Anda di halaman 1dari 17

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Karakteristik Responden a. Jenis Kelamin


Tabel 5 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin di Puskesmas Singkawang Tengah tahun 2012 No. 1 2 Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Total Jumlah (Jiwa) 15 35 50 Persentase (%) 30 70 100

Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa dari 50 responden lebih banyak responden dengan jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 35 responden (70%). b. Umur
Tabel 6 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur di Puskesmas Singkawang Tengah tahun 2012 No. 1 2 3 4 Umur (Tahun) 15-44 45-54 55-64 65 Total Jumlah (Jiwa) 11 16 17 6 50 Persentase (%) 22 32 34 12 100

47

48

Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa dari 50 responden lebih banyak responden dengan umur 55-64 tahun yaitu sebanyak 17 responden (34%). c. Pendidikan
Tabel 7 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan di Puskesmas Singkawang Tengah tahun 2012 No. 1 2 3 4 5 Pendidikan SD SMP SMA D3 S1 Total Jumlah (Jiwa) 27 4 14 1 4 50 Persentase (%) 54 8 28 2 8 100

Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa dari 50 responden lebih banyak responden dengan pendidikan SD yaitu sebanyak 27 responden (54%). d. Pekerjaan
Tabel 8 : Distribusi frekuensi responden berdasarkan pekerjaan di Puskesmas Singkawang Tengah tahun 2012 No. 1 2 3 4 Pekerjaan PNS Swasta Tani IRT Total Jumlah (Jiwa) 7 11 6 26 50 Persentase (%) 14 22 12 52 100

49

Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa dari 50 responden lebih banyak responden yang memiliki pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) yaitu sebanyak 26 responden (52%). 2. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Rematik di Wilayah Kerja Puskesmas Singkawang Tengah tahun 2012 a. Faktor Pengetahuan
Tabel 9 : Pengetahuan penderita rematik di wilayah kerja Puskesmas Singkawang Tengah tahun 2012 No. 1 2 3 Pengetahuan Baik Cukup baik Kurang baik Total Jumlah (Jiwa) 17 33 50 Persentase (%) 34 66 100

Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa dari 50 responden lebih banyak responden yang memiliki tingkat pengetahuan kurang baik yaitu sebanyak 33 responden (66%). Pengetahuan responden tentang konsep dasar rematik kurang pada pengetahuan tentang rematik disebut penyakit autoimun dengan nilai rata-rata 16, pengetahuan tentang mikroorganisme yang dapat memicu rematik dengan nilai rata-rata 4, pengetahuan tentang usia yang diserang rematik dengan nilai rata-rata 32, pengetahuan tentang penyebab jenis rematik gout dengan nilai rata-rata 24, pengetahuan tentang tanda dan gejala rematik dengan nilai rata-rata 18, pengetahuan tentang tindakan terhadap rematik bagi obesitas dengan nilai ratarata 38, pengetahuan tentang cara pengobatan radang sendi dengan nilai rata-rata 28, pengetahuan tentang penatalaksanaan umum untuk mengatasi rematik dengan nilai rata-rata 38, dan

50

pengetahuan tentang batasan tujuan pengobatan rematik dengan nilai rata-rata 50. b. Faktor Pola Makan
Tabel 10 : Pola makan penderita rematik di wilayah kerja Puskesmas Singkawang Tengah tahun 2012 No. 1 2 3 Pola makan Sehat Cukup sehat Kurang sehat Total Jumlah (Jiwa) 18 32 50 Persentase (%) 36 64 100

Tabel 10 di atas menunjukkan bahwa dari 50 responden lebih banyak responden dengan pola makan kurang sehat yaitu sebanyak 32 responden (64%). Pola makan responden kurang sehat dengan adanya kebiasaan mengkonsumsi makanan tanpa mengatur jumlah dan jenisnya setiap hari dengan nilai rata-rata 10, kebiasaan mengkonsumsi daging dengan nilai rata-rata 16, kebiasaan setelah mengkonsumsi daging merasa kaku pada persendian dengan nilai rata-rata 20, kebiasaan suka makanan yang berlemak dengan nilai rata-rata 34, kebiasaan suka mengkonsumsi makanan berprotein hewani seperti telur dengan nilai rata-rata 34, kebiasaan suka mengkonsumsi jeroan seperti usus dan hati ayam dengan nilai rata-rata 36, kebiasaan suka mengkonsumsi kacang-kacangan dengan nilai rata-rata 22, kebiasaan suka makanan yang dimasak dengan penyedap rasa dengan nilai rata-rata 10, dan kebiasaan tidak membatasi mengkonsumsi makanan yang dimasak dengan penyedap rasa setelah menderita rematik dengan nilai rata-rata 40.

51

c. Faktor Kebiasaan Olahraga


Tabel 11 : Kebiasaan olahraga penderita rematik di wilayah kerja Puskesmas Singkawang Tengah tahun 2012 No. 1 2 Kebiasaan olahraga Sering olahraga Kadang-kadang olahraga 3 Tidak pernah olahraga Total 2 50 4 100 Jumlah (Jiwa) 2 46 Persentase (%) 4 92

Tabel 11 di atas menunjukkan bahwa dari 50 responden lebih banyak responden yang memiliki kebiasaan kadang-kadang berolahraga yaitu sebanyak 46 responden (92%). Kebiasaan responden kadang-kadang berolahraga pada kebiasaan melakukan kegiatan olahraga dengan nilai rata-rata 63, kebiasaan melakukan olahraga ringan seperti jalan kaki dengan nilai rata-rata 66, dan kebiasaan melakukan olahraga bersepeda dengan nilai rata-rata 58.

B. PEMBAHASAN 1. Karakteristik Responden a. Jenis Kelamin Berdasarkan karakteristik jenis kelamin, hasil penelitian yang dilakukan terhadap 50 responden menunjukkan distribusi jenis kelamin terbesar pada perempuan yaitu sebanyak 35 responden (70%), sedangkan pada laki-laki sebanyak 15 responden (30%). Menurut pengamatan peneliti, banyaknya jumlah perempuan yang terkena rematik ini disebabkan oleh faktor pekerjaan di rumah atau lingkungan pekerjaan dimana perempuan tidak dapat

52

lepas dari pekerjaan rumah serta mengurus keluarga yang dilakukan terus-menerus sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah terkena penyakit rematik. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Vemi (2009) yaitu penderita rematik lebih banyak pada jenis kelamin perempuan yang disebabkan oleh kebanyakan pekerjaan perempuan dilakukan di rumah setiap hari secara berulang sehingga perempuan mudah terserang rematik. Menurut Gede (2010), wanita lebih besar peluangnya menderita rematik dibandingkan dengan pria, hal ini dikarenakan wanita menjalani proses kehamilan yang secara langsung mengalami penambahan berat badan yang merupakan salah satu faktor resiko terjadinya rematik. Selain itu, wanita juga mengalami menopause yang mengakibatkan pengeroposan tulang sehingga terjadi nyeri atau rematik. Faktor-faktor tersebut dapat

menurunkan daya tahan tubuh seseorang sehingga perempuan lebih rentan terkena rematik. Pada sebagian besar belahan dunia, lebih banyak

perempuan daripada laki-laki yang terkena rematik. Perempuan memiliki kecenderungan lebih besar untuk meninggal karena penyakit ini. Penyakit rematik cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin perempuan dibandingkan laki-laki. Sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat rematik, dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh rematik dibandingkan dengan akibat penyakit yang lain. (Hiswani, 2010).

53

b. Umur Berdasarkan karakteristik umur, hasil penelitian yang dilakukan terhadap 50 responden menunjukkan distribusi umur terbesar pada umur 55-64 tahun yaitu sebanyak 17 responden (34%), dan yang terkecil pada umur 65 tahun yaitu sebanyak 6 responden (12%), ini menunjukan bahwa penyakit rematik banyak terjadi pada usia lanjut. Menurut pengamatan peneliti, hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya usia khususnya pada usia lanjut lebih dari 46 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit termasuk penyakit rematik. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Vemi (2009) yaitu rematik lebih banyak terjadi pada usia lanjut yang disebabkan semakin meningkatnya usia semakin banyak hasil metabolisme purin yang tertimbun di persendian, timbunan inilah yang menyebabkan rasa sakit di persendian. Menurut Notoatmodjo (2003), umur merupakan salah satu sifat karakteristik tentang orang yang sangat utama. Umur mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan, besarnya resiko serta sifat resistensi. Perbedaan pengalaman terhadap masalah kesehatan/penyakit dan pengambilan keputusan

dipengaruhi oleh umur individu tersebut. Semakin dewasanya atau tuanya umur seseorang biasanya semakin banyak pengalaman yang dimiliki dan semakin dewasa dalam bersikap. Sehingga juga dapat mempengaruhi seseorang untuk berperilaku hidup sehat dan menambah kepatuhan khususnya dalam pengobatan rematik. Orang dewasa yang usianya lebih tua memiliki resiko terkena rematik lebih besar karena pertambahan usia yang normal atau penyakit yang dapat melemahkan sistem imunitas mereka.

54

c. Pendidikan Berdasarkan karakteristik pendidikan, hasil penelitian yang dilakukan terhadap 50 responden menunjukkan distribusi

pendidikan terbesar adalah SD yaitu sebanyak 27 responden (54%), dan yang terkecil adalah D3 yaitu hanya 1 responden (2%). Berdasarkan penelitian yang peneliti amati, ini menunjukkan bahwa masih rendahnya tingkat pendidikan responden yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan tentang penyakit rematik karena sedikitnya informasi yang diketahui responden tentang rematik. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prisila Susanti (2011) yaitu lebih benyak penderita rematik dengan pendidikan SD yang menunjukan bahwa

pendidikan para responden dalam tingkat menengah ke bawah sehingga kemungkinan mereka sulit menganalisis dan memahami informasi yang ada. Menurut Notoatmodjo (2003), semakin tinggi pendidikan maka individu tersebut cenderung untuk memahami dan semakin patuh terhadap pengobatan. Pendidikan seseorang merupakan salah satu proses perubahan tingkah laku, semakin tinggi pendidikan seseorang maka dalam memilih tempat-tempat

pelayanan kesehatan semakin diperhitungkan. Menurut Azwar (2010), suatu faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dan pendidikan dapat mendewasakan

seseorang serta berperilaku baik, sehingga dapat memilih dan membuat keputusan dengan lebih tepat. Slamet (2008)

menyebutkan semakin tinggi tingkat pendidikan atau pengetahuan seseorang maka semakin membutuhkan pusat-pusat pelayanan kesehatan sebagai tempat berobat bagi dirinya dan keluarganya.

55

Selanjutnya, Green dalam Notoatmodjo (2003) mengatakan salah satu faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku adalah pendidikan. Seseorang yang mempunyai pendidikan tinggi

cenderung selalu ingin tahu tentang sesuatu, dalam hal ini tentang penyakit rematik. Seseorang yang berpendidikan tinggi juga akan lebih mudah memahami tentang penyakit rematik dibanding dengan orang yang pendidikannya rendah. d. Pekerjaan Jika dilihat dari karakteristik pekerjaan menunjukkan bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 26 responden (52%) memiliki latar belakang pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT). Berdasarkan pengamatan peneliti, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga merupakan salah satu pekerjaan yang beresiko untuk terkena penyakit rematik karena banyak pekerjaan yang dikerjakan di rumah mempunyai kecenderungan dilakukan

berulang-ulang yang dapat memicu timbulnya rematik. Di sini ibu rumah tangga banyak menghabiskan waktunya untuk mengurus rumah tangganya dan dengan kesibukan yang dimilikinya mereka kurang aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan upaya pencegahan rematik ditambah kurangnya pengetahuan dan informasi. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Vemi (2009) yaitu distribusi terbesar penderita rematik adalah pada pekerjaan Ibu Rumah Tangga (IRT) yang disebabkan ibu rumah tangga tidak mempunyai waktu dan banyak kesibukan di rumah sehingga kurang untuk memikirkan tentang

56

hidup sehat dan mengabaikan hal-hal yang berhubungan dengan pola hidup sehat. Bagi wanita, mereka adalah ibu rumah tangga yang sulit lepas begitu saja dari lingkungan keluarga. Wanita mempunyai beban dan hambatan lebih berat dibandingkan rekan prianya. Dalam arti ini wanita harus lebih dulu mengatasi urusan keluarga, suami, anak, dan hal-hal yang menyangkut urusan rumah tangganya. (Anoraga, 2009).

2. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Rematik di Wilayah Kerja Puskesmas Singkawang Tengah tahun 2012 a. Faktor Pengetahuan Hasil penelitian menunjukkan tidak seorangpun dari

responden memiliki tingkat pengetahuan baik, sebagian kecil dari responden yaitu 17 responden (34%) memiliki tingkat

pengetahuan cukup baik, dan sebagian besar dari responden yaitu 33 responden (66%) memiliki tingkat pengetahuan kurang baik. Data ini dapat disimpulkan bahwa lebih banyak responden dengan tingkat pengetahuan kurang baik dibandingkan responden dengan tingkat pengetahuan baik dan cukup baik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan kurang baiknya tingkat pengetahuan penderita rematik tentang konsep dasar rematik ditunjukkan dengan kurangnya pengetahuan mengapa rematik disebut penyakit autoimun, kurangnya pengetahuan tentang mikroorganisme yang dapat memicu rematik, kurangnya pengetahuan tentang usia yang diserang rematik, kurangnya pengetahuan tentang penyebab jenis rematik gout, kurangnya pengetahuan tentang tanda dan gejala rematik, kurangnya pengetahuan tentang tindakan terhadap rematik bagi obesitas,

57

kurangnya pengetahuan tentang cara pengobatan radang sendi, kurangnya pengetahuan tentang penatalaksanaan umum untuk mengatasi rematik, dan kurangnya pengetahuan tentang batasan tujuan pengobatan rematik. Menurut pengamatan peneliti, kurangnya semua

pengetahuan ini disebabkan oleh latar belakang pendidikan responden. Dilihat dari latar belakang pendidikan responden, pengetahuan yang kurang tentang konsep dasar rematik

dikarenakan sebagian besar responden masih rendah tingkat pendidikannya sehingga minimnya informasi yang diterima. Hal ini tergambar dalam tabel 7 dimana dari 33 responden dengan tingkat pengetahuan kurang terdapat lebih banyak responden dengan pendidikan SD. Hal tingkat ini tentunya sedikit banyak akan

mempengaruhi

pengetahuan

responden

mengenai

masalah kesehatan khususnya tentang rematik tersebut. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prisila Susanti (2011) yang menunjukkan tingkat pengetahuan penderita rematik kurang baik yang disebabkan sebagian besar dari penderita rematik berpendidikan SD sehingga mempengaruhi tingkat pengetahuan penderita rematik. Menurut Kuncoroningrat (2009), pendidikan mempengaruhi proses belajar, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah menerima informasi sehingga banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan

pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Kurangnya pengetahuan ini juga mungkin dikarenakan kurangnya kesadaran untuk menerima informasi tentang cara

58

mencapai hidup sehat, cara pemeliharaan kesehatan, cara menghindari penyakit dan sebagainya. Dengan pengetahuan itu akan menyebabkan seseorang berprilaku sesuai dengan yang dimilikinya. Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan.

Majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan orang. (Nazahar, 2010). b. Faktor Pola Makan Hasil penelitian menunjukkan tidak seorangpun dari

responden memiliki pola makan sehat, sebagian kecil dari responden yaitu 18 responden (36%) memiliki pola makan cukup sehat, dan sebagian besar dari responden yaitu 32 responden (64%) memiliki pola makan kurang sehat. Data ini dapat disimpulkan bahwa lebih banyak responden dengan pola makan kurang sehat dibandingkan responden dengan pola makan sehat dan cukup sehat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan kurang sehatnya pola makan penderita rematik ditunjukkan dengan adanya kebiasaan mengkonsumsi makanan tanpa mengatur jumlah dan jenisnya setiap hari disebabkan karena mereka tidak tahu jenis makanan apa yang mudah memicu rematik dan mengkonsumsi makanan selagi mereka suka tanpa membatasi, kebiasaan suka mengkonsumsi daging karena mereka hanya menganggap daging

59

makanan yang bergizi dan penting bagi tubuh padahal jika keseringan dikonsumsi justru dapat memicu rematik, kebiasaan setelah mengkonsumsi daging merasa kaku pada sendi karena mereka tidak mengatur dan membatasi jumlah daging yang dikonsumsi, kebiasaan suka makanan yang berlemak karena mereka mengatakan makanan yang berlemak lebih enak rasanya sehingga selalu mengkonsumsi makanan yang berlemak

meskipun tahu makanan berlemak tidak baik untuk tubuh, kebiasaan suka mengkonsumsi makanan berprotein hewani seperti telur dikarenakan mereka hanya tahu bahwa telur mengandung protein yang penting bagi tubuh tanpa tahu bahwa banyak mengkonsumsi telur yang merupakan protein hewani justru cepat memicu rematik, kebiasaan suka mengkonsumsi jeroan seperti usus dan hati ayam dikarenakan mereka mengatakan jeroan enak rasanya dan juga menganggap jeroan baik untuk kesehatan tubuh tanpa mereka ketahui bahwa mengkonsumsi jeroan secara berlebih dapat memicu radang dan nyeri sendi, kebiasaan suka mengkonsumsi kacang-kacangan karena mereka tidak tahu kacang-kacangan dapat meningkatkan kadar asam urat yang menimbulkan jenis rematik gout (kelebihan asam urat), kebiasaan suka makanan yang dimasak dengan penyedap rasa, dan kebiasaan tidak membatasi mengkonsumsi makanan yang dimasak dengan penyedap rasa setelah menderita rematik karena menurut mereka makanan kurang enak jika tidak diberi penyedap rasa tanpa menghiraukan efek penyedap rasa bagi sendi. Menurut penelitian yang peneliti amati, hal ini dikarenakan sebagian besar responden masih belum mengerti dalam mengatur jenis dan jumlah makanan yang dapat memicu serangan rematik. Kebanyakan dari mereka senang mengkonsumsi jenis makanan

60

yang dapat memicu serangan rematik tanpa mengurangi atau membatasinya, serta mereka mengutamakan jenis makanan yang mereka sukai sekalipun mereka tahu bahwa jenis makanan tersebut dapat memicu rematik. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Benediktus (2009) yaitu sebagian besar penderita rematik memiliki pola makan yang kurang sehat, dimana sebagian besar dari mereka kurang cermat dalam memperhatikan dan mengatur jenis serta jumlah makanan yang mereka konsumsi setiap hari. Beberapa makanan memiliki pengaruh buruk terhadap terjadinya dan kekambuhan gangguan rematik, seperti terlalu

banyak makan daging atau jeroan dapatlah memicu serangan rematik gout (asam urat). Memang dianjurkan pola hidup sehat seperti mengurangi makanan berlemak tinggi dan protein hewani bagi yang kelebihan asam urat. Disamping itu, buanglah kebiasaan merokok dan minum alkohol. (Hembing, 2010). c. Faktor Kebiasaan Olahraga Hasil penelitian menunjukkan sangat sedikit dari responden yaitu 2 responden (4%) memiliki kebiasaan sering berolahraga, hampir seluruh responden yaitu 46 responden (92%) memiliki kebiasaan kadang-kadang berolahraga, dan sangat sedikit dari responden yaitu 2 responden (4%) memiliki kebiasaan tidak pernah berolahraga. Data ini dapat disimpulkan bahwa lebih banyak responden dengan kebiasaan kadang-kadang berolahraga dibandingkan responden dengan kebiasaan sering berolahraga dan tidak pernah berolahraga.

61

Sementara berdasarkan hasil penelitian Prisila Susanti (2011) menunjukkan lebih banyak responden yang tidak pernah berolahraga yang disebabkan para responden tidak menyadari manfaat olahraga bagi sendi. Berdasarkan penelitian yang peneliti amati, kebanyakan dari responden yang hanya kadang-kadang berolahraga

disebabkan karena keterbatasan waktu yang mereka miliki. Kebanyakan dari mereka lebih disibukkan oleh pekerjaan sehingga hanya sedikit waktu untuk sempat berolahraga, sehingga mereka melupakan pentingnya olahraga untuk melatih sendi dan otot secara sering dan rutin. Kebiasaan penderita rematik kadang-kadang berolahraga ditunjukkan dengan kebiasaan yang hanya kadang-kadang melakukan kegiatan olahraga karena kesibukan dan bekerja tanpa adanya waktu untuk sering melakukan kegiatan olahraga secara rutin dan mereka masih belum menyadari sepenuhnya pentingnya olahraga secara teratur bagi kesehatan terutama bagi sendi dan otot, kebiasaan yang hanya kadang-kadang melakukan olahraga ringan seperti jalan kaki karena mereka masih belum menganggap penting olahraga ringan seperti jalan kaki sebagai latihan sendi yang dapat mencegah serangan rematik jika dilakukan sering secara teratur, dan kebiasaan yang hanya kadang-kadang melakukan olahraga bersepeda karena kebanyakan dari penderita rematik tidak dapat bersepeda dan walaupun pandai bersepeda mereka lebih memilih menggunakan sepeda motor yang lebih cepat jika berpergian tanpa mereka sadari bahwa bersepeda juga termasuk salah satu olahraga melatih sendi. Olahraga merupakan sebagian kegiatan dari kehidupan manusia yang memerlukan adaptasi fisiologik. Kegiatan yang

62

bersifat fisik seperti jalan kaki, senam, berenang, dan sebagainya yang bertujuan untuk memperkuat otot dan membangun tulang yang kuat tanpa menganggu persendian yang sakit. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia,

klasifikasi fungsional pasien dibagi menjadi 4 Kelas yaitu: 1. Kelas 1 gangguan. 2. Kelas 2 : masih dapat mengerjakan aktivitas normal : dapat mengerjakan segala pekerjaan tanpa

meskipun ada gangguan berupa rasa nyeri, atau terbatasnya gerakan pada satu atau beberapa sendi. 3. Kelas 3 : kemampuan terbatas untuk melakukan fungsi

pekerjaan sehari-hari. 4. Kelas 4 hari. Jadi, latihan olahraga sangat berbeda pada tiap fungsional. Kebanyakan dari responden termasuk dalam klasifikasi fungsional dalam kelas 2, masih dapat melakukan aktivitas dengan normal meskipun ada gangguan berupa rasa nyeri atau terbatasnya gerakan pada satu atau beberapa sendi. Namun karena banyak kesibukan dan bekerja, kebanyakan dari responden melupakan untuk latihan berolahraga seperti bersepeda, senam, dan jalan kaki. Menurut para ahli, terlalu banyak aktifitas fisik dan olahraga baik di dalam pekerjaan sehari-hari maupun di dalam waktu senggang dapat menimbulkan resiko osteoarthritis, terutama bagi mereka yang melakukan kegiatan high-level impact activity, yang menyebabkan benturan sendi berulang kali, contohnya: bela diri, mengangkat beban berat. Sebaliknya, terlalu santai tanpa olahraga dan kurang/tidak aktif menyebabkan otot sekitar sendi melemah : tidak sanggup melaksanakan pekerjaan sehari-

63

dan sendi berkurang fleksibilitasnya dan mempertinggi resiko terkena rematik. (Anonim, 2008).

Anda mungkin juga menyukai