Anda di halaman 1dari 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Nyeri 1.1.2 Definisi Nyeri Kelompok studi nyeri Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdosi), pada tahun 2000, telah menerjemahkan definisi nyeri dari Internasional Association for the study of pain (IASP) adalah nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Pada tahun 1968, Mc Caffery mendefinisikan nyeri sebagai whatever the experiencing person says it is, existing whenever s/he says it does. Definisi ini mengutamakan nyeri sebagai pengalaman subjektif tanpa adanya ukuran yang objektif, dimana pendapat pasien adalah indikator utama dari ada atau tidaknya nyeri serta intensitasnya. Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman baik ringan maupun berat yang menjadi alasan utama pasien mencari pertolongan medis. Menurut Internasional Association for study of pain nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang di gambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.

1.1.3 Klasifikasi Nyeri Pengalaman sensorik dalam nyeri bersifat multidimensi dan dengan berbagai tingkat variasi. Berdasarkan aspek intensitas, nyeri dapat katagorikan atas nyeri ringan, sedang dan berat, berdasarkan lamanya nyeri dapat dikatagorikan atas transient, (sementara), intermitten (berulang), dan persistent (menetap), berdasarkan kualitas nyeri dapat dikategorikan atas tajam, tumpul dan panas, berdasarkan waktu nyeri dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut umumnya terjadi mendadak akibat trauma atau inflamasi, nyeri akut biasanya berlangsung beberapa detik hingga kurang dari 3 bulan. Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermitten yang menetap sepanjang satu periode waktu, berlangsung lama dengan intesitas bervariasi dan biasanya berlangsung lebih dari 3 bulan. Nyeri kronis sering sulit diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan penyebabnya. Nyeri kronis sering menyebabkan pasien menjadi depresi akibat penyakitnya.

Nyeri akut dan nyeri kronik adalah 2 tipe nyeri yang berbeda cukup signifikan, nyeri kronik bukan sekedar perluasan dari nyeri akut, nyeri yang mereda setelah setelah intervesi atau penyembuhan disebut nyeri akut (sylvia & lorraine,2005).

1.1.4 Nyeri Pasca Operasi

Nyeri pasca operasi merupakan keadaan yang sudah terduga sebelumnya akibat trauma dan proses inflamasi. Nyeri pasca operasi sangat bersifat individual, pengalaman pasien terhadap derajat atau intesitas nyeri sangat bervariasi. Nyeri pasca operasi memicu respon stress yaitu respon neuroendokrin yang berpengaruh pada mortalitas dan berbagai morbiditas komplikasi pasca operasi. Nyeri pasca operasi bersifat self limiting dan biasanya tidak lebih dari 7 hari , terapi adekuat yang diterima pasien pasca operasi dapat mengurangi komplikasi pasca operasi.

Persepsi terhadap nyeri bersifat subyektif dimana toleransi terhadap nyeri setiap individu berbeda. Persepsi terhadap nyeri tidak bergantung hanya pada derajat kerusakan jaringan tetapi juga dipengaruhi oleh latang belakang, pengalaman terhadap nyeri sebelumnya dan rasa takut. Kualitas, intesitas dan durasi nyeri berkaitan dengan sifat prosedur bedah. Setiap trauma bedah, termaksuk bedah menyebabkan kerusakan jaringan. Zat-zat yang menimbulkan nyeri yang dibebaskan kedalam jaringan yang cedera menurunkan ambang nyeri. Insisi abdomen umumnya menyebabkan nyeri pasca operasiyang lebih besar karena adanya gerakan nafas, spasme otot disekitar daerah cedera mungkin ikut menimbulkan nyeri (sylvia & lorraine, 2005). Terdapat suatu rangkaian proses elektrofisiologi antara kerusakan jaringan sampai dirasakan persepsi nyeri, yang disebut Nonsisepsi. Mekanisme nonsisepsi adalah proses penyampaian informasi adanya stimulasi yang timbil akibat terjadinya cedera jaringan dari ferifer ke sistem sraf pusat yang dimana sensasi nyerinya tumpul dan difus. Mekanisme ini melibatkan 4 proses yaitu : 1. Proses Tranduksi merupakan proses dimana rangsang nyeri akan menimbulkan sup sensititasi dan akan mengaktifasikan reseptor nyeri. 2. Prosse Transmisi, merupakan penyaluran implus saraf sensorik yang dilakukan oleh serabut A delta dab serabut C tak bermielin dari ferufer ke medula spinalis , kemudian implus dilanjutkan melalui traktus spinotalamikus ke thalamus, selanjutnya implus akan disalurkan ke daerah somatosensorikdi kortejs serebri.

3. Prose modulasi, terjadi pada sitem saraf sentral ketika aktifasi nyeri dapat dihambat oleh analgesi endogen seperti endorphin, sistem inhibisi sentral serotonin dan noradrenalin, dan aktifasi serabut A beta. 4. Proses persepsi, merupakan hasil akhir proses interaksi yang komplek, dimulai dari poses transduksi, trnsmisi dan modulasi sepanjang aktifasi sensorik hingga area somatosensorik di korteks serebri sehingga menghasilkan suatu perasaan subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

Gambar 1. Mekanisme Nonsisepsi

2.3 Visual analog scale (VAS) Visual analog scale (VAS) adalah alat ukur intesitas nyeri berupa garis horizontal yang mewakili intesitas nyeri dengan pendekripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberikan pasien kemudahan dan kebebasan penuh untuk mengidentifikasikan keparahan nyeri yang dirasakan. VAS sangat mudah digunakan, padien hanya diminta untuk memberikan tanda pada garis tersebut sesuai dengan intesitas nyeri yang ia rasakan. Skor VAS ditentukan dengan mengukur jarak dari ujung paling kiri sampai tanda yang diberikan oleh pasien. 1617. VAS merupakan alat ukuryang lebih sensitif karena psien dapat mengidentifikaiskan setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau

satu angka. Skala nyri yang digunakan harus dapat mempermudah pasien sehingga tidak menyebabkan kesulitan pada saat pasien melengkapinya. Beberapa studi sebelumnya menunjukkan bahwa VAS merupakan alat ukur yang valid dan reliable pada pengukuran intesitas nyeri baik akut maupun kronik, selain itu VAS juga dapat mengevaluasi perubahan kondisi pasien16. Pemeriksaan VAS nyeri bersifat sangat subjektif. Nilai VAS 0- <4 (nyeri ringan), 4- < 7 (nyeri sedang ) dan 7- 10 (nyeri berat).

Gambar. Skala Intesitas Nyeri

2.4. Penatalaksanaan nyeri Tehnik anastesi baik general anestesi maupun regional anstesi, sangat berbeda dari segi pemberian obat-obatan analgetik pasca bedah. Pada general anastesi 5 % pasien bedah tidak memerlukan analgetik. Pengelolaan nyeri pasca bedah dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Prophilaktik Incidance, derajat dan lamanya nyeri pasca bedah dapat dengan persiapan operasi dengan baik dan perawatan pasca bedah optimal. .2. Terapi Aktif Penanggulangan nyeri pasca bedah dapat dikurangi partial atau total (tanpa nyeri) dengan cara-cara sebagai berikut : Terapi farmakologi Terapi analgetik seperti NSAID/ paracetamol opiod

Terapi analgetik adjuvant, seperti antidepresan, antikolvusan

2.4.1 Terapi Farmakologi Terapi secara farmakologi pada nyeri inflamasi yang utama adalah OAINS, COX-2 inhibitor (coxib), analgetika opioid, dan analgetika adjuvan. Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri akut, di perlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Prinsip pengobatan nyeri akut dan berat ( nilai Visual Analog Scale = VAS 7-10) yaitu pemberian obat yang efek analgetiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal. Analgetik Opioid Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memilikisifat-sifat seperti opium atau morfin. Opioid saat ini adalah analgetik paling kuat yang tersedia dan digunakan dalam penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat. Analgetik opioid efektif dalam penanganan nyeri nonsiseptik maupun neuropatik. Morfin adalah satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat dan masih menjadi standar pembanding untuk menilai obat analgetik lain. Berbeda dengan OAINS yang bekerja di ferifer, morfin ,menimbulkan efek analgetiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas sejak penemuan reseptorreseptor opioid endogen di sistem limbic, thalamus, PAG, substansia gelatinosa kornu dorsalis dan usus. Opioid eksogen seperti morfin menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid endogen (endorphinenkefalin), yaitu morfin memiliki efek agonis ( meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat reseptor opioid di nucleus modulasi nyeri di batang otak, morfin menimbulkan efek pada sistem decendent yang menghambat nyeri. (17,18,20, 21,20). Obat-obatan golongan opioid memiliki efek samping yang sangat mirip, termaksuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi dan konstipasi. Selain itu, semua opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan, dan ketagihan (adiksi). Obat opioid setelah bergabung dengan reseptor dalam susunan saraf pusat dan bagian lain dari tubuh akan menimbulkan khasiat analgesik, kontraksi otot polos, depresi pernafasan dan lain-lain. a. Opioid Intra Muskular Cara ini adalah cara yang paling sering dipakai, walaupun sering berhasil mencapai efek analgesia yang diinginkan karena pemberian intramuskular (im), absorpsinya tidak sempurna, terutama pada pasien dengan perfusi perifer yang buruk, kaena absorpsi melalui otot relatif lambat, ,maka harus diperhatikan kapan anlgesia dibutuhkan dan kapan pemberian ulangan harus disuntik . b. Opioid Intravena Kontinyu Walaupun pemberianya kurang menyenangkan bila dibandingkan dengan pemberian IM cara ini memiliki sejuml;ah keunggulan, pada umumnya diberikan sejumlah dosis tertentu (infus dipercepat) untuk mendapatkan kosentrasi efektif analgesia, kemudian dilanjutkan dengan infus yang lambat dengan alat yang akurat seprti pompa infuse.

c. Opioid oral Opioid oral dapat di berikan pada pasien yang dapat menelan. Morfinsulfat dapat memberikan analgesia yang adekuat selama 6-8 jam.

2.4.2 Terapi non Farmakologis TENS (Transcutancus Electrical nerve stimulation) dilaporkan bahwa cara ini dapat menghilangkan nyeri psca beda laparotomy, thoratocomy maupunlaminactomy namun beberapa penelitian mengungkapkan bahwa TENS tidak memperbaiki faal paru pasca bedah., akan tetapi TENS dapat dipakai sebagai cara alternatif untuk mengurangi kebutuhan narkotik Metode non farmakologi untuk mngendalikan nyeri dapat dibagi menjadi dua kelompok : Terapi dan modalitas fisik serta srategi kofnitif-perilaku. Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup beragam bentuk stimulasi kulit ( pijat, stimulasi saraf dengan listrik trnskutis, akupuntur , aplikasi panas atau dingin, olahraga). Sedangkan strategi kognitif prilaku bermanfaat dalam mengubah persepsi pasien terhadap nyeri dan memberikan pasien perasaan yang lebih mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi ini mencangkup relaksasi, penciptaan khayalan (imagery), hypnosis dan biofeedback. (22)

Anda mungkin juga menyukai