Anda di halaman 1dari 51

JURNAL Inflamasi : Hubungan Antara Endometriosis Dengan Kelahiran Preterm Felice Petraglia, M. D.,a Felice Arcuri,b Ph. D.

, Dominique de Ziegler, M. D.,c dan Charles Chapron, M. D.c

Endometriosis adalah penyakit inflamasi kronik yang mempengaruhi kesehatan wanita. Nyeri dan infertilitas merupakan gejala utama yang disebabkan oleh disfungsi hormonal atau gangguan imun yang menyebabkan kerusakan di endometrium. Terdapat mekanisme patofisiologi yang hampir sama antara endometriosis dan kelahiran preterm: hormon, sitokin, neurohormon dan growth factor berinteraksi dalam mempengaruhi sekresi prostaglandin dan ekstraseluler matriks yang mengaktifkan proses inflamasi di dalam membran plasenta dan endometrium. Molekul-molekul dan mekanisme yang sama dapat memberikan bukti bahwa kelahiran preterm adalah hasil yang sering terjadi pada pasien hamil dengan endometriosis. Kata kunci : Endometriosis, Kelahiran Preterm, Inflamasi, Sitokin,

Neurohormon, Growth factors Inflamasi menggambarkan proses fisiologi yang terjadi apabila jaringan merespon terhadap berbagai macam gangguan. Inflamasi dapat digambarkan sebagai kondisi kompleks yang ditandai dengan terdapatnya kemerahan, rasa hangat, pembengkakan dan nyeri. Saat ini inflamasi dihubungkan dengan regulasi dari prostaglandin, kemokin, sitokin dan pola pengenalan reseptor. Inflamasi mempunyai peranan penting dalam mempertahankan homeostasis jaringan. Bagaimanapun juga, reaksi inflamasi yang berlebihan atau respon tubuh yang kurang dapat menyebabkan terjadinya suatu penyakit. Mediator inflamasi merupakan komponen-komponen yang berperan penting dalam fungsi reproduksi wanita, seperti: ovulasi, menstruasi, implantasi embrio dan kehamilan. Persistiwa fisiologi ini memerlukan peran yang harmonis antara sinyal-sinyal endokrin, yaitu sekresi dari H-P-O axis yang sesuai dengan

waktunya. GnRH menstimulasi hipofisis untuk mensekresi FSH dan LH yang kemudian mengaktifkan E2 dan P yang berfungsi pada ovulasi, proliferasi dan diferensiasi sel-sel endometrium, pembentukan korpus luteum, regresi serta menstruasi saat tidak terjadi kehamilan. Sehingga, hubungan endokrin-inflamasi memiliki peran yang penting dalam memastikan kesuksesan suatu reproduksi yang berlanjut pada saat kehamilan, dimana hormon dan proses inflamasi lokal mencapai kesetimbangan sehingga menyebabkan pertumbuhan uterus dan keadaan non-kontraktilitas dari myometrium. Persalinan kemungkinan besar berhubungan dengan akhir dari keseimbangan antara hormon dan proses inflamasi tersebut. Inflamasi, endometrium, dan endometriosis Endometrium adalah jaringan reproduksi yang kaya akan mediator inflamasi. Sel imun endometrium bermigrasi dari sumsum tulang yang menyebabkan perubahan yang penting untuk implantasi embrio dan hasil kehamilan yang baik. Sel-sel imun yang banyak terdapat di endometrium sudah diketahui sejak beberapa dekade, terutama mengenai gambaran klasik perubahan histologi dari jaringan ini. Tahapan-tahapan menstruasi berbanding lurus dengan respon inflamasi, dimana akumulasi dari leukosit pada endometrium sebelum terjadinya menstruasi mengindikasikan adanya peran penting sel-sel ini pada proses remodelling. Sedangkan neutrofil dan eusinofil muncul pada saat fase premenstrual saja. Migrasi dari leukosit ke dalam endometrium muncul akibat adanya respon antara sitokin dan kemokin( IL-8 meregulasi pembentukan neutrofil sebelum menstruasi) dan diperkuat lebih jauh dengan adanya aktifitas dari COX-2 dan PGE2. Efek dari PG pada pembuluh darah lokal menyebabkan eksudasi dari protein plasma dan leukosit melalui endotel dan membran sel yang menyebabkan munculnya karakteristik proses inflamasi akut, seperti

pembengkakan, kemerahan, dan rasa hangat. Leukosit tersebut mempengaruhi perubahan fisiologis dan terjadinya penyakit pada traktus genitalia perempuan, dan juga memiliki peranan penting dalam kehamilan.

Estrogen dan progesteron memiliki

efek langsung pada sel-sel

endometrium, yaitu merangsang seksresi sitokin dan kemokin. Estrogen dan progesteron juga dapat bekerja melalui efek mediator dari sejumlah growth factor dan neurohormon lokal. Peran penting dari IGF-1 dan TGF- atau aktivin telah ditemukan dimana berfungsi dalam meregulasi fase proliferasi endometrium dan diferensiasi menjadi fase sekretorik. Semua peristiwa hormon seks dan mediator tersebut dihubungkan dengan perubahan populasi sel-sel imun di dalam endometrium yang berawal dari jalur endokrin-imun yang penting di dalam fungsi reproduksi. Perubahan kembali dari bentuk jaringan ikat terlibat dalam proses inflamasi ini dan membutuhkan keseimbangan diantara aktivitas matrix metaloproteinase (MMPs) dan MMPs inhibitor. MMP mempengaruhi proliferasi, diferensiasi motilitas dan apoptosis sel dengan cara meregulasi protein matriks ekstraseluler yang berinteraksi dengan sel. MMP-7, MMP-11, MMP-12, diekspresikan di dalam endometrium selama peluruhan menstruasi dan ditekan oleh progesteron selama fase sekretorik. Hormon androgen dan glukokortikoid juga memainkan peran yang penting dalam fungsi endometrium (proliferasi, apoptosis, remodelling). Dan efek tersebut diregulasikan oleh ekspresi lokal dari enzim aromatase dan 11-Hydroxisteroid dehidrogenase (11-bHSD) yang pada akhirnya memperbesar peranan dari enzimenzim lokal tersebut di dalam fungsi endometrium. Ketidakseimbangan endokrin menyebabkan disregulasi peristiwa imunitas lokal dan sebagai akibatnya terjadi reaksi inflamasi yang abnormal. Sehingga menyebabkan adanya hipo atau hiperaktivasi mediator inflamasi yang mempengaruhi dinamika remodelling sel endometrium. Hiperaktifitas dari jaringan inflamasi tersebut kemungkinan merupakan kunci utama dari perubahan endometrium yang merugikan (endometriosis, hiperplasia endometrium) dan juga hasil kehamilan yang merugikan (preeklampsia, kelahiran preterm, dan IUGR) Endometriosis adalah suatu kelainan inflamasi kronik berupa tumor jinak yang menyebabkan nyeri dan mempengaruhi fertilitas melalui mekanisme yang berbeda sehingga memiliki efek yang berbeda pula. Interaksi oosit dan sperma, cadangan ovarium, implantasi, tergantung dari jaringan tempat terjadinya

endometriosis. Terdapat hubungan antara endometriosis dan inflamasi yang menyebabkan kerusakan jaringan dari ovarium, destruksi dari epitel germinativum dengan penurunan jumlah oosit yang tersedia serta adanya distorsi pada anatomi pelvis yang kemungkinan diakibatkan oleh pembentukan massa ovarium yang besar atau perubahan endometrium. Ketidakseimbangan estrogen dan progesteron kemungkinan menjadi awal dari pembentukan endometriosis. Hiperekspresi dari reseptor estrogen mungkin juga menyebabkan terjadinya proliferasi sel endometrium dan penurunan apoptosis yang pada akhirnya menstimulasi fase awal endometriosis. Resistensi reseptor progesteron kemungkinan menimbulkan pergeseran dari rasio PRB/PRA, yang merupakan ketidakseimbangan endokrin lain yang menyebabkan

peningkatan proliferasi sel inflamasi, angiogenesis, penurunan apoptosis, dan kegagalan desidualisasi. Dan ternyata benar, ketidakseimbangan ER/PR pada wanita dengan endometriosis dapat dihubungkan dengan peningkatan aktivasi sel darah putih dan makrofag. Sekresi IL-1, IL-6 dan TNF-; hiperekspresi dari peptida atau growth factor di cairan peritoneum dan lesi endometrium serta stres oksidasi dan proliferasi sel endometrium. Pada saat yang sama, di endometrium eutopik, penurunan diferensiasi desidua dengan penurunan ekspresi PRL dan CRH-R1 berkontribusi dalam penjelasan infertilisasi. Peningkatan ekspresi COX2 menyebabkan sekresi yang berlebihan PGE2 dan PGF2 di dalam uterus dan jaringan endometrium pada wanita dengan endometriosis yang berujung pada nyeri pelvis. Aromatase sebuah enzim lokal yang diekspresikan secara belebihan pada endomeriosis menyebabkan biosintesis yang abnormal dari estradiol(E2) yang pada akhirnya meningkatkan formasi PGE2 dengan stimulasi ekspresi dari COX-2 umpan balik positif antara estrogen dan PG yang membantu dalam proliferasi dan karakteristik inflamasi dalam endometriosis. Invasi peritoneum oleh sel stroma adalah proses kunci yang dimodulasi oleh aktivin sehingga menyebabkan peningkatan ekspresi dari MMP, dimana yang paling sering diakibatkan oleh resistensi progesteron dan peningkatan sekresi sitokin. Gen polimorfism atau ekspresi yang berubah dari enzim matrix degrading dapat memfasilitasi invasi jaringan endometrium ke permukaan peritoneum.

Penurunan apoptosis di peritoneum merupakan faktor lain yang mungkin berkontribusi dalam mempertahankan sel endotelial dalam keadaan agresif. Estrogen, sitokin, dan faktor angiogenetik (VEGF, FGF, IGFs dan derivat platelet growth factor) dimana kesemuanya itu diekspresikan baik oleh endometrium yang eutopik maupun yang ektopik, berperan dalam angiogenesis yang penting bagi progresifitas penyakit. Sekali sel endometrium telah menginvasi endometrium dan mendapatkan suplai darah mereka dapat berimplantasi, dan proses implantasi kronik dimulai. Dimana dapat dihubungkan dengan hipersekresi mediator inflamasi yang menyebabkan nyeri dan infertilitas. Inflamasi, kehamilan dan kelahiran pretem Kehamilan ditandai oleh peningkatan hormon dan aktivitas imun. Inisiasi kehamilan ditandai dengan sekresi HCG dan produksi progesteron dan relaxin oleh korpus luteum selama kehamilan, plasenta merupakan kelenjar endokrin tambahan yang berkontribusi dalam peningkatan estrogen dan progesteron serum seiring bertambahanya usia kehamilan. Estrogen dan progesteron merupakan hormon yang penting dalam mempersiapkan kehamilan. Progesteron yang disintesis kemudian oleh syncitiothropoblast plasenta, memainkan peranan yang penting dalam implantasi embrio dan mempertahankan relaksasi endometrium. Karakteristik dari kehamilan manusia adalah kurangnya penurunan kadar progesteron serum menjelang persalinan, dimana perubahan fungsi progesteron reseptor isoform (PRB PRA berubah menjadi PRA PRB) dianggap penting. Estrogen yang juga merupakan produk trophoblast berfungsi dalam menjaga homeostasis kehamilan, dan penggeseran rasio E3/E2 menandai peran estrogen pada awal persalinan. Plasenta juga merupakan tempat cadangan hormon stress yang baik dan CRH merupakan neurohormon plasenta yang berhubungan dengan homeostasis fetoplasenta yang memiliki efek hormonal dan imunologik. Hormon sex steroid mempengaruhi sistem imun dan memodulasi keadaan inflamasi. Sejak awal kehamilan, pada tempat implantasi, kemungkinan respon dari allograf fetus, leukosit, macrophages dan sel dendritik normalnya

berakumulasi di sekitar sel-sel trophoblast yang sedang menginvasi sel-sel

endometrium dan ikut serta dalam pembersihan

debris sel yang mengalami

apoptosis. Peningkatan sistem imun memiliki peranan yang penting dalam fetomaternal, serta kesuksesan pembentukan plasenta. Awal kehamilan ditandai dengan adanya profil proinflamasi yang dominan dengan kadar sitokin dan kemokin yang tinggi, yang kemudian menurun selama pertengahan kehamilan dan kemudian meningkat lagi pada saat kehamilan aterm. Peran kunci dari sel desidua pada chemoattractant antara neutrofil dan monosit. Invasi sel-sel trofoblas merupakan peristiwa yang penting dan kegagalan pembentukan plasenta dapat berujung kepada hasil kehamilan yang buruk. Invasi sitotrofoblas ke kedalaman yang tepat di uterus juga merupakan faktor utama dalam penentuan hasil kehamilan. Invasi yang berlebihan dapat berakibat pada perkembangan desidua yang abnormal dengan penempelan plasenta ke miometrium yang juga abnormal. Invasi yang tidak adekuat dapat masuk ke dalam patofisiologi terjadinya preeklampsi, karena tekanan arteriol-arteriol uterus meningkat dan dapat terjadi kegagalan adaptasi, seperti adanya interaksi desidua miometrium inadekuat dapat menyebabkan perkembangan ke arah kelahiran preterm. Mendekati waktu persalinan, sitokin proinflamasi secara aktif melakukan remodelling serviks, melemahkan dan memecah kulit ketuban serta mengaktivasi kontraksi uterus, sehingga dapat terjadi pengeluaran janin dan juga plasenta. Secara khusus sitokin inflamasi terlibat dalam kontraktilitas miometrium (TNF- dan IL-1 mempunyai efek yang sama seperti oksitosin terhadap endometrium, mengingkatkan ekspresi COX-2 dan produksi PGE2 oleh sel-sel miometrium), sedangkan IL-6 meregulasi ekspresi reseptor oksitosin di sel-sel miometrium; ruptur selaput ketuban (IL-1 meningkatkan kadar MMP-9, kolagenasi dan ekspresi prostaglandin serta penurunan kadar inhibitor jaringan yaitu MMP-2); pematangan serviks (sitokin meningkatkan produksi dari MMP-1, MMP-3, MMp8, MM-9, catepsin S, COX-2 dan PGE2). Selama kehamilan, hormon stress atau infeksi atau faktor penyebab lain (stress oksidatif, perdarahan) dapat merubah keseimbangan sitokin, yang menentukan pergeseran pada kaskade produksi sitokin inflamasi yang terlibat

dalam peningkatan kontraktilitas uterus, pematangan serviks dan ruptur selaput ketuban yang terjadi pada aborsi spontan dan kelahiran preterm. Kelahiran preterm muncul sekitar 12-13% (Amerika Serikat) dan 5-9% (Eropa) dan disebabkan oleh berbagai macam mekanisme. Penyebabnya secara umum dibagi menjadi beberapa kategori yang berbeda, namun semuanya memiliki kesamaan yaitu hipersekresi dari sitokin dan kemokin inflamasi; peningkatan regulasi COX-2 dan kadar prostaglandin; dan aktivasi MMP pada selaput ketuban, miometrium, serviks, dan pembuluh darah perifer, yang mengakibatkan pematangan serviks, peningkatan kontraksi uterus dan

melemahnya selaput ketuban. Beberapa mekanisme hormonal terlibat didalam kelahiran preterm. Ketidakseimbangan antara estrogen dan progesteron adalah salah satunya. Hipersekresi dari estriol merupakan akibat dari peningkatan sekresi androgen fetal adrenal oleh adanya perubahan plasenta melalui aromatase. Wanita dengan kelahiran peterm memiliki sekresi serum yang tinggi serta rasio E3/E2 yang lebih tinggi. Penurunan PRB dan peningkatan ekspresi PRA juga merupakan bukti pada wanita dengan kelahiran preterm, mendukung adanya penurunan aktivitas antikontraktilitas dari progesteron. Kortisol dan hormon stress (CRH dan ACTH) juga terlibat di dalam kelahiran preterm. Aktivasi dari HPA axis merupakan peristiwa endokrin utama pada stress dan selama kehamilan kortisol di metabolisme menjadi kortison oleh 11-HSD plasenta, yang melindungi janin dari efek kortisol. Pada kelahiran preterm plasenta dan selaput ketuban memiliki ekspresi 11-HSD yang rendah sehingga memungkinkan adanya aktivasi peristiwa yang berhubungan dengan stress. Peningkatan sekresi horman CRH plasenta merupakan bukti yang jelas pada kelahiran preterm, yang menunjukkan bahwa terdapat aktivasi awal dari plasenta oleh mekanisme stress. CRH dapat mengaktifkan sekresi prostaglandin, kontraktilitas uterus, vasodilatasi dan fungsi imun. Ketidakseimbangan pada mekanisme antara anti-inflamasi dan pro-

inflamasi pada uterus dan plasenta merupakan peristiwa patogen yang mungkin terjadi pada kelahiran preterm. Kemudian ekspresi dari mekanisme lokal yang

melindungi unit fetoplasenta dari inflamasi (lipoxin) telah ditemukan dan peranannya di dalam kelahiran preterm sampai saat ini masih diteliti. Endometriosis dan Kelahiran Preterm Endometriosis pada kehamilan kemungkinan dapat dihubungkan dengan hasil kehamilan yang buruk. Preeklampsia, IUGR dan kalahiran preterm kemungkinan dapat dikorelasikan dengan endometriosis, namun pada jurnal ini kami hanya menjelaskan hubungannya dengan kelahiran preterm. Korelasi antara endometriosis dan kelahiran preterm ditunjukkan oleh beberapa penelitian retrospektif. Penilitian dari Skandinavia telah dilakukan terhadap sekelompok besar wanita dengan riwayat endometriosis. Wanita-wanita dengan riwayat

endometriosis memiliki resiko yang lebih tinggi mengalami kelahiran preterm, dimana keadaan inflamasi kronik endometriosis kemungkinan mengakami korelasi dengan kelahiran preterm. Hal ini juga berlaku pada Crohns disease dan rheumathoid artritis yang juga berhubungan dengan kelahiran preterm. Pada penelitian retrospektif kohort, peningkatan resiko kelahiran preterm telah dilaporkan pada beberapa wanita dengan endometrioma yang menjalani ART (Assisted Reproductive Technology), yang menunjukkan bahwa

endometrium yang abnormal dan pembentukan desidua yang tidak baik dapat merubah proses pembentukan plasenta. Penelitian case control juga menunjukkan adanya korelasi anatara kelahiran preterm dan adenomiosis, begitu juga terhadap wanita dengan infertilitas yang bersifat idiopatik. Tidak ada perbedaan yang ditemukan pada kejadian kelahiran preterm antara perempuan dengan

endometriosis minimal dengan infertilitas yang idiopatik yang sedang menjalani ART. Ekspresi endometrium yang tidak biasa dari neurohormon atau growth factor serta angiogenesis yang terganggu telah ditemukan dapat menentukan pembentukan plasenta dan fungsi desidua yang abnormal. Tetapi beberapa dari hasil penelitian ini mungkin memiliki interpretasi yang berbeda sesuai dengan bukti terbaru bahwa bahkan embrio di dalam kultur dengan perpanjangan waktu dapat dikaitkan dengan peningkatan resiko kelahiran preterm, yang mungkin

dapat diakibatkan karena pengaruh epigenetik pada gen yang berhubungan dengan kelahiran preterm. Kesimpulannya, kondisi endometrium dapat menentukan kualitas

implantasi dan perkembangan plasenta serta mempengaruhi hasil dari kehamilan. Sistem imunoendokrin sangat penting bagi fungsi endometrium yang normal, dimana hormon seks steroid, neurohormon, sitokin dan growth factor berkontribusi dalam proses remodelling endometrium dengan menginduksi perubahan di membran basal, angiogenesis dan jalur inflamasi. Di lain pihak, pada saat kehamilan, interaksi trofoblas-desidua dipengaruhi oleh suatu sistem imunoendokrin, yang meliputi pemeran yang sama (hormon seks steroid, neurohormon, sitokin dan growth factor) dan mungkin dapat mempengaruhi perkembangan kehamilan. Keadaan inflamasi yang berlebihan dapat berujung pada kekacauan jalur imunoendokrin endometrium yang pada akhirnya dapat menyebabkan endometriosis; pola ini kemungkinan dapat mempengaruhi interaksi desidua trofoblas dan mengaktivasi mekanisme yang dapat menyebabkan kelahiran preterm. Sehingga dengan mempertimbangkan kesehatan wanita, seorang pasien infertil dengan endometriosis harus lebih diawasi apabila dia hamil. Resiko kelahiran preterm pada wanita ini harus dipertimbangkan walaupun penelitian yang lebih jauh dibutuhkan untuk membuktikan kebenaran didalam aplikasi nyata.

BAB I PENDAHULUAN

I.

Latar Belakang Endometriosis merupakan penyakit yang hanya diderita kaum perempuan.

Prevalensi endometriosis cenderung meningkat setiap tahun, walaupun data pastinya belum dapat diketahui. Menurut Jacoeb (2007), angka kejadian di Indonesia belum dapat diperkirakan karena belum ada studi epidemiologik, tapi dari data temuan di rumah sakit, angkanya berkisar 13,6-69,5% pada kelompok infertilitas. Bila persentase tersebut dikaitkan dengan jumlah penduduk sekarang, maka di negeri ini akan ditemukan sekitar 13 juta penderita endometriosis pada wanita usia produktif. Kaum perempuan tampaknya perlu mewaspadai penyakit yang seringkali ditandai dengan nyeri hebat pada saat haid ini (Widhi, 2007). Gejala endometriosis sangat tergantung pada letak sel endometrium ini berpindah. Yang paling menonjol adalah adanya nyeri pada panggul, sehingga hampir 71-87% kasus didiagnosa akibat keluhan nyeri kronis hebat pada saat haid, dan hanya 38% yang muncul akibat keluhan infertil (mandul). Tetapi ada juga yang melaporkan pernah terjadi pada masa menopause dan bahkan ada yang melaporkan terjadi pada 40% pasien histerektomi (pengangkatan rahim). Selain itu juga 10% endometriosis ini dapat muncul pada mereka yang mempunyai riwayat endometriosis dalam keluarganya (Widhi, 2007). Penyakit endometriosis umumnya muncul pada usia reproduktif. Angka kejadian endometriosis mencapai 5-10% pada wanita umumnya dan lebih dari 50% terjadi pada wanita perimenopause. Gejala endometriosis sangat tergantung pada letak sel endometrium ini berpindah. Yang paling menonjol adalah adanya nyeri pada panggul, sehingga hampir 71-87% kasus didiagnosa akibat keluhan nyeri kronis hebat pada saat haid, dan hanya 38% yang muncul akibat keluhan infertil (mandul). Tetapi ada juga yang melaporkan pernah terjadi pada masa menopause dan bahkan ada yang melaporkan terjadi pada 40% pasien

10

histerektomi (pengangkatan rahim). Selain itu juga 10% endometriosis ini dapat muncul pada mereka yang mempunyai riwayat endometriosis dalam keluarganya (Widhi, 2007). Partus prematurus (persalinan preterm) didefinisikan sebagai pengeluaran hasil konsepsi dari kavum uteri yang dapat hidup pada usia kehamilan 20-37 minggu.23,24 Partus prematurus terjadi pada 7-10 % kehamilan sebelum minggu ke-37, 3-4 % kehamilan sebelum minggu ke-34 dan 1-2 % kehamilan sebelum minggu ke-32.22,25 Persalinan preterm merupakan hal yang berbahaya karena potensial meningkatkan kematian perinatal sebesar 65%-75%, umumnya berkaitan dengan berat lahir rendah. Berat lahir rendah dapat disebabkan oleh kelahiran preterm dan pertumbuhan janin yang terhambat. Keduanya sebaiknya dicegah karena memiliki dampak yang negatif; tidak hanya kematian perinatal tetapi juga morbiditas, potensi generasi akan datang, kelainan mental dan beban ekonomi bagi keluarga dan bangsa secara keseluruhan.24 Di Amerika Serikat setiap tahun terjadi lebih dari 1 juta partus prematurus (10% dari kelahiran normal).25 Angka kejadian persalinan preterm di Indonesia berkisar antara 10-20%.26 Penyebab persalinan preterm adalah multifaktorial dan sering kali tidak diketahui. Ada beberapa kondisi ibu yang merangsang terjadi kontraksi spontan yaitu kelainan bawaan uterus, ketuban pecah dini, serviks inkompeten dan kehamilan ganda. Ada pula faktor resiko lain yang mungkin menimbulkan partus prematurus, misalnya usia, tinggi badan, tingkat sosioekonomi, riwayat persalinan preterm sebelumnya, riwayat lahir mati, tidak menikah dan perokok berat.23 Menurut Iams JD dalam prematurity prevention and treatment, faktor resiko lain yang mempengaruhi persalinan preter, ialah adanya riwayat penyakit infeksi menular seksual, perdarahan setelah trimester I, ada infeksi saluran kemih, anemia (hematokrit < 34%), dan terdapat pembukaan serviks sebelum umur kehamilan 32 minggu (pembukaan serviks > 1 cm dan pendataran serviks < 1 cm).28 Teori berkurangnya nutrisi pada janin dikemukakan oleh Hippocrates untuk pertama kalinya. Bila nutrisi pada janin berkurang maka hasil konsepsi akan segera dikeluarkan. Ditemukan oleh peneliti di Inggris dan di Amerika, berat ibu yang menunjukkan kemungkinan kurang gizi juga mempunyai

11

resiko persalinan prematur yang meningkat dibandingkan dengan yang bergizi lebih baik.22 Berdasarkan hasil penelitian European Society of Human Reproduction and Embryology, ditemukan 5 dari 100 perempuan tanpa endometriosis melahirkan secara prematur, yaitu sekitar 37 minggu kehamilan bukan seperti normalnya 40 minggu, hampir 7 dari 100 perempuan dengan endometriosis melahirkan prematur. Ini berarti ada 33% resiko lebih besar kelahiran prematur pada perempuan yang mengidap endometriosis.

II.

Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang endometriosis

dan kelahiran preterm secara umum, serta hubungan antara endometriosis dengan kejadian kelahiran preterm.

12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1. 1.

Anatomi Genitalia Interna Wanita Vagina Vagina merupakan saluran muskulo-membraneus yang menghubungkan

rahim dengan vulva. Jaringan muskulusnya merupakan kelanjutan dari muskulus sfingter ani dan muskulus levator ani, oleh karena itu dapat dikendalikan. Vagina terletak antara kandung kemih dan rektum. Panjang bagian depannya sekitar 9 cm dan dinding belakangnya sekitar 11 cm. Bagian serviks yang menonjol ke dalam nagina disebut dengan portio. Portio uteri membagi puncak (ujung) vagina menjadi: forniks anterior, forniks posterior, forniks dextra dan forniks sinistra. Sel dinding vagina mengandung banyak glikogen yang menghasilkan asam dengan PH 4,5. Keasaman vagina memberikan proteksi terhadap infeksi. Fungsi utama vagina sebagai saluran untuk mengeluarkan lendir uterus dan darah menstruasi, alat hubungan eks dan merupakan jalan lahir pada waktu persalinan. 2. Uterus Uterus atau rahim berfungsi sebagai tempat implantasi ovum yang terfertilisasi dan sebagai tempat perkembangan janin selama kehamilan sampai dilahirkan. Uterus terletak anterior terhadap rectum dan posterior terhadap vesica urinaria. Uterus berbentuk seperti pear terbalik dan ukuran uterus pada wanita yang belum pernah hamil (nullipara) adalah panjang 7,5 cm, lebar 5 cm dan tebal 2,5 cm. Uterus terbagi dalam 2 bagian besar yaitu corpus uteri, dan serviks uteri. Corpus adalah bagian uterus (2/3 superior uterus) yang melebar, terletak di antara kedua lembar ligmentum latum dan tidak dapat digerakkan. Di dalam corpus uteri terdapat cavum uteri yang membuka keluar melalui saluran (kanalis sevikalis) yang terletak di serviks (1/3 inferior uterus). Bagian bawah serviks yang berada di vagina dinamakan portio uteri (pars vaginalis servisis uteri), sedangkan yang

13

berada di atas vagina disebut pars supravaginalis servisis uteri. Antara korpus dan serviks masih ada bagian yang disebut isthmus uteri.1 Bagian atas uterus disebut fundus uteri, yang merupakan bagian uterus yang berbentuk seperti kubah berada di bagian superior dan tempat dimana tuba fallopi kanan dan kiri masuk ke uterus.1

Gambar 1. Anatomi uterus3

Vaskularisasi uterus berasal dari arteri uterina kiri dan kanan yang terdiri atas ramus ascendens dan ramus descendens. Pembuluh darah ini berasal dari arteri iliaca interna (disebut juga arteria hipogastrika) yang melalui dasar ligamentum latum masuk ke dalam uterus di daerah serviks kira-kira 1,5 cm di atas forniks lateralis vagina. Pembuluh darah lain yang memperdarahi uterus adalah arteria ovarika kiri dan kanan. Arteria ini berjalan dari lateral dinding pelvis melalui ligamentum infundibulo-pelvikum mengikuti tuba fallopii dan beranastomosis dengan ramus ascendens arteria uterina di sebelah lateral kanan dan lateral kiri uterus. Bersama-sama dengan arteri tersebut di atas terdapat venavena yang kembali melalui pleksus vena ke vena hipogastrika.1 Getah bening yang berasal dari serviks akan mengalir ke daerah obturatorial dan inguinal, selanjutnya ke daerah vasa iliaka. Dari korpus uteri saluran getah bening akan menuju ke daerah paraaorta atau paravertebra dalam. Kelenjarkelenjar getah bening penting artinya dalam operasi karsinoma.3

14

Gambar 2. Posisi Uterus2

Dinding uterus mempunyai 3 lapisan, yaitu endometrium, miometrium, dan perimetrium.4,5 a. Endometrium Merupakan lapisan mukosa uterus yang terdiri dari epitel selapis silindris dan lamina propria. Epitelnya terdiri dari 2 macam sel seperti di tuba uteri yaitu sel yang mempunyai silia dan sel sekretori. Pada lamina propria banyak ditemukan glandula uterine yang berbentuk tubular simpleks, selain itu juga dapat ditemukan jaringan pengikat kolagen irregular dengan bermacam-macam sel berbentuk stelat, sel leukosit, makrofag dan serabut retikular. Serat jaringan ikatnya terutama berasal dari kolagen tipe III. Morfologi dan fisiologi endometrium dipengaruhi oleh berbagai macam hormon. Endometrium kaya akan vaskularisasi dan memiliki 3 komponen yaitu: 5,6 1) Lapisan paling dalam; epitel selapis columnar (bersilia dan sel sekretori) yang melapisi lumen 15

2) 3)

Endometrial stroma; daerah lamina propria yang sangat tebal Endometrial glands; berkembang sebagai invaginasi luminal epithelium dan sebagian besar memanjang ke miometrium. Endometrium dibagi atas 2 daerah, yaitu: a) Stratum fungsionale yang melapisi rongga uterine dan divaskularisasi oleh A. Spiralis yang berkelok-kelok sehingga disebut juga coiled arteri. A. spiralis akan membentuk arteriol, kemudian anyaman kapiler dipermukaan endometrium. Stratum fungsionale akan dilepaskan atau meluruh pada saat menstruasi. b) Stratum basale yang dekat dengan miometrium. Divaskularisasi oleh A. basalis yang berbentuk lurus dan pendek. Lapisan ini bersifat permanen dan membentuk stratum fungsional baru ketika setelah menstruasi. A. basalis dan A. spiralis berasal dari A. arcuata yang terletak di perbatasan myometrium dan endometrium.

Gambar 3. Lapisan uterus6 b. Miometrium Merupakan lapisan otot polos yang tebal, terdiri dari 3 lapisan otot yang tidak berbtas tegas. Lapisan yang paling luar dan paling dalam berjalan longitudinal/oblique, sedangkan lapisan yang di tengah berjalan sirkular. Pada lapisan yang ditengah terdapat pembuluh-pembuluh darah besar sehingga disebut

16

stratum vaskulare. Lapisan ini diperdarahi oleh A. arcuata. Makin kearah serviks, sel-sel otot makin berkurang digantikan oleh jaringan pengikat fibrosa. Di serviks, miometrium terdiri dari jaringan pengikat padat irregular yang banyak mengandung serabut elastis dan hanya sedikit sel-sel otot polos.5,6 Ukuran dan jumlah sel-sel otot di miometrium dipengaruhi oleh kadar hormon estrogen. Pada kehamilan sel-sel otot akan bertambah banyak (hyperplasia) dan bertambah besar (hipertrofi) karena produksi hormon estrogen meningkat. Setelah mentruasi hormon estrogen berkurang, maka sel-sel otot juga akan mengecil, bahkan bila tidak ada estrogen maka sel-sel otot miometrium akan mengalami atrofi. Ketika melahirkan terjadi koordinasi kontraksi miometrium yang merespon terhadap oksitosin dari hipofisis posterior yang membantu mengeluarkan fetus dari uterus.5,6 c. Perimetrium Bagian anterior uterus ditutupi oleh tunika adventitia (jaringan pengikat tanpa sel epitel) yang menutupi urinary bladder dan membentuk vesicouterine pouch. Bagian lateral menjadi broad ligament, sedangkan bagian fundus dan posterior ditutupi oleh tunika serosa yang terdiri dari selapis sel epitel gepeng yang disebut mesotel dan jaringan pengikat longgar yang melapisi rektum dan membentuk kantung rectouterine.5,6

Gambar 4. Lapisan uterus6

17

3.

Tuba Fallopii Tuba fallopii merupakan tubulo-muskuler, dengan panjang 12 cm dan

diameternya antara 3 sampai 8 mm. Fungsi tuba sangat penting, yaitu untuk menangkap ovum yang dilepaskan saat ovulasi, sebagai saluran dari spermatozoa ovum dan hasil konsepsi, tempat terjadinya konsepsi dan tempat pertumbuhan dan perkembangan hasil konsepsi sampai membentuk blastula yang siap melakukan implantasi. 4. Ovarium Ovarium merupakan kelenjar berbentuk buah kenari terletak kiri dan kanan di bawah tuba uterina dan terikat di sebelah belakang oleh ligamentum latum uterus. Setiap bulan sebuah folikel berkembang dan sebuah ovum dilepaskan pada saat kira-kira pertengahan (hari ke-14) siklus menstruasi. Ovulasi adalah pematangan folikel de graaf dan mengeluarkan ovum. Ketika dilahirkan, wanita memiliki cadangan ovum sebanyak 100.000 buah di dalam ovariumny, bila habis maka disebut menopause. Ovarium memiliki 3 fungsi, yaitu : memproduksi ovum, memproduksi hormon esterogen dan memproduksi hormon progesteron. Memasuki pubertas yaitu sekitar usia 13-16 tahun dimulai pertumbuhan folikel primordial ovarium yang mengeluarkan homon esterogen. Esterogen merupakan hormon terpenting pada wanita. Pengeluaran hormon ini menumbuhkan tanda seks sekunder pada wanita seperti pembesaran payudara, pertumbuhan rambut pubis, pertumbuhan rambut ketiak, dan akhirnya terjadi pengeluaran darah menstruasi pertama yang disebut dengan menarch. Awal-awal menstruasi sering tidak teratur karena folikel de graaf belum melepaskan ovum yang disebut

dengan ovulasi. Hal ini terjadi karena memberikan kesempatan kepada esterogen untuk menumbuhkan tanda-tanda seks sekunder. Paa usia 17-18 tahun menstruasi sudah teratur dengan interval 28-30 hari yang berlangsung kurang lebih 2-3 hari disertai dengan ovulasi, sebagai tanda dari kematangan organ reproduksi wanita.

18

II.2. 1.

Fisiologi Sistem Reproduksi Wanita Menstruasi Menstruasi adalah perdarahan siklik dan periodik dari uterus disertai

pelepasan endometrium. Panjang siklus menstruasi ialah jarak antara tanggal mulainya menstruasi yang lalu dan mulainya menstruasi yang berikutnya. Hari mulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus. Panjang siklus wanita yang berovulasi 97% berkisar antara 21 35 hari dengan rata rata 28 hari. Lama menstruasi biasanya bervariasi antara 3 5 hari namun ada yang sampai 7 8 hari. Jumlah darah yang keluar rata rata adalah 33,2 16 cc. Jumlah darah menstruasi lebih dari 80 cc dianggap patologik. Darah menstruasi tidak membeku disebabkan karena adanya fibrinolisin. Usia waktu pertama kalinya mendapat menstruasi (menarche) bervariasi, yaitu antara 10 16 tahun, tetapi rata rata 12,5 tahun. Usia menarche dipengaruhi genetik, keadaan gizi, dan keadaan kesehatan secara umum. Menarche terjadi di tengah tengah masa pubertas. Sesudah masa pubertas, wanita memasuki masa reproduksi, yaitu masa dimana ia dapat memperoleh keturunan. Masa reproduksi ini berlangsung 30 40 tahun dan berakhir pada masa mati menstruasi (menopause).2 Hal yang memegang peranan penting dalam siklus menstruasi dan ovulasi adalah hubungan antara hipotalamus, hipofisis, dan ovarium (hypothalamic-

pituitary-ovarian axis). Hipotalamus mengawasi sekresi hormon gonadotropin oleh adenohipofisis melalui sirkulasi portal khusus. Hipotalamus menghasilkan Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH) yang merangsang pelepasan Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari hipofisis.2 Siklus menstruasi normal berkaitan dengan siklus uterus (fase proliferasi, fase sekresi, menstruasi) dan siklus ovarium (fase folikel, saat ovulasi, fase luteal). Fase folikel pada siklus ovarium diawali dari penurunan kadar estrogen dan progesterone yang memberikan rangsangan feedback positif terhadap hipotalamus dalam memproduksi GnRH. Peningkatan GnRH akan merangsang hipofisis anterior (adenohipofisis) melepaskan FSH dan LH. Jumlah FSH yang dilepaskan tidak sebanyak LH karena FSH tidak diperlukan dalam jumlah banyak

19

dalam merangsang sel granulosa pada folikel primer, sedangkan LH diperlukan dalam jumlah banyak dalam merangsang sel teka pada folikel primer. FSH dan LH akan merangsang pertumbuhan sel granulosa dan sel teka pada sel folikel yang mengelilingi oosit primer. Sel granulosa selanjutnya akan memproduksi gel yang akan mengelilingi oosit primer sehingga disebut sebagai zona pelusida. Sel granulosa juga akan memproduksi estrogen dalam jumlah besar yang mengisi antrum (rongga cairan kaya akan estrogen di antara jaringan granulosa) yang terjadi pada hari ke-5 fase folikel dan estrogen yang juga dilepaskan ke aliran darah. Estrogen di aliran darah memberikan suatu feedback negatif pada adenohipofisis terutama FSH, sehingga produksi FSH dan LH berkurang, dimana FSH lebih banyak ditekan dengan tujuan agar folikel yang matang hanya satu. Produksi FSH dan LH tidak hilang sama sekali dengan maksud agar masih merangsang pematangan folikel dan folikel terus memproduksi estrogen. Estrogen terus meningkat sampai suatu saat mencapai puncak. Memuncaknya estrogen justru akan menyebabkan lonjakan LH. Efek dari lonjakan LH ini akan

menyebabkan oosit primer pada folikel primer mengalami meisois kedua sehingga menjadi oosit sekinder sebelum mengalami ovulasi, selanjutnya lonjakan LH ini juga akan merangsang pembentukan prostaglandin yang mencerna dinding sel granulosa dan sel teka pada folikel sehingga oosit sekunder akan dilepas bersama sel granulosa yang menjadi korona radiata dan zona pelusida dimana periode ini disebut dengan ovulasi. Hal ini akan menyebabkan rusaknya dinding folikel yang yang merupakan tanda berakhirnya fase folikel. Sel granulosa dan sel teka yang tertinggal di ovarium membesar dan membentuk vakuola serta terjadi penumpukan pigmen kuning (lutein) kemudian folikel berubah menjadi korpus luteum. Luteinized granulosa cells dalam korpus luteum itu meningkatkan progesteron dan luteinized theca cells juga meningkatkan estrogen namun tidak sebanyak progesterone sehingga kedua hormon ini meningkat tinggi pada fase luteal. Apabila tidak terjadi kehamilan, mulai 10 12 hari setelah ovulasi, korpus luteum mengalami regresi berangsur angsur disertai dengan berkurangnya kapiler kapiler dan diikuti oleh menurunnya sekresi progesteron dan estrogen. Penurunan sekresi estrogen dan progesteron merupakan tanda berakhirnya fase luteal dan akan dimulainya fase folikel kembali. Namun dengan adanya

20

kehamilan, hidupnya korpus luteum diperpanjang oleh adanya rangsangan dari Human Chorionic Gonadothropin (HCG), yang dihasilkan oleh sinsiotrofoblast. Rangsangan ini dimulai pada puncak perkembangan korpus luteum (8 hari pasca ovulasi) yang merupakan waktu yang tepat untuk mencegah regresi luteal. HCG memelihara korpus luteum hingga 9 10 minggu kehamilan sampai plasenta telah terbentuk.2,7 Pada endometrium akan terjadi perubahan perubahan siklik yang terjadi yang berkaitan erat dengan aktifitas ovarium. Dibedakan 3 fase pada endometrium, yaitu fase menstruasi, fase proliferasi, dan fase sekresi. Fase menstruasi bersamaan dengan akhir dari fase luteal atau awal dimulainya fase folikel pada ovarium, yaitu akibat dari penurunan kadar progesteron dan estrogen akan menyebabkan terlepasnya endometrium dari dinding uterus yang disertai perdarahan. Darah menstruasi mengandung darah vena dan arteri dengan sel darah merah yang mengalami hemolisis atau aglutinasi, sel sel epitel dan stroma yang mengalami disintegrasi dan otolisis, serta sekret dari uterus, serviks, dan kelenjar vulva dimana fase ini berlangsung 3 4 hari. Fase proliferasi berlangsung dari hari ke-4 sampai hari ke-15 siklus menstruasi. Fase proliferasi bersamaan dengan fase folikel ovarium yaitu dibawah pengaruh estrogen yang meningkat yang akan menyebabkan pertumbuhan endometrium dan miometrium di uterus serta meningkatkan reseptor progesteron di uterus sebagai persiapan apabila terjadi pembuahan. Pada fase ini ditandai dengan kelenjar yang lurus, pendek dan sempit serta stroma yang tumbuh aktif dan padat. Tebal endometrium pada fase proliferasi menjadi setebal 3,5 mm. Fase sekresi berlangsung dari hari ke-14 sampai hari ke-28 siklus menstruasi. Fase sekresi bersamaan dengan fase uteal dari ovarium. Fase ini dipengaruhi oleh progesteron dan estrogen dalam jumlah besar. Pada fase ini endometrium kira kira tetap tebalnya, tetapi bentuk kelenjar berubah menjadi panjang, berlekuk lekuk dan mengeluarkan getah yang makin lama makin nyata. Dalam endometrium telah tertimbun glikogen dan kapur yang kelak akan diperlukan sebagai makanan untuk telur yang dibuahi. Memang tujuan perubahan ini adalah untuk mempersiapkan endometrium menerima telur yang dibuahi.2,7

21

Gambar 5. Siklus Menstruasi4 2. Konsepsi/Fertilisasi Pembuahan adalah suatu peristiwa penyatuan antara sperma dengan ovum di tuba fallopii, umumnya terjadi di ampula tuba, pada hari ke sebelas sampai empat belas dalam siklus menstruasi. Ada jutaan sperma yang dikeluarkan di forniks vagina. Hanya beberapa ratus ribu sperma yang meneruskan ke kavum uteri dan tuba. Dan hanya beberapa ratus sperma yang dapat sampai ke ampula tuba. Hanya satu sperma yang telah mengalami proses kapasitasi yang dapat membuahi ovum. Kaput sperma mengandung enzim hialuronidase yang dapat meluruhkan dan menembus zona pellusida ovum. Sperma masuk ke dalam vitellus, membangkitkan nukleus ovum yang masih dalam metafase untuk melanjutkan pembelahan. Ovum memiliki pronukleus yang haploid. Sperma juga

22

memiliki pronukleus yang haploid. Kedua pronuklei ini saling mendekat dan bersatu membentuk zigot. Beberapa jam kemudian zigot membelah, Sitoplasma ovum banyak mengandung zat asam amino dan enzim. Dalam 3 hari terbentuk suatu kelompok sel-sel yang sama besarnya. Hasil konsepsi disalurkan terus ke pars ismika dan pars interstisialis tuba menuju kavum uteri. Dalam kavum uteri, hasil konsepsi mencapai stadium blastula.

Gambar 6. Fertilisasi6 3. Nidasi/Implantasi Nidasi adalah masuknya atau tertanamnya hasil konsepsi ke dalam endometrium. Blastula tersebut diselubungi oleh trofoblas yang mampu menghancurkan dan mencairkan jaringan. Ketika blastula mencapai cavum uteri, jaringan endometrium berada dalam masa sekres yang banyak mengandung selsel desidua, yaitu sel-sel besar yang mengandung lebih banyak glikogen serta mudah dihancurkan oleh trofoblas. Blastula dengan bagian yang mengandung inner-cell mass aktif akan mudah masuk ke dalam lapisan desidua dan menyebabkan luka kecil pada desidua yang kemudian dapat sembuh dan dapat menutup kembali. Kadang-kadang pada saat ini terjadi perdarahan pada luka desidua (tanda Hartman). Umumnya nidasi terjadi di dinding depan atau belakang 23

uterus, dekat pada fundus uteri. Jika nidasi ini telah terjadi, makan dimulailah differensiasi sel-sel blastula. Sel-sel yang lebih kecil terletak dekat ruang exoxoeloma akan membentuk entoderm dan yolk sac. Sedangkan sel-sel yang lebih besar akan membentuk ectoderm dan ruang amnion.Maka terbentuklah suatu lempeng embrional (embryonal plate) di antara amnion dan yolk sac. Sel-sel trofoblas mesodermal yang tumbuh disekitar embrio akan melapisi bagian dalam trofoblas dan membentuk sekat korionik (chorionic membrane) yang disebut dengan korion. Sel2 trofoblas tumbuh mjd 2 lapisan, yaitu: Sitotrofoblas, di sebelah dalam dan Sinsitiotrofoblas, di sebelah luar. Vili koriales yang berhubungan dengan desidua basalis tumbuh bercabang-cabang membentuk korion frondosum. Vili koriales yqng berhubungan dengan desidua kapsulasris kurang mendapat makanan sehingga akhirnya menghilang, dan kemudian disebut chorion leave. Dalam tingkat nidasi, trofoblas menghasilkan hormon HCG. Hormon HCG meningkat sampai kurang lebih hari ke 60 kehamilan untuk kemudian turun kembali. Fungsi dari hormon HCG adalah untuk mempengaruhi korpus luteum supaya dapat tumbuh terus dan mengahsilkan progesteron, sampai plasentadapat membuat cukup progesteron sendiri. Hormon HCG dapat diperiksan pada urin wanita hamil sebagai pemeriksaan kehamilan. 4. Plasentasi Plasenta merupakan organ penting bagi janin, karena sebagai alat pertukaran zat antara ibu dan bayi atau sebaliknya. Plasenta berbentuk bundar atau hampir bundar dengan diameter 15-20 cm dan tebal 2,5 cm, berat rata-rata 500 gram. Umumnya plasenta terbentuk lengkap pada kehamilan kurang dari 16 minggu dengan ruang amnion telah mengisi seluruh kavum uteri. Plasenta terletak di depan atau di belakang dinding uterus, agak ke atas kearah fundus uteri, dikarenakan alasan fisiologis, permukaan bagian atas korpus uteri lebih luas, sehingga lebih banyak tempat untuk berimplementasi. Plasenta berasal dari sebagian besar dari bagian janin, yaitu villi koriales atau jonjot chorion dan sebagian kecil dari bagian ibu yang berasal dari desidua basalis. Plasenta mempunyai dua permukaan, yaitu permukaan fetal dan maternal. Permukaan fetal adalah permukaan yang menghadap ke janin, warnanya keputih-

24

putihan dan licin. Hal ini disebabkan karena permukaan fetal tertutup oleh amnion, di bawah nampak pembuluh-pembuluh darah. Permukaan maternal adalah permukaan yang menghadap dinding rahim, berwarna merah dan terbagi oleh celah-celah yang berasal dari jaringan ibu. Jumlah celah pada plasenta dibagi menjadi 16-20 kotiledon.

Gambar 7. Permukaan Plasenta Penampang plasenta terbagi menjadi dua bagian yang terbentuk oleh jaringan anak dan jaringan ibu. Bagian yang terdiri dari jaringan anak disebut membrana chorii, yang dibentuk oleh amnion, pembuluh darah janin, korion dan villi. Bagian dari jaringan ibu disebut piring desidua atau piring basal yang terdiri dari desidua compacta dan desidua spongiosa.

Gambar 8. Struktur Plasenta

25

II.3. 1.

Endometriosis Definisi Endometriosis adalah jaringan ektopik (tidak pada permukaan dalam

uterus) yang memiliki susunan kelenjar atau stroma endometrium atau keduaduanya dan bersifat jinak, tetapi dapat menyebar ke organ-organ dan susunan lainnya.8 Bila jaringan endometrium tersebut berimplantasi di dalam miometrium disebut endometriosis interna atau adenomiosis, sedangkan jaringan endometrium yang berimplantasi di luar kavum uteri disebut endometriosis eksterna atau endometriosis sejati.8-10 Pembagian ini sekarang sudah tidak dianut lagi karena baik secara patologik, klinik ataupun etiologik adenomiosis dan endometriosis berbeda.9 endometriosis sering disertai pembentukan fibrosis dan perlekatan luas menyebabkan gangguan anatomi pelvis. 2. Lokasi Endometrosis Berdasarkan urutan tersering endometrium ditemukan ditempat-tempat sebagai berikut : a b Ovarium; Peritoneum dan ligamentum sakrouterinum, kavum Douglasi, dinding belakang uterus, tuba Fallopi, plika vesiko uterina, ligamentum rotundum, dan sigmoid. c d e f g Septum rektovaginal; Kanalis inguinalis; Apendiks; Umbilikus; Serviks uteri, vagina,

kandung kencing, vulva, perineum; h i j Parut laparotomi; Kelenjar limfe; dan Walaupun sangat jarang, endometriosis dapat ditemukan di lengan, paha, pleura, dan perikardium.

26

3.

Patogenesis Sampai saat ini belum ada yang dapat menerangkan secara pasti penyebab

terjadinya endometriosis. Namun demikian beberapa ahli mencoba menerangkan kejadian endometriosis, antara lain : a. Teori implantasi dan regurgitasi (John A. Sampson) Endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui tuba ke dalam rongga pelvis.8,9 Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid ditemukan sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel yang masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis.9 Teori ini paling banyak penganutnya, tetapi teori ini belum dapat menerangkan kasus endometriosis di luar pelvis. b. Teori metaplasia (Rober Meyer) Metaplasia yaitu perubahan dari satu tipe jaringan normal menjadi tipe jaringan normal lainnya. Beberapa jaringan endometrium memiliki kemampuan dalam beberapa kasus untuk menggantikan jenis jaringan lain di luar rahim. Beberapa peneliti percaya hal ini terjadi pada embrio, ketika pembentukan rahim pertama. Lainnya percaya bahwa beberapa sel dewasa mempertahankan kemampuan mereka dalam tahap embrionik untuk berubah menjadi jaringan reproduksi. Endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel yang berasal dari selom yang dapat mempertahankan hidupnya di dalam pelvis. Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasi dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan endometrium.9 Secara endokrinologis, epitel germinativum dari ovarium, endometrium dan peritoneum berasal dari epitel selom yang sama.8 c. Teori penyebaran secara limfogen (Halban) Teori ini dikemukakan atas dasar jaringan endometrium menyebar melalui saluran limfatik yang mendrainase rahim, dan kemudian diangkut ke berbagai tempat pelvis dimana jaringan tersebut tumbuh secara ektopik.

27

Jaringan endometrium ditemukan dalam limfatik pelvis pada sampai 20% dari penderita endometriosis.14 d. Teori imunologik Banyak peneliti berpendapat bahwa endometriosis adalah suatu penyakit autoimun karena memiliki kriteria cenderung lebih banyak pada perempuan, bersifat familiar, menimbulkan gejala klinik, melibatkan multiorgan, dan menunjukkan aktivitas sel B-poliklonal. Di samping itu telah dikemukakan bahwa danazol yang semula dipakai untuk pengobatan endometriosis yang disangka bekerja secara hormonal, sekarang ternyata telah dipakai untuk mengobati penyakit autoimun atas dasar bahwa danazol menurunkan tempat ikatan IgG pada monosit, sehingga mempengaruhi aktivitas fagositik.8 Hipotesis berbeda tersebut telah diajukan sebagai penyebab endometriosis. Sayangnya, tak satu pun dari teori-teori ini sepenuhnya terbukti, juga tidak sepenuhnya menjelaskan semua mekanisme yang berhubungan dengan

perkembangan penyakit. Dengan demikian, penyebab pasti endometriosis masih belum diketahui. 4. Patologi Lokasi yang sering terdapat endometriosis ialah pada ovarium, dan biasanya di dapati pada kedua ovarium. Pada ovarium tampak kista-kista biru kecil sampai kista besar berisi darah tua menyerupai coklat (disebut kista coklat atau endometrioma). Darah tua dapat keluar sedikit-sedikit karena luka pada dinding kista, dan dapat menyebabkan perlekatan antara permukaan ovarium dengan uterus, sigmoid dan dinding pelvis. Kista coklat kadang-kadang dapat mengalir dalam jumlah banyak ke dalam rongga peritoneum karena robekan dinding kista, dan menyebabkan acute abdomen. Tuba pada endometriosis biasanya normal. Pada salah satu atau kedua ligamentum sakrouterinum, kavum Douglasi, dan permukaan uterus sebelah belakang dapat ditemukan satu atau beberapa bintik sampai benjolan kecil yang berwarna kebiru-biruan. Juga pada permukaan sigmoid atau rektum seringkali ditemukan benjolan yang berwarna

28

kebiru-biruan ini. Sebagai akibat dari timbulnya perdarahan pada waktu haid dari jaringan endometriosis, mudah sekali timbul perlekatan antara alat-alat di sekitar kavum Douglasi.9 5. Gambaran Mikroskopik Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan ciri-ciri khas bagi

endometriosis yakni kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium, serta perdarahan bekas dan baru berupa eritrosit, pigmen hemosiderin dan sel-sel makrofag berisi hemosiderin. Disekitarnya tampak sel-sel radang dan jaringan ikat, sebagai reaksi dari jaringan endometriosis.9 6. Gambaran Klinis Aktivitas jaringan endometriosis sama halnya dengan endometrium yakni sangat bergantung pada hormon. Aktivitas jaringan endometriosis akan terus meningkat selama hormon masih ada dalam tubuh, setelah menopause gejala endometriosis akan menghilang.8 Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada penyakit endomeriosis berupa : a Dismenorea adalah nyeri haid siklik merupakan gejala yang sering dijumpai. Terjadi 1-3 hari sebelum haid dan dengan makin banyaknya darah haid yang keluar keluhan dismenorea pun akan mereda.1 penyebab dari dismenorea ini belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan adanya vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada waktu sebelum dan semasa haid.9 b Dispareunia merupakan gejala tersering dijumpai setelah dismenorea, keluhan ini disebabkan adanya endometriosis di dalam kavum Douglasi.9 c Diskezia atau nyeri waktu defekasi terutama pada waktu haid, disebabkan adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid.9 d Gangguan miksi dan hematuria bila terdapat endometriosis di kandung kencing, tetapi gejala ini jarang terjadi.9 e Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi pada endometriosis apabila kelainan pada ovarium demikian luasnya sehingga fungsi ovarium terganggu.9

29

Infertilitas juga merupakan suatu gejala endometriosis yang masih sulit dimengerti.14 Tetapi faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada endometriosis ialah mobilitas tuba terganggu karena fibrosis dan perlekatan jaringan disekitarnya.9

Pada pemeriksaan ginekologik, khususnya pada pemeriksaan vagino-rektoabdominal, ditemukan pada endometriosis ringan benda-benda padat sebesar butir beras sampai butir jagung di kavum douglasi dan pada ligamentum sakrouterinum dengan uterus dalam retrofleksi dan terfiksasi. Ovarium mula-mula dapat diraba sebagai tumor kecil, akan tetapi dapat membesar sampai sebesar tinju.9 7. Klasifikasi Endometriosis Menurut American Fertility Society (2007), berdasarkan visualisasi rongga pelvis dan volume tiga dimensi dari endometriosis dilakukan penilaian terhadap ukuran, lokasi dan kedalaman invasi, keterlibatan ovarium dan densitas dari perlekatan. Dengan perhitungan ini didapatkan nilai-nilai dari skoring yang kemudian jumlahnya berkaitan dengan derajat klasifikasi endometriosis (Rusdi, 2009). Klasifikasi endometriosis tersebut adalah sebagai berikut:17,20,21 a. Nilai 1-4 adalah minimal (stadium I)

b. Nilai 5-15 adalah ringan (stadium II) c. Nilai 16-40 adalah sedang (stadium III) d. Nilai >40 adalah berat (stadium IV)

30

Tabel 1. American Society for Reproductive Medicine Revised Classification of Endometriosis. 17,20,21

Endometriosis Peritoneum Permukaan Dalam Ovarium Kanan Permukaan Dalam Kiri Permukaan Dalam Perlekatan kavum douglas

<1cm 1 2 1 4 1 4 Sebagian

1-3 cm 2 4 2 16 2 16

>1cm 4 6 4 20 4 20

Komplit

4 Ovarium Perlekatan <1/3 1/32/3 Kanan Tipis Tebal Kiri Tipis Tebal Tuba Kanan Tipis Tebal Kiri Tipis Tebal 1 4 1 4 1 4 1 4 2 8 2 8 2 8 2 8

40 >2/3

4 16 4 16 4 16 4 16

31

Skema klasifikasi berdasarkan beratnya penyakit endometriosis menurut American Fertility Society (2007a) dapat dilihat pada gambar dibawah.

Gambar 9. American Society for Reproductive Medicine Revised Classification of Endometriosis21

32

8.

Diagnosis Visualisasi endometriosis diperlukan untuk memastikan diagnosis.

Diagnosis biasanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dipastikan dengan pemeriksaan laparoskopi. Pada endometriosis yang ditemukan pada lokasi seperti forniks vaginae posterior, perineum, parut laparotomi dan sebagainya, biopsi dapat memberi kepastian mengenai diagnosis.

Gambar 10. Kista cokelat pada ovarium23 Pemeriksaan laboratorium pada endometriosis tidak memberi tanda yang khas, hanya apabila ada darah dalam tinja atau air kencing pada waktu haid dapat menjadi petunjuk tentang adanya endometriosis pada rektosigmoid atau kandung kencing.17 Penggunaan teknik pengambilan gambar yang khusus seperti ultrasound, Computerized Tomography (CT scan), atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga dapat dilakukan untuk menambah informasi tentang pelvis. Prosedur ini dapat mengidentifikasi kista dan mengetahui karakteristik dari lesi.

33

9.

Penatalaksanaan Penatalaksanaan endometriosis diantaanya adalah dengan cara

pencegahan, terapi hormon dan terapi pembedahan. a. Pencegahan Kehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk endometriosis. Gejala-gejala endometriosis memang berkurang atau hilang pada waktu dan sesudah kehamilan karena regresi endometrium dalam sarang-sarang endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu lama, dan sesudah perkawinan hendaknya diusahakan supaya mendapat anak-anak yang diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap demikian itu tidak hanya merupaka profilaksis yang baik terhadap endometriosis, melainkan menghindari terjadinya infertilitas sesudah endometriosis timbul. Selain itu jangan melakukan pemeriksaan yang kasar atau melakukan kerokan pada waktu haid, karena dapat menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan ke rongga panggul.7 b. Terapi Medis Dasar pengobatan hormonal endometriosis ialah bahwa pertumbuhan dan fungsi jaringan endometriosis sama seperti jaringan endometrium yang normal, dimana jaringan endometriosis juga dikontrol oleh hormonhormon steroid. Data laboratorium menunjukkan bahwa jaringan endometriosis mengandung reseptor estrogen, progesteron dan androgen, yakni estrogen merangsang pertumbuhan jaringan endometriosis, androgen menyebabkan atrofi, sedang progesteron masih diperdebatkan, namun progesteron sintetik yang mengandung efek androgenik tampaknya menghambat pertumbuhan endometriosis.9 Dari dasar tersebut, prinsip pertama pengobatan hormonal endometriosis adalah menciptakan

lingkungan hormon rendah estrogen dan asiklik, sehingga diharapkan kadar estrogen yang rendah menyebabkan atrofi jaringan endometriosis dan keadaan yang asiklik mencegah terjadinya haid yang berarti tidak

34

terjadinya pelepasan jaringan endometrium yang normal maupun jaringan endometriosis. Kemudian prinsip kedua adalah menciptakan lingkungan hormon tinggi androgen atau tinggi progestogen yang secara langsung menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Di samping itu, prinsip tinggi androgen atau tinggi progestogen juga menyebabkan keadaan rendah estrogen yang asiklik karena gangguan pada pertumbuhan folikel.9 Tabel 2. Manajemen Terapi Endometriosis 20 Drug Mechanism Dosage Side effects Hot flashes, vaginal

Gonadotropin- Down-regulation of Leuprolide acetate releasing hormone analogs pituitary receptors, inhibition of the hypothalamicpituitary-ovarian axis leading to ovarian suppression Nafarelin acetate (Synarel): 200-400 g intranasally 1-6 mo Goserelin acetate (Zoladex): 3.6-mg implant SC 28d 10.8-mg implant SC q12wks 1-6 mo Oral Anovulation, Monophasic pill

(Lupron): 3.75-7.5 mg dryness, bone IM 1-6 mo demineralization, insomnia, libido changes, fatigue

Weight gain, breakthrough bleeding, breast tenderness, bloating,

contraceptives atrophy and decidualization of

35

endometrial tissue Progestins Atrophy and decidualization of endometrial tissue, suppression of gonadotropins, inhibition of ovulation, amenorrhea 30 mg PO 1-90 days Megestrol acetate: 40 mg PO 1-6 mo

nausea Medroxyprogesterone Weight gain, fluid acetate: 150 mg IM 3mo-4 retention, breakthrough bleeding, depression

Possible bone demineralization with long-term use

Danazol

Anovulation by decreasing the midcycle luteinizing hormone surge

400-800 mg PO 1-6 Mo

Amenorrhea, virilization, acne, hirsutism, atrophic vaginitis, decrease in breast size, hot flashes, deepening of voice

Obat-obat anti-peradangan nonsteroid atau nonsteroidal antiinflammatory drugs atau NSAIDs Umumnya diresepkan untuk membantu membebasan nyeri pelvis dan kejang menstruasi. Obat-obat pembebas nyeri ini tidak mempunyai efek pada endometrial implants. Bagaimanapun, mereka mengurangi produksi prostaglandin, dan prostaglandins dikenal baik mempunyai peran dalam produksi sensasi (perasaan) nyeri. Karena diagnosis dari endometriosis

36

adalah hanya pasti setelah seorang wanita menjalani operasi, tentunya akan banyak wanita-wanita yang dicurigai mempunyai endometriosis berdasarkan pada alam dari gejala-gejala nyeri pelvisnya. Pada situasisituasi semacam ini, NSAIDs umumnya digunakan. Jika mereka bekerja untuk mengontrol nyeri, tidak ada prosedur-prosedur atau perawatanperawatan media lain diperlukan. Jika mereka tidak membebaskan nyeri, evaluasi dan perawatan tambahan umumnya terjadi.

Gonadotropin-releasing hormone analogs (GnRH analogs) Gonadotropin-releasing hormone analogs (GnRH analogs) telah digunakan secara efektif untuk membebaskan nyeri dan mengurangi ukuran dari endometriosis implants. Obat-obat ini menekan produksi estrogen oleh indung-indung telur dengan menghambat sekresi (pengeluaran) hormonhormon pengatur dari kelenjar pituitary. Sebagai akibatnya, periodeperiode menstruasi berhenti, meniru menopause. Bentuk-bentuk nasal (hidung) dan suntikan dari GnRH agonists tersedia. Danazol (Danocrine) Danazol (Danocrine) adalah obat sintetik yang menciptakan lingkungan hormon androgen (hormon tipe pria) yang tinggi dan estrogen yang rendah dengan mengganggu ovulasi dan produksi estrogen indung-indung telur. Delapan puluh persen dari wanita-wanita yang meminum obat ini akan mempunyai pembebasan nyeri dan penyusutan dari endometriosis implants, namun sampai dengan 75% dari wanita-wanita mengembangkan efek-efek sampingan dari obat ini. Aromatase inhibitors Pendekatan yang lebih baru pada perawatan dari endometriosis telah melibatkan pengaturan dari obat-obat yang dikenal sebagai aromatase inhibitors [contohnya, anastrozole (Arimidex) dan letrozole (Femara)]. Obat-obat ini bekerja dengan menginterupsi pembentukan estrogen lokal didalam endometriosis implants sendiri. Mereka juga menghalangi

37

produksi estrogen di indung-indung telur, otak, dan sumber-sumber lain, seperti jaringan adipose. Penelitian dari sedang aromatase berlangsung inhibitors untuk dalam

mengkarakteristikan pengendalian kehilangan

keefektifan

endometriosis. tulang yang

Aromatase signifikan

inhibitors

menyebabkan yang

dengan

penggunaan

berkepanjangan dan tidak dapat digunakan sendiri tanpa obat-obat lain pada wanita-wanita premenopause karena mereka menstimulasi

pengembangan dari banyak follicles pada ovulasi. c. Terapi Pembedahan Endometriosis yang cukup berat (stadium III atau IV) dapat menyebabkan kelainan anatomis pelvis, dimana hal tersebut sangat memungkinkan merusak fertilitas (kesuburan) dengan cara mengganggu jangkauan oosit dan transportasi sepanjang tuba fallopi. Keadaan ini umumnya diterapi dengan cara pembedahan.13 Pada umumnya terapi pembedahan pada endometriosis bersifat bedah konservatif yakni mengangkat saranngsarang endometriosis dengan mempertahankan fungsi reproduksi dengan cara meninggalkan uterus dan jaringan ovarium yang masih sehat, dan perlekatan sedapat mungkin dilepaskan.8,9 pembedahan konservatif dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan yakni laparotomi atau laparoskopi operatif.2 Pembedahan konservatif pada pasien usia duapuluhan akhir dan awal empatpuluhan terutama bila fertilitas di masa depan dikehendaki, maka endometriosis yang cukup luas diterapi dengan 1) reseksi endometriomata; 2) melepaskan perlekatan tuba dengan atau tanpa neurektomi presakral (untuk mengurangi dismenorea); 3) suspensi uterus (melepaskan fiksasi retroversi fundus uteri dari kavum Douglasi akibat perlekatan endometriotik); 4) menghilangkan apendiks dikarenakan tidak jarang sarang-sarang endometriosis terdapat pada serosa apendiks.9,14 Pembedahan radikal dilakukan pasien usia 40 tahun dengan menderita endometriosis yang luas disertai banyak keluhan. Pilihan pembedahan radikal histerektomi total, salpingo-ooforektomi endometriosis yang bilateral dan ditemukan.9,14,15

pengangkatan

sarang-sarang

Komplikasi tersering pembedahan adalah pecahnya kista, tidak dapat

38

terangkatnya seluruh dinding kista secara baik dan sempurna. Hal ini mengakibatkan tingginya perlekatan pasca-pembedahan. Untuk mencegah pecahnya kista, dianjurkan pengobatan terapi hormonal praoperatif selama beberapa bulan. Cara lain untuk mencegah pecahnya kista dengan pungsi kista per-laparaskopi yang kemudian dilanjutkan terapi hormonal selama 6 bulan, tetapi cara ini masih belum banyak dilakukan dan masih diperdebatkan.8

Gambar 11. Mekanisme penatalaksanaan pasien dengan endometriosis9 II.4. 1. Kehamilan preterm Definisi Persalinan preterm adalah persalinan pada kehamilan antara 20 37 minggu. Angka kejadian 10 15% kehamilan. Penyebab utama morbiditas dan mortalitas neonatal. 75% kematian neonatus pada persalinan preterm disebabkan oleh karena kelainan kongenital.

39

2.

Etiologi kelahiran preterm : a. Komplikasi medis dan obstetrik 28% persalinan preterm kehamilan tunggal disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : 50% akibat pre eklampsia, 25% akibat gawat janin, 25% akibat IUGR, solusio plasenta atau kematian janin. Sedangkan 72% persalinan preterm kehamilan tunggal sisanya adalah persalinan spontan preterm dengan atau tanpa disertai KPD. b. Abortus iminen Perdarahan pervaginam [ada awal kehamilan seringkali berkait dengan meningkatnya perubahan pada outcome kehamilan. Weiss dkk (2002) melaporkan adanya kaitan antara perdarahan pervaginam pada kehamilan 6 13 minggu dengan kejadian meningkatnya persalinan sebelum kehamilan 24 minggu, persalinan preterm dan solusio plasenta. 37 c. Gaya hidup Merokok, kenaikan BB selama kehamilan yang tidak memadai serta penggunaan obat-obatan tertentu memiliki peranan penting dalam angka kejadian dan outcome BBLR. Casaenuva 2005 menyimpulkan bahwa faktor maternal lain yang berkaitan dengan persalinan preterm adalah : Kehamilan remaja atau pada usia tua Tubuh pendek Kemiskinan Defisiensi vit C Faktor pekerjaan (berjalan jauh , berdiri lama, pekerjaan berat, jam kerja yang terlalu lama) d. Faktor genetik Perkiraan bahwa terdapat hubungan antara faktor genetik denga persalinan preterm adalah sifat persalinan preterm yang berulang, menurun dalam keluarga dan banyak pada ras tertentu. e. Chorioamnionitis Infeksi selaput ketuban dan cairan amnion yang disebabkan oleh berbagai jenis mikroorganisme dapat menjelaskan peristiwa KPD dan atau persalinan preterm. Jalan masuk mikroorganisme kedalam cairan amnion 40

pada kondisi selaput ketuban yang masih utuh tidak jelas. Endotoksin sebagai produk dari bakteri dapat merangsang monosit desidua untuk menghasilkan cytokine yang selanjutnya dapat merangsang asam arachidonat dan produksi prostaglandine. Prostaglandine E2 dan F2a bekerja dengan modus parakrin untuk merangsang terjadinya kontraksi miometrium. 3. Faktor resiko kelahiran preterm : a. Riwayat persalina preterm sebelumnya Tabel 3. Recurrent Spontaneous Preterm Births According to Prior Outcome in 15.863 Women Delivering Their First and Subsequent Pregancies at Parkaland Hospital (Adapted from Bloom and associates 2001)26 Birth outcome First birth = 35 weeks First birth = 34 weeks First and second birth = 34 weeks Second Birth = 34 weeks 5% 16 % 41 %

Meskipun pasien hamil dengan riwayat persalinan preterm jelas memiliki resiko tinggi mengalami persalinan preterm pada kehamilan selanjutnya, peristiwa ini hanya 10% dari keseluruhan persalinan preterm. Dengan kata lain 90% kejadian persalinan preterm tak dapat diramalkan berdasarkan riwayat persalinan preterm. b. Inkompetensia serviks Berdasarkan naskah dari American College of Obstetrican and Gynecologist (2001) Inkompetensia servik adalah peristiwa klinis

berulang yang ditandai dengan dilatasi servik yang berulang, persalinan spontan pada trimester II yang tidak didahului dengan KPD, perdarahan atau infeksi. c. Dilatasi serviks Dilatasi servik asimptomatik pada kehamilan setelah trimester II adalah faktor resiko terjadinya persalinan preterm, ahli lain berpendapat bahwa 41

hal tersebut adalah variasi normal terutama pada pasien multipara. Pemeriksaan servik pada kunjungan prenatal untuk memperkirakan adanya persalinan preterm adalah hal yang tak perlu dan berbahaya. d. Fetal fibronectin Fetal fibronectin adalah glikoprotein yang dihasilkan dalam 20 bentuk molekul dari berbagai jenis sel antara lain hepatosit, fibroblas, sel endothel serta amnion janin. Kadar yang tinggi dalam darah maternal serta dalam cairan amnion diperkirakan berperan dalam adhesi interseluler selama implantasi dan dalam mempertahankan adhesi plasenta pada desidua. Deteksi fibronectin dalam cairan servikovaginal sebelum adanya ketuban pecah adalah marker adanya partus prematurus iminen. Nilai > 50 ng/mL adalah positif (pemeriksaan dengan metode ELISA dan harus menghindari kontaminasi dengan darah dan cairan ketuban). Goldenberg dkk (2000) : pemeriksaan fibronectin bahkan pada kehamilan 8 22 minggu merupakan prediktor kuat untuk terjadinya persalinan preterm. Lowe dkk (2004) pemeriksaan fibronectin pada kasus partus prematurus iminen dapat menurunkan lama waktu tinggal di RS.31,35 e. Vaginosis bakterial Vaginosis bakterial adalah bukan keadaan infeksi namun adalah satu keadaan dimana flora vagina normal ( laktobasiluspenghasil hidrogen peroksida) diganti dengan kuman-kuman anerobik (Gardnerella vaginalis, spesies Mobiluncus dan Mycoplasmahominis). Vaginosis bakterial sering dikaitkan dengan abortus spontan, persalinan preterm, KPD,

chorioamnionitis dan infeksi cairan amnion. Vaginosis bakterial menyebabkan terjadinya persalinan preterm melalui mekanisme yang sama dengan yang terjadi akibat infeksi dalam cairan amnion. Dari penelitian yang ada, tak ada keraguan bahwa perubahan flora vagina yang normal seperti vaginosis bakterial memiliki kaitan erat dengan persalinan preterm spontan. Namun demikian, sampai saat ini skrining maupun

terapi dari kondisi tersebut terbukti tidak dapat mencegah terjadinya persalinan preterm.

42

f. Infeksi traktus genitalia bagian bawah Infeksi chlamydia trachomatis nampaknya tidak berperan dalam proses persalinan preterm. Goepfert dkk (2002) angka kejadian pada pasien dengan atau tampa infeksi chlaydia atau trichomonas adalah sama. Ramsey dkk (2003) hapusan vagina dengan pengecatan gram pada trimester kedua yang menghasilkan peningkatan rasio polimorfonuclear dengan sel epitel adalah prediktif untuk terjadinya persalinan preterm sebelum minggu ke 35. Knudtson dkk (2003) wanita tidak hamil yang menderita endometritis kronis diluar kehamilan yang ditandai dengan sel plasma, resiko terjadinya persalinan preterm meningkat 2.5 kali lipat.30,34 g. Penyakit Periodontal Pasien hamil yang menderita periodontitis memiliki resiko mengalami persalinan preterm 7.5 kali lipat. Goepfert dkk (2003) Persalinan preterm sebelum usia kehamilan 32 minggu seringkali disertai dengan periodontitis berat. 4. Penatalaksanaan kelahian preterm : a. Rehidrasi dan tirah baring b. Kortikosteroid Diberikan untuk percepatan pematangan paru. Betamethasone 12 mg IM tiap 24 jam selama 48 jam. Dexamethasone 6 mg IM tiap 12 jam selama 48 jam. Efek optimal terjadi 24 jam setelah pemberian terakhir mencapai puncak dalam waktu 48 jam dan bertahan sampai 7 hari. Pemberian ulangan kortikosteroid tak berguna oleh karena dapat mengganggu perkembangan psikomotor janin. c. Tokolitik : Beta mimetik (ritodrine, terbutaline) Magnesium sulfat : Pemberian harus diawasi dengan ketat dengan pemeriksaan: reflek patela, frekuensi pernafasan, produksi urine. Harus tersedia antidotum calcium gluconat 10 ml dalam larutan 10% Indomethacine (Prostaglandine syntetase inhibitors) : Pemberian dapat peroral atau per rektal. Dosis 50-100 mg diikuti dengan pemberian

43

selama 24 jam yang tak melebihi 200 mg. Peck dan Lutheran (2003) pemberian Indomethacine selama 7 hari atau lebih pada kehamilan <33 minggu tidak meningkatkan resiko medis pada neonatus. Calcium channel blocker : Aktivitas miometrium berkaita langsung dengan kalsium bebas dalam sitoplasma dan penurunan kadar kalsium menyebabkan terhambatnya kontraksi uterus. King dkk (2003), menyatakan bahwa Nifedipine adalah tokolitik yang lebih aman dan lebih efektif dibandingkan beta-mimetik. Untuk maksud tokolitik, Nifedipine jangan digunakan bersama dengan Magnesium Sulfat oleh karena pemberian Nifedipine akan memperkuat efek blokade neuromuskuler yang dapat mengganggu fungsi jantung dan paru. Dosis Nifedipine : 20 mg peroral dilanjutkan dengan pemberian 1020mg p.o setiap 6 jam sampai kontraksi uterus hilang. Atosiban : Kompetitif antagonis dari kontraksi uterus akibat oksitosin. US FDA menolak penggunaan Atosiban dalam pencegahan persalinan prematur oleh karena efektivitas dan keamanan bagi janin atau neonatus meragukan. d. Antibiotika Terapi antibiotika pada kasus persalinan preterm diperkirakan oleh sebabesar ahli tidak memberikan manfaat dalam menghambat persalinan preterm. Pemberian antibiotika bermanfaat untuk mencegah infeksi GBS pada neonatus. Terapi pilihan adalah pemberian Penicilline atau Ampicilline. Clindamycin diberikan pada pasien yang alergi terhadap penicilline.

44

BAB III PEMBAHASAN

Endometriosis merupakan penyakit inflamasi kronik, dimana sel-sel endometrium ditemukan di luar cavum uteri. Dimana nyeri panggul dan infertilitas merupakan gejala utama dari penyakit ini. Pada jurnal ini dibahas adanya beberapa persamaan pemeran antara endometriosis dan kelahiran preterm, seperti mediator inflamasi, sitokin, dan kemokin. Sehingga diadakan penelitian untuk membuktikan adanya korelasi antara endometriosis dan risiko terjadinya kelahiran preterm pada wanita hamil. Hormon androgen dan glukokortikoid memainkan peran yang penting dalam fungsi endometrium (proliferasi, apoptosis, remodelling). Dan efek tersebut diregulasikan oleh ekspresi lokal dari enzim aromatase dan 11-Hydroxisteroid dehidrogenase (11-HSD) yang pada akhirnya memperbesar peranan dari enzimenzim lokal tersebut di dalam fungsi endometrium. Ketidakseimbangan endokrin yang diakibatkan hiperekspresi enzim aromatase dan 11-HSD menyebabkan disregulasi peristiwa imunitas lokal dan sebagai akibatnya terjadi reaksi inflamasi yang abnormal. Sehingga menyebabkan adanya hipo atau hiper-aktivasi mediator inflamasi yang mempengaruhi dinamika remodelling sel endometrium.

Hiperaktifitas dari jaringan inflamasi tersebut kemungkinan merupakan kunci utama dari perubahan endometrium yang merugikan (endometriosis, hiperplasia endometrium) dan juga hasil kehamilan yang merugikan (preeklampsia, kelahiran preterm, dan IUGR) Mendekati waktu persalinan, sitokin proinflamasi secara aktif melakukan remodelling serviks, melemahkan dan memecah kulit ketuban serta mengaktivasi kontraksi uterus, sehingga dapat terjadi pengeluaran janin dan juga plasenta. Secara khusus sitokin inflamasi terlibat dalam kontraktilitas miometrium (TNF- dan IL-1 mempunyai efek yang sama seperti oksitosin terhadap endometrium, mengingkatkan ekspresi COX-2 dan produksi PGE2 oleh sel-sel miometrium), sedangkan IL-6 meregulasi ekspresi reseptor oksitosin di sel-sel miometrium;

45

ruptur selaput ketuban (IL-1 meningkatkan kadar MMP-9, kolagenasi dan ekspresi prostaglandin serta penurunan kadar inhibitor jaringan yaitu MMP-2); pematangan serviks (sitokin meningkatkan produksi dari MMP-1, MMP-3, MMp8, MM-9, catepsin S, COX-2 dan PGE2). Hal diatas seharusnya terjadi pada saat kehamilan memasuki usia kehamilan aterm. Namun pada wanita hamil dengan endometriosis terjadi proses inflamasi kronik, dimana terjadi perubahan keseimbangan sitokin, yang menentukan pergeseran pada kaskade produksi sitokin inflamasi yang terlibat dalam peningkatan kontraktilitas uterus, pematangan serviks dan ruptur selaput ketuban yang terjadi pada aborsi spontan dan kelahiran preterm. Pada keadaan endometriosis juga terjadi, hipersekresi dari sitokin dan kemokin inflamasi; peningkatan regulasi COX-2 dan kadar prostaglandin; dan aktivasi MMP pada selaput ketuban, miometrium, serviks, dan pembuluh darah perifer, yang mengakibatkan pematangan serviks, peningkatan kontraksi uterus dan melemahnya selaput ketuban. Yang pada akhirnya akan berujung pada terjadinya peningkatan risiko persalinan sebelum usia kehamilan aterm. Beberapa mekanisme hormonal juga terlibat didalam kelahiran preterm yang dapat dihubungkan dengan endometriosis. Ketidakseimbangan antara estrogen dan progesteron adalah salah satunya. Hipersekresi dari estriol merupakan akibat dari peningkatan sekresi androgen fetal adrenal oleh adanya perubahan plasenta melalui enzim lokal aromatase. Wanita dengan kelahiran peterm memiliki sekresi serum yang tinggi serta rasio E3/E2 yang lebih tinggi. Penurunan PRB dan peningkatan ekspresi PRA juga merupakan bukti pada wanita dengan kelahiran preterm, mendukung adanya penurunan aktivitas

antikontraktilitas dari progesteron, sehingga akan timbul kontraksi myometrium sebelum usia kehamilan aterm. Kortisol dan hormon stress (CRH dan ACTH) juga terlibat di dalam kelahiran preterm. Aktivasi dari HPA axis merupakan peristiwa endokrin utama pada stress dan selama kehamilan kortisol di metabolisme menjadi kortison oleh 11-HSD plasenta, yang melindungi janin dari efek kortisol. Pada kelahiran preterm plasenta dan selaput ketuban memiliki ekspresi 11-HSD yang rendah sehingga memungkinkan adanya aktivasi peristiwa yang

46

berhubungan dengan stress. Peningkatan sekresi horman CRH plasenta merupakan bukti yang jelas pada kelahiran preterm, yang menunjukkan bahwa terdapat aktivasi awal dari plasenta oleh mekanisme stress. CRH dapat mengaktifkan sekresi prostaglandin, kontraktilitas uterus, vasodilatasi dan fungsi imun. Ketidakseimbangan pada mekanisme antara anti-inflamasi dan pro-

inflamasi pada uterus dan plasenta merupakan peristiwa patogen yang mungkin terjadi pada kelahiran preterm. Korelasi antara endometriosis dan kelahiran preterm ditunjukkan oleh beberapa penelitian retrospektif pada jurnal ini. Endometriosis pada kehamilan kemungkinan dapat dihubungkan dengan hasil kehamilan yang buruk. Preeklampsia, IUGR dan kalahiran preterm kemungkinan dapat dikorelasikan dengan endometriosis. Penilitian dari Skandinavia telah dilakukan terhadap sekelompok besar wanita dengan riwayat endometriosis. Wanita-wanita dengan riwayat

endometriosis memiliki resiko yang lebih tinggi mengalami kelahiran preterm, dimana keadaan inflamasi kronik endometriosis kemungkinan mengalami korelasi dengan kelahiran preterm. Pada penelitian retrospektif kohort, peningkatan resiko kelahiran preterm telah dilaporkan pada beberapa wanita dengan endometrioma yang menjalani ART (Assisted Reproductive Technology), yang menunjukkan bahwa

endometrium yang abnormal dan pembentukan desidua yang tidak baik dapat merubah proses pembentukan plasenta. Penelitian case control juga menunjukkan adanya korelasi anatara kelahiran preterm dan adenomiosis, begitu juga terhadap wanita dengan infertilitas yang bersifat idiopatik. Ekspresi endometrium yang tidak biasa dari neurohormon atau growth factor serta angiogenesis yang terganggu telah ditemukan dapat menentukan pembentukan plasenta dan fungsi desidua yang abnormal. Kesimpulannya, kondisi endometrium dapat menentukan kualitas

implantasi dan perkembangan plasenta serta mempengaruhi hasil dari kehamilan.

47

Sistem imunoendokrin sangat penting bagi fungsi endometrium yang normal, dimana hormon seks steroid, neurohormon, sitokin dan growth factor berkontribusi dalam proses remodelling endometrium dengan menginduksi perubahan di membran basal, angiogenesis dan jalur inflamasi. Di lain pihak, pada saat kehamilan, interaksi trofoblas-desidua dipengaruhi oleh suatu sistem imunoendokrin, yang meliputi pemeran yang sama (hormon seks steroid, neurohormon, sitokin dan growth factor) dan mungkin dapat mempengaruhi perkembangan kehamilan. Keadaan inflamasi yang berlebihan dapat berujung pada kekacauan jalur imunoendokrin endometrium yang pada akhirnya dapat menyebabkan endometriosis; pola ini kemungkinan dapat mempengaruhi interaksi desidua trofoblas dan mengaktivasi mekanisme yang dapat menyebabkan kelahiran preterm. Sehingga dengan mempertimbangkan kesehatan wanita, seorang pasien infertil dengan endometriosis harus lebih diawasi apabila dia hamil. Resiko kelahiran preterm pada wanita ini harus dipertimbangkan walaupun penelitian yang lebih jauh dibutuhkan untuk membuktikan kebenaran didalam aplikasi nyata.

48

BAB IV KESIMPULAN

1.

Endometriosis adalah penyakit inflamasi kronik yang mempengaruhi kesehatan wanita, dimana nyeri dan infertilitas merupakan gejala utama yang disebabkan oleh disfungsi hormonal atau gangguan imun yang menyebabkan kerusakan di endometrium.

2.

Terdapat mekanisme patofisiologi yang hampir sama antara endometriosis dan kelahiran preterm: hormon, sitokin, neurohormon dan growth factor berinteraksi dalam mempengaruhi sekresi prostaglandin dan ekstraseluler matriks yang mengaktifkan proses inflamasi di dalam membran plasenta dan endometrium.

3.

Molekul-molekul dan mekanisme yang sama dapat memberikan bukti bahwa kelahiran preterm adalah hasil yang sering terjadi pada pasien hamil dengan endometriosis.

4.

Keadaan inflamasi kronik pada penderita endometriosis di daerah panggul dan organ-organ di sekitarnya, dapat menginduksi kehamilan sehingga terjadi kelahiran preterm.

5.

Keadaan inflamasi kronik tersebut dapat mengakibatkan peningkatan kontraktilitas uterus, pematangan serviks dan ruptur selaput ketuban yang terjadi pada aborsi spontan dan kelahiran preterm.

6.

Kondisi

endometrium

dapat

menentukan

kualitas

implantasi

dan

perkembangan plasenta serta mempengaruhi hasil dari kehamilan, interaksi trofoblas-desidua dipengaruhi oleh suatu sistem imunoendokrin, keadaan inflamasi yang berlebihan dapat berujung pada kekacauan jalur

imunoendokrin endometrium yang pada akhirnya dapat menyebabkan kelahiran preterm.

49

DAFTAR PUSTAKA

1. 2.

BIOMOLEKULAR Prawirohardjo, S. 2007. Ilmu Kandungan. P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Hal 104 124, 338 - 345. Moore, Keith L. 2006. Clinically Oriented Anatomy. 5the d.Williams & Wilkins.Baltimore.

3.

4.

Winkjosastro, Hanifa, dkk. 2005. Tumor Ovarium Neoplatik Jinak, dalam Ilmu kebidanan, edisi keenam. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 347-366. Junquiera L.C., Carneiro J. 2003. Basic Histology, 10th ed. Lange, New York. Eroschenko V.P. 2005. diFiores Atlas of Histology, 10th ed. Lippincott Williams & Wilkins, Baltomore.

5.

6.

7.

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC

8.

Baziad A, Jacoeb TZ, Basalamah A, Rachman IA. Endometriosis. Dalam : Baziad A, Jacoeb TZ, Surjana EJ, Alkaff Z, editor. Endokrinologi Ginekologi. Kelompok Studi Endokrinologi Reproduksi Indonesia (KSERI), Edisi Ke-1, Jakarta 1993; 107-23.

9.

Prabowo, Raden P. Endometriosis. Dalam : Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editor. Ilmu Kandungan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Edisi Ke-2, Jakarta 2005; 314-27.

10.

Manuaba, Ida Bagus G. Endometriosis. Dalam : Manuaba, editor. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 2001; 526-32.

11.

Mounsey A, Wilgus A, Slawson DC. Diagnosis and Management of Endometriosis. Dalam : American Academy of Family Physician 2006, Vol. 74, No. 4; 594-602.

12.

Bulun SE. Mechanisms of Disease Endometriosis. Dalam : The New England Journal of Medicine 2009, Vol. 360, No. 3; 268-79.

50

13.

Olive DL, Pritts EA. Treatment Endometriosis. Dalam : Wood AJ, editor. The New England Journal of Medicine 2001, Vol. 345, No. 4; 266-75.

14.

Moore JG. Endometriosis dan Adenomiosis. Dalam : Christina Y, editor. Esensial Obstetri dan Ginekologi. Penerbit Buku Hipokrates, Edisi Ke-2, Jakarta 2001; 401-9.

15.

Taber B. Endometriosis. Dalam : Melfiawati, editor. Kapita Selekta Obstetri dan Ginekologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 1994; 200-5. Pernoll ML, 10th ed. Benson & Pernolls Handbook of Obstetrics & Gynecology. USA: McGraw-Hill; 2001.p.755-66.

16.

17.

Edmonds DK, 7th ed. Dewhursts Textbook of Obstetrics & Gynecology. London: Blackwell; 2007.p.430-9.

18.

Lewis V. Reproductive Endocrinology & Infertility. Texas: Landes; 2007.p.84-8.

19.

Wiknjosastro H, edisi kedua. Ilmu Kandungan. Jakarta: YBP-SP; 1999.p.314-27.

20.

Fortner KB eds, 3rd ed. The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.chap.34.

21.

DeCherney AH eds, 10th ed. Current Diagnostic & Treatment Obstetrics & Gynecology. USA: McGraw-Hill; 2007.chap.43.

22.

Hohenhaus MH. Endometriosis In: McGarry KA, Tong IL, 1st ed. The 5 Minute Consult clinical Companion to Womens Health. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.chap.40.

23.

Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kebidanan ed III, cet. VII, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 2005; 125, 180-2, 312-7.

24.

Rompas J. Pengelolaan Persalinan Prematur. Bagian/SMF Obstetri Ginekologi FK UNSRAT/ RSUP Manado. 2004.

25.

Dewi J, Rastini A. Fetal Fibronectin Sebagai Prediktor Partus Prematurus. Lab PK RSU Dr Saiful Anwar / FK UNBRAW Malang. 2007.

51

Anda mungkin juga menyukai