Anda di halaman 1dari 28

CASE REPORT SESSION (CRS)

Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) SMF Ilmu Kesehatan Anak

Disusun oleh: Agli Adhitya Anugrah P Partisipan: Moh Rizki Dwikane Muhammad Amri Kautsar Erni Maryam Sutisna Annisa Febrieza Dzulkarnaen Vivi Herlianty Mamonto 12100112016 12100112028 12100112034 12100112054 12100110057 12100112051

Preseptor: Tito Gunantra, dr., Sp A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG FAKULTAS KEDOKTERAN RSUD AL IHSAN BANDUNG 2012

BAB I KETERANGAN UMUM PASIEN

Identitas Pasien Nama Jenis Kelamin Alamat Umur Tanggal lahir Anak ke Tanggal Masuk Tanggal pemeriksaan Ruang Perawatan : An. R : laki-laki` : Kp Pasir gede 04/13 banjaran : 5 tahun : 7 November 2007 : 2 dari 2 bersaudara : 03 November 2012 : 6-9 november 2012 : Lukmanul Hakim

Identitas Orang Tua Nama Ibu Umur Pekerjaan Ibu Pendidikan Nama ayah Umur Pekerjaan Pendidikan : Ny. E : 34 tahun : Buruh : SD : Tn.X : 38 tahun : Tidak diketahui : SMP

KASUS PASIEN

Anamnesis Heteronamnesa (anamnesa kepada ibu pasien) Keluhan Utama :Tonjolan pada tulang belakang

Keluhan Penyerta : Pasien mengalami penonjolan sejak berusia 2 tahun. Penonjolan terdapat pada tulang belakang bagian thorakal. Penonjolan lama kelamaan membesar. Selama terjadi penonjolan terdapat perubahan bentuk dari dada dan tulang belakang. Ibu pasien mengatakan bahwa terdapat kesulitan ketika bergerak dan juga kesulitan ketika pasien duduk. Pasien sering terjatuh ketika sedang berjalan Sebelumnya pasien mengalami batuk berdahak yang berulang. Batuk mulai sering terjadi ketika pasien berusia kurang dari 2 tahun. Batuk disertai juga dengan demam yang terus menerus. Demam meningkat pada malam hari dan menurun pada pagi hari. Orang tua pasien tidak pernah mengukur demam dengan termometer. Batuk terjadi setiap 1 bulan sekali dengan durasi sekitar 3-4 hari. Pasien juga mengalami keringat pada malam hari. Pasien mengalami kesulitan dalam peningkatan berat badan dan juga nafsu makan yang menurun. Pasien juga mengalami sesak nafas ketika sedang batuk dan ketika sedang bermain. Sesak nafas akan hilang ketika pasien beristirahat. Sesak nafas timbul ketika telah terjadi penonjolan pada tulang belakang. Tidak ada gangguan dalam buang air besar, tidak ada gangguan pada saat buang air kecil. Ketika sesak juga tidak terdapat kebiruan pada alat gerak dan mulut pasien. Pasien juga tidak pernah mengalami penurunan kesadaran. Pasien tidak pernah mengalami kejang. Orang tua pasien hanya mengobati anaknya ke bidan dan puskesmas setempat. Puskesmas hanya memberikan obat untuk selama 3-4 hari. Pada saat 1 hari sebelum masuk rumah sakit orang tua pasien akhirnya diberitahu untuk berobat ke rumah sakit oleh puskesmas. Pasien tinggal dengan kakeknya yang sering mengalami batuk berulang. Ibu pasien menyangkal adanya keterlambatan dalam perkembangan anaknya.

Riwayat penyakit keluarga Anggota keluarga (kakek pasien) yang memiliki riwayat batuk yang lama. Kakek pasien tidak pernah diobati. Riwayat Kehamilan Ibu pasien tidak melakukan perawatan prenatal. Saat hamil ibu pasien tidak memiliki penyakit darah tinggi. Riwayat kejang dan penurunan kesadaran pada saat hamil tidak ada. Tidak terdapat riwayat di rawat dirumah sakit ataupun berobat ketika sedang hamil Riwayat Persalinan Bayi laki-laki lahir tanggal 7 november 2007 dari seorang ibu G2P2A0, dengan usia kehamilan 9 bulan, bayi lahir spontan, letak kepala, ditolong oleh paraji. Bayi lahir dengan berat badan 3500 gram, panjang badan dan lingkar kepala bayi ibu pasien tidak ingat dan bayi lahir langsung menangis. Riwayat proses persalinan lama tidak ada dan riwayat ketuban pecah sebelum waktunya disangkal oleh ibu pasien. Riwayat penyulit selama persalinan tidak ada. Tidak di suntik vitamin K setelah bayi lahir. Asupan makanan: 0-6 bulan 6 bulan-1 tahun 1tahun-3 tahun : ASI ekslusif : ASI + Susu Formula : ASI+Bubur nasi+susu formula

3 tahun-sekarang : orang tua pasien mengaku memberikan makan 4 sehat 5 sempurna

Riwayat imunisasi Imunisasi lengkap BCG (scar pada lengan kanan) DPT 3x Polio 3x

Riwayat perkembangan Pasien dapat berjalan pada usia sekitar 12 bulan. Pasien sudah dapat berbicara saat usia 12 bulan. Namun terdapat keterlambatan dalam aspek berbicara. Berbicara belum lancer dan hanya bisa 2-4 kata. Lingkungan Pasien tinggal bersama kakak kandungnya, ibunya, dan kakeknya. Rumahnya dekat dengan sutet. Ventilasi dikatakan oleh ibu pasien baik.

PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 6 november 2012) Keadaan umum: compos mentis, Tampak sakit sedang Tanda vital T:t N : 120 x/mnt R : 46 x/mnt irregular S : 37 0 C Antropometri : BB : 9 kg PB : 81 cm LK : 44 cm LLA : 10 cm Status gizi : BB/U : -3 SD (KEP III) TB/U : -3 SD (KEP III) LK/U : -3 SD Kepala Bentuk Rambut Fontanel Mata Telinga : simetris : halus, tidak mudah rontok : sudah tertutup : konjungtiva anemis, sklera nonikterik, reflex pupil (+) : bentuk dan letak normal, sekret (-/-)

Hidung terpasang NGT Mulut Tonsilofaringitis

: bentuk normal, deviasi (-/-), sekret (-/-), PCH (-/-),

: membrane mukosa sedikit kering, hiperemis (-) : tidak terdapat kemerahn pada faring dan tidak terdapat

pembesaran pada tonsil Leher KGB terdapat pembesaran yang multiple berdiameter 1 cm dan mobile Retraksi suprasternal (-) JVP sulit ditentukan Toraks : Bentuk : pigeon chest (+), nafas simetris Retraksi intercostal (+) Perkusi : sonor Cor : Perkusi : batas jantung normal BJ murni reguler, murmur (-), gallop (-) Pulmo : Kanan Depan : Vocal Fremitus Wheezing Stridor Ronchi Slam Belakang: Vocal Fremitus Wheezing Ronchi Stridor Kiri

Abdomen Distensi Abdomen (-) bentuk datar, massa (-), ascites (-), hepatosplenomegali (-) BU : + (Normal) Anogenital Tidak Ada Kelainan

VERTEBRA terdapat penonjolan pada T2-T4, gibus (+)

Ekstremitas Atas dan Bawah Tidak ada kebiruan di ujung kuku dan kulit Tampak kaku Akral hangat CRT < 2

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS Rangsang meningeal kaku kuduk (-) Brudzinki I/II/III (-) Kernig sign (-) Motorik Sensorik kurang baik baik

Saraf Kranial : Terlihat baik Refleks fisiologis : Bicep KPR :+ +/++ : ++/++

Refleks patologis : Babinski : -/-

Chaddock :

: -/-

Vegetatif

Buang air Besar (Normal), Buang air kecil (normal)

Usulan Pemeriksaan
Echocardiography X-ray tulang belakang Darah rutin Morfologi darah tepi Chest X-ray Diff count Elektrolit Mantoux test

PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah Rutin Hb Leukosit Eritrosit Hematokrit Trombosit : 11,8 g/dl : 8900 sel/L : 4,77 juta/ L : 34,7% : 509000 sel/L

Hitung jenis leukosit Basofil Eosinofil Batang Segmen Limfosit Monosit Indeks MCV : 72,7 fl :0 :0 :0 : 63 : 26 : 11

MCH MCHC

: 24,7 pg :34,0 %

Morfologi darah tepi Eritrosit Lekosit Trombosit Kesan Lab inflamasi PPD (+) : normokrom normositer, normoblas (-) : Granula toksik (-) : Tersebar, jumlah cukup, kelompok trombosit cukup : suspek anemi ec penyakit kronis/ sekunder dengan proses

X-RAY THORAX Hili normal. Corakan bronchovasculer bertambah. Tampak pebercakan lunak di lapang tengah dan atas paru kiri Kesan : curiga spesifik proses

RESUME (ANAMNESA) Pasien mengalami penonjolan sejak berusia 2 tahun. Penonjolan terdapat pada tulang belakang bagian thorakal. Selama terjadi penonjolan terdapat perubahan bentuk dari dada dan tulang belakang. Ibu pasien mengatakan bahwa terdapat kesulitan ketika bergerak dan juga kesulitan ketika pasien duduk. Pasien sering terjatuh ketika sedang berjalan Sebelumnya pasien mengalami batuk berdahak yang berulang. Batuk mulai sering terjadi ketika pasien berusia kurang dari 2 tahun. Batuk disertai juga dengan demam yang terus menerus. Demam meningkat pada malam hari dan menurun pada pagi hari. Pasien juga mengalami keringat pada malam hari. Pasien mengalami kesulitan dalam peningkatan berat badan dan juga nafsu makan yang menurun. Pasien juga mengalami sesak nafas ketika sedang batuk dan ketika sedang bermain. Sesak nafas akan hilang ketika pasien beristirahat. Sesak nafas timbul ketika telah terjadi penonjolan pada tulang belakang. Orang tua pasien hanya mengobati anaknya ke bidan dan puskesmas setempat. Puskesmas hanya memberikan obat untuk selama 3-4 hari. Ibu pasien menyangkal adanya keterlambatan dalam perkembangan anaknya.

Pemeriksaan fisik : Gizi buruk Takikardi Tachypnea Retraksi intercostals Pigeon chest Gibus pada thorakal 2-4 hiperrefleks

OBSERVASI Tanggal Rabu 7 november 2012 Tanda Vital N R S 130 40 36,5 oC Keluhan + Pemeriksaan Fisik BB 9,5 kg Stridor -/ronchi -/Slam -/hiperrefleks Keterangan Ruangan O2 + Pasang NGT Diet 4x100 cc Ampicillin 4x 450 mg Ceftaxime 3x450 mg Mucopet 2x 10 tts PCT 3x1 cth Rantin 2x10 mg Prednisone 3x1 Streptomicyn 1x 180 mg OAT : INH 1x 80 RIF 1x120 RZA 1x180

Kamis 8 November 2012

120

36

37 oC

BB 7,4 kg Stridor -/ronchi -/Slam -/hiperrefleks

Ruangan O2 + Diet 4x100 cc peroral Ampicillin 4x 450 mg Ceftaxime 3x450 mg Mucopet 2x 10 tts PCT 3x1 cth Rantin 2x10 mg Prednisone 3x1

Streptomicyn 1x 180 mg OAT : INH 1x 80 RIF 1x120 RZA 1x180 Jumat 9 November 2012 120 38 36,7 oC BB 7,6 kg Stridor -/ronchi -/Slam -/hiperrefleks Ruangan O2 + Diet 4x100 cc peroral Mucopet 2x 10 tts PCT 3x1 cth Rantin 2x10 mg Prednisone 3x1 Streptomicyn 1x 180 mg OAT : INH 1x 80 RIF 1x120 RZA 1x180

Diagnosa Banding Spondilitis TB + mikrosefal + KEP III + FTT + susp CHD + susp Asthma Spondilitis TB + mikrosefal + KEP III + FTT Diagnosa Kerja Spondilitis TB + mikrosefal + KEP III + FTT + susp CHD + susp Asthma

Penatalaksanaan UMUM Tirah baring imobilisasi Konsul :dokter spesialis orthopedic 02 2L NGT Panatalaksanaan KEP III

FARMAKOTERAPI :

F75 : 1-2 hari; F100 : 3-2 minggu RL : 900 ml/ hari Zinc : 1x20 mg/hari Ampisilin Gentamicin : 4x 450 mg iv selama 2 hari : 3x 20 mg (2 ml) iv selama 7 hari

OAT : isoniazid 1x 90 mg Rifampisin 1x135 mg Pirazinamid 1x 180 mg Prednison 3x1 (5 mg)

Prognosa Quo ad vitam Quo ad functionam : dubia ad bonam : ad malam

SPONDILITIS TUBERKULOSA Spondilitis tuberkulosis (TB) atau dikenal dengan Potts disease adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang belakang. Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari Spanyol dan Peru pada tahun 1779.1 Infeksi Mycobakcterium tuberculosis pada tulang belakang terbanyak disebarkan melalui infeksi dari diskus. Mekanisme infeksi terutama oleh penyebaran melalui hematogen.
1

Secara epidemiologi

tuberkulosis merupakan penyakit infeksi pembunuh nomor satu di dunia, 95% kasus berada di negara berkembang. Organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000 memperkirakan 2 juta penduduk terserang dan 3 juta penduduk di seluruh dunia meninggal oleh karena TB.2,3 Insiden spondilitis TB masih sulit ditetapkan, sekitar 10% dari kasus TB ekstrapulmonar merupakan spondilitis TB dan 1,8% dari total kasus TB.2 Komplikasi spondilitis TB dapat mengakibatkan morbiditas yang cukup tinggi yang dapat timbul secara cepat ataupun lambat. Paralisis dapat timbul secara cepat disebabkan oleh abses, sedangkan secara lambat oleh karena perkembangan dari kiposis, kolap vertebra dengan retropulsi dari tulang dan debris

Epidemiologi Berdasarkan laporan WHO, kasus baru TB di dunia lebih dari 8 juta per tahun. Diperkirakan 20-33% dari penduduk dunia terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Indonesia adalah penyumbang terbesar ketiga setelah India dan China yaitu dengan penemuan kasus baru 583.000 orang pertahun, kasus TB menular 262.000 orang dan angka kematian 140.000 orang pertahun.1,3 Kejadian TB ekstrapulmonal sekitar 4000 kasus setiap tahun di Amerika, tempat yang paling sering terkena adalah tulang belakang yaitu terjadi hampir setengah dari kejadian TB ekstrapulmonal yang mengenai tulang dan sendi.1,4 Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25%-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5%-10%

anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun, namun dapat juga 2-3 tahun kemudian.

Etiologi Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales dan famili Mycobacteriase. Basil tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif lemah yaitu sulit untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk dihapus walaupun dengan zat asam, sehingga disebut sebagai kuman batang tahan asam. Hal ini disebabkan oleh karena kuman bakterium memiliki dinding sel yang tebal yang terdiri dari lapisan lilin dan lemak (asam lemak mikolat). Selain itu bersifat pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk spora serta memiliki panjang sekitar 2-4 m.

Patogenesis Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB, karena ukuran bakteri sangat kecil 1-5 , kuman TB yang terhirup mencapai alveolus dan segera diatasi oleh mekanisme imunologis nonspesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB dan sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer Ghon. Diawali dari fokus primer kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan

gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis). Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 104 yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular. Pada saat terbentuk kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuk hipersensitivitas terhadap protein tuberkulosis, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas selular tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah imunitas selular terbentuk fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar tersebut. Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi

pertumbuhannya oleh imunitas selular, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus tersebut umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi, disebut sebagai fokus Simon. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus Simon ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang dan lain-lain. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer sedangkan

pada penyebaran hematogen kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread), kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Bagian pada tulang belakang yang sering terserang adalah8 peridiskal terjadi pada 33% kasus spondilitis TB dan dimulai dari bagian metafisis tulang, dengan penyebaran melalui ligamentum longitudinal. Anterior terjadi sekitar 2,1% kasus spondilitis TB. Penyakit dimulai dan menyebar dari ligamentum anterior longitudinal. Radiologi menunjukkan adanya skaloping vertebra anterior, sentral terjadi sekitar 11,6% kasus spondilitis TB. Penyakit terbatas pada bagian tengah dari badan vertebra tunggal, sehingga dapat menyebabkan kolap vertebra yang menghasilkan deformitas kiposis. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas selular yang akan membatasi pertumbuhan.

Manifestasi Klinik Seperti manifestasi klinik pasien TB pada umumnya, pasien mengalami keadaan sebagai berikut, berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas, demam lama tanpa sebab yang jelas, pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit, batuk lebih dari 30 hari, terjadi diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan diare disertai benjolan/masa di abdomen dan tanda-tanda cairan di abdomen. Manifestasi klinis pada spondilitis TB tidak ditemukan pada bayi di bawah 1 tahun. Penyakit ini baru muncul setelah anak belajar berjalan atau melompat. Gejala pertama biasanya dikeluhkan adanya benjolan pada tulang belakang yang disertai oleh nyeri. Untuk mengurangi rasa nyeri, pasien akan enggan menggerak-

kan punggungnya, sehingga seakan-akan kaku. Pasien akan menolak jika diperintahkan untuk membungkuk atau mengangkat barang dari lantai. Nyeri tersebut akan berkurang jika pasien beristirahat. Keluhan deformitas pada tulang belakang (kyphosis) terjadi pada 80% kasus disertai oleh timbulnya gibbus yaitu punggung yang membungkuk dan membentuk sudut, merupakan lesi yang tidak stabil serta dapat berkembang secara progresif. Terdapat 2 tipe klinis kiposis yaitu mobile dan rigid. Pada 80% kasus, terjadi kiposis 100, 20% kasus memiliki kiposis lebih dari 100 dan hanya 4% kasus lebih dari 300. Kelainan yang sudah berlangsung lama dapat disertai oleh paraplegia ataupun tanpa paraplegia. Abses dapat terjadi pada tulang belakang yang dapat menjalar ke rongga dada bagian bawah atau ke bawah ligamen inguinal. Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal dengan istilah Potts paraplegi, terdapat 2 tipe defisit neurologi ditemukan pada stadium awal dari penyakit yaitu dikenal dengan onset awal, dan paraplegia pada pasien yang telah sembuh yang biasanya berkembang beberapa tahun setelah penyakit primer sembuh yaitu dikenal dengan onset lambat. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan rutin yang biasa dilakukan untuk menentukan adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis adalah dengan menggunakan uji tuberkulin (Mantoux tes). Uji tuberkulin merupakan tes yang dapat mendeteksi adanya infeksi tanpa adanya menifestasi penyakit, dapat menjadi negatif oleh karena anergi yang berat atau kekurangan energi protein. Uji tuberkulin ini tidak dapat untuk menentukan adanya TB aktif. Pemeriksaan laju endap darah (LED) dilakukan dan LED yang meningkat dengan hasil >100 mm/jam. Pemeriksaan radiologi pada tulang belakang sangat mutlak dilaksanakan untuk melihat kolumna vertebralis yang terinfeksi pada 25%-60% kasus. Vertebra lumbal I paling sering terinfeksi. Pemeriksaan radiologi dapat ditemukan fokus infeksi pada bagian anterior korpus vertebre dan menyebar ke lapisan subkondral tulang. Pada beberapa kasus infeksi terjadi di bagian anterior dari badan vertebrae sampai ke diskus intervertebrae yang ditandai oleh destruksi dari end plate. Elemen posterior biasanya juga terkena. Penyebaran ke diskus intervertebrae

terjadi secara langsung sehingga menampakkan erosi pada badan vertebra anterior yang disebabkan oleh abses jaringan lunak. Ketersediaan computerized tomography scan (CT scan) yang tersebar luas dan magnetic resonance scan (MR scan) telah meningkat penggunaannya pada manajemen TB tulang belakang. CT scan dikerjakan untuk dapat menjelaskan sklerosis tulang belakang dan destruksi pada badan vertebrae sehingga dapat menentukan kerusakan dan perluasan ekstensi posterior jaringan yang mengalami radang, material tulang, dan untuk mendiagnosis keterlibatan spinal posterior serta keterlibatan sacroiliac join dan sacrum. Hal tersebut dapat membantu memandu biopsi dan intervensi perencanaan pembedahan. Pemeriksaan CT scan diindikasikan bila pemeriksaan radiologi hasilnya meragukan. Gambaran CT scan pada spondilitis TB tampak kalsifikasi pada psoas disertai dengan adanya kalsifikasi periperal. Magnetic resonance imaging (MRI) dilaksanakan untuk mendeteksi massa jaringan, appendicular TB, luas penyakit, dan penyebaran subligamentous dari debris tuberculous. Biopsi tulang juga dapat bermanfaat pada kasus yang sulit, namun memerlukan tingkat pengerjaan dan pengalaman yang tinggi serta pemeriksaan histologi yang baik. Pada pemeriksaan histologi akan ditemukan nekrosis kaseosa dan formasi sel raksasa, sedangkan bakteri tahan asam tidak ditemukan dan biakan sering memberikan hasil yang negatif.

Diagnosis Diagnosis spondilitis TB dapat ditegakkan dengan jalan pemeriksaan klinis secara lengkap termasuk riwayat kontak dekat dengan pasien TB, epidemiologi, gejala klinis dan pemeriksaan neurologi. Metode pencitraan modern seperti X ray, CT scan, MRI dan ultrasound akan sangat membantu menegakkan diagnosis spondilitis TB, pemeriksaan laboratorium dengan ditemukan basil Mycobacterium tuberculosis akan memberikan diagnosis pasti.

Diagnosis banding Spondilitis TB dapat dibedakan dengan infeksi piogenik yang menunjukkan gejala nyeri di daerah infeksi yang lebih berat. Selain itu juga terdapat gejala bengkak, kemerahan dan pasien akan tampak lebih toksis dengan perjalanan yang lebih singkat dan mengenai lebih dari 1 tingkat vertebrae. Tetapi gambaran yang spesifik tidak ada sehingga spondilitis TB sulit dibedakan dengan infeksi piogenik secara klinis. Selain itu spondilitis TB juga dapat dibedakan dengan tumor, yang menunjukkan gejala tidak spesifik.

Tata laksana Saat ini pengobatan spondilitis TB berdasarkan terapi diutamakan dengan pemberian obat anti TB dikombinasikan dengan imobilisasi menggunakan korset. Pengobatan non-operatif dengan menggunakan kombinasi paling tidak 4 jenis obat anti tuberkulosis. Pengobatan dapat disesuaikan dengan informasi kepekaan kuman terhadap obat. Pengobatan INH dan rifampisin harus diberikan selama seluruh pengobatan. Regimen 4 macam obat biasanya termasuk INH, rifampisin, dan pirazinamid dan etambutol. Lama pengobatan masih kontroversial. Meskipun beberapa penelitian mengatakan memerlukan pengobatan hanya 6-9 bulan, pengobatan rutin yang dilakukan adalah selama 9 bulan sampai 1 tahun. Lama pengobatan biasanya berdasarkan dari perbaikan gejala klinis atau stabilitas klinik pasien. Obat yang biasa dipakai untuk pengobatannya seperti pada Tabel dibawah ini.

Pemberian obat bila dikombinasikan antara INH dan rifampisin maka dosis dari INH tidak boleh lebih dari 10 mg/KgBB/hr dan dosis rifampisin tidak boleh lebih dari 15 mg/kgBB/hr serta dalam meracik tidak boleh diracik dalam satu puyer tetapi pada saat minum obat dapat bersamaan. Sebagai tambahan terapi, anti inflamasi non steroid kemungkinan digunakan lebih awal pada penyakit dengan inflamasi superfisial membran yang non spesifik untuk menghambat atau efek minimalisasi destruksi tulang dari prostaglandin. Selain memberikan medikamentosa, imobilisasi regio spinalis harus dilakukan. Sedikitnya ada 3 pemikiran tentang pengobatan Potts paraplegi. Menurut Boswots Compos (dikutip dari 10) pengobatan yang paling penting adalah imobilisasi dan artrodesis posterior awal. Dikatakan bahwa 80% pasien yang terdeteksi lebih awal akan terdeteksi lebih awal; akan pulih setelah arthrodesis. Menurut pendapatnya, dekompresi anterior diindikasikan hanya pada beberapa pasien yang tidak pulih setelah menjalani artrodesis. Bila pengobatan ini tidak memberikan perbaikan dan pemulihan, akan terjadi dekompresi batang otak. Pada umumnya artrodesis dilakukan pada spinal hanya setelah terjadi pemulihan lengkap. Pengobatan non operatif dari paraplegia stadium awal akan menunjukkan hasil yang meningkat pada setengah jumlah pasien dan pada stadium akhir terjadi pada seperempat jumlah pasien pasien. Jika terjadi Potts paraplegia maka pembedahan harus dilakukan. Indikasi pembedahan antara lain, A. Indikasi absolut Paraplegi dengan onset yang terjadi selama pengobatan konservatif, paraplegia memburuk atau menetap setelah dilakukan pengobatan konservatif, kehilangan kekuatan motorik yang bersifat komplit selama 1 bulan setelah dilakukan pengobatan konservatif, paraplegia yang disertai spastisitas yang tidak terkontrol oleh karena suatu keganasan dan imobilisasi tidak mungkin dilakukan atau adanya risiko terjadi nekrosis akibat tekanan pada kulit, paraplegia yang berat dengan onset yang cepat, dapat menunjukkan tekanan berat oleh karena kecelakaan mekanis atau abses dapat juga merupakan hasil dari trombosis vaskular tetapi hal ini tidak dapat didiagnosis, paraplegia berat lainnya, paraplegia flaksid, paraplegia dalam keadaan fleksi, kehilangan sensoris yang komplit atau gangguan kekuatan motoris selama lebih dari 6 bulan. B. Indikasi relatif Paraplegia berulang yang sering disertai paralisis sehingga serangan awal sering tidak disadari, paraplegia pada usia tua, paraplegia yang disertai nyeri yang diakibatkan oleh

adanya spasme atau kompresi akar saraf serta adanya komplikasi seperti batu atau terjadi infeksi saluran kencing. Prosedur pembedahan yang dilakukan untuk spondilitis TB yang mengalami paraplegi adalah costrotransversectomi, dekompresi anterolateral dan laminektomi.

Komplikasi Komplikasi yang dapat terjadi adalah kiposis berat. Hal ini terjadi oleh karena kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang mengalami destruksi sangat besar. Hal ini juga akan mempermudah terjadinya paraplegia pada ekstremitas inferior yang dikenal dengan istilah Potts paraplegia. Prognosis Prognosis spondilitis TB bervariasi tergantung dari manifestasi klinik yang terjadi. Prognosis yang buruk berhubungan dengan TB milier, dan meningitis TB, dapat terjadi sekuele antara lain tuli, buta, paraplegi, retardasi mental, gangguan bergerak dan lain-lain. Prognosis bertambah baik bila pengobatan lebih cepat dilakukan. Mortalitas yang tinggi terjadi pada anak dengan usia kurang dari 5 tahun sampai 30%.

KEKURANGAN ENERGI PROTEIN (KEP)


DEFINSI KEP KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG).

KLASIFIKASI KEP KEP ringan bila berat badan menurut umur (BB/U) 70-80% baku median WHONCHS dan/atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) 80-90% baku median WHO-NCHS; KEP sedang bila BB/U 60-70% baku median WHO-NCHS dan/atau BB/TB 70-80% baku median WHO-NCHS; KEP berat/Gizi buruk bila BB/U <60% baku median WHO-NCHS dan/atau BB/TB <70% baku median WHO-NCHS.

CATATAN:

KEP berat/Gizi buruk secara klinis terdapat dalam 3 (tiga) tipe yaitu, Kwashiorkor, Marasmus, dan Marasmik-Kwashiorkor; Tanpa melihat Berat Badan bila disertai edema yang bukan karena penyakit lain adalah KEP berat/Gizi buruk tipe Kwashiorkor; KEP nyata adalah istilah yang digunakan di lapangan, yang meliputi KEP sedang dan KEP berat/Gizi buruk dan pada KMS berada di bawah garis merah (tidak ada garis pemisah antara KEP sedang dan KEP berat/Gizi buruk pada KMS);

KEP total adalah jumlah KEP ringan, KEP sedang, dan KEP berat/Gizi buruk (BB/U <80% baku median WHO-NCHS).

GEJALA KLINIS KEP BERAT/GIZI BURUK YANG DAPAT DITEMUKAN: a. Kwashiorkor Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki (dorsum pedis) Wajah membulat dan sembab Pandangan mata sayu Rambut tipis, seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit, rontok Perubahan status mental, apatis, dan rewel Pembesaran hati Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis) Sering disertai: penyakit infeksi, umumnya akut anemia diare.

b. Marasmus Tampak sangat kurus, hingga tulang terbungkus kulit Wajah seperti orang tua Cengeng, rewel Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (pada daerah pantat tampak seperti memakai celana longgar/baggy pants)

Perut cekung Iga gambang Sering disertai: penyakit infeksi (umumnya kronis berulang) diare

c.

Marasmik-Kwashiorkor Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klnik Kwashiorkor dan Marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-NCHS disertai edema yang tidak mencolok.

DEFISIENSI NUTRIEN MIKRO YANG SERING MENYERTAI KEP BERAT Pada setiap penderita KEP berat/Gizi buruk, selalu periksa adanya gejala defisiensi nutrien mikro yang sering menyertai seperti: Xerophthalmia (defisiensi vitamin A) Anemia (defisiensi Fe, Cu, vitamin B12, asam folat) Stomatitis (vitamin B, C).

PENATALAKSANAAN KEP BERAT Pada tata laksana rawat inap penderita KEP berat/Gizi buruk di Rumah Sakit terdapat 5 (lima) aspek penting, yang perlu diperhatikan : A. B. C. D. E. Prinsip dasar pengobatan rutin KEP berat/Gizi buruk (10 langkah utama) Pengobatan penyakit penyerta Kegagalan pengobatan Penderita pulang sebelum rehabilitasi tuntas Tindakan pada kegawatan.

A.

PRINSIP DASAR PENGOBATAN RUTIN KEP BERAT/GIZI BURUK Pengobatan rutin yang dilakukan di rumah sakit berupa 10 langkah penting yaitu: 1. Atasi/cegah hipoglikemia 2. Atasi/cegah hipotermia 3. Atasi/cegah dehidrasi 4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit 5. Obati/cegah infeksi 6. Mulai pemberian makanan

7. Fasilitasi tumbuh-kejar (catch up growth) 8. Koreksi defisiensi nutrien mikro 9. Lakukan stimulasi sensorik dan dukungan emosi/mental 10. Siapkan dan rencanakan tindak lanjut setelah sembuh.

keterangan : 1. Tangani atau cegah terjadinya hipoglikemia : Berikan makanan secepatnya yaitu setiap 2 jam berikan 50ml bolus glukosa 10 % atau sukrosa 10% secara peroral atau NGT. Bolus ini diberikan secara langsung dan utuh. 2. Tangani atau cegah terjadinya hypothermia : Untuk pasien-pasien yang mengalami hiponatremia bisa kita lakukan tindakan dengan cara diberikan selimut . atau jika perlu kita bisa lakukan incubator untuk infant yang mengalami hiponatremia. 2. Tangani atau cegah terjadinya dehidrasi Penanganan dehidrasi ini tergantung dari derajat dehidrasinya. 4. Perbaiki ketidak seimbangan elektrolit Berikan oral rehydration theraphy yang mengandung Na, K, Cl, bikarbonat dan sitrat 5. Penanganan infeksi Penanganan ini bisa dilakukan dengan melakukan imunisasi 6. Pemberian makanan tambahan Fase ini disebut juga dengan fase stabilisation. Dimana pasien diberikan; 7. Small frequent feeds of low osmolarity a dan rendah laktosa Kita berikan makanannya secara peroral atau NGT 100 klcal/kg/d 1-1,5 g protein /kg/d Cairan sebanyak 130 ml/kg/d ASI sesuai kebutuhan

Perhatikan Tumbuh Kejar (Rehabilitasi) Ganti pemakaian F 75 dengan F 100 selama 48 jam (100 kcal dan 2,9 gr protein/100 ml Monitor keadaannya apakah ada perubahankearah kemajuan atau tidak Setelah masa transisi berikan : - Frequent feed - 150-220 kcal/kg/d

- 4-6 gr protein/kg/d - Jika masih mengkonsumsi ASI, lanjutkan pemberian ASI nya Monitor progresivitas kenaikan berat badan : - Poor (< 5 g/kg/d) : requires reassessment - Moderate (5-10 gr /kg/d) + cek kembali intake makanan dan curigai juga adanya infeksi - Good (> 10 gr/kg/d) 8. Perbaiki defisiensi mikronutrient Berikan Fe, Vit A,Zn,danCu Berikan Vit A peroral pada hari pertama : - > 12 bulan = 200.000 IU - 6-12 bulan = 100.000 IU - 0-5 bulan = 50.000 IU Berikan setiap hari lebih kurang selama 2 minggu : - Multivitamion supplement - Folic acid 1 mg/d (5mg padahari pertama) - Zinc 2 mg/kg/d - Copper 0,3 mg/kg/d - Iron 3 mg/kg/d tapi jika kondisi berat badannya sudah stabil 9. Berikan stimulasi kasih sayang (melakukan stimulasi sensorik dan perbaikan mental) Berikan kasih sayang yang cukup Ciptakan lingkungan yang ceria Ibu sebaiknya mendampingi anak saat mandi, makan, bermain 10. Persiapkan follow up setelah sembuh Teruskan makan dengan komposisi yang cukup protein, karbohidrat dan juga lemak sesuai dengan anjuran dokter Beritahukan kepada keluarga untuk membawa anaknya untuk check up secara teratur Berikan imunisasi pada anaknya Berikan Vit A setiap 6 bulan sekali Dalam proses pengobatan KEP berat/Gizi buruk terdapat 3 fase yaitu fase stabilisasi, fase transisi, dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana yang cocok untuk setiap fase. Tata laksana ini digunakan pada semua penderita KEP Berat/Gizi Buruk (Kwashiorkor, Marasmus maupun Marasmik-Kwashiorkor).

TABEL BAGAN DAN JADWAL PENGOBATAN


No FASE STABILISASI Hari ke 1-2 1 2 3 4 5 6 Hipoglikemia Hipotermia Dehidrasi Elektrolit Infeksi MulaiPemberian Makanan 7 Tumbuh kejar/peningkatan pemberian makanan 8 9 10 Mikronutrien Stimulasi Tindak lanjut Tanpa Fe dengan Fe Hari ke 2-7 TRANSISI Minggu ke-2 REHABILITASI Minggu ke 3-7

B.

PENGOBATAN PENYAKIT PENYERTA Pengobatan ditujukan pada penyakit yang sering menyertai KEP berat, yaitu: 1. Defisiensi vitamin A Bila terdapat tanda defisiensi vitamin A pada mata, beri anak vitamin A secara oral pada hari ke-1, 2 dan 14 atau sebelum pulang dan bila terjadi perburukan keadaan klinis dengan dosis: umur > 1 tahun umur 6-12 bulan umur 0-5 bulan : 200.000 SI/kali : 100.000 SI/kali : 50.000 SI/kali

Bila ada ulserasi pada mata, beri tambahan perawatan lokal untuk mencegah prolaps lensa : beri tetes mata kloramfenikol atau salep mata tetrasiklin, setiap 2-3 jam selama 7-10 hari teteskan tetes mata atropin, 1 tetes, 3 kali sehari selama 3-5 hari tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faali.

2. Dermatosis Dermatosis ditandai adanya : hipo/hiperpigmentasi

deskwamasi (kulit mengelupas) lesi ulserasi eksudatif, menyerupai luka bakar, sering disertai infeksi sekunder, antara lain oleh Candida. Tata laksana : kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KmnO4 (K-permanganat) 1% selama 10 menit beri salep/krim (Zn dengan minyak kastor) usahakan agar daerah perineum tetap kering. Umumnya terdapat defisiensi seng (Zn) : beri preparat Zn peroral

3. Parasit/cacing Beri Mebendasol 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau preparat anti helmintik lain. 4. Diare melanjut Diare biasa menyertai KEP berat, tetapi akan berkurang dengan sendirinya pada pemberian makanan secara berhati-hati Intoleransi laktosa tidak jarang sebagai penyebab diare. Diobati hanya bila diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan umum. Berikan formula bebas / rendah laktosa. Sering kerusakan mukosa usus dan Giardiasis merupakan penyebab lain dari melanjutnya diare. Bila mungkin, lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik. Beri: Metronidasol 7.5 mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari. 5. Tuberkulosis Pada setiap kasus gizi buruk, Lakukan tes tuberkulin/Mantoux (seringkali alergi) dan Ro-foto toraks. Bila positif atau sangat mungkin TB, obati sesuai pedoman pengobatan TB.

C.

KEGAGALAN PENGOBATAN Kegagalan pengobatan tercermin pada angka kematian dan kenaikan berat badan: 1. Tingginya angka kematian Bila mortalitas >5%, perhatikan saat terjadi kematian: dalam 24 jam pertama: kemungkinan hipoglikemia, hipotermia, sepsis yang

terlambat atau tidak terdeteksi, atau proses rehidrasi kurang tepat.

dalam 72 jam: cek apakah volume formula terlalu banyak atau pemilihan formula tidak tepat malam hari: kemungkinan terjadi hipotermia karena selimut kurang memadai, tidak diberi makan, perubahan konsentrasi formula terlalu cepat.

2. Kenaikan berat-badan tidak adekwat pada fase rehabilitasi Penilaian kenaikan BB: - baik kurang : 50 gram/kgBB/minggu : <50 gram/kgBB/minggu

Kemungkinan penyebab kenaikan BB <50 gram/kgBB/minggu antara lain: pemberian makanan tidak adekwat defisiensi nutrien tertentu; vitamin, mineral infeksi yang tidak terdeteksi, sehingga tidak diobati. masalah psikologik.

C. PENANGANAN PASIEN PULANG SEBELUM REHABILITASI TUNTAS Rehabilitasi dianggap lengkap dan anak siap dipulangkan bila gejala klinis sudah menghilang, berat badan/umur mencapai minimal 80%. Anak KEP berat yang pulang sebelum rehabilitasi tuntas, dirumah harus diberi makanan tinggi energi (150 Kkal/kgBB/hari) dan tinggi protein (4-6 gram/kgBB/hari): beri anak makanan yang sesuai (energi dan protein) dengan porsi paling sedikit 5 kali sehari beri makanan selingan diantara makanan utama upayakan makanan selalu dihabiskan beri suplementasi vitamin dan mineral/elektrolit teruskan ASI. mencapai minimal 70% atau berat badan/tinggi badan

Anda mungkin juga menyukai