. Invasive monitoring. Monitoring in anesthesia and critical care medicine . New York : Churchill Livingstone, 1985. h.613-39. 9. Flynn JBC, Bruce NP. Hemodynamic and respiratory monitoring. Introduction to critical care skill. Boston : Mosby, 193. h.161-217. 10. Wetzel RC. Pediatric monitoring. Dalam : Ayres SM, Grenvik A, Holbrook PR, Shoemaker WC, penyunting. Textbook of critical care. Edisi ke-3. London : Saunders, 1996. h.323-31. 11. Marino PL. Arterial pressure recording. The ICU book. Pensylvania : Lea & Febiger, 1991. h.89-100. 12. Hughes DG. Monitoring in paediatric anaesthesia. Dalam : Mather JS, Hughes DG, penyunting. A handbook of paediatric anasthesia. New York : Oxford, 1991. h.62-83.

13. Bongard FS, Sue DY. Critical care monitoring. Dalam : Bongard FS, Sue DY, penyunting. Current critical care diagnosis & treatment. Edisi ke-1. London : Prentice hall, 1994.h.170-90. 14. Marino PL. The world of the pulmonary artery catheter. The ICU book. Pensylvania : Lea & Febinger. 1991. h.101-10. 15. Wiedemann HP, Matthay MA, Matthay RA. Cardiovascular pulmonary monitoring in the intensive care unit (part 1). Chest 1984; 85: 537-49. 16. Bartlett SCS. Arterial cathetherization. Dalam : Taeusch HW, Christiansen RO, Buescher ES, penyunting. Pediatric and neonatal tests and procedures. Tokyo : Saunders, 1996. h.160-72. 17. Scwartz AJ. Pulmonary artery catheter. Dalam : Taeusch HW, Christiansen RO, penyunting. Pediatric and neonatal tests and procedures. Tokyo : Saunders, 1996. h.13139. 18. Gomersall CD, Oh TE. Haemodynamic monitoring. Dalam : Oh TE, penyunting. Intensive care manual. Edisi ke-4. Hongkong : Butterworth heinemann. h.831-38. 19. Figuera LOT, Craft M, Copeland MM, Fixler D. Swan Ganz Pulmonary artery catheter and left atrial catheter. Dalam : Levin DL, Morris FC, penyunting. Essentials of pediatric intensive care. St Louis : Quality medical publishing, 1991. h.834-43. 20. Lock JE, Keane JF, Mandell VS, Perry SB. Cardiac catheterization. Dalam : Fyler DC, penyunting. Nadas' pediatric cardiology. Singapore : Infor access & distribution, 1992. h.187-97. 21. Bernstein D. The cardiovascular system. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting. Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-15. London : Saunders, 1996. h.1262-82. 22. Shemi SD. Cardiovascular monitoring. Dalam : Singh NC, penyunting. Manual of pediatric intensive care. Sydney : Saunders, 1996. h.119-27. 23. Weiss KI, Fink S, Harrison R, Feldman JD, Brill JE. Clinical use of continuous arterial blood gas monitoring in the pediatric intensive care unit. Pediatrics 1999; 103: 440-5.

Anda mungkin juga menyukai