Anda di halaman 1dari 10

Ya, kucing itu sekarang ada di dalam sebuah kotak besar.

Sebuah kamar; katakanlah begitu, supaya Anda sedikit lebih lega. Tetapi tak ada apa-apa lagi di sana. Kosong. Kecuali hanya sekeping pinggan yang pada permukaannya terhidang beberapa potong daging. Kita boleh memilih daging rusakah, daging lembukah, daging ayamkah, atau bahkan daging tikuskah; itu tak jadi soal. Kita juga boleh memilih dagingdaging itu disajikan dengan olahan yang bagai-mana. Disemurkah, direndangkah, digulaikah, didendengkah, digorengkah, atau bahkan sekadar direbuskah; itu tak jadi soal. Yang penting dan yang sudah pasti seharusnya hidangan itu begitu menggugah selera santap si kucing. Keterlaluan kalau tidak. Yang jadi persoalan, kucing itu tidak tahu bahwa hidangan yang tampaknya begitu lezat itu sebelumnya telah dibumbui arsenik! Akankah kucing itu memakannya dan kemudian mati? Ataukah dia tidak memakannya dan hanya berdiam diri saja? Atau kucing itu justru mengeong-ngeong sembari berkeliling ruangan berusaha mencari celah untuk mendapatkan jalan keluar? Kalian tahu? Bahkan ilmuwan-ilmuwan fisika sekelas jawara Nobel pun pusing sebelas keliling dengan persoalan ini. Ketika mereka sudah membahasnya, tiba-tiba saja alam semesta raya berkembang menjadi jumlah yang tak terhingga. Alam semesta itu tiba-tiba beranak-pinak bercucupiut berpuak-gayut, hingga tak terhitung lagi jumlahnya. Ibaratkan sebuah sungai besar dengan begitu banyak cabang anak-sungainya yang kemudian berdahan-cabang-ranting lagi dalam kali suak dan parit; hanya saja dalam alir yang terbalik. Semuanya paralel, tetapi tidak saling terhubung, tidak pula saling memengaruhi. Masing-masing semesta raya itu independen; berdiri sendiri, mandiri. Seperti gelembunggelembung busa yang ditiup kekanak; masing-masing terbang dan memuai ke arah yang berbeda. Namun seluruh rangkaian ini sesungguhnya barangkali hanya ada di dalam minda pengamat saja; yang dalam hal ini para fisikawan teoritis itu. Di sinilah barangkali permasalahannya, dan bahkan mungkin juga paradoksnya. Merujuk pada Einstein, segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah nisbi,

karena semua nilai tergantung pada posisi pengamatnya. Apakah ini dapat dikatakan merupakan bentuk modern dari ajaran Kaum Sofis, khususnya Protagoras? Namun lagi, bagaimana pun cerdasnya pengamat itu, ia tetap saja merupakan sesuatu yang berada di luar dari sesuatu yang diamatinya. Ia tidak mengalaminya sendiri, maka dalam konteks kucing kita itu, ia menjadi sesuatu yang sesungguhnya paradoks. Bila si pengamat ikut berada di dalam kamar itu, ia tidak akan tahu apakah alam semesta telah beranak-pinak atau belum. Tidak, bukan begitu; bila ia berada di alam semesta di mana kucing kita itu berada, ia tidak akan tahu apakah alam semesta telah beranak-pinak atau belum, baik ketika kucing itu belum memakan daging yang terlihat sangat lezat, maupun ketika sedang, atau bahkan sesudahnya. Baik kucing itu kemudian mati, atau tetap sehat wal afiat. Lagi pula, apakah semesta raya semata akan beranak-pinak hanya karena urusan kucing sial itu? Terlalu istimewa dia! Hanya dalam cerita-cerita fiksi ilmiah saja kita akan menemukan kisah yang berbeda. Namun, sebagaimana dongeng dan mitos, seringkali cerita-cerita itu sesungguhnya berhamil kebenaran yang terdalam. Jadi begitulah, ketika keempat bidang tegak bernama dinding itu adalah semata-mata dinding, tidak ada apa-apa lagi di sana sebagaimana lazimnya: pintu, jendela, ventilasi, bovenlicht, atau bahkan sekadar lubang terawang; aku seharusnya mulai was-was. Ini jelas-jelas semata-mata sebuah ruangan berbentuk kotak, atau bahkan jangan-jangan memang sebuah ruangan di dalam kotak itu sendiri. Bersama lantai, jelas sudah ada lima bidang datar dan rata dengan kedataran dan kerataan sama-sekali. Maka ketika pandangan kuarahkan ke atas, lengkaplah menjadi ada enam bidang yang membatasi, sebagaimana seharusnya sebuah kotak; atau bahkan nyaris sebuah kubus. Satu-satunya yang membedakan dari yang lainnya, pada bidang datar yang di atas itu -langit-langit pasti- tergantung sebuah bola lampu listrik dari mana datangnya sumber cahaya yang menerangi ruang yang sesungguhnya pastilah gelap gulita ini. Jadi, cahaya adalah pengisi kegelapan, penutup kegelapan,

pengusir kegelapan; terserah istilah apa yang Anda inginkan. Dengan sandaran itu, kita boleh menduga kegelapan ada lebih dahulu daripada terang, daripada cahaya. Tak pernah ada cerita gelap menutup terang. Tetapi, apakah kegelapan itu? Apakah terang @ cahaya itu? Terang atau cahaya adalah pancaran energi, ia dapat berupa gelombang dapat berupa partikel atau bahkan dapat berperilaku keduanya. Baiklah kalau begitu; bagaimana dengan kegelapan? Apakah ia merupakan sesuatu? Kalau ia bukan sesuatu, kenapa ia bernama? Kalau ia bukan sesuatu, kenapa ada sesuatu yang merupakan antitesanya? Tetapi kalau ia sesuatu, kenapa ia bukan apa-apa? Ada sebuah hidangan di sana. Ya, terletak nyaris di tengahtengah ruangan, sementara aku sendiri terperosok di salah satu pojok dari kedelapan sudut yang ada. Hidangan itu jelas sangat lezat kelihatannya, karena disajikan dengan cukup komplit, dengan bahan-bahan dan olahan yang sangat kusukai. Terletak di atas hamparan sepinggan lebar, dialasi dengan senampan stainless steel berkilat yang juga terletak segelas minuman di atasnya. Sejak kapan hidangan itu ada di situ? Aku tidak pernah melihat ada seseorang memasukkan hidangan itu ke dalam ruangan ini. Kalau benar ada seseorang yang telah memasukkan hidangan itu, pastilah sebuah celah ada di antara keenam bidang yang membatasi ruangan ini. Sebuah celah yang barangkali memiliki tutup yang begitu rapi sehingga nyaris mustahil untuk dilihat secara sepintas. Kalau tidak, apakah mungkin hidangan itu ada dengan begitu saja? Bahkan manna dan salwa tidak menjadi ada dengan begitu saja. Ia bermula dari kelaparan Kaum Israil yang berbuah doa dari Musa yang kemudian berbuah rahmat dan rahim dari Allah yang kemudian berbuah mukjizat yang kemudian jadilah ia. Hidangan di dalam ruangan ini kelihatannya tidak. Aku tidak sedang kelaparan, aku tidak pernah meminta, aku tidak melihat seseorang meletakkannya. Apakah ia melebihi manna dan salwa? Ataukah hidangan itu sudah ada sebelum aku ada di dalam ruangan ini? Teringat kemungkinan itu aku tiba-tiba jadi terpikir akan keberadaan diriku sendiri. Sejak kapan aku berada di dalam ruangan ini? Seingatku aku tidak pernah

masuk ke dalam ruangan ini. Aku juga tidak pernah ingat kalau-kalau ada seseorang telah memasukkanku ke dalam ruangan ini. Aku bahkan tidak ingat kapan pertama kali aku tersadar bahwa aku telah berada di dalam ruangan ini. Apakah aku pernah pertama kali tersadar? Kalau aku menyadari hal itu, mungkin itu dapat menjadi petunjuk bahwa ada kemungkinan besar aku telah dimasukkan ke dalam ruangan ini dalam keadaan tidak sadarkan diri. Berarti ini semacam pemaksaan, atau paling tidak pengabaian atas kemungkinan pilihanku sendiri soal apakah aku menghendakinya atau tidak. Pada kenyataannya, paling tidak, setelah mengalami keadaan pada saat ini seandainya sebelumnya aku bisa memilih aku pasti akan menolaknya. Tetapi jelas itu adalah kalau. Kita tak dapat berdebat dengannya. Paling tidak, sebelum lengkungan ruang-waktu dapat dipahami sepenuhnya dan dapat dimanipulasi dengan sesuka hati. Jadi, aku sendiri tidak tahu dengan persis tentang keberadaanku dalam ruangan ini: rangkaian peristiwanya, alasan-alasannya, bahkan juga waktunya karena sejak berada di dalam ruangan ini aku telah kehilangan akan orientasi dimensi waktu sama sekali. Namun, bagaimana dengan riwayat sebelum aku berada di dalam ruangan ini? Apakah aku memiliki sesuatu untuk diingat? Andaikan aku mengetahui rangkaian peristiwa sebelum aku tersadar dan mendapatkan diriku berada di dalam ruangan ini, paling tidak aku akan dapat memahami dan kemudian mencoba melacak rangkaian peristiwa selanjutnya, dimulai dari titik di mana ingatanku akan peristiwa sebelum ini berakhir. Tetapi, apakah ingatan itu sendiri? Apakah rangkaian peristiwa itu? Apakah pengalaman itu? Bagaimana aku akan merangkai dua pengalaman sebelum dan sekarang yang barangkali saja memang aku ingat sementara di antara keduanya ada celah yang aku tidak tahu? Dasar-dasar apakah yang dengan demikian aku dapat mengisi celah itu? Hukum sebab-akibat? Itu bukanlah hukum yang universal; ternyata. Tahukah Anda bahwa ada banyak sekali partikel yang dapat muncul dengan tiba-tiba, tanpa harus ada sebab kalau partikel itu adalah sebuah akibat? Kalau sudah

demikian, siapakah aku? Apakah pengalaman yang menjadi ingatan di dalam kepalaku benarkah ingatan itu berada di dalam kepala? adalah benar dan fakta itu merupakan pengalamanku sendiri dan bukan karena ada seseorang atau sesuatu yang telah menanamnya dengan mengabaikan keindependensianku? Semacam ingatan artifisial? Apakah aku akan mengetahuinya? Apakah aku akan memercayainya? Apakah nanti akan ada semacam adegan deja vu di dalam Matrix? Jadi, kalau aku sendiri meragukan ingatan itu, lalu, bagaimana aku akan mengisi celah kosong di antara kedua ingatan itu? Pada saat yang sama, dengan demikian lantas apa gunanya aku mengingat-ingat ingatan yang kemungkinan artifisial itu? Hanya jadi sekadar omong kosong, bukan? Ruangan ini bagiku tidak terasa panas dan tidak pula dingin. Keadaan yang nyaris ideal ini seharusnya ditunjang oleh adanya suatu sistim sirkulasi udara. Sistim sirkulasi udara membutuhkan adanya celah-celah untuk boleh bergeraknya udara dari satu tempat ke tempat lainnya, serta tentu saja adanya semacam energi yang dapat memberikan perbedaan tekanan udara di antara tempat-tempat itu. Tetapi, seperti sudah kukatakan tadi, aku tidak melihat adanya celah-celah itu; sekecil apa pun. Aku bahkan tidak pernah merasakan sedikit pun adanya aliran udara di dalam ruangan ini. Kalaupun aku kemudian merasakan adanya udara di dalam ruangan ini, itu pertama-tama jelas karena aku bernapas, dan kemudian saat aku menggerak-gerakkan anggota badanku terasa juga sedikit-banyaknya. Tetapi, dengan tanpa bermaksud mengabaikan betapa pentingnya udara bagi kehidupan, aku mengatakan hal ini sesungguhnya dengan maksud dalam usaha untuk menemukan sebuah celah, sekecil apa pun. Tetapi, kenapa aku harus menemukan sebuah celah? Apakah itu penting? Untuk apa? Pertanyaan-pertanyaan ini lalu sedikit mengguncang pemikiranku. Ya, kenapa? Apakah sebuah celah sekecil apa pun lebih penting, atau setidaknya lebih menggoda, daripada seperangkat hidangan yang sudah terhampar dengan manis di tengah-tengah ruangan ini? Apa yang dapat aku harapkan dari sebuah celah? Dari seperangkat hidangan lezat, jelas menjanjikan

kenikmatan dan kekenyangan kuliner; serta pada saat kemudian akan memberikan tambahan energi bagiku. Sebuah celah, mungkin jangan-jangan bahkan hanya akan menimbulkan kecemasan. Bagaimana kalau di balik celah itu tengah bersiap-siap berton-ton air atau pasir akan dialirkan? Atau mungkin beribu-ribu ekor kalajengking, atau kelabang, atau bahkan ular? Atau sekadar hembusan gas metan? Apakah itu sebuah khayalan yang sangat menyenangkan berkat keberhasilan menemukan sebuah celah? Tetapi, bagaimana pun, agaknya sebuah celah adalah sebuah janji, sebuah peluang. Sebilah mata parang dapat menetak tulang atau menebas ilalang. Demikianlah sebuah celah. Ia adalah sebuah harapan, atau paling tidak sebuah perbedaan; dari kondisi yang konstan yang demikian ini. Tetapi teringat dengan soal sirkulasi udara tadi, itu mungkin sekali bukan sebuah teka-teki tetapi sekadar fisika anak SD. Kotak di mana ruanganku ini berada kemungkinan sekali memiliki konstruksi berdinding ganda, sehingga menyerupai sebuah termos. Anda tahu kenapa termos adalah sebuah penemuan yang paling gemilang? Ketika kita masukkan benda panas di dalamnya, panas benda itu akan bertahan cukup lama. Ketika kita masukkan benda dingin di dalamnya, dingin benda itu akan bertahan cukup lama Coba, bagaimana mungkin dia bisa membedakan yang mana yang panas dan yang mana yang dingin? Jadi, kalau benar demikian, aku jelas tidak bisa berharap lebih jauh tentang kemungkinan adanya celah itu. Lalu, kalau begitu, bagaimana mungkin aku dan hidangan itu mengada di dalam ruangan ini? Apakah kami berdua semacam manna dan salwa? Dalam dunia fiksi ilmiah, ada semacam alat yang berfungsi sebagai alat transportasi antar ruang-waktu. Sebenarnya kalau mau ditelaah lebih jauh konsep ini sesungguhnya agak membingungkan karena bisa tercampur antara satu dengan yang lain; mulai dari sekadar pemindahan fisik nyata dengan sangat cepat, pemindahan fisik secara partikel, sampai kepada mesin waktu karena kita tahu, lagi-lagi Einstein, ruang dan waktu itu adalah nisbi. Namun untuk memudahkan, kita berpikir sederhana sajalah: andaikan memang benar begitu, yaitu paling tidak dengan cara

pemindahan partikel antar-ruang seperti dalam film-film Star Trek, sehingga tidak perlu ada celah di antara ruangan itu yah, itu mungkin saja. Tetapi, lagi-lagi, siapa yang telah melakukannya? Apa alasannya? Kapan? Dan yang terpenting: apa tujuannya? Dan kalau kita sudah membahas tentang apa tujuannya, itu bisa bermakna apa tujuannya bagi dirinya sendiri dan bagi subjek-(dalam hal ini aku dan, bolehlah juga, hidangan itu)-nya? Apa motifnya? Dan tujuan itu ditentukan oleh siapa? Apakah satu pihak berhak menentukan tujuan pihak lain untuk pihak lain itu tanpa perundingan dengan pihak lain itu apalagi persetujuan? Bukankah ini menjadi semacam tirani? Baiklah, karena aku tidak memiliki proposisi lain selain kenyataan bahwa aku ada di dalam ruangan ini bersama hidangan itu tidak peduli apa pun tujuan yang telah ditentukan sebelumnya oleh sesuatu dan atau seseorang yang telah menempatkanku di sini, maka aku seharusnya sudah mulai memikirkan tujuanku sendiri: saat ini, dan ke depan. Sebagai spesies manusia aku masih jelas menyadari hal itu pada saat ini meskipun aku tidak lagi punya referensi dan pembanding aku sangat layak dan sudah seharusnya memikirkan dan menetapkan hal yang demikian; karena kita tahu bahkan hewan dan tumbuh-tumbuhan pun memiliki tujuan hidup mereka masing-masing, baik tujuan jangka pendek, maupun tujuan jangka panjang. Tetapi, sebelum memikirkan hal itu, yang pertama-tama sekali tentulah aku harus menetapkan terlebih dahulu atau dalam bahasa lain memahami terlebih dahulu diriku sendiri. Karena sebuah tujuan yang bukan sekadar bersifat naluriah belaka seharusnya memiliki sebuah pelabuhan awal di mana tempat titik tolak atau landasan yang kuat berada, dan itu adalah pemahaman tentang diri sendiri. Tetapi tahukah Anda? Ternyata itu bukanlah hal yang mudah bahkan mungkin hal yang tersulit; atau tidak. Ah, Anda tahu, ada yang begitu mudahnya belajar bermain gitar klasik sebagaimana ada yang begitu mudahnya menghitung segala kelindan matematika atau ada yang begitu mudahnya pula melenturkan tubuh berayun-ayun di atas palang senam sebagaimana banyak pula yang lainnya begitu kesulitan untuk melakukannya.

Haah! Atau mungkin ruangan yang serba tertutup ini yang sudah mereduksi kemampuan benakku. Andaikata aku berada di sebuah ruangan yang terbuka dengan segala kehendak-bebas ada di tanganku, pemikiran ruwet seperti itu mungkin tidak akan jadi kusut berkelindan di dalam kepalahotakku atau kemungkinan besar bahkan tidak terpikirkan sama-sekali. Aha! Tidak terpikirkan sama sekali! Atau, jangan-jangan, itulah tujuan sesungguhnya kenapa aku ada di dalam ruangan ini? Bahwa sebelumnya aku tidak pernah memikirkan tentang hal itu dan ketika berada di dalam ruangan ini dalam keadaan seperti ini kemudian memaksa kepala-hotakku berputar hingga kemudian terpikirkan hal yang semacam ini? Yaitu, ketika orang akan menjahit baru terpikirkan benang dan jarum atau ketika kancing lepas baru terbayang-kan peniti? Harus ada semacam keadaan yang memaksa terlebih dahulu? Sebagaimana para wali, resi, sufi, dan pertapa terhadap dirinya sendiri? Tetapi, kalau demikian, timbul lagi pertanyaan itu: siapakah yang berhak menentukan tujuan seseorang itu? Siapakah yang berhak menentukan kebaikan bagi seseorang? Kalau seseorang yang lain yang menentukan dan atau menetapkan tujuan untuk seseorang itu, kalau tujuan itu tidak tercapai, siapakah yang harus bertanggungjawab? Apakah seseorang yang lain itu atau seseorang itu? Oh, tadi aku pikir ada angin semilir mengalir. Rupanya hanya sekadar telingaku yang berdesir. Atau mungkin hanya hatiku. Aku letih sudah terpojok, lalu aku mencoba berdiri. Pegalpegal menggeramit sekujur tubuh, setelah berjam-jam tanpa gerakan berarti. Semacam pukang yang stres dimasukkan ke kandang. Kuangkat lengan kananku setinggi-tingginya dengan ujung jari tengah yang paling tinggi ditambah jinjit, separuh tinggi ruang pun tak tergapai, apalagi ujung lampu itu, apatah lagi langit-langit itu. Tetapi paling tidak gerakan itu juga bisa bermakna meregangkan anggota-anggota tubuhku dengan beberapa gemeretak yang menyenangkan. Lalu aku melangkah. Satu dua, menyusuri sisi dinding, dari sudut ke sudut. Kalau aku seekor singa, mungkin aku akan segera mengencingi setiap sudut itu, sebagai penanda batas

wilayah kekuasaanku. Jadi, mungkin saja yang kulakukan itu juga sekadar semacam naluri primordial, mencoba memahami ruangan yang ada, ukuran-ukurannya, bentukbentuknya, serta kemungkinan wilayah penguasaannya. Atau mungkin itu semua terlalu berlebihan. Bagaimana pun, setelah berjam-jam, kelaparan mulai menggeram, sehingga pada putaran ketiga aku pun menyusuri tengah ruangan menghampiri hidangan. Hm, meski tak lagi mengepulkan asap kehangatan, namun aroma kelezatannya masih mengawang. Tetapi aku masih mencoba menoleh ke berbagai arah ruangan. Baiklah, ada aku dan ada hidangan di ruangan tertutup ini. Apakah ini semacam sekadar percobaan daya tahan primata akan godaan atau perlawanan daya tahan fisik semata, atau sudah masuk ke dalam wilayah psikologi dengan segala gejala kecurigaan dan seterusnya? Kenapa mereka tidak memberiku sebuah tongkat dari balik jeruji? Atau mungkin sebuah pistol untuk bermain rulet rusia? Mungkin itulah tujuan mereka, sekadar ingin melihat seberapa besar daya tahanku atas kecurigaan-kecurigaanku sendiri. Apakah aku akan bercuriga, jangan-jangan ada arsenik itu, dan dengan demikian menahan diri hingga kurus kering dan nasi menjadi basi? Atau aku akan mengabaikan itu semua dan melahap hidangan itu begitu saja demi memberangus rasa lapar? Tetapi, apa pun, tetap saja ini seperti rulet rusia juga. Walaupun mungkin sekadar di dalam mindaku semata. Oya, aku mungkin bisa mencicipinya, sebagai penguji mungkin tidak akan berpengaruh dengan dosis kecil seperti itu. Lalu aku bisa menunggu. Kalau memang ada arsenik atau racun apa pun aku mungkin sekadar akan mengalami efekefek yang ringan, dan kalau aku tetap berada dalam keadaan sehat wal afiat berarti hidangan itu aman dan dengan demikian aku dapat segera menyantapnya. Tetapi sebelum itu, bagaimana mungkin aku bisa tahu seberapa banyak racun itu dimasukkan? Mungkin begitu banyaknya sehingga meskipun sekadar aku cicipi aku akan mati, atau mungkin begitu sedikitnya sehingga ketika aku cicipi tidak berpengaruh apa-apa dan hanya akan berarti ketika aku

memakan seluruh hidangan itu berkat efek akumulasi. Ah, ini tiba-tiba jadi seperti kisah-kisah Sherlock Holmes, Agatha Christie, atau thriller Hitchcok. Namun bagaimana pun aku telah dengan rapi duduk bersila di dekat hidangan itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi sesungguhnya dengan kucing Schrdinger itu. Ketika kamar itu kubuka, kucing itu telah mati dengan sepotong sisa daging masih tersangkut di salah satu taringnya. Tetapi dengan Kuantum, di semesta raya lain kucing itu masih tetap bertahan tanpa menyentuh sedikit pun hidangan itu, semata-mata karena ia masih berkutat dengan pikiran-pikiran filsafat dan religiositasnya. Di semesta itu mungkin justru aku yang sudah mati, karena terlalu lama menunggu kapankah kucing itu akhirnya memakan hidangan yang berarsenik itu. Sementara dalam waktu yang sama, semesta-semesta lain telah beranak-pinak bercucu-piut berpuak-gayut tanpa harus menunggu keputusan pilihan antara aku dan kucing Schrdinger.*** Payungsekaki, 010211

Gde Agung Lontar, adalah cerpenis dan novelis. Cerpencerpen dan novelnya beberapa kali memenangkan lomba dan telah dibukukan. Salah satu novelnya, Nubuat, meraih Anugerah Ganti IV. Tinggal di Pekanbaru.

Anda mungkin juga menyukai