Anda di halaman 1dari 6

Pinky Saptandari, Lima Tingkat Pemberdayaan Perempuan, Masyarakat Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 2, April 1999, hh 33-38.

Lima Tingkat Pemberdayaan Perempuan


Pinky Saptandari

Kalau kita berbicara mengenai pemberdayaan perempuan, kita harus berangkat kepada sejarah mengapa perempuan ini kemudian menjadi suatu topik yang selalu banyak dibicarakan di dalam seminar-seminar. Kita akan berangkat kepada dasawarsa untuk perempuan tahun 1975 sampai dengan 1985 sebagai dasar pijak di mana hasil keputusan dari konferensi perempuan yang pertama di Mexico City telah mendorong PBB sebagai badan tertinggi di dunia untuk memasukka n urusan perempuan, tidak hanya masuk menjadi urusan komisi sosial dan kemanusiaan saja, tetapi didiskusikan pada komisi kerjasama dan pembangunan. Pada saat masuknya urusan perempuan ini menjadi agenda komisi kerjasama dan pembangunan itulah, maka perempuan mulai dianggap sebagai sosok yang mempunyai nilai ekonomi, walaupun itu pun nanti akan menjadi perdebatan banyak sekali, karena belum banyak diketahui dan diakui bagaimana karakter tipikal pekerjaan dan bagaimana kontribusinya dari perempuan ini di dalam pembangunan. Dalam dasawarsa tersebut akhirnya negara-negara yang menjadi anggota dan ikut serta di dalam pertemuan-pertemuan itu mempunyai satu keharusan untuk memberikan perhatian yang lebih kepada kaum perempuan. Dan setiap negara itu

diwajibkan untuk mempersiapkan laporan tentang status perempuan di negara masing masing, yang nantinya harus disampaikan ke dalam konferensi-konferensi internasional berikutnya. Kalau kita lihat bagaimana negara kita memberikan suatu perhatian yang cukup besar pada kaum perempuan dan sudah masuk di dalam GBHN, dan ada kementerian urusan wanita dan sebagainya, semata -mata bukan masalah kebijaan nasional semata, tetapi ada semacam desakan dari dunia internasional untuk melakukan hal itu. Di sisi lain juga merupakan dorongan dari perubahan dalam paradigma pembangunan internasional yang telah menuntut adanya pelibatan perempuan dalam pembangunan, dan melahirkan beberapa pendekatan-pendekatan perempuan di dalam strategi pembangunan. Ada beberapa pendekatan yang sebetulnya telah dilaksanakan di mana pada awalnya tekanannya adalah pada wanita WID, Woman in Development . Di mana pendekatanpendekatan yang lalu, pendekatan pertama kali adalah pendekatan kesejahteraan: bagaimana kesejahteraan itu ditingkatkan, wanita dianggap sebagai objek pembangunan. Kemudian pendekatan kesamaan. Kemudian ada pendekatan anti-kemiskinan, efisiensi, dan sebagainya, yang semuanya ini dianggap tidak mampu untuk mengatasi permasalahan permasalahan yang dihadapi oleh kaum perempuan itu sendiri. Sampai pada akhirnya
33

Pinky Saptandari, Lima Tingkat Pemberdayaan Perempuan, Masyarakat Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 2, April 1999, hh 33-38.

muncul pendekatan disebut dengan pemberdayaan.

mutakhir yang pendekatan

Pada pendekatan pemberdayaan ini sebenarnya diasumsikan bahwa kalau ingin memperbaiki posisi perempuan, maka dibutuhkan suatu upaya untuk meningkatkan kekuasaannya untuk tawar-menawar dan untuk merubah sendiri nasibnya. Apa artinya? Artinya, pendekatan ini menghendaki pelibatan kaum perempuan tidak saja sebagai objek tetapi juga sebagai pelaku aktif, sebagai orang yang ikut merumuskan sendiri apa yang menjadi kebutuhan -kebutuhan mereka. Sementara pada pendekatan pendekatan yang lalu selalu tidak pernah dipertanyakan apa yang menjadi kebutuhan kaum perempuan, tetapi diberikan sesuatu sifatnya given. Sehingga sering kali muncul suatu program-program yang pada dasarnya memapankan, justru memapankan peran peran domestiknya yang sering kali terjebak dalam mitos-mitos dari feminitas yang dilawankan pada konsep -konsep maskulinitas dari kaum laki -laki. Pendekatan ini juga meletakkan upaya penghapusan subordinasi perempuan sebagai pusat perhatian. Ini berarti ada tuntutan untuk kesamaan hak ekonomi, hak-hak resmi yang tidak diskriminatif, dan hak -hak reproduksi dimasukkan di dalam agenda -agenda pembicaraan. Sebenarnya, mengapa ada suatu kebutuhan suatu pendekatan yang spesifik untuk memperbaiki nasib perempuan? Apa sedemikian terpuruknya kaum perempuan kita ini, sehingga dibutuhkan suatu perubahan yang mendasar, baik dari aspek ideologi maupun material? Di dalam perbincangan-perbincangan tingkat
34

internasional maupun nasional, di dalam forum-forum diskusi resmi maupun kelompok-kelompok marjinal, ada pandangan yang sangat kuat bahwa di satu sisi ideologi yang dominan itu, yang kemudian memunculkan ideolgi gender, ini dianggap sebagai sesuatu hal yang merupakan konsensus, sesuatu yang dikonstr uksikan. Masyarakat sendiri yang menginginkan, yang dipelihara secara turun temurun dan dijadikan panutan setiap warganya. Apakah demikian? Pandangan ini kemudian banyak diperdebatkan baik di dalam literatur ilmu sosial maupun di dalam kajian maupun studi-studi gender. Di satu sisi, ideologi gender juga dilihat sebagai suatu upaya dominasi dari kelompok-kelompok tertentu, dari kelompok kelompok yang dominan yang menginginkan bahwa ideologi mereka ini akan tetap berkembang, diakui, dan dianggap sebagai suatu hal yang merupakan dasar panutan dalam bertingkah laku di dalam masyarakat. Mekanisme untuk menjaga stabilitas nilai-nilai dominan ini biasanya dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui mekanisme sosialisasi dan mekanisme pengawasan sosial, yang dengan demikian ideologi ini akan terbentuk, dilestarikan, dan menjadi hegemoni. Sebenarnya siapa yang paling mempunyai kekuasaan untuk melakukan hegemoni dan melestarikan ideologi yang dominan tadi? Di sini sebenarnya negara adalah pemegang peranan utama di dalam mengarahkan dan mengendalikan bentuk perdebatan atau pertentangan. Beberapa hal yang menarik pada setiap pranata. Jadi, dominasi atau kemampuan negara untuk mengontrol pranata -pranata atau kelompok sosial yang ada pada setiap negara menunjukkan model yang tidak sama. Demikian pula derajat intervensi dari negara

Pinky Saptandari, Lima Tingkat Pemberdayaan Perempuan, Masyarakat Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 2, April 1999, hh 33-38.

tidaklah sama untuk berpranata yang berbeda-beda. Sebagai contoh, di dalam masalah pemberitaan di suratkabar saja, pada saat tertentu kita melihat bahwa berita -berita tentang seksualitas, berita-berita tentang pelecehan seksual, ini demikian maraknya. Bahkan diperkuat lagi, bukan karena beritanya itu ada, tapi justru lebih dimarakkan oleh pemberitaan yang begitu menyebar luas. Di sini yang dipertanyakan: mengapa kontrol pemerintah terhadap pemberitaan yang berbau seksualitas itu reda, namun kontrol terhadap pemberitaan tidak ada? Bagaimanapun hegemoni negara telah merasuk ke hampir setiap elemen kehidupan masyarakat. Kita melihat sebagai contoh mobilisasi massa untuk kepentingan negara, seringkali memperlihatkan masyarakat tanpa daya menghadapi hegemoni negara. Kekuatan sosial politik seperti partai-partai politik, organisasi sosial, LSM yang seharusnya merupakan suatu kekuatan kontrol dan penyeimbang, nampaknya juga tidak dapat menunjukkan eksistensinya sebagai suatu kekuatan yang melakukan kontrol dan penyeimbang. Bahkan ketika seorang Megawati muncul di permukaan maka berbagai cara dilakukan agar eksistensi dari seorang Megawati itu tidak muncul. Kemudian kita juga bisa melihat bagaimana LSM pun juga tidak bisa independen untuk bisa melakukan fungsi kontrol dan penyeimbang itu di dalam tataran masyarakat kita. Kecenderungan itu juga tidak hanya muncul di dalam masyarakat umum yang di mana kekuasaan dan hegemoni dari negara itu begitu kuat, bahkan di dalam perguruan tinggi sendiri

pun kita melihat bagaimana intervensi pemerintah itu begitu besarnya. Perguruan tinggi Ini hal yang di satu sisi kita sebagai suatu komunitas intelektual yang seharusnya independen dan seharusnya bisa melakukan fungsi kontrol sosial, nampaknya juga tidak bisa memainkan peranannya dengan baik. Kalau kita lihat ada beberapa konsep spesifik bagi studi jender yang digunakan untuk menganalisis perubahan -perubahan sosial, seperti adalah marginalisasi, feminisasi dan per-ibu-rumahtanggaan. Pada umumnya marginalisasi perempuan ini seringkali dipahami secara sederhana sebagai proses penyingkiran dari ekonomi, dari hak hak politik, dari hak-haknya di dalam kesehatan reproduksi dan dan lain -lain. Pembangunan sendiri pada awaln ya memang seringkali dipertanyakan. Ester Boserup dan Anita Anan, misalnya, menyatakan bahwa sebetulnya pembangunan lebih banyak merugikan kaum perempuan daripada menguntungkan. Dalam rangka inilah sebetulnya pembangunan perempuan itu diharapkan merupakan suatu upaya untuk mengatasi hambatan guna mencapai hubungan jender laki-perempuan yang lebih selaras. Dalam konteks inilah sebenarnya pembangunan mempunyai makna sebagai pemberdayaan. Kata pemberdayaan sendiri tentunya harus memberdayakan kaum perempuan , memberdayakan bukan memperdayai. Pendekatan pemberdayaan itu sendiri sebetulnya sangat positif, lahir dari ketidakpuasan terhadap semua pendekatan yang ada, yang didasarkan pada asumsi bahwa memperbaiki posisi perempuan harus berpusat pada upaya-upaya penghapusan subordinasi perempuan. Ada lima tingkat pemerataan di dalam kerangka pemberdayaan perempuan. Yang pertama adalah pemerataan tingkat kesejahteraan. Kalau pada awal, kelompok ini ingin diberdayakan tetapi tidak punya aset
35

Pinky Saptandari, Lima Tingkat Pemberdayaan Perempuan, Masyarakat Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 2, April 1999, hh 33-38.

terhadap ekonomi, tidak punya peluang pada upaya meningkatkan kemampuannya di dalam perekonomian, tidak sejahtera, maka tentu tidak mungkin kita bisa mengangkat mereka dari penderitaannya. Kedua, pemerataan akses, yaitu meningkatkan kemampuan mereka masuk ke sektor-sektor untuk mendapatkan informasi, mendapatkan kesempatan bekerja, mendapatkan kesempatan pendidikan yang baik yang sama kedudukannya dengan kaum laki laki. Kalau akses itu sudah diperoleh, maka langkah yang berikutnya adalah bagaimana meningkatkan penyadaran. Ketiga, pemerataan kesadaran. Kalau kesadaran itu muncul, maka diharapkan mereka itu bisa memperbaiki sendiri apa yang menjadi kebutuhan kebutuhan dari jender perempuan ini. Setelah penyadaran diperoleh, maka tingkat yang berikutnya adalah peningkatan atau pemerataan partisipasi aktif. Keempat, pemerataan partisipasi. Perempuan tidak lagi dianggap sebagai sasaran atau objek dari pembangunan, tetapi ikut serta melakukan perencanaan, ikut serta melaksanakan dan ikut serta mengevaluasi program -program yang ditimpakan padanya. Kelima, pemerataan penguasaan, di mana partisipasi perempuan pada tingkat keputusan ini tentunya akan memberikan dampak pada pemberdayaan dan apabila partisipasi ini digunakan maka akses mereka terhadap sumber sumber ekonomi akan menjadi leboh b aik serta menjamin pemerataan terhadap akses sumber dan pembagian manfaat. Kontrol atau penguasaan perempuan terhadap pengambilan keputusan ini seringkali mengalami hambatan bukan karena masalah-masalah yang berkaitan
36

dengan ketidakmampuan perempuan itu mengambil keputusan, tetapi hegemoni budaya seringkali menempatkan perempuan bukan sebagai pengambil keputusan. Ini dibuktikan pada AKI (Angka Kematian Ibu) Indonesia yang paling tinggi di antara negara negara ASEAN. Tingginya angka kematian ibu ini bukan disebabkan oleh kurangnya fasilitas kesehatan atau oleh kurangnya kesadaran mereka tentang perlunya memeriksakan diri dan sebagainya, tetapi oleh masalah kontrol atau masalah pengambilan keputusan. Ada suatu kasus yang dikemukakan oleh seorang teman dokter d ari Dinas Kesehatan tentang suatu kejadian di Pacitan, di Jawa Timur. Seorang ibu yang sudah mengalami pendarahan yang sudah parah kondisinya kemudian tidak segera dibawa ke rumah sakit karena si pengambil keputusan, yaitu suaminya, tidak ada di tempat dan tidak ada seorang pun yang berani mengambil keputusan tanpa seijin sang suami. Pada saat suaminya datang, kondisi pendarahannya sudah demikian parah, dan kemudian dibawa ke rumah sakit. Belum sampai di rumah sakit si ibu telah meninggal dunia. Inilah seba bnya mengapa pemerataan kontrol untuk mengambil keputusan sangat penting sekali diterapkan di dalam berbagai bidang terutama bidang kesehatan dan keluarga berencana. Masalahnya, apakah selalu perbedaan jender inilah yang menjadi penyebab masalah-masalah subordinasi kaum perempuan? Tidak selalu demikian. Perbedaan jender ini sebenarnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan jender. Manifestasi dari ketidakadilan jender antara lain dalam bentuk marjinalisasi tadi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi, stereotipe dan diskriminasi, kekerasan, bekerja lebih panjang dari waktu yang dilakukan oleh kaum pria dan sebagainya.

Pinky Saptandari, Lima Tingkat Pemberdayaan Perempuan, Masyarakat Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 2, April 1999, hh 33-38.

Salah satu upaya untuk memperbaiki kondisi ini adalah pemberdayaan melalui pengorganisasian. Beberapa ahli studi pe rempuan menyatakan bahwa salah satu upaya untuk meningkatkan posisi bargaining kaum perempuan adalah melalui pengorganisasian, yang dianggap sebagai langkah yang paling konkrit untuk dapat memberdayakan perempuan itu secara lebih baik. Tentu saja tidak sem ua organisasi perempuan mempunyai dampak pada upaya pemberdayaan. Sean dan Brown menggolongkan bahwa organisasi perempuan sebagai organisasi feminis bila organisasi tersebut non-hirarkis, partisipatiif, bila anggotanya mempunyai kemampuan dan kemauan untuk membagi kekuasaan di antara mereka, dan bila organisasi tersebut bertujuan untuk mencapai kesamaan hak dan penghapusan sub ordinasi. Dengan kriteria ini pasti kita semua tahu apakah cukup banyak organisasi perempuan yang dapat disebut dengan organisasi feminis yang mempunyai dampak pada pemberdayaan perempuan. Namun apa pun label yang melekat, organisasi perempuan tentunya mempunyai suatu upaya yang positif untuk mengatasi ketimpangan ketimpangan jender. Pada tingkat internasional ada beberapa organisasi p erempuan yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pemberdayaan. Sebagai contoh India. Mengapa India? India ini memang suatu negara di mana hegemoni budaya patriarki begitu kuat sehingga di sana muncul LSM-LSM yang bertujuan untuk meningkatkan posisi bargaining kaum perempuan melalui pengorganisasian. Salah satunya itu adalah SEWA, suatu

perkumpulan perempuan swakarya di India, contoh salah satu organisasi yang mampu memberdayakan kaum perempuan. Bagaimana dengan organisasi kaum perempuan di Indonesia? Kita punya PKK. Apakah benar PKK itu mempunyai suatu kemampuan untuk melakukan pemberdayaan perempuan. Di satu sisi, kuantitas, kelebihan dari PKK adalah karena ia bisa kita temui di seluruh pelosok negara kita, sehingga merupakan suatu kekuatan yang luar bia sa memang dari kaum perempuan, sebagai suatu model organisasi yang secara kuantitas dan kualitas kegiatannya memang mampu menyentuh masyarakat banyak. Hanya saja, apakah sukses PKK ini merupakan suatu ungkapan atau suatu manifestasi dari pemberdayaan perem puan? Siapa yang diuntungkan sebenarnya di dalam kegiatan-kegiatan PKK? Apakah memang ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan kebutuhan yang sifatnya praktis, sesaat atau kegiatan-kegiatan melalui organisasi organisasi itu mempunyai suatu implikasi, sutau kebutuhan yang strategis? Pada dasarnya saya melihat bahwa apa yang dilakukan selama ini di dalam pembangunan di negara kita yang tercinta ini, nampaknya apa yang disebut dengan pemberdayaan perempuan, pemberdayaan masyarakat, ini masih pada tingkat yang semu, dalam arti masih berhenti pada retorika-retorika saja, sebagai suatu pemanis di dalam pidato-pidato resmi, karena sampai saat ini bentuk konkrit, implementasi dari pemberdayaan perempuan itu belum nampak, belum kita jumpai. Untuk sementara ini nampaknya p ara pemegang kekuasaan sudah puas dengan sudah dicanangkan. Dengan pencanangan gerakan kemitrasejajaran, dengan pencanangan gerakan sayang ibu, dan masih sederet lagi pencanangan -pencanangan karena
37

Pinky Saptandari, Lima Tingkat Pemberdayaan Perempuan, Masyarakat Kebudayaan dan Politik, Th XII, No 2, April 1999, hh 33-38.

di negara kita memang pencanangan adalah bagian dari budaya seremonial kita.Bagaimana program keluarga berencana di Indonesia? Apakah sukses Indonesia dalam keluarga berencana adalah suksesnya Soeharto atau Harjono Soeyono atau suksesnya kaum

perempuan? Di mana sebenarnya posisi kaum perempuan di dalam program program pemerintah itu? Apakah memang sudah merupakan pelaku utama, apakah merupakan suatu upaya pemberdayaan, atau memperdayai?*****

38

Anda mungkin juga menyukai