Anda di halaman 1dari 50

Hikayat Air

Penguasa Daerah itu tampak sumringah dan bangga melihat proyek raksasa, sebuah apartemen dan pusat perbelanjaan bawah air berdiri dengan megahnya. Atap-atapnya berbentuk sirip hiu, sedangkan jendela dan dindingnya seperti cermin. Tiga triliun! Sanggup menambah daratan sejauh satu kilo ke arah lautan. Hiburan, adalah sisi kemanusiaan yang paling unik dan menarik dari setiap individu. Hewan tak butuh hiburan, tanaman tak butuh hiburan. Inilah yang membedakan kita, makhluk yang terbebani sehingga memerlukan tempat yang direkayasa sedemikian rupa seperti surga Hadirin, saya persembahkan Ocean Residen, rumah lautan! Bersenang senanglah bersama samudera raya, berenanglah menuju alam mimpi bersama batu karang dan ikanikan! Saya melihat kelak dimasa depan para pemodal, investor, wisatawan, ataupun para pejabat akan menghabiskan waktu di tengah ikon samudera ini, menikmati karya agung manusia! riuh rendah sang Penguasa memberikan sambutan pembukaan bangunan megah tersebut. Tak disangka, keramaian itu menggema hingga dasar lautan melalui pondasi-pondasi menara apartemen. Seperti listrik, menyengat ratusan juta tetes air yang bersatu menjadi ombak lautan. Air di lautan ini berusia sangat tua, sudah mengalami ribuan siklus hujan, diminum, dimuntahkan, kembali ke darat, muncrat dari mata air, dan kembali ke lautan. Air yang sangat tua, mereka masih ingat bagaimana Tuhan menjadikan mereka senjata bagi para nabi menghadapi kerusakan yang ditimbulkan umat manusia. Berkumpul dari enam sumber utama tetes air, yaitu Danau, Sungai, Anak Sungai, Lautan, Sumur, dan Air Tanah. Zaman sekarang ini, tak ada lagi nabi. Yang ada hanyalah ulama, tapi, mereka bisa apa? Yaa siin, bla... bla..., tidak lebih. Tak ada manfaatnya buat masyarakat mati, seperti lautan dan batuan. Mereka merindukan tangan seorang Nabi yang mampu menghukum bala tentara sombong dengan satu usapan diatas riak. Mereka rindu mengaliri tangan seorang Nabi yang diberkati sebagai mukjizat yang menyembuhkan dan mendamaikan Arabia, tetapi inilah negeri baru mereka, dimana bertengger sebuah menara apartemen yang menindih ribuan ikan dan membunuh meteran batu karang yang mereka kenal sejak dulu.

Manusia sudah keterlaluan! Malam hari, datang serombongan tetes air dari sungai, membawa sampah dan jasad-jasad mati. Lautan, kami menjadi korban mangsaan manusia, diantara kami menjadi tak layak minum, tak layak huni buat ikan-ikan dan daratan!. Keterlaluan!, serbu ombak laut, Kemarahan perairan semakin memuncak. Belum hilang dari ingatan mereka, bagaimana rasa ketika pasir dijatuhkan ke tubuh mereka, menambah luas daratan. Masih belum hilang luka, ketika turun sebagai hujan yang menjawab doa, namun dicaci sebagai biang rusaknya lahan pertanian. Kita adalah perairan yang terhormat, bukan perairan yang hina. Kita adalah perairan yang satu, tak ada yang terputus. Sungai dihubungkan dengan selokan, danau dihubungkan dengan rawa, lautan dihubungkan dengan selat.luka yang satu adalah luka bagi segala tetes air dimuka bumi. Kita ini satu tubuh, satu mata, satu telinga. Kita mengalir sebagai darah, turun sebagai kasih sayang Tuhan! Disengat matahari, mereka menguap. Meluapkan kemarahan menjadi awan besar. Hitam. Dingin. Tetes-tetes air menguap satu persatu, detik demi detik, menit demi menit, hingga yang tercipta bukanlah awan biasa yang menurunkan hujan kesuburan, tetapi kemarahan yang terkumpul bertahun-tahun. Saudara-saudara! Kita adalah satu mata air, satu kampung halaman: Daratan! Saatnya kita menjalankan tugas mulia, merawat kembali kampung halaman kita, membersihkannya, dan kembali memuliakan daratan dan perairan sehingga tercipta kedamaian lautan yang seperti dahulu! Apa yang penduduk darat lakukan merupakan penistaan kampung halaman. Kita turun bersama-sama, kita turun sebagai hujan besar siksa! sang Tetes Air Sungai, yang menjadi saksi langsung apa yang terjadi, memimpin turunnya ribuan tetes air sekejap dari langit. Riuh rendah terdengar, seperti ribuan tentara menginjakinjak genting rumah disetiap celah kota. Sesekali, Air Danau mengubah dirinya menjadi hujan es yang menjebol atap-atap rapuh. Pada hari ketiga, tetes-tetes air menyatu, memadat, dan menjadi enam wujud badaniyah-makhluk-yang tumbuh dari air. Ada yang tampan, berambut panjang, berwajah mengerikan, ada pula yang besar dan gemuk seperti Presiden kita. Kemarahan membuat kemampuan air yang menghidupkan, tercurah kedalam molekul tetes mereka sendiri. Yang terjadi selanjutnya, tak dapat dibayangkan. Air Danau bersatu dengan api, menimbukan ledakan-ledakan besar dan membunuh banyak orang. Tempat yang dilaluinya menjadi banjir namun panas dipenuhi ledakan di sela-sela bangunan, sementara Air Anak Sungai menjelma menjadi mesin penyapu bangunan yang amat mengerikan. Sekian menit, ia

menjadi air bah yang menyapu dan menggilas beton dan manusia, sekian menit ia kembali ke wujud badaniyah manusia. Ia tak peduli pada teriakan manusia yang kesakitan tergilas dan tenggelam. Air Laut, dengan kemarahannya, sudah kehilangan wajah bijaksana. Dia mencekik setiap yang bernyawa yang menyentuhnya dalam wujud air bah, banyak korban mati kaku, lemas, lalu tergilas bersama banjir. Sudah tercipta pusaran besar yang sporadis bergerak kesana kemari. Paduan yang semuprna antara kemarahan dan pusaran air. Dengan wujud badaniyah manusia, dia seperti tak dapat dilukai-seperti sifat air-tak dapat dihancurkan-tetapi hanya dapat dicemari. Air Sumur, dengan segala perjanjiannya dengan penghuni daratan, melupakan jati diri lamanya sebagai sahabat daratan. Dia membuat banjir semakin besar, dan menutupi atap-atap rumah, dan mendadak mengambangkan tikus-tikus dan ayam mati hingga dirinya terlalu beracun bagi daratan. Masyarakat diterpa penyakit menular yang mematikan ditengah banjir, sekali waktu diburu Danau dan Laut yang menjadi wujud badaniyah seketika mereka suka. Air yang tinggal menetap di daratan, Air Tanah, menjadi wujud badaniyah yang besar. Dia menjelajah pikiran penduduk satu persatu, dengan menggandakan diri dan mampu merambati air dimana saja. Dia muncul seperti bayangan, berpindah-pindah seperti listrik. Karena air bersemayam dalam otak dan tubuh manusia, hanya dengan menyentuhnya dia bisa mengetahui perasaan dan apa yang mereka sembunyikan dibaliknya. Penguasa mengungsi, di gedung bertingkat sepuluh, membawa para pegawainya, sementara keluarga dan rekan usahanya yang melegalkan investasi di tubuh kita mengungsi ke sebuah gunung di barat, Air Tanah menyeru Air Sungai, yang memiliki kekuatan paling mengerikan. Dia mampu menelusup, menyatu dengan air yang terkandung dalam darah manusia, dalam air mata manusia, dalam air yang ada dalam tubuh manusia, lalu membekukan mereka hingga korbannya menjadi seperti batu, atau memaksa tetes air tubuh keluar hingga kering seperti kerupuk dan pecah begitu terjatuh ketanah. Di tempat lain, tetes air yang tersisa sebagai hujan dan kabut menjadi asam. Seasamasamnya. Melelehkan dan membuat borok-borok yang tumbuh mengganggu semua kulit. Menjadikan logam-logam berkarat, dan pada hari ketigapuluhsatu, tepat ketika Air Tanah menemukan persembunyian Penguasa, mereka serentak menjadi wujud badaniyah air, enam manusia mistis, manusia yang lahir dari kemarahan dan kearifan secara sekaligus. Mereka berjalan, diikuti air bah yang bergelora di belakang mereka, melumat segala yang ada.

Kota kini tinggal puing dan lumpur, hanya sedikit bagian kota yang tersisa, kebanyakan tidak berarti. Sebagian pengungsi tewas karena penyakit, sebagian lain terkena amukan Air Sungai dan Laut. Sebagian lagi menjadi potongan-potongan, tergilas. Menara apartemen sudah hancur, meski tidak runtuh. Namun hujan asam pelan-pelan merapuhkan rangka-rangka baja lalu melengkungkan konstruksinya. Air yang menggenang menjadi hitam, membakar bila disentuh. Tim SAR melakukan pencarian namun masih terhambat bah yang menggerus tepi kota, hingga terisolir. Yang mereka hadapi kini bukan bencana biasa, tetapi Izin Tuhan yang turun menjadi air yang melumat, seperti bangsa Firaun ribuan tahun lalu. Kekuatan militer kota yang dipimpin Jenderal Tantra kalang kabut mendengar enam manusia berkekuatan seperti iblis dan monster muncul dari perairan, ia tidak begitu saja dapat percaya. Dikerahkanlah 20 tank dan 300 tentara, bersenjata lengkap untuk menangani mereka. Derap langkah mereka terdengar amat keras, mereka lupa yang mereka hadapi adalah kemarahan samudera yang kekuatannya berasal dari inti jagad raya, Air.

Hari ketiga puluh dua, Air Anak Sungai berhasil menjebol tanggul karung dan pasir sebagai perlindungan lantai satu gedung pengungsian para penguasa kota. Segera,keenam unsur tetes air kembali ke wujud badaniyah, dan menyergap Sang Penguasa di balkon teratas, tempat ia setiap hari mengontrol bencana yang menimpa kotanya. Siapa kalian! seru pengawal dan beberapa pejabat. Dilarang menemui Penguasa! sorak yang lain. Dimana Penguasa kota ini, yang membuat menara, dan mengotori kampung halaman kami?, tanya Air Sungai berwibawa penuh kemarahan namun disertai kearifan. Siapa kamu!, Penguasa panik ketakutan. Eh, anak yang mempermainkan aku dengan jemari kakinya, empatpuluh tahun yang lalu, ya?, Air Anak Sungai mengingat sesuatu. Kami, adalah air yang menyertai Adam ketika ia diciptakan, Air Laut menjawab marah. Kami, adalah air yang melumat putera Nuh dan masih terasa suara teriaknya". soraknya kembali,

Kami, adalah air yang sama yang disentuh tongkat Musa, lalu mencekik Firaun dan membungkusnya dengan garam, tatapnya datar namun siap membunuh. Kami, juga adalah yang mengalir menjadi mukjizat tangan Muhammad dan diminum 30. 000 tentaranya. Dan sekarang, Kami dikirim untuk membunuhmu, kota besar", Tangannya menunjuk hidung penguasa, seraya mempersiapkan kekuatan yang terkumpul dari kebersamaan ratusan juta tetes hujan. "Siapa kamu!?", Buru pejabat kota yang masih belum percaya "Kamu manusia, Kan!",. "Kami juga yang mengaliri tangan Johannes dan mengairi Tubuh Jesus, pembabtisan aku juga yang menghancurkan negerimu dulu, Aceh, yang mengaku-aku serambi Makkah, tempat Tuhanku menurunkan wahyu", soraknya. dalam namun berwibawa. khas sekali cara air berbicara, tenang dan menghanyutkan tetapi menyimpan kekuatan besar. Kami beribu tahun menjadi kaki-tangan para Nabi Tuhan, yang menghukum maupun mengobati jiwa-jiwa manusia. Kami hadir dalam dirimu sebagai unsur penghidup tanah liat hingga siap ditempati Ruh. Kami rindu kedamaian daratan!, tegasnya. "tenggelamlah Kamu!", kata Air Sungai marah, seperti sabda. Tetapi kami manusia!, pekik terakhir Penguasa. **** Hujan semakin deras, belum nampak langit yang menjanjikan kedamaian dan kasih sayang.

Tawwaba
Kota itu kecil seukuran satu pulau saja, dengan sungai yang permai membelah di tengahnya. Barat dan Timur. Di Timur warga bekerja sebagai peternak dan petani. Tanahnya lebih subur, hawanya segar, dan di sela setapak terdapat bunga-bunga memperharum udara. Ada kolam besar di sisi masjid, tidak bertembok, seperti oase ditengah keramaian. Masjid Timur amatlah indah, kubahnya berbentuk bunga teratai disaput hijau mutiara. Tingkat tiga, dengan jendela besar arsitektur timur tengah. Menara azannya menjulang seperti pohon kelapa memuncaki tebing karang. Jika senja mulai tiba, kau bisa lihat bocah-bocah berkejaran seperti anak ayam berkotek ramai menuju masjid. Mereka semua ceria. Di Barat, ada gedung besar balaikota. Tua, gagah terlihat. Dibuat dari bata hitam terkuat. Di dekatnya, Lapangan Akbar terbentang dengan pohon besar membingkainya. Rumah-rumah berdiri seragam dan bercat putih terang, jalan raya tersusun padat dari kayu dan batu. Masyarakat damai, agama merekapun namanya Damai. Bukan dibawa Nabi, tetapi para tetua bergelar datuk dan pangeran menulis kitab setengah suci. Itulah dasar ajaran mereka yang disarikan dari agama-agama zaman kuno kota. Masjid dan gereja adalah simbol keagungan zaman dulu, dan hanya digunakan untuk ibadah semata, baik satu atau semua agama. Bagi mereka, salib hanyalah simbol hubungan dengan Tuhan, ke atas, dan hubungan dengan manusia, ke sisi, tetapi masing-masing tidak beriringan. Bersaliban, bersilangan, bertemu ditengahnya, bukan sepanjang alurnya yang akan lurus menuju ke atas. Masjid dan azan hanyalah panggilan bagi hati yang ingin kesana. Ke sana. Yang tidak? Ya tidak. Biarkan mereka, urusan mereka dengan Tuhan. Tidak usah diingatkan, Tuhan menciptakan Adam pertama kali sendirian, tidak kolektif, tidak bersosial. Itulah, bukankah awalnya manusia memang hidup sendiri-sendiri, bahkan tanpa istri? Bila masyarakat mencoba hidup bersama sebagai sistem, banyak kepentingan yang bertabrakan. Cedera batin. Cedera kepentingan. Yang utama, melanggar fitrah kesendirian Adam. Agama hanya pantas diletakkan dalam hati mereka, bukan untuk dipraktekkan, sebab masyarakat akan terlalu takut terjadi kerusuhan antar agama. Gereja utara setia mendentangkan lonceng lembutnya, bernyanyi atas runtuhnya Babel sebagai ratapan atas mereka yang ingin melihat Wajah Tuhannya secara langsung, sementara Masjid Timur selalu mengumandangkan azan dengan irama Nahawand, irama laghu yang tinggi dan meliuk-liuk rumit , seperti tarian suara di telinga memanggil-manggil kita. Seratus tahun sejak kota ini ada, belum pernah ada perang atas nama aliran kedamaian dan kasih yang mereka anut, Tuhan jangan pula menggangu perdamaian kita, bila ajaran ribuan Nabi masa lampau kota ini merusak tata damai, kasih, dan toleransi Bahwa kebebasan mutlak diciptakan Tuhan Yang Satu untuk beragama, dan bahwa Tuhan Yang Satu tidak mutlak menjadi milik semua agama. Kerinduan pada Tuhan, seperti kerinduan yang sama pada anasir-anasir kebenaran hakiki, adalah sama pada setiap manusia. Kebenaran menjadi dambaan karena perkembangan kehidupan menghasilkan kesalahankesalahan baru, setelah timbul kebenaran-kebenaran lebih tinggi. Dunia cepat berubah, begitu pula nilai-nilai kebenaran didalamnya, sebagai mana dulu bumi itu benar datar, sekarang bumi itu benar bulat dan bundar seperti bola. Jalannya pemerintahan adalah berasas kebenaran tinggi, bukan tertinggi, karena kebenaran itu sendiri selalu dipertinggi oleh pencapaian-pencapaian manusia. Kebenaran ada pada Quran, ada pada Bible, Talmud, Taurat, Zabur, Veda, bahkan Kitab lain, karena semuanya mereferensikan Wujud Kebenaran yang Satu: Tuhan. Dan Tuhan memerintahkan murid-muridnya di bumi untuk menaati pemimpin yang juga murid Tuhan, dalam satu

fragmen. Angkatan bersenjata adalah alat diantara banyak alat kebenaran menemukan kebenarannya. Hukum adalah benar, yang salah adalah menyalahi hukum dengan tidak menaatinya. Alat pemerintah. Bahwa angkatan bersenjata mendapatkan tempat sebagai penegak kebenaran-kebenaran yang sedang diyakini sebagai kebenaran relatif, dalam fragmen lain. Tetapi ada satu yang mengganjal, semua warga bebas beribadah. Tanpa bertanya dan mengganggu agama lainnya. Tetapi, hidup mereka hanya demi kebebasan kota. Tuhan hanya alat dan fasilitator, bila ada kitab yang menyalahi undang-undang, harus di revisi lewat konsili agar kedamaian dan ketertiban punya suara. Ini sudah asas umum, disahkan undangundang turunan peraturan kota. Ini produk manusia, sedang manusia itu produk Tuhan, maka undang-undang ini mestinya sama dengan Produk Tuhan. Tuhan mempercayakan kita menjadi pemimpin dunia. Tuhan percaya. Sedang Ia Maha Sempurna. Seseorang tidak akan percaya kepada yang tidak dipercaya kesempurnaan amanahnya. Banyak juga masyarakat menentang ini, tetapi apa daya, media dan pemerintah terlalu dalam mencampuri urusan dalam hati mereka. Tak punya gigi. Sabtu itu, hari sebentar lagi malam. Sembilan orang guru berkumpul dalam majelis rahasia di tepi kota. Mereka lelah dalam tatanan ini. Yang salah tetap dibiarkan salah dengan alasan ketertiban dan HAM. Hujan turun rintik-rintik, dingin, membuat mereka lebih betah berada dalam ruangan untuk berdiskusi. Kamu punya Tuhan?, Tanya seorang berambut ikal. Punya,, jawab si sorban hijau. Berapa?, serbunya lagi. Satu, kata orang-orang juga satu. Lalu berapa cara menggapai Dia?, Mestinya juga satu, tapi..., Mestinya satu. Kota ini punya banyak cara, dan katanya semua benar, sambarnya bernafsu. Kebenaran dan kepastian, bukan? Tidak ada yang bisa memastikan. Tidak ada yang salah, yang ada mendekati benar dan pasti. Sembilan wajah itu terdiam. Seorang menyeringai, Kalau begitu, mestinya satu cara yang kita percaya, tapi huh, pemerintah itu berlagak Tuhan saja, Tidak bisa, kita semua sama, tujuan kita sama. Bukankah Tuhan kita seharusnya sama? Bukankah dari tata cara inilah Tuhan telah mengenalkan saudara kita yang bernama Surga dan Neraka, posisi dan negasi. Bukankah semua agama menuju kesana? Masalah ada yang tidak percaya pada agama lainnya, toh tidak akan saling merusak kesucian agama yang lain itu, kesucian agama bukan dari konsepsi manusia, tetapi konsepsi agama itu sendiri, yang berkacamata mencoba menawarkan konklusi. Orang kesembilan berkata, bahwa Tuhan Yang Satu bukankah tak menjadi milik kita saja, tetapi milik mereka juga?, Lantas? Bukankah kita dilarang mengingatkan mereka yang menyimpang? Sedangkan ada kewajiban itu dalam agama kita. Memang betul, kebenaran terletak pada cara kita memahami konsepsinya. Tetapi pasti hanya ada satu yang benar, Tanya seorang lain. Mestinya hanya ada satu cara. Agama ini tentu bukan bergerak dalam batas-batas ketiadaan, tetapi dalam keadaan. Kenyataan! Apabila agama hanya ada dalam hati, sekarang kau lihatkah hati mereka? Lebih jauh lagi: Tuhan dalam hati mereka? Tidak, mestinya, agama yang benar adalah agama yang bergerak dalam batas-batas kenyataan dan diatasnya lagi, sumber segala kenyataan. Agama, adalah di alam kenyataan dan mesti dinyatakan dalam

kenyataan pula, bukan dalam hati, sebagaimana Kenyataan Tuhan, karena Tuhan menciptakan kita dialam kenyataan, tegas si sorban itu. Besok, kita ke perpustakaan, cari dimana Tuhan yang asli seharusnya kita yakini. Kita cari dimana cara Tuhan yang asli, yang Ada, yang Pasti, yang memastikan yang mana agamanya. Esok hari, di perpustakaan pusat kota yang berbentuk piramida besar, mereka membaca ensiklopedi kitab suci. Di kota itu, abad ilmu sedang populer, penerjemahan marak, tetapi mereka tak punya naskah asli kitab suci, mereka hanya punya terjemahan dan fragmen tafsir dari para tetua, datuk dan pangeran. Tetua Yahya berkata, agama yang benar adalah agama yang Lurus, agama yang selamat. Tetua Yuhanna berkata, harus ada yang mati menebus kesalahan kita dimasa lampau, dan menghadap Dia di Surga demi melapangkan jalan kafilah kita kelak. Semua Tetua mengarah kepada satu kesimpulan: hanya ada satu cara yang benar menuju Tuhan dan pasti diterima. Ini tidak benar, berarti kota kita salah? Berarti ada yang salah dan ada yang benar. Ada kepastian! Sudah kubilang, Tuhan itu Pasti, maka yang ada seharusnya kita mendapat jaminan kepastian agama Tuhan yang asli!, Kita telah temukan kitab asli Tetua, meski hanya fagmennya, murid Utusan Tuhan yang asli. Tuhan terang mewartakan kebenaran dan kesalahan, kepastian antara ya dan tidak. Berarti ada yang salah dan benar, seperti bila aku lelaki tentu bukan abu-abu lagi aku bukan wanita. Ada kebenaran ,mutlak bahwa akulah lelaki, pemilik organ lelaki, tak punya rahim dan payudara montok, tak punya kebawelan. Sudah tentu, Tuhan itu pasti, sebagai mana kita mengidentifikasi kepastian ini makhluk dari makhluk lainnya. Ini kucing dan ini anjing, tidak ragu. Tentulah kepastian hanya diciptakan oleh Kepastian pula, bukan keremangan. Inilah rupanya agama kita! Oh! Tuhan adalah Maha Benar, maka yang mencapaiNya tentulah mencapai kebenaran itu. Dia Maha Benar, maka Benar yang mana lagi yang kita sangsikan darinya? Dialah Sang Kepastian itu.hanya ada satu cara yang benar untuk mencapai Dia yang Benar. Kau tahu? Seperti, bila kamu ingin menuju aku, jalan terdekat adalah lurus kearahku, bukan memutari aku berulang kali, jawab si kacamata tegas. Ah! Ini! Inilah fragmen ajaran Tuhan yang asli. Tuhan menciptakan kita sambung menyambung, Hawa bagi Adam, karena Tuhan tidak menciptakan Adam demikian bodoh. Ia hendak memahamkan Ayah Kita, bagaimana rasa kesendirian, agar kelak tak menjadikan kesendirian itu sebagai tradisi. Ia mengutus Hawa untuk menghapus kesendirian itu. Sistem Adam dan Hawa, keterikatan antar manusia. Tegasnya, antar masyarakat ada kewajiban saling mengikat. Dengan apa? Tali! Dengan Tali Tuhan Kebenaran. Baiknya, mengikuti jejak-jejak tetua, mereka diutus Yang Benar sebagai Utusan Pembawa Risalah. Kita utus saja diri kita, kata seorang lain. Ada yang menyahut, Tuhan memfirmankan bahwa tebarkanlah kebenaran sebagai berita gembira dan ancaman. Inilah keaslian kota kita, agama Barat Sungai dan Timur Sungai, serta yang ada diantaranya!. Ya! Tebarkanlah! Tiga hari berlalu, mereka berusaha mengajarkan agama asli yang mereka dapat di perpustakaan, Barat dan Timur yang asli. Mereka susun fragmen kitab yang baru, pembaruan ajaran. Kitab Tawbah, berisi asal-usul cara Tuhan, dan jalan menuju Tuhan itu sendiri. Sistem masyarakat menjadi titik utama kitab ini. Dari rumah ke rumah, mulut ke mulut, antar diskusi dan perdebatan. Ada yang menolak, ada pula yang hanya simpatik. Cara ini namanya Tawaba. Ada 12.000 pengikut, yang berusia sebaya. Mereka menjadi komunitas baru kota. Tawaba, artinya kembali pada bahasa kuno mereka. Kembali

pada Kebenaran lama, kebenaran pertama, awal, dan akhir. Kembali pada cara-cara lama yang sah dimata kebenaran hakiki. Bukan sah dimata kebenaran relatif. Karena pemerintah mendakwakan diri sebagai satu di antara banyak anasir kebenaran, kebenaran-kebenaran kecil menuju kebenaran utama. Pemerintah bukanlah kebenaran itu sendiri, tetapi alat. Cuma alat kebenaran. Pemerintah memang menaungi kedua agama itu, tetapi membiarkan aliran-aliran baru, dan lebih jauh lagi: menyamakannya dengan ajaran lama. Terang saja Tawaba menetangnya. Ini sampai ke telinga hulubalang kota, Shufi. Ia beranggapan bahwa agama baru ini mengancam kota, karena memandang agama mereka paling agung. Tidak boleh ada agama yang paling agung! Ia segera mengadakan perundingan dengan mereka namun gagal. Direncanakan pembuatan keputusan pelarangan, sebagai ajaran sesat dan Setan. Kelompok itu sekarang dicap perusak tatanan, perusak ketertiban masyarakat. Hari-hari berlalu, masyarakat mulai menyadari ada yang salah dalam tatanan mereka, ada yang rusak. Shufi melalui gerakan intelijen menebarkan keyakinan pada masyarakat agar menghindari cara-cara Tawaba. Seminar-seminar dan redoktrinasi diadakan. Pemerintah melalui dinas-dinasnya, terutama penerangan militer, memaksakan opini masyarakat. Masyarakat lalu mengadakan kelompok kecil untuk melawan dan mengikis aliran pembaruan yang sesat itu, aliran pemurnian yang hanya sebenarnya dianggap sesat. Awalnya sederhana, pembakaran-pembakaran spanduk semata. Hari itu, pawai akbar berlangsung sebagai hari raya Tawaba. Mendadak masyarakat bersembulan dari segala arah, melempari mereka dengan batu dan kayu. Kota Barat dan Timur mencekam, karena demonstran anti dan pro Tawaba memenuhi kota. Ada yang sembunyi di gorong-gorong, di puncak pohon, dan di balik pilar-pilar. Ada pula yang terang berteriak. Kota menjadi amat ramai karena kerusuhan itu. Beberapa membakar ban dan sisa barang yang dirampas. Ada juga yang menyundul-nyundul lonceng gereja dengan galah dan melempari dengan petasan besar, tepat di engselnya agar menggema seperti gema perang. Kepolisian bersenjata tajam dan api memagari lapangan besar di dekat Masjid Timur. spanduk bergelimpangan. Bau asap dan gas air mata. Ada pula bekas darah bercampur abu. Lonceng gereja jatuh menimpa bocah kecil yang sedang berdoa. Batu-batu sekepalan tangan berserakan, bekas dilempar oleh orang-orang yang tak membawa senjata perkelahian. Medan ini menjadi medan pertempuran! Di hari ketiga, menara masjid Timur runtuh dilabrak panser kota Barat. Darah memancar lagi entah darimana. Tiba-tiba, empat desing peluru membahana, ada yang tewas! Ya, ada yang tewas! Ada yang tewas buat Tuhan mereka. Demonstran mundur, ribuan polisi berbaris memagar di Jalan Perdamaian, jalan terbesar di sana. Beberapa orang menyeret tubuh mati demonstran ke trotoar, membebatnya dengan kain jaket berlumuran darah. Matahari baru tiba, embun belum lama turun. Sembilan ribu Tawabin yang tersisa merangsek, membawa spanduk menuntut semua mengikuti cara mereka mengenal Tuhan. Melanjutkan pawai dengan suara serak, memanggil manggil manusia kepada Yang Kalau Tidak Salah Adalah Kebenaran. tidak kenal lelah. Sayang sekali, pada saat-saat mulai terang cahaya matahari yang terlampau hangat, batalion utama tiba, dibawah Shufi. Sontak, demonstran berhamburan menyelamatkan diri dari amukan tentara-tentara yang membawa senapan besar. Berhasil didesak, mereka terkumpul di pinggir-pinggir jalan, di bekas beranda bangunan yang belum hancur. Sisanya melarikan diri sejauh mereka bisa. Berantakan. Panser dan mobil berlapis baja berjalan angkuh. Tak ada yang boleh terlampau percaya dengan caranya menyembah Tuhan, semua cara sama!, sambut Shufi melalui pengeras suara. Di atas panser.

Mulai sekarang, cara Tawaba menyembah Tuhan adalah terlarang menurut tangan Undang-undang dan Hak Asasi Manusia, hak yang jua diciptakan Tuhan! Hak itu mencakup kebebasan memahami, sebenar apa Dia! Serahkan diri Anda baik-baik, kami hentikan kekerasan. Serahkan! Muka-muka demonstran kosong, bersaput debu kehitaman. Seperti dipengaruhi racun kejut yang mengaliri darah mereka. Mereka lelah, mencari kebenaran itu. Kebenaran! Yang tertinggi. Yang dapat memberi tahu, siapa mereka dan siapa yang memberi nama. Selebaranselebaran dari beberapa yang menjadi anggota LSM bertebaran. Isinya, penolakan dan penuduhan pelanggaran ham kepada Sembilan Utusan, HAM itu merata, menjamin semua orang memeluk agama manapun dan menggantinya seenak dia mau. Kesembilan utusan yang kini dianggap tetua baru ditangkap, diborgol dan ditendang. Digiring ke mobil besi. Tertunduk lesu, mereka hanya berdoa sepanjang perjalanan. Tatanan kota Damai rusak sebab agama asli tak mendapat ruang di sini. Dimana letak Tuhan di sini? Masyarakat kita, apakah tidak tahu cara Tuhan yang asli? Bukankah, semua agama tidak sama dan kita tetap harus percaya kita lebih Tinggi? Agama disisinya, bukankah hanya satu? Jika semuanya sama, kenapa lantas kita jangan beragama, tetapi bertuhan saja? Ya, mereka tahu, memang HAM menjamin pelaksanaan agama sebebas-bebasnya. Tetapi sepanjang pengetahuan mereka juga, setiap penyimpangan mestilah dicegah. Penjuru kota rata dan runtuh seperti di telan angin besar siksa. Menyisakan area kecil pertempuran demonstran dan masyarakat bersama polisi yang berbaris. Demonstrasi dan pertempuran melawan masyarakat menghancurkan bagian terbesar kota itu. Walikotanya tak ada di tempat, sedang melawat ke seberang benua, mencari kebenaran juga, yang tersimpan di sela-sela wisatanya. Hujan turun rintik namun asap-asap sisa kerusuhan masih terlalu besar untuk padam. Anjing dan kucing melipat telinga, menahan suara, mencari tuannya yang hilang dalam reruntuhan perang. Bau darah. Bau selongsong. Bau knalpot panser. Bau abu. Bau rokok bercampur hangus. Bau benar-benar perang. Pengadilan bagi para tetua digelar, dan pemerintah sepakat menjatuhkan hukuman mati atas tuduhan merusak ketentraman kota, melanggar undang-undang kebebasan beragama, dan mengadakan makar melawan pemerintah. Pendukungnya sudah tak kuasa melawan, pemerintah terlalu kuat. Sepertinya, banyak agama lagi yang akan menjadi korban undang-undang semacam ini. Hukuman mati bagi penyeru, para Tetua. Kebenaran sejati tidak ada, saudara Tetua. Yang ada tetaplah pemerintah dan hukum sebagai satu dari sekian banyak anasir kebenaran tertinggi, sedangkan kebenaran tertinggi itu relatif, saudara. Akan meningkat seiring pencapaian kita. Seiring pula dengan mendekatnya kita pada kebenaran, meninggilah ia kembali, sang pengacara pemerintah memberi dasar tuduhan. Anda, bersalah. Melawan kebenaran. Semua agama sama! Hanya berbeda pada tataran caranya menemukan Tuhan. Tuhan itu relatif, bergantung kebenaran masing-masing agama!, seru Jaksa. Hukuman mati akan dilaksanakan segera setelah sidang selesai, tanpa pembacaan pembelaan. Di kota itu, pelanggaran tertinggi adalah menggugat undang-undang dan pemerintah. Sembilan tetua hanya ingin menebarkan sesuatu yang mereka anggap benar, dan menentang penyeragaman semua agama. Bila semua agama sama, kenapa lantas masingmasing mengklaim memiliki Surga dan Nerakanya sendiri, dan bukannya Surga dan Neraka yang ditempati secara bersama? Dan, Atas nama kebenaran, dor.

Sayang
Episode Satu Kenapa, kenapa tidak ada yang dapat merasakan lelahnya aku? Setiap hari aku pulang, yang ada hanya keluhan dan keluhan. Tak sadarkah, aku mencari uang untuk kamu, Sayang. Untuk kamu. Cobalah bersabar, tunggu hingga aku melepaskan dasiku, meletakkan sepatuku di tempatnya, dan mengucapkan terimakasih kepada Pak Tumardi. Dia lelah juga seperti aku meskipun hanya supir. Aku hanya meminta jawablah salamku dengan senyum, Sayang. Jawablah dengan senyum. Kemana kamu yang dulu ketika aku masih belum punya uang, kamu yang selalu wangi, yang selalu menyambut aku di depan pintu rumah petak kita, yang kecil tetapi selalu harum bau masakan tanganmu. Kamu perlahan akan menanyakan di jalan macet tadi? Aku sudah buatkan air. Kamu juga akan memeluk aku setelah aku selesai mandi, ketika anakanak kita kecil dan masih butuh digendong. Di dapur tidak pernah ada masakan pembantu, tetapi selalu kamu. Rasanya enak, dibuat oleh kamu. Selalu dibuat oleh kamu. Kenapa pula anak-anak kita menjadi tidak kenal aku, Sayang? Apa yang kamu lakukan? Aku cinta mereka, apakah mereka juga? Muslim yang dulu ketika pulang selalu menanyakan papa! Bawa apa?, dengan sukacita dia akan menyalami tanganku. Begitupula Nurul, dia akan ceria menyambutku di pintu. Gajiku besar, Sayang. Belilah apapun yang kamu mau, tapi senyumlah padaku. Berhutanglah, sebanyak-banyaknya tetapi senyumlah padaku. Aku lelah. Di kantor, para atasanku tidak akan segan mengomel di hadapan mataku. Jariku nyaris tak bisa berhenti sekejap pun untuk beradu diatas papan tombol. Sekretarisku pun bukan perempuan, dia Rukman, sahabatku, di kesehariankau ada data, ada bos, ada tugas, ada hasil riset, tapi tak ada nama istriku, tak ada kamu! Episode Dua Ah, sepertinya ibu tak akan pulang sore. Kesempatan, aku akan bermain dengan Geng Tembok. Rokok sudah kubeli. Sebetulnya aku juga rindu Mama dan Papa. Tetapi, bukankah mereka tak selalu ada dirumah? Ya, Irma sepertinya lebih paham aku daripada mereka. Seringkali ia rela menghabiskan waktu berdua bersamaku, sekedar pergi ke Kebun Raya, Bioskop, atau berbelanja pakaian. Aku cinta Irma. Aku menemukan Mama di matanya, ia akan menatapku dalam-dalam ketika bertemu aku, bahkan menanyakan sudah makan atau belum. Ia juga mau menemaniku berbalas pesan pendek hingga malam, macam-macam hal kami bahas. Dari Randi, sahabatku, yang putus-nyambung hubungannya dengan Ovie, kucing tetangga yang mencakar jok motorku, berita tentang banjir yang melanda kantor Papa, dan banyak lagi. Aku senang bisa tertawa bersama Irma. Ketika aku sakit, Irmalah yang berulangkali menjenguk aku. Membawakan apel, dan menyuapi aku makanan. Memang agak risih bila ada Nurul atau Mbak Isah, tetapi biarlah. Toh aku yakin Nurul akan begitu nanti. Papa tak pernah mau mengambil raportku, sibuk! Berulang kali aku dimarahi walikelas gara-gara itu. Anak hilang! Bapak tahu sibuk, tetapi ini harus orang tua yang mengambil! serbunya jenaka tapi dalam.

Nilai raportku tak terlalu bagus memang, tetapi jujur, aku tak berbuat curang. Aku selalu menunggui Mama hingga malam, sambil menonton televisi. Tetapi ia akan pulang lebih larut dari kemampuanku menahan kantuk. Entah seperti apa rambut Mama sekarang. Terakhir, sebahu dan diluruskan. Makanan dirumah tidak selalu enak, karena Mbak Isah memasaknya terburu ingin pulang, anaknya sudah meraung dirumah minta disusui. Ah, tak ada yang seenak makanan buatan Mama. Aku rindu aroma minyak panas yang digunakan untuk menggoreng ayam oleh Mama. Kita akan makan bersama. Selalu, sebelum Papa dianggap cerdas oleh atasannya dan naik pangkat. Mama pernah cerita kepadaku, lewat telepon, katanya dia rindu aku. Papa jarang ada dirumah, makanya Mama mencari kerja agar tak kesepian. Ia menyarankan aku memelihara kucing atau ikan, asal jangan keduanya, guraunya. Aku suka tawa renyah mama. Episode Tiga Dua tahun lalu, Sayang, aku kesini dengan Mama dan Papa. Muslim juga ikut, tapi mabuk, hehehehe. Tempat ini indah ya? Cocok untuk kita melamun. Duduklah, aku bukakan cokelat. Ini aku bawa dari rumah. Rudy, dulu aku dan Mama pernah berkejar-kejaran, tetapi kalah disini. Di mata Rudy ada Papa. Itu kesimpulanku. Ia mau mendengarkan ceritaku, meskipun kadang laki-laki itu susah mengerti apa maksudku. Papa juga, kok. Biar saja, yang penting aku punya orang yang bisa memberikan perhatian padaku. Dia sabar sekali, dia akan mengerti bila aku sedang marah, sakit, kecewa, atau sedih. Meskipun kadang reaksinya justru memarahi aku. Aku menikmati cekcok dengan Rudy, itu membuat aku memiliki kesempatan untuk bicara, lebih banyak ketimbang dengan Mama dan Papa. Rudy selalu ada, ketika kutelepon ia akan setia mendengarkan sampai aku sendiri yang ketiduran. Salah Mama juga! Tak pernah ada dirumah. Kapan juga aku bisa cerita. Aku kangen Mama, tapi ketika coba aku telepon, dia tak angkat, padahal saat itu aku ingin bilang bahwa aku menang lomba basket. Saat penerimaan raport pun, aku juara satu, tak ada siapapun yang memeluk aku. Ah sudahlah. Mungkin Papa dan Mama memang sibuk, aku mengerti. Dimata Rudy ada Papa, tapi dimana mata Mama? Aku kangen masakan Mama. Aku ingin belajar darinya. Ketika dirumah, ia sudah memasang laptop. Untuk bekerja! Aku rindu masa lalu. Aku butuh saran dari Mama. Dulu, waktu aku kecil Mama dekat sekali dengan aku. Biasa dia akan memasak sambil menyanyi-nyanyi dan memintaku memotong sayur atau bawang. Sekarang mulutku akrab dengan rasa pelayan restoran, cepat saji, dibuat dengan mesin dan bau karat. Bukan dibuat dengan tangan seorang ibu. Dibuat massal, bukan dibuat khusus dari Mama untuk anaknya. Ketika makan pun sendiri atau dengan Muslim saja. Tidak dengan Mama dan Papa. Episode empat Paling sejam dua jam, Bapak akan pulang, terus Ibu juga empat jam-an lah. Cuma Mbak Nurul sama Mas Muslim saja. Kuingat, sudah tiga tahun lah aku menjadi rewang disini. Bapak dan Ibu baik sekali, gajiku selalu dibayar lebih awal, lebih pula. Yang menyenangkan, aku bebas makan di rumah ini. Aku malas mengepel setiap hari, wong jarang ada orang dirumah. Paling Ibu cuma titip masak buat Mas.

Yang bikin aku sebal, kenapa sih Ibu dan Bapak kalau pulang selalu cek-cok? Seperti tak ada lelahnya. Aku buatkan teh, tak pernah diminum hingga ditemukan oleh semut-semut. Pernah juga, aku mengambil sepatu dari tangan Bapak, malah dimarahi oleh Ibu. Dia merebut sepatu itu, dan meletakkannya dengan tangannya sendiri ke rak sepatu dekat tangga. Ibu menjadi sibuk ketika Bapak jarang pulang, melawat ke seantero negeri. Ibu sayang sekali kepada Bapak, tetapi dia bilang Bapak tidak memperhatikan dia dengan sungguh seperti dulu. Dia juga cerita jika dulu pernah melarat, malahan lebih bahagia. Ibu masak, pasti ada yang makan. Memang, aku juga senang kalau aku memasak, lalu Masku dirumah memakannya dengan lahap, meskipun aku tahu dari wajahnya, terlalu asin. Ibu juga pernah tanya aku, apakah aku bahagia dengan suamiku? Ya, aku jawab iya. Dia tak pernah pulang malam, terus teh hangatku juga diminumnya. Badannya memang bau asam, tapi ia selalu senyum aneh setiap lihat aku mengganti pakaian dihadapannya. Malam hari, jarang sekali aku kedinginan meskipun rumahku berjendela lebar. Selalu ada selimut yang tampan itu, melingkupi aku sepanjang hawa dingin menyerang. Aku bahagia lah, kataku kepada Ibu. Aku menjadi teman cerita Ibu. Beberapa ceritanya kupikir hanya pantas diceritakan kepada suami, tetapi kenapa padaku? Benar juga, Bapak jarang pulang, meskipun tak selingkuh. Bapak hanya omong sayang Ibu, tetapi aku tak pernah lihat itu. Kalah mesra dia dengan aku kepada Masku. Sayang apanya, pulang malah membuka file komputer terus pagi buta berangkat lagi, tanpa salam pula. Lagi-lagi tehku disajikan buat semut-semut dan sepi. Tahukah, Bapak? Ibu sering menangis, Pak. Aku hanya pembantu, Pulanglah! Episode Lima Sayang, maaf aku tak sedang di rumah. Ada rapat mendadak, dan atasanku selalu marah bila aku terlambat Maafkan aku, Sayang. Hanya memo itu yang sempat kutinggalkan di atas bantal kesayanganmu. Aku cinta kamu, tetapi apa daya ketika kamu tak di rumah hingga larut malam? Aku takut bila meneleponmu, kamu akan marah karena bos akan menegurmu. Aku mengkhawatirkanmu, apakah kamu sudah makan siang? Apakah kamu bergandengan dengan tangan halus dan putih, dengan cincin yang permatanya tak aku kenal? Aku ingin seperti dulu, tinggal di rumah memasakkan nasi dan lauk untuk kamu, tetapi apakah kamu pernah memakannya? 3 hari biasanya, ketika sayur mulai basi kamu baru ada waktu, bukan untuk aku tetapi menerima tamu. Kamu sibuk, aku mengerti. Aku tak mau tenggelam dalam pikiran yang terus mengkhawatirkan dirimu. Aku tahu kamu pasti dapat menjaga diri, seperti kamu menjaga aku dan anak-anak dengan baik, dulu. Belum lama aku ke dapur, Mbak Isah hanya berkata kamu datang tadi malam, jam duabelas, ketika aku terlelap dan pergi lagi, tanpa mengatakan apapun. Aku cinta kamu , Sayang. Anak-anak kita sudah besar, sudah sekolah. Beberapa kali aku mengantar mereka tetapi selalu terlambat ke kantor. Aku rindu kamu, aku ingin menjawab salammu, tetapi seringkali kamu tidak dengan jelas mengucapkan salam. Kata-kata pertamamu, bukan memanggil aku seperti dulu tetapi memanggil pembantu kita. Bukankah aku istrimu? Aku tidak lupa Muslim dan Nurul! Tidak! Aku cinta mereka seperti kamu cinta mereka. Aku selalu tanyakan bagaimana tugas mereka disekolah. Aku selalu berikan uang jajan yang cukup, kupikir cukup.

Aku mengaku, baiklah. Memang aku yang tak becus menjadi ibu buat anak-anak kita, anakku dan anakmu. Tetapi aku sayang kamu. Aku seorang ibu, sayang. Aku seorang ibu, ibu tidak dipanggil ibu tanpa ayah dan tanpa anak-anaknya Ibu yang sendiri adalah perempuan yang mendekati senja, ibu yang sendirian bukanlah seorang yang kudambakan. Aku cinta kamu, cinta Muslim dan Nurul. Episode Enam Sayang, kamu jangan bekerja, ya? Sapui saja kamar kita, dan memasaklah untuk aku, yang harum. Terimakasih menyambut aku dengan senyum. Terimakasih masih menjadi istriku sejauh ini, tutur Mas Karjo kepada Mbak isah, sepulang dari bekerja. Burung-burung beterbangan dengan damai diatas rumah mereka berdua yang kumuh dan miskin, tetapi selalu dihuni.

Penyair Sajak suara Sang Wiji Thukul ditiupkan kedalam rahim seorang ibu. Sebelum sempat sajak itu dikenal bangsa manusia, berlakulah takdir kepada Petapa yang memberontak itu, Wiji Thukul, ia gugur terkena senjata Prabhu Astawesi, yang mampu memusnahkan tubuh hingga atom-atomnya dalam perang Reformasi. Prabu Astawesi akhirnya tewas dihajar 100. 000 kesatria yang bergabung menjadi satu, dibawah pimpinan Ratu Rais. Ia digantikan Mahapatih Selira, yang memiliki jurus untuk dapat menciptakan sesuatu dari ketiadaan dan dapat terbang. Tak berapa lama lahirlah sajak itu dari rahim perempuan yang bukan perawan. Di bawah sebatang pohon kelapa dan di depan rimbunan bambu kuning, tanah yang seperti mahkota, Sang Penyair memberinya nama. hai anak perempuan bukan perawan, berilah nama pada puteramu: Bima, sebab ia akan menjadi agung Ia akan diutus sebagai budak firman-firman para penyair baru yang jumlahnya lima, akulah penyair yang pertama. Genaplah puisi penyair lama yang pertama, bahwa penyair akan meniupkan firman pada seorang ibu dan menjadi putera yang bernama Bima, sebab ia adalah agung, akan menumpas segala kebatilan di nusantara, membeli pertamax, memiliki NPWP, dan menunggu bus di halte. Yang terpenting, dia akan memerangi penguasa kejam dan korup yang akan datang sesudah penyair ketiga. Ini semua didapat Ibu Bima dalam secarik surat dari Sang Pertama. Genaplah sajakku, dan akulah sang kematian yang moksa, selamat tinggal, giliranlah penyair kedua yang terjanji akan datang! Penyair pertama melakukan moksa, jalan kematian dengan menghilangkan wujud. Berpindah langsung ke dimensi ruh para para penyair. Bergabung dengan penyair-penyair yang sudah lebih dulu moksa, seperti Ki Sapardi, Ki Sutardji, Mahapatih Chairil Anwar, dan Empu Goenawan. Suatu pagi, Bima yang telah remaja, melihat sosok raksasa diliputi cahaya putih menggantung di awang-awang. Ia berlari berteriak ke dalam rumah. Tiba-tiba, cahaya putih agung itu bersabda jangan takut, Bima, akulah untaian sajak kedua, akulah penyair kedua, yang akan menggenapi usiamu. Diliputi kesilauan, cahaya itu hangat dan menerangi sekeliling. Sesaat, Bima dan ibunya terpana. Cahaya besar itu mengecil dan berubah menjadi wujud pria setengah baya, mengenakan pakaian merah dan membawa sebilah papan batu seukuran bungkus rokok yang mampu melakukan segala sesuatu dan dapat menghubungkan pikirannya dengan manusia dari penjuru dunia. Aku akan melatihmu berbicara dengan sabda dan firman, agar genaplah nubuat yang kedua: bahwa kamu akan membeli pertamax saja. Bukan premium, bukan minyak tanah. Tidak pula kamu membawa kereta wimana tanpa kuda tanpa hak dan melanggar jalan milik orang lain, tambahnya.Dimulailah latihan mengendarai wimana. Setiap kali Bima ingin membeli bahan bakar bukan pertamax, ia terkena kutuk satu orang miskin akan mati. Setiap liter. Pernah ada ia didemo satu kelurahan lantaran seorang guru mati, ternyata gurunya adalah juga warga miskin yang perlu uang. Juga, setiap kali ia melanggar moral di jalan raya, pasti ada saja miliknya yang hilang. Pernah satu ketika, ia mengambil hak pengendara wimana yang dipersilakan jalan oleh cahaya hijau dengan menyerobot jalan, tetapi sesampai dirumah ia kehilangan separuh kamar mandinya. Kamar mandinya menjadi tanpa dinding. Kutukan yang ditimpakan penyair kedua meskipun kejam, memang berhasil mendidik Bima untuk selalu membeli pertamax dan tidak melanggar jalan lagi. Akhirnya, lima tahun berlalu dan tibalah penyair kedua akan moksa. Ia bersabda,

Wahai Bima inilah saatnya kita berhenti berjumpa Aku selesai memahamkan kedalam dadamu hak manusia Keselamatan untukmu, kelak dimasa depan kita Mengapa aku hanya mengizinkanmu membeli pertamax dan bukan minyak Lantaran didalam pertamax terdapat nyawa-nyawa rakyat Didalam minyak terdapat nafas-nafas Jika engkau membeli minyak itu adalah pengisi tenaga nyawa rakyat, binasalah mereka Tewaslah mereka bergelimpangan seperti daun terbakar dengan bensin Jika engkau membeli pertamax maka engkau membebaskan nafas mereka dengan harga yang setimpal Mengapa aku melarangmu melanggar rambu jalan raya Sebab jalan raya bukan milikmu Bukan milik mereka tetapi milik kamu dan mereka Mengambil jalan berarti mengambil hak orang lain yang berjalan diatasnya Semoga kamu memahami, sekaranglah aku moksa Menghilang di keremangan hidup atas dunia Genaplah sajakku, dan akulah sang kematian yang moksa, selamat tinggal, giliranlah penyair ketiga yang terjanji akan datang! Menghilanglah seperti asap ditiup angin, tubuh penyair kedua berbau harum seperti pandan. Sebelumnya, ia meninggalkan petunjuk bahwa penyair ketiga akan datang sepuluh hari lagi. Zaman penyair kedua adalah zaman Prabu Pandita Jubah Ireng. Ia membawa ajaran bahwa semua agama sama. Ia juga ingin membubarkan perwakilan rakyat, dan timbullah lagi kekuatan terpendam kesatria-kesatria menggulingkannya. Ratu Awan, keturunan Prabhu Kusno, menjadi penggantinya. Jumat itu, bangkitlah penyair ketiga, bersembul dari dalam tanah dihadapan Bima, ketika Bima sedang memberikan pengajaran kepada teman-temannya tentang pentingnya membeli pertamax. seperti bangkitnya mayat yang terpendam. Kulitnya keras, lalu melembut terkena angin. Bima terpana, lalu menghaturkan sembah kepadanya engkaulah pasti Guru Penyair Ketiga, yang dijanjikan penyair kedua, datang untuk membimbing hamba Akulah yang ketiga dari yang lima, akulah Sang Pemungut Pajak, yang m engajarimu tentang hak raja dan hak rakyat seutuhnya Esok harinya, Bima menerima pelatihan dari Sang Ketiga. Bima, engkau akan aku pahamkan tentang hak. Mulai sekarang, apabila engkau tidak menyisihkan hartamu untuk negara, sedikit saja, maka hidupmu akan dipersulit oleh tanganmu sendiri, berlakulah kutuk ini mulai sekarang dan tak dapat dilepas hingga lima tahun! Bima berpikir, langkah pertama adalah datang ke kantor kecamatan mengurus surat pajak. Tetapi, ia lupa memakan ayam di restoran besar yang belum pernah bayar pajak karena milik seorang jenderal bintang lima. Ketika ingin keluar, ia mendadak terkunci, ia menariknarik gagang pintu tak mau terbuka juga, tetapi tak ada yang mau menolongnya. Ia mencari cara, tak juga ketemu. Berjam-jam ia mencari cara, akhirnya satpam restoran memberi tahu Mas, lihat tulisan di pintunya, Geser, bukan tarik Teringatlah Bima tentang kutukan Sang Ketiga dan berjanji tak akan mengulanginya lagi. Ia menjadi pemuda yang taat pajak, ia disayangi orang-orang disekitarnya dan juga ketua RT, RW, dan Lurah sebab ia menyumbang bagi pendapatan APBD. Semua orang sayang padanya.

Pada tahun kedua bangkitnya Sang Ketiga, Negeri mengadakan pemilihan raja. Yang terpilih adalah Prabu Saget. Dengan terpilihnya Prabu ini, genaplah ramalan Sang Pertama, bahwa Prabu kejam dan korup akan muncul dan awalnya datang dengan cinta kasih yang fana. Prabu Saget berarti Bisa, ia selalu mengatakan Negeri Bisa. Entah Bisa berarti mampu atau Bisa berarti racun ular. Ia berperang melawan pembelot negeri timur, negeri Beranda, yang memiliki senjata berupa Kanon. Kanon adalah kata-kata yang memadat menjadi peluru. Tetapi prabu itu memilih berdamai, dan berunding di kota Hell Sins Key. Kedamaian sementara tercipta, tetapi karena dosa-dosa perang lama, jatuhlah siksaan alam dan Tuhan pada negeri Beranda. Lautan menjulurkan tangannya dan menyapu daratan. Ratusan ribu penduduk mati dan membusuk tak terurus. Negeri Beranda menjadi rata seperti gurun pasir. Tak berapa lama, Kerajaan Jaya, bawahan Negeri, ditimpa gempa bumi besar, banyak penduduk yang mati sebagai tumbal atas kebohongan Prabu. Belum cukup, gempa itu membuka gerbang Neraka, dan dari gerbang itu, yang muncul di kota Dadosratu, menyembur kutukan Timun Mas. Kota itu tenggelam dalam lumpur hitam dan mendidih. Entah mengapa Prabu itu terpilih lagi menjadi penguasa kedua kalinya. Lima tahun berlalu, tibalah Sang Ketiga wafat. Jalan kematian moksa. Ketika itu, ia mengabungkan tubuhnya dengan badai besar Kumbang dan menjadi guratan kata-kata diatas pasir pantai, Anakku Bima tiba saatnya Sang Keempat akan tiba dan Sang Raja menjadi haus darah Tutupilah kulitmu dengan logam agar giginya tak mampu menembus darahmu Sang Keempat bukan muncul dari tanah atau cahaya, ia dari dalam air Akan meringankan amarahmu, mengajarimu menungu bus di halte Bayarlah pajak, sebab itu hak warga miskinmu Jangan ada lagi yang mati karena engkau lupa bayar pajak Ingatlah, Nomor Pokok Wajib Pajakmu Selamat tinggal, Bima Beberapa bulan, ketika banyak tetangga Bima sudah membayar pajak, Bima mengunjungi samudera. Tak terduga bangitlah sang Keempat, dari dalam air bercahaya biru dan membawa kendi berisi air suci. Ia membawa perisai dan pisau besar. Bima dan teman-temannya terpekur, terpana dan menghaturkan puji engkau adalah untaian kata Sang Ketiga, yang akan mengajari kami bertahan hidup di zaman ini Wahai Sajak yang ditiupkan, engkau sudah menjadi besar, saatnyalah aku membimbingmu menunggu bus di halte Bima dibawa menuju kota besar, ibukota negeri yang bernama Madain, karena kota itu berlapis lapis. Di kota itu terdapat jalur naga yang bersusun bertingkat tujuh, memilin seperti bunga semanggi. Disinilah Bima, engkau akan memahami cara menunggu bus di halte. Engkau akan ku masukkan ke Universitas Negeri Madain, sebab disana engkau harus menaiki bus. Bukan bus khusus, tetapi bus para kawula. Bus para punakawan. Bila engkau melanggarnya, kutukan atasmu adalah kematian akan tercipta didepan matamu, bukan karena engkau tetapi takdir mengehendaki Setiap hari Bima pergi ke universitas menaiki bus. Ia jatuh cinta kepada rekan sekelasnya, Dewi Fatimah. Mereka berdua memadu kasih teramat dalam, seperti berada pada taman impian. Bima berjanji jika selesai belajar ia akan melamar Dewi.

Satu hari, Bima terburu-buru. Ia terlambat bangun! Ia segera menuju jalan raya, tetapi karena halte jauh ia menyetop bus, tidak di halte! Disaat bersamaan, ada pengendara wimana dua roda tidak siap, dan bruakk! Terjadilah kematian tepat didepan mata Bima. Dan itu, rupanya Dewi Fatimah! Bima menangis, ia berduka dan meraung-raung menyayat hati para pelayat. Ia tersadar, bahwa menunggu bus di halte bukan perkara tertib lalu lintas, tetapi perkara keselamatan cintanya sendiri. Ia berjanji tak akan lagi melanggar sumpah. Lima tahun pula telah berlalu, telah genap Nubuat penyair keempat. Ia telah mengajarkan banyak hal pada Bima. Kini, Bima pun telah menjadi pria muda, bertanggung jawab, bayar pajak, dan taat lalu lintas. Tibalah saatnya Penyair melakukan ajian kematian moksa. Bima anakku Telah genap masa aku memahamkanmu menunggu bus di halte Bukan karena iseng tetapi tunggulah di halte sebab itu adalah hak orang lain Nyatanya kematian terjadi tanpa kutuk Damaikanlah Negeri dengan gerakan menunggu bus di halte, dengan memiliki NPWP, dan dengan membeli pertamax Niscaya orang miskinmu akan makmur Orang kayamu akan bertambah subur Saatnya Sang Kelima datang, ia datang dari arah bintang Ia tak akan mengajarimu apapun tetapi ia akan menjadi senjatamu Akan ada perang besar melawan Prabhu Siapkanlah dirimu, berkatlah engkau! Kematian moksapun terlaksana, dan penyair Keempat sirna. Masa-masa selanjutnya tanpa Keempat Penyair amatlah mengerikan. Bima bersembunyi, ia takut terkena tulah bencana. Pembantaian demi pembantaian terjadi, kasus demi kasus menghabiskan kas negara. Pertama, adalah kasus Bank Seabad Jaya, uang sejumlah 6, 7 Triliun digelapkan oleh pegawainya, menyeret pula Sang Prabhu. Tak lama, terungkaplah punggawa Prabhu, menggelapkan dana pesta memanah, namanya Janjiagama. Ia melarikan diri ke negara Selatan. Sebelumnya, segerombolan cicak berhasil membunuh buaya besar di sungai, dan pertempuran itu juga berhasil mengasingkan Raja Buaya Coklat. Ini membuat sungai menjadi keruh. Belum cukup, rentetan siksa dari Pencipta datang silih berganti, Ibukota terlanda banjir 7 meter. Tasikmlayu terlanda gempa, dan yang terparah adalah Padhang. Ribuan orang tewas. Gunung Merapi mengamuk, mengeluarkan tentara domba-domba api yang kumal. Ia menghanguskan banyak desa. Puncaknya, seorang Resi melakukan ritual bakar diri, sebagai bentuk keprihatinan. Namun tak lama, Sang Prabhu kembali membantai Petapa Mas Sauji, dan membunuh saudara-saudara Bima dalam pertemuan di Pelabuhan. Ditengah kericuhan Negari seperti itu, tanda-tanda nubuat akan segera terlaksana. Sebentar lagi masa pergantian Prabhu, dan semua pihak sibuk menyiapkan bakal Prabhu berikutnya. Spanduk-spanduk terpasang. Prabhu juga sudah mempersiapkan operasi militer. Panser. Tank. Ambulans. Tak lupa, taksi untuk melarikan diri jika terjadi sesuatu. Akhirnya, Penyair Kelima datang bersama Bima, ia berkehendak memecah suara rakyat Negeri. Saat itulah rupanya Prabhu juga tengah mengadakan gelar Bala Tentara besar, untuk menghadang lawan-lawannya, agar kemenangan tetap padanya.

Bima yang telah dicintai penduduk kotanya, melakukan mbalelo, pemberontakan besar-besaran atas nama hak rakyat. Rakyat sudah jemu, mereka butuh pemimpin yang melaksanakan hak, mendapatkan hak sewajarnya, dan juga memulihkan hak seluruh rakyat. Ini masalah hak! Bima, dipersenjatai Tubuh Sang Kelima, bertempur melawan Prabhu Saget dan 50. 000 tentara, ya, sajak yang ditiupkan itu akhirnya benar-benar menjadi sekam yang terbakar dalam lubuk hati setiap rakyat. Dalam 2014!

Cahaya Dua Hati Semenjak pemberitaan tentang Negara Islam Indonesia membesar, aku tertarik mencari sumber-sumber di dunia maya. Lewat Facebook, aku mencari grup-grup diskusi yang sekiranya baik. aku bergabung dengan grup Diskusi Antar Agama. Rupanya grup itu adalah debat terbuka Islam dan Kristen. Aku terjebak malah pada pembahasan Al-Quran dan Bible. Ah, ilmu selalu berharga bukan? Tak masalah. Semakin hari aku justru semakin paham apa yang menjadi perbincangan masyarakat Facebook.Tuduhan, ejekan, bahkan pemelintiran ayat suci masing-masing agama. Sekali waktu, mereka mendebat tentang kenapa Al-Quran tidak dimateraikan dengan darah. Sekali waktu pula kami membahas apa itu jihad yang benar, serta bagaimana cara menemukan diantara 4 kitab yang paling valid. Dari sanalah aku kenal akun-akun seiman yang berjuang bersamaku menjawab tuduhan itu. Tetap saja, yang kutahu hanyalah akun dan foto mereka. Tidak lebih. Ada Hyde Daisuke, Alie Syahbana, Abah Kanon Dudi, Jaksa Kalian, Nas Dian Rachman, Tody Auliya, dan tentu saja akun Cahaya Dua Hati. Aku bangga, masih ada segelintir orang yang yang peduli dakwah, bahkan di media Facebook. Ini semakin mematahkan keraguan keharaman Facebook itu sendiri. Kami berjuang bersama seperti kelompok mujahidin di dunia maya. Jika antara kami tak online, pasti ada yang menggantikan. Satu ketika, karena kebersamaan kami telah amat erat, Hyde Daisuke membuat grup sebagai base camp kami, Indahnya Menghafal Al-Quran. Kemudian dibuat silsilah persaudaraan akun-akun kami, persis seperti Muhammad mempersaudarakan anshar dan muhajirin bahkan sebelum mereka betul-betul saling kenal. Abah Kanon Dudi sebagai tetua, sementara akunku, Hyde Daisuke, dan Ogie Trydianto M N menjadi saudara kandung. Indah! Namanya Keluarga Bahagia. Inilah persaudaraan yang kami cemburu padanya, di dunia nyata, kami bahkan tak kenal-mengenal. Tetapi akun-akun kami memiliki jiwa tersendiri, yang terpisah dari jiwa kami di dunia nyata. Di dunia nyata, tetaplah aku kesepian. Aku butuh tatap mata asli, tentu saja. Mereka seperti hidup dibawah tali keluarga yang menakjubkan. Cahaya Dua Hati adalah anak maya dari Hyde Daisuke dan Sidy Aulifah. Kala jengah berdebat, dia dering menyapaku, Om..!, dengan gambar mimik senyum jenaka. Kubalas pula dengan godaan. Kami sering bercanda ria seperti itu. Bulan bulan berlalu, kami sudah letih berdebat karena ternyata lawan kami bukan mencari kebenaran, tetapi pembenaran. Kami justru beralih menyebarkan pesan-pesan AlQuran lewat akun kami.Cahaya Dua Hati membahasnya rinci, kadang menyengaja mengajak aku diskusi untuk menambah pemahaman orang yang melihat jalannya diskusi kami. Kadang tentang rasa bosan ibadah, orang tua, kadang pula tentang surga dan neraka. Pemilik akun ini adalah Liza, fotonya gadis cantik, muda, namun tanpa jilbab, entah kenapa. Statusnya menikah dengan Razes Van Ahmed, namun aslinya hanya berpacaran, usut saudaraku yang lain. Hingga, empat hari ini tak kulihat dia di daftar obrolan aktif. Kucoba memberikan pesan pada Alie Syahbana. Mas, Liza kemana ya? Empat hari ini tak online? Dia sakit mas.... Lho, sakit apa?! Mas, jangan bilang-bilang ya kalau aku yang beri tahu. Dia tadi pingsan, ditemukan pembantunya, diatas kursi Ha? Dia dimana?! Sakit apa, mas?

Dia di Hongkong, mas belum tahu? Dia kanker otak... Inna lillahi... Aku pusing, gemetar. Orang dengan penyakit seberbahaya itu masih bisa membuat persaudaraan akun kami demikian erat, meski hanya dunia maya. Aku betul-betul kaget. Bagaimanapun mereka seperti keluarga asli. Atas dasar cinta yang ukhrawi! Aku terus melanjutkan kabar dari Alie, memeriksa beranda dan akunnya, kalau kalau ada kabar, namun nihil. Kabar terakhir adalah sepuluh hari yang lalu, status. Mendadak aku lihat kiriman Abah Kanon Dudi di dindingnya, Sebelum sakit, Cahaya dua Hati bertanya sama Abah, Cahaya, "Abah sedang sakit yah? Katanya abah di rawat yah?", Abah, "Iyaa, Liza, abah sakit dan sekarang dirawat Di RS ADVENT". Cahaya, "Emang abah sakit apa? Abah, "Jempol kiri kaki abah bengkak, Liza, abah kebanyakan ngelike status orang!!!". Eh 2 hari kemudian, Cahaya dua Hati kedapatan kabar koma, terjatuh di kamar mandi dan kepalanya pendarahan, sehingga harus dioperasi. Yang notabene Liza ini Brain Cancer. Berita dari kakaknya Liza (Rury) bilang, sms ke Arif Wibisono katanya, "Waalaikumsalam Masih belum ada perkembangan lagi seperti yang kami harapkan,belum sadar.terimakasih ..ini mbaknya Liza, Rury" Cepat sembuh yah Liza......!!!! Lalu menit demi menit selanjutnya, barulah kabar bermunculan dari saudarasaudaraku, Gerbang Kebenaran: "....Andai saja aku tak mengetahui bahwa tujuan perjalanan ini adalah kampung akherat, maka sudah sejak lama aku terhenti di banyak persinggahan yang melalaikanku..." Gerbang Kebenaran: "... Bisakah kita hentikan sejenak pembicaraan kita, wahai engkau jam dinding. Kau hanya menciptakan jenuh saat aku melirik wajahnu..." Gerbang Kebenaran: "....Tiap buka lembar demi lembar, kenapa seluruh Bab hanya bercerita mengenai Brain Cancer?..." Gerbang Kebenaran: "....Menemukan sinonim baru.... ....Brain Cancer itu adalah One Litre of Tears..." Gerbang Kebenaran: "...Sedang menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh seorang yang

bernama Rasa Sakit..." Gerbang Kebenaran: Assalamu'alaykum Alhamdulillah. Kondisi seorang teman kami yang pasca operasi anestesi di otaknya dikabarkan mengalami perkembangan yang baik dalam prosesnya. Yang awalnya kritis, kini tekanan darahnya sudah relatif stabil. Dan tubuhnya sudah bisa merespon obat-obatan yang masuk ke dalam tubuhnya. Namun, hingga saat ini belum sadar. Diharapkan besok sudah sadar. Allahuma aaamiin. Gerbang Kebenaran: "...Tekanan darah menurun... Kritis..." Aku terdiam, tak mampu bicara banyak. Tersentak. Kubuka saudaraku yang lain, Alie Syahbana: Dia sangat menyukai hujan dan bintang... Filosofi hujan adalah kesuburan bagi seluruh alam, sama seperti halnya bintang yang menjadi penghias bagi malam. just remember Alie Syahbana: HASBUNALLAH WANI'MAL WAKIL Ni'mal maula wani'man nasir cukuplah Allah penolong bagimu. Karena Allah adalah sebaik baiknya penolong. Alie Syahbana: Ada yang lebih nyata daripada dunia. semoga kamu bisa melewati masa kritismu dengan kesabaran. KITA menunggumu bersandiwara lagi bersama sama disini kosong Alie Syahbana: Dari sebuah "senyuman lugu aku baru dapat menyimpulkan..

tanpa cinta hidup tak akan berarti, tanpa kehidupan cintapun tak akan muncul, Dimana ada hidup disitulah ada cinta, Dimana ada cinta disitulah ada kehidupan, sudah menjadi qodrat manusia mencintai dan dicintai, kita tak bisa lari dari kenyataan, Karena berdasarkan cinta pula Allah menciptakan manusia. Bersyukurlah, kita diciptakan karena kita di cintai. The power of Cahaya Illaahi Rabbi, ada apa ini? Penyakitnya semakin timbul, lebih parah dari sebelumnya? Ku buka dindingnya, kembali status terakhir yang kubaca semakin menohok-nohok perasaanku:

Cahaya Dua Hati: Ya Ayyuhannafsul muthmainnah Irjiu ilaa Rabbika radhiyyatam mardhiyya Fadkhulil fi ibaadi Wadkhulil jannati Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha lagi diridhai Maka masuklah kedalam HambaKumasuklah kedalam SurgaKu. Ini... pesan berpamitankah? Ya Allah... apakah kebersamaan kami harus berhenti karena rencanamu yang tak kunjung aku mengerti? Apakah berarti, selama ini aku sedang menyaksikan detik-detik terakhir hambaMu? Betapa dekat, betapa dekat Betapa dekat kita dengan kematian, Engkau menghidupkan kami! Ya Allah.... Aku menjadi tidak bernafsu menjelajahi grup-grup lagi. Aku hanya ingin tahu kabar dia. Hanya kabarnya. Aku coba membuat puisi untuknya, Amar Ar-Risalah: ada lembar yang terbuka tanpa sengaja, catatan kecil kita kamu terbaring dengan luka dan menggapai-gapai Dia kamu memang tenang kamu mau menjadi hamba Yang Tersayang yang juga aku sayang-kamu ingin hilang? Sayang-jadilah jiwa yang tenang dan hiduplah dengan tenang palang-palang menggempur keghaiban tetapi masuklah dalam barisan, jadilah puteri kesayangan Tuhan hiduplah bersama kita, letakkan tanganmu bukan di kepala atau, berperanglah lagi bersamaku, angkat baju perang tudungkan kepala, jadilah lagi kesayangan kita kita pukul mundur mereka, perbaiki yang rusak ganti yang binasa tapi kamu jangan dulu binasa! CintaNya ada berbagai cara, ambillah salah satunya, bukan yang berupa air mata! *** Ini sudah tiga hari sejak hari aku tahu dia sakit tak kudengar kabarnya. Saudarasaudaraku tak lagi mengeposkan sesuatu di dindingnya. Apa yang terjadi? Orang baik selalu tersingkir dari papan catur. Allah, apa kabarnya? Aku lihat semua grup bersama aku dan dia. Nihil. Kiriman terakhirnya adalah sebulan lalu, tentang rasa luka. Di dindingnya masih kulihat puisiku dan untaian doa-doa dari saudara kami yang telah lama dikirimkan. Penjuru dunia maya, mereka yang Islam. Sesaat lagi isya, menjelang waktu tidur. Aku makin gelisah, jalinan kabar saudara, ...kritis..., tekanan darah turun..., ...jatuh.... dia sudah membuat aku merasa dikelilingi rasa sayang dan cinta dari saudara seiman. Atas iman! Kenapa dia! Keluarga Bahagia telah membuat aku merasa tidak sendirian, di dunia nyata, aku jarang bertatap muka bahkan dengan orang tuaku, mereka tak punya cukup waktu. Tetapi mereka dengan ceria biasa menyambutku di beranda Facebookku. Allah, berikan dia kesembuhan.

Selasa, 20 Desember Pukul 23. 44, aku dikejutkan dengan munculnya status Cahaya: Cahaya Dua Hati: Terima kasih... Apakah ada ucapan yang lebih berhak disandangkan selain ucapan ini? Liza hanya faham ucapan ini Hanya bisa menganalisa dengan sekedarnya Hanya mampu menuliskan ini seadanya Tapi itu dari sini Apakah teman-teman lihat? He eh, ini benar Ini dari sini Lihat telunjuk Liza ini Ini dari hati ini Dari sebuah kedalaman Dan dari nilai yang sedalam-dalamnya Sekarang Liza sudah bisa menjawab Meredefinisi sebuah pertemanan Adalah sebuah tegur sapa Adalah sejumlah kata yang menguatkanku Untuk kalian yang berdiam tegak Tak bergeser saat aku hanya bisa mengisyaratkan Hidupku dengan nadiku Jika seorang guru bertanya pada Liza Maka Liza tidak akan kaku lagi untuk menanggapi arti sebuah teman Teman itu Yang selalu rindu dengan saudara seimannya saat mereka jauh Yang selalu mendoakan Liza dengan diam-diam dengan bibirnya Yang berperan sebagai seorang penyimak saat Liza bergumam mengenai sebuah kesedihan.. Yang selalu bilang ke Liza, Liza, sepertinya kamu belum sholat Hayoo, sholat dulu Nah, sudah jam segini, moso ga makan nasi Ayo makan, dik Kapan-kapan kita haunting jilbab yuk sepertinya ada yang lagi diskonan tuh..xixixixi Dan yang merindukan Liza dengan tangisnya Liza, kamu sudah janji kita bertemu di Lampung Aku percaya kamu kuat my Sissy Liza ngerti kok Liza ini seorang gadis kecil Gadis kecil yang duduk terdiam di pinggir telaga

Menulis riuh rendah kehidupan Liza di riak-riak air Tak peduli cuaca di luar sedang berinai hujan.. Rinai yang kusenangi hadirnya Dan Liza menduga Liza hanya punya dua air itu Iya, apakah hanya dua air itu yang bisa Liza banggakan? Namun, saat Liza mendongak sedikit Ternyata di situ ada kalian Tersenyum haru memandangi Liza Kemudian duduk di samping Liza Dan bilang ke Liza Liza, di sana ada taman bunga Tidakkah kau ingin bermain berlarian bersama kami? Saat ini Liza pun hanya bisa menangis Berempati Mengagumi ini sebagai sebuah kekaguman Mensyukuri ini sebagai sebuah nikmat Allah... Ini Liza Dan ini adalah mereka Liza berharap dalam tiap doa Liza Agar pertemanan ini Agar kedekatan ini Dan Ukhuwah ini Tidak berhenti di sini saja Namun beralur panjang di kampung akhirat kelak Di Surga-Mu Aaamiin

Diari Menjadi waktu adalah pekerjaan paling sulit di dunia setelah menjadi Tuhan. Manusia selalu memaki-maki aku, seandainya waktu itu.... Seandainya dulu.... Seandainya kemarin... Aku adalah dulu, sekarang, dan masa depan. Terkadang aku menjelma kedalam mimpi-mimpi, terkadang pula aku menjadi tubuh manusia yang membawa ruh-ruh yang mati menjadi dapat dilihat dalam mimpi. Aku adalah masa lalu, yang menjadikan masa sekarang memiliki alasan untuk menjadi seperti sekarang. Juga, aku adalah masa lalu yang memiliki kemampuan menyimpan ingatan perubahan dunia, bencana alam, pembunuhan tokoh, kehancuran satu negeri, bahkan kelahiran Adam. Masa lalu bukan aku yang mengaturnya, aku hanya menjadi mediator, sarana, yang bertindak tetap manusia. Bukan batu, bukan tanaman, bukan pula hewan. Manusia punya kehendak, manusia punya akal, manusia punya kemampuan mengendalikan waktu, hewan tidak. Hewan hanya turut mengalir bersama arus waktu, tanpa bisa ia melawan kodratnya. Perilakunya hanya sebatas aksi-reaksi atas kebutuhan hidup yang temporer, ya, aku menyaksikan manusia, banyak manusia, hidup dalam waktu yang berbeda tetapi pada hakikatnya mereka hidup pada satu waktu. Waktu dimana mereka memiliki kebebasan untuk meloncat antar waktu, antar takdir. Aku adalah masa sekarang, masa dimana kamu bernafas, masa dimana kamu memprediksi masa depan. Aku adalah aliran, sejatinya tak ada yang bernama masa sekarang, Karena sekarang cepat menjadi lalu. Hidup untuk masa sekarang hanya berarti akan menjadi puing-puing masa lalu. Inilah yang terjadi pada binatang, yang tidak memiliki impian masa depan, hanya untuk masa sekarang. Aku yang sekarang tercipta menjadi akibat atas sebab di masa lalu, jangan menyesali aku, atau aku lempar kamu ke masa manusia belum ada. Aku yang sekarang adalah penghubung antara masa lalu dan masa depan, bagaimana agar wujudku yang lain itu bersambungan, tidak mengalami distorsi. Pun akulah masa depan, akulah yang diberitahukan kepadamu ketika kelak Isa akan turun mengubah dunia. Akulah yang coba kau terkanya, menjangkau-jangkau sesuatu abstrak yang aku sendiri tidak mengetahuinya. Masa depan adalah aku, tetapi aku tak menguasai bagian tubuhku yang itu. Kamu selalu bertanya, dapatkah mengubah masa depan, dapatkah mengubah bagianbagian tubuhku, yang seperti menjadi penguasamu, kamu aku arahkan kemana saja aku suka?

Ha ha ha ha ha Kenapa? Tawaku memang aneh. Kamu lucu, pertanyaanmu seperti bocah kecil yang tenggelam di sungai, Dimanakah ujungnya! Bukankah bila kamu mampu mengubah masa depan berarti kamu membuat sesuatu yang Tuhan tak mampu membuatnya, yaitu Takdir perubahan? Tuhan telah menetapkan segalanya, Tuhan telah menetapkan segalanya. Jika Tuhan tidak menetapkan masa depanmu, maka Tuhan menjadi tidak tahu terhadap masa depanmu, Kemahatahuannya akan luntur seperti lunturnya tinta dari kertas basah. Jika Tuhan tidak menetapkan masa depanmu, hehehe, bukankah kamu memiliki kebebasan untuk memilih tempatmu kelak? Kaya? Miskin? Itu menjadi bisnis antara kita, uh! Bisnis yang menyenangkan, Waktu dan Manusia! Tetapi Tuhan menjadi Maha Tidak Tahu! Hahahahahah! Tuhan Maha Tahu yang kehilangan pengetahuannya gara-gara ulah jahil manusia yang mengubah masa depan! Atau begini saja, bagaimana bila kamu aku letakkan dalam penjara mengerikan karena mengeluarkan pernyataan demikian, bayangkan, Tuhanmu itu, adalah raja kejam yang tidak membiarkan seorangpun keluar dari undang-undang-Nya, sekeras apapun kamu berusaha, hehehe, Tuhan Maha Kuat, Dia telah menghancurkan Firaun, Dia telah meledakkan Hiroshima, Dia juga telah mengempaskan Aceh menjadi padang kosong tanpa penghuni. Bayangkan, kamu, yang biasa hidup dalam kebebasan, menjadi terikat dalam penjara bernama takdir. Kamu harus mati, ketika di saat yang sama kamu harus menyelamatkan ibumu dari kematian pula. Atau bayangkan, cintamu dibunuh tanpa kamu sempat mencegahnya. Mukanya disilet, sementara durjana itu memperkosanya, tepat di depan matamu, gadismu menangis, keras sekali, menahan sakitnya, tetapi rambutnya yang berantakanmenutupi matanya. Lalu durjana itu mengoyak lambungnya tanpa kamu sempat menghalaunya. Takdir memang kejam, rekan bisnisku. Takdir memang kejam. Tetapi, bukankah jika begitu, maka Tuhan menciptakan sesuatu yang sia-sia? Betul tidak?

Tuhan menciptakan akalmu menjadi sia-sia, karena toh semua sudah diplot, ada skenarionya. Kamu menjadi benda mati yang kebetulan bisa berpikir, tetapi terbatas karena tanganmu dipegang oleh dalang, dan kamu kehilangan pilihan. Kamu ingin hidup? Boleh, tetapi maaf, disini skrip dimana kamu harus sekarat. Ya, kan? Akuilah! Hyahahahahahahah! Boneka... boneka... bonekaku yang lucu... ada yang jadi pemimpin dunia , tapi takdir menghajarnya untuk mati dalam terowongan, ada yang pelacur, Aku menikmatkannya bagi laki-laki tapi matinya melindungi anaknya, hingga dia masuk surga bersama Nabi-Nabi. Hyahahahahahahahaha! Dasar bodoh! Sinting! Kamu terobsesi mengendalikan waktu hingga mengatai Tuhan Maha Tidak Tahu! Jika kamu berdoa, Ya Tuhan ampuni aku, sisakanlah perawan bagi generasi kami Dan sayangilah aku, bukankah pada hakikatnya kamu sedang memaksa Tuhan yang tak bisa dipaksa untuk mengubah takdirmu? Untuk menyisakan beberapa perawan untuk kamu? Bukankah Tuhan Kita Bersama memang memerintahkan kita bermohonlah apa saja, Iblis, meminta hidup yang abadi. Muhammad, meminta menjadi kekasih-Nya, dan itu dikabulkan. Jika memang takdir sudah ditetapkan, bukankah dengan berdoa kita sedang meminta takdir untuk diubah? Jodoh? Uang? Kematian? Ya, kan? Bukankah ketika kamu meminta agar kematianmu ditunda, pada hakikatnya kamu meminta agar takdir dan pengetahuan Yang Maha Tahu berubah atas masa depan? Ya! Tetapi... bukankah Tuhan akan menjadi buta tentang masa depan? Bodoh!

Tuhanku tidak buta! Barangsiapa mencela waktu berarti dia mencela Tuhan, karena Tuhanlah yang mengawasi peredaran waktu. Dia ada diluar waktu, dia menyaksikan masa depan dan perubahannya. Dia Tahu segalanya, tetapi sebagaimana waktu, pengetahuannya dapat berubah, bukan karena ditemukannya asas baru, tetapi waktu sejatinya, Tuhan sejatinya, hanya menentukan bahwa segala sesuatu haruslah memiliki sebab. Kamu meminta sisakan perawan bagi generasimu, ternakkanlah saja. Itu sebab nanti dimasa depan stok perawan tetap aman. Pengetahuan Tuhan adalah pengetahuan yang dinamis, Dia berhak menentukan perjalanan waktu, menentukan sebab yang pantas bagi akibatnya kemudian dan disisi lain, mengubah perjalanan waktu itu sendiri. Benar! Masa depan sudah ditentukan, tetapi belum dilaksanakan, dan inilah yang menjadi rahasia Tuhan dan aku selama ini, bahwa kamu berhak menentukan masa depan, dengan sepengetahuan Tuhan. Karena tidak ada perubahan yang tidak diketahui Tuhan. Manusia... hahahahahahaha! Kamu bisa bekerja sama dengan Tuhan untuk menentukan masa depan yang telah direncanakan namun belum dilaksanakan. Ya, kamu bisa mendapatkan perawan sebanyak yang kamu mau. Tetapi, tetap saja Tuhan bisa menghentikan waktu kapan saja. Kapaaaaaaan saja. Karena apa? Tuhan memiliki beberapa patokan tertentu. Kelak, Isa harus turun dan membeberkan semuanya. Kelak, Gog akan turun dan memusnahkan peradaban. Kelak, kiamat harus datang untuk menghitung dosa manusia. Kelak juga, aku akan mati. Ajalku akan datang ketika Kematian diwafatkan Tuhan, aku akan mati, dan kamu akan terbebas dari aku. Kelak, setelah kiamat, kamu akan seperti Tuhan, mampu membebaskan diri dari waktu dan hidup selamanya, Aku akan mati, berkepingan dan terbang keudara. Saat itu waktu seperti berhenti tetapi sebetulnya hilang, karena tidak akan ada lagi masa depan, sebab masa depan hanya akan ada jika masih ada cita-cita. Masa depan hanya akan ada dengan penyatuan kehendakmu dengan Kehendak Tuhan, penyatuan Alam Bawah dengan Alam Atas, penyatuan kedua gagasan. Meskipun Tuhan mampu mengentikan waktu dan membunuhmu kapan saja.

Kita Harus Menyelamatkan Sebanyak Mungkin Manusia!

15. 00. Kita harus menyelamatkan sebanyak mungkin manusia, yang muda terutama. Yang wanita harus yang cantik demi menyelamatkan keturunan kita dari penyakit. Yang remaja, periksakan dan beri kartu lulus uji, standar bahwa dia lulus uji penyakit dan IQ. Apapun agamanya! Berapa jam yang kita punya?! tanyanya kembali sambil mengacak-acak dokumen. Mencari sesuatu. Menurut prediksi, hanya tinggal lima belas jam lagi! sahut bawahannya. Dia termenung kembali. Apa yang dia cari ada di jawaban ajudannya. Negeri yang dia bangun selama ini, akan hancur seketika, ditelan bencana. Ombak mahadahsyat, yang akan muncul akibat letusan gunung raksasa di tepi lautan. Para ahlinya, di Kementerian Kebumian Dan Kelautan telah meramalkan setengah hari lagi daratan kepulauan itu akan lenyap, ombak yang terjadi akan setinggi 150 meter, menyapu 100 Km keatas daratan. Hanya puncak Gunung Gede, dan pegunungan diatas tiga ribu meter yang akan selamat. Siapa yang dapat menghindar dari hujan batu dan api? Selama satu bulan, sudah tiga meter abu menimbun segalanya. Bahkan istana negara sudah terbenam, hujan yang belum lama terjadi mengubah abu menjadi air bah hitam yang membawa pasir dan menewaskan ratusan orang. Empat setengah tahun dia memimpin, tak akan pernah terbayangkan apa yang dibangun oleh kesepuluh pendahulunya akan hancur sia-sia. Monas sudah hampir rubuh, ia terhantam air bah. Gelora Bung Karno ambruk tak kuat menahan abu setinggi lima meter di tribunnya. Getaran akibat letusan-letusan kecil telah meruntuhkan bagian terbesar kota, dan meretakkan jalan-jalan hingga tak dapat dilalui mobil, truk, dan ambulans. Pasar Tanah Abang habis terjarah lalu dibakar, dan tinggal bertingkat dua saja. Sementara koleksi museum-museum dibawa ke negera Eropa untuk diamankan. Tentu, dalam keadaan hancur. PLN telah lama memutus aliran listrik, sebab pembangkit utama di seluruh pulau dan lautan bergaris 500 km sudah rusak dan tertimbun abu. Di Jawa Tengah saja, semua sungai sudah hilang, terendapkan oleh lahar dan pasir panas, yang sekejap berganti lumpur hitam.

Banyak yang menangis, pengungsian untuk pejabat itu nampak dipenuhi bacaanbacaan yaasin dan shalat taubat, sementara yang Kristen menggelar misa terakhir kali sebelum evakuasi. 15. 30. Dengan tergesa, ajudan melaporkan bahwa lahar sudah keluar dalam skala kecil, dan membuat sekitar kawah gunung laut itu ditutupi awan dan uap air. Ada yang sudah sampai daratan, dan menimbun habis pelabuhan Sunda Kelapa, Muara Angke, Tanjung Priok, dan pelabuhan kecil-kecil di Jawa Tengah. 18. 00. Mana kapal kita? Di pelabuhan selatan Berapa kapasitasnya? Lima ratus Mau kemana? Pak Wakil bilang, ke utara, entah Rusia atau China, asal jangan Jepang. Jepang? Ya, patah lempeng kita sampai sana Siapa nanti yang menemani kita selain pejabat atas departemen? Atasan Kepolisian, TNI, PGRI, pemilik-pemilik perusahaan BUMN, gubernur, dan sebagian walikota Presiden termenung kembali, dan ajudan melanjutkan laporannya. Jakarta Utara sudah hancur Berapa yang selamat? Lima ribuan katanya, tak ada mayat-semua-terbawa ke laut. Pak? Ya? Boleh saya bertanya? Saya lelah, dan saya butuh teman bicara Pak, belakangan ini nada bicara bapak menjadi datar. Hilang. Ada yang bisa saya bantu pak?

Kamu adalah ajudanku yang terbaik, Kolonel Terimakasih, pak Aku kehilangan semua keluargaku. Aku menahan-nahan emosi agar masyarakat tak ikut emosi. Bila aku menangis, masyarakat akan betul-betul menganggap ini bencana besar Ini memang besar, pak Kamu belum pernah melihat ketika aku menghancurkan kota dulu, waktu aku memimpin pertempuran di Iran Maksud Bapak? Mungkin ini menjadi penebus dosaku di waktu dulu Sudahlah, pak Aku salah, ya? senyum sang Presiden mengembang, getir. 21. 00. Pasukan Indonesia menghancurkan Teheran, ketika kota itu dikuasai Amerika. Lima tahun yang lalu. Jenderal Ibrahim, yang menjadi panglima perang, mengeluarkan senjata rahasia yang ditemukan berkat teknologi terbaru mahasiswa ITS, pelontar petir, yang mampu meledakkan sebuah tank sekali lecut. Senjata itu kecil, seperti AK-47 dan petir putih akan melecut seperti cemeti. Daya lecutnya sebesar 90.000 Volt dan mampu terlontar sejauh satu kilmeter. Jika mengenai manusia, maka ia akan menjadi seperti fosil. Ribuan orang tewas, sebagian karena ketika 500 pesawat AS datang, dihantam petir raksasa dari pesawat siluman Indonesia secara bersamaan. Gosong. Akhirnya, Jenderal Ibrahim menjadi presiden pada pemilu, setahun kemudian. ia memiliki program pengembangan angkatan perang dan teknologi, disamping peningkatan pendidikan dengan meningkatkan jam tatap muka para guru. Gaji naik. Subsidi bensin besar-besaran dicabut. Dialihkan kepada subsidi koran dan buku. Internet menjangkau hingga kawah gunung Tambora. Ia membangun proyek sejuta hektar kembali, yang telah lama mati karena Soeharto gagal menjalankan itu, enampuluh tahun yang lalu.

Karena kekuatan militer ini, ia berhasil menguasai PBB dengan segala intriknya. Indonesia menjadi pemimpin dunia. Meski banyak bencana, empat tahun berjalan dengan aman. Kejahatan turun, karena polisi dibekali pelatihan cuci otak dan hipnotis. Aku sedih juga, kolonel. Ini semua aku bangun dengan sulit. Berapa yang mesti kita keluarkan untuk membangun kembali makam-makam korban Kenapa bukan perumahan, pak? Siapa yang akan tinggal? Mereka berdua termenung. 23.30. Kolonel, kamu ingat, pertama kali dimana kamu bertemu dengan istrimu? Ya, tentu pak, kami bertemu ketika sebelum masuk dinas, di Ancol, dan kami bertukar nomor Sekarang Ancol hilang Iya, pak Rumahku, hancur. Anak saya yang bungsu yang menjadi taruna juga mati, kena ombak di Priok ketika evakuasi. Pak? Ya? Berapa yang mau Bapak selamatkan? Menteri, sarjana, dokter, guru, orang kaya Maksud saya, yang Bapak selamatkan karena Bapak sayang mereka? 01. 00 Gunung itu dengan keganasannya telah mengubah wajah Presiden-entah kenapa sekarang-mencintai makam rakyatnya.

Refleksi Sepulang dari pertempuran besar itu, aku kembali ke rumah. Berapa bulan ini aku tak membersihkan barakku dari debu. Bau. Ada beberapa orang disana, namun semuanya ikut pertempuan. Aku masih ingat, betapa hiruk pikuk pertempuran membunuh satu temanku yang tercinta. Dia bertempur demi apa yang kami cintai, Tuhan, meski kami belum pernah sekalipun bertemu dengan Dia. Temanku itu sangat cinta pada Dia, maka mati dia demi apa yang dia cintai. "Mulai sekarang, kamu, kamu, kamu adalah prajurit yang disiapkan untuk menumpas Tuhan!" seru Panglima. "Tuhan?!" gelak beberapa orang. "Dia, yang dulu tak boleh disebut nama-Nya, tumpaslah karena Dia menyebabkan pembantaian-pembantaian atas nama Tuhan Selain Tuhan Kita Bersama!" "Tapi, pimpinan! Tuhan yang Mana, sementara Mereka mengaku Sama!" kritik yang lain. "Tuhan yang berdusta dalam kitab-Nya, Tuhan yang mampu memanusiakan dirinya, Tuhan yang Manusiawi!" Gemuruh suara prajurit, "Manusiawi!!!" "Tuhan yang memaksa kita semua berada dalam lingkaran pohon pengetahuan tanpa tahu apa itu pengetahuan! Tuhan yang pelit!" "peliiit!!!" "Tumpas, tumpaaaaas!!!" Mereka menyerbu singgasana yang serupa dengan singgasana Tuhan Kita Bersama, dan di langit nampak barisan yang serupa malaikat berbaris menyongsong mereka membawa gada, yang serupa Gada Api Malaikat. "Tuhan Kita Bersama! berkatilah Prajurit yang ingin menolong agamaMu!" seru Panglima Sementara, penduduk kota bingung dengan Tuhan mereka, ternyata Tuhan mereka mengempis, pelan-pelan Tuhan-Tuhan itu berjatuhan seperti laron, tapi ada satu sayap tentara Tuhan Lain yang mampu menerobos barisan tengah kami, dan menyerbu habis-habisan. Temanku termasuk pasukan yang dipukul mundur secara mendadak oleh pasukan sayap cadangan musuh itu, dan dia tewas terkena kelewang. Ia terlibat satu lawan satu dengan panglimanya.

Kini, pedangku dan kelewangmu telah bersilangan, Saudara! Aku bukan saudaramu! Aku benci menumpahkan darahmu kamu musuh Tuhanku! Maka, temanku itu, yang mampu mengeluarkan api dari pedangnya, menebas sang panglima sayap cadangan. Malang, kelewang panglima terburu dilempar dan menembus jantung temanku. Dada kiri. Jantung dada kiri. Sayap cadangan musuh hancur, namun sepertiga pasukan sayap tengah kami mati. Penduduk kota yang tersisa berseru sambil terus melawan membawa senjata seadanya. Keris, batu, golok, galah, bambu runcing, bahkan kayu balok biasa. Mereka meneriakkan bahwa kami memusnahkan Tuhan mereka tanpa menawarkan Tuhan Alternatif.

"Mana Tuhan Kami!!" Kembalikaan, Hidupkaan! Itulah kenanganku tentang perang. Aku bimbang, peperangan ini memakan banyak nyawa, untuk Tuhan yang Maha Menghidupkan. Aku letih, aku mulai mempertanyakan Tuhanku sendiri. Kemudian dzatku yang kemarin bicara, hujan mengering, setelah sebelumnya membawa dosa-dosa kita semua bergerak tiada. Tuhan menyertai kita, yang terluka sepulang dari pertempuran di tengah bulan-bulan yang terbelah dan terluka. Kamu diliputi bau darah, Dzatku sekarang. Kamu bau darah Basuhlah dirimu! aroma darah dan perang mengaliri kita! Aku yang sekarang diam saja. Aku lelah, peperangan ini banyak membunuh aku. Dzatku yang tiga hari lalu menyeringai, hai, tunggu dulu Aku, bukankah yang membangkitkan kecoak-kecoak dan nyamuk menjadi pembunuh nomor satu adalah aku? lalu Kecoak dan Nyamuk itu membunuh Tuhan yang diam dalam hati mereka tanpa ragu, hehehe, ha ha ha!

Aku munafik! Tuhan yang aku sembah tak lain tumpukan darah, daging, tulang, dan bulu! Aku yang sekarang bertambah diam saja. Dzatku yang tiga hari lalu itu memang memiliki nada bicara kasar, membentak dan sarkas. Aku-aku yang lain telah maklum. Kami memang sangat lelah. Kami memang sangat lelah. Ya Tuhan, peperangan melawan Tuhan sungguh sangat melelahkan. Dzatku, mulai dari setahun lalu, hingga yang tiga hari lalu, aku kumpulkan setiap detiknya. Aku-aku itu lalu kuangkat dan kuatur menjadi prajurit untuk melawan Tuhan. Meski tak ada protes, namun entah kenapa kami tak puas dengan hasil pertempuran. Kami telah bunuh Tuhan, demi melestarikan Tuhan yang tunggal, tetapi apakah ada yang terlewat? Mendadak, seperti tak tahan mendengar dialog kami semua yang kelelahan, Dzatku yang sejam lalu angkat suara, Perhatian, kita seperti dibangkitkan kembali, tak sadarkah Aku semua? Seharusnya aku sudah menjadi Aku yang sekarang, tetapi Aku Sekalian disini tak bisa menyatukan Aku yang Aku dengan Aku yang Aku sekarang! Dzatku yang sejam lalu ini memang memiliki tipe perenung, ia suka merenung. Ia sempat menolak ketika aku mencoba menyatukan pasukan. Ia memiliki gagasan, bahwa aku tidak pernah konsisten. Mustahil aku yang sekarang sama satu tujuan dengan aku yang setahun lalu, bahkan dengan aku yang sedetik lalu. Aku sedih juga, menghadapi kebenaran perkataan aku yang sejam lalu. Ia benar. Aku tidak pernah konsisten. Aku yang setahun lalu, bahkan tidak memiliki Tuhan yang sama, namun kami kini ingin memerangi Tuhan yang berbeda dengan Tuhan kami. Apakah nanti, selesai pertempuran, tidak akan terjadi perang saudara? Antara aku yang kini dengan aku yang setahun lalu, karena Tuhan kami berbeda? Entahlah. Aku sendiri bimbang. he!" Itu darah siapa, bodoh!", aku yang dikenal orang menyela, aku yang sekarang diam saja. Itu darah belum kering! Ia pemarah, ia sangat marah ketika aku memutuskan melanjutkan pertempuran manakala ada yang mati dan itu dalam jumlah besar. Ia menuntut penundaan untuk menguburkan, tetapi aku yang itu beranggapan, pertempuran ini diselesaikan dulu. Temanku, aku yang dulu, yang kini mayat yang tinggal tulang bangkit dan menyela juga pembicaraan Aku semua dari dalam peti matinya, yang masih kuletakkan di ruang tamu, menunggu saat-saat penguburan.

Kau lupa? kau bunuh aku, maka kamu semua kehilangan diri kamu semua merasa mati Kau lupa? aku lah la ilaaha illa Allah mu Akulah astahfirullah mu Aku inna lillaahi wa inna lillahmu Aku inna lillahi wa inna lillahmu Kami semua terperangah, apa yang ia katakan? Ia sudah mati! Berani sekali mencampuri pembicaraan kami yang hidup! Aku seruan kematian, yang datang membangkitkan kamu semua aku inna lillaahi wa inna lillah mu, inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun! inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'uun! Aku inna lillahi wa inna lillahmu! laa ilaaha illa Llaah laa ilaaha illa Llaah laa ilaaha illa Llaah laa ilaaa haa illa Llaah inna lillahi wa innilaihi raaji'unn! nna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun! inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'uun! aku inna lillahi wa inna lillahmu! *** Kami semua masih terperangah dan termenung. Masih mengenang pertempuran melawan Tuhan.

Bayang-Bayang Tidak bisa! Pengesahan Undang-undang ini hanya akan berakibat tertutupnya kebebasan berpendapat! seru seorang orator. Hidup demonstraaaan! Hiduuup! robohkan, robohkan robohkaaaaan, robohkan rezim pembodohaaaaan... Terdengar yel-yel dan lagu-lagu perjuangan. Lapangan akbar Monumen Nasional amat panas, namun tak menyurutkan langkah demonstran untuk tetap menyuarakan hak. Ini hak. Masalah hak. Apabila hak rakyat sudah dikekang, jadilah kecoak-kecoak sampah menjadi serigala yang siap menerkam siapa saja. Seruan untuk turun kejalan seperti mantra pengubah wujud kecoak itu. Jalan raya macet. Merdeka macet. Merdeka utara macet. Merdeka timur macet. Merdeka selatan macet. Merdeka barat juga demikian. Sudirman, Thamrin, macet. Gang-gang kecil yang langsung mengarah ke telinga KPU dan Pemerintah juga macet. Terhalang sampah. Jika hujan datang, sampah-sampah itu mengalir ke telinga mereka dan langsung menyumbat gendang pendengaran mereka. Langsung! Sampahnya bervariasi juga sebenarnya, ada demonstran yang tak sengaja mati terpepet busway yang tak lihat sedang ada ribuan demonstran. Ada bungkus rokok. Bungkus chiki. Taro. Mie sedap juga ada. Untung saja premium tak ada kemasannya. Premium kemasan ekonomis.

Pram berlari dan bersorak ketika polisi-yang sejak lima menit lalu meramalkan akan ada kerusuhan-mengejar puluhan rekannya yang membawa spanduk. ooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo! Oooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo! ricuh ricuh ricuh ricuh ricuh ricuh ricuh ricuh ricuh ricuh ricuh ricuh! Oooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo ooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo ooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo ooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooooo ooooooo!!!! Membahana suara demonstran, Pram terus berlari. Lima orang tewas, dalam demonstrasi besar-besaran yang mengerahkan lima ribu massa dari berbagai elemen masyarakat. Lima orang ini berasal dari dua mahasiswa, satu buruh, satu kalangan seniman, dan satu lagi dari PGRI. Demikian berita terkini **** Sesampainya dirumah, Pram merebahkan dirinya di karpet. Syam, apa hasilnya?, tanya Ibrahim. Lima tewas, demi burung bangkai, sahutnya. Heh, burung bangkai. Tidak buat Tuhan. Ya, mati sia-sia. Jadi? Bagaimanapun kamu demonstrasi mengkritisi kebijakan pemerintah, sebetulnya kamu hanya mendemo produk Thagut Tapi kan kita tinggal di Indonesia, Akhy, Indonesia juga milik Allah Pancasila membatasi itu, Indonesia milik rakyat Rakyat juga milik Allah Hmm, Makanlah dulu, nanti malam ada tilawah di rumahku Pram sebenarnya bimbang juga. Ia harus menyembunyikan identitasnya. Sebagai warga negara Indonesia, ia dikenal sebagai aktifis pro penegakan hukum dan anti korupsi.

Ia pernah menghancurkan jendela kaca gedung KPK, ketika demonstrasi menuntut diadilinya seorang jenderal. Juga ia pernah mendobrak masuk kedalam gedung DPR/MPR untuk memasang spanduk, dan aksinya ini betul-betul diliput oleh media massa lokal dan nasional. Ia betul-betul dikagumi oleh panggung politik nasional. Berulangkali ia dipanggil sebagai pengamat dan pembicara dalam simposium politik, bahkan sebagai tim pengawas dalam berbagai pilkada. Ia bahkan juga pernah menggerakkan organisasi yang lama mati untuk dibangkitkan kembali dengan misi yang baru, balai pustaka, yang dibawah tangannya menjadi media pendidikan politik bagi rakyat. Masa kecil Pram dihabiskan di Ibukota. Ketika ia berkuliah, ia mulai memasuki ranah politik dengan mengikuti organisasi aksi. Ayah dan ibunya adalah seorang guru, yang menjadai pegawai negeri. Dengan kecerdikan tertentu, ayahnya berhasil menjadi PNS dan menyembunyikan identitas masalalunya. Ia menurunkan tugas perjuangan kepada anaknya, Pram, untuk menegakkan sesuatu yang ia anggap mulia. Negara Islam. Ayahnya ini pernah menjadi buron polisi, namun dengan cerdiknya, ia bukannya kabur tetapi mengecoh polisi dengan menggunakan banyak identitas. Kemampuan bunglon inilah yang ia wariskan juga kepada Pram. Semakin serupa dengan aktifis, semakin tersamar juga ia dengan identitas gandanya sebagai mata-mata NII. Syam Kamaruzzaman, mengikuti nama seorang pendiri, ia diberi nama. Ia bergabung menjadi pemerintah NII sejak terjadi peristiwa reformasi yang menguatkan kegagalan pancasila mengatur pemerintah. Kini pemerintahlah yang mengatur pancasila. Ia berposisi sebagai mata-mata, alias Jasasah As-Siryat Ad-Dar, mata-mata kepolisian negara. Informasi yang ia dapat dari berbagai simposium, peretasan data media massa, bahkan memanfaatkan rekan-rekannya di lembaga survei dan kementrian digunakan untuk menghasilkan manuver politik dan ekonomi NII. NII semakin tak terlihat, bahkan seperti hantu, hanya beberapa yang pernah melihat, itupun yang lain tidak percaya bahwa ada yang melihat. Kamaruzzaman, nama luar biasa yang dikagumi setiap petinggi negara Indonesia, tetapi tak satupun tahu siapa sebenarnya Syam Kamaruzzaman itu. Beberapa kali Syam diisukan tewas tertangkap, namun ternyata mayat itu adalah mayat palsu. Syam Kamaruzzaman yang asli tetap tidak tersentuh. Pram sebagai Syam,

dengan cerdik menyebar isu bahwa Syam Kamaruzzaman sebetulnya hanyalah isu pengalihan politik dari Presiden untuk melegalkan aksinya memberangus lawan politik dan pencitraan. Teorinya yang segar ini segera saja mendapat sokongan dari lawan politik pemerintah, seperti ulat berbentuk daun yang ditutupi kembali oleh daun-daun diatasnya tanpa sempat dibakar dan disapu. Syam Kamaruzzaman, sebuah nama yang mengganggu mimpi para agen BIN dan Intelkam Kepolisian, sebab ia tak diketahui wujudnya namun terasa dampaknya. Ketika beberapa tahun yang lalu Syam Kamaruzzaman diisukan tertangkap, itu sebenarnya muslihat Imam NII bersama Pram alias Syam. Mereka secara dramatis merombak struktur pemerintahan NII, Imam diganti menjadi Mamur, wakil Imam diganti menjadi Muhammad, dan Syam digantinya menjadi Amir Madrasat, alias menteri pendidikan. Dengan tujuan, BIN mengasumsikan bahwa Syam adalah seorang ahli pendidikan dan mesti berprofesi WNI sebagai guru atau ustadz. Dengan cara tertentu, NII memancing agar kekuatan POLRI dan BIN melakukan pencarian terhadap Syam dengan ciri-ciri menteri pendidikan ini, agar Syam yang asli dan Imam yang asli tidak terendus keberadaannya. Tetapi, BIN sebetulnya telak tertipu mentah-mentah. Yang dirombak hanyalah namanya. Tetapi, pribadi yang mengisi jabatan itu tetap pribadi yang sama dengan sebelumnya. Syam Kamaruzaman, tetap menjadi amirul Jasus, kepala intel, dan jabatan amir madrasat tetap dijabat oleh Mamur. Pram diliputi kebimbangan, sudah benarkah ia selama ini? Ia sebagai Pram memiliki tugas yang berat, menggerakkan aktifitas oposisi pemerintah dan kritikus, juga sebagai partisipan yang baik. Akan tetapi ia sebagai Syam memiliki tugas mempecundangi pemerintah, segala jenis manuver NKRI diretasnya. Ia pernah bertanya kepada Imam, tetapi oleh Imam hanya dijelaskan Muawiyah Ibn Abi Soufyan pernah menyembunyikan keIslaman selama empat tahun, Syam. Kamu adalah hamba negara yang setia Propaganda. Propaganda melawan propaganda. Ini bukan tentang mana politik yang benar, tetap kebenaran yang mana yang ada dalam politik? Propaganda.

Pram semakin bimbang, ia mulai cinta dengan Indonesia sebagai Indonesia. Bukan Indonesia yang berbeda dari sebelumnya. Ia paham betul, tak ada perjuangan yang tak berdarah dan nyaman, tetapi ia mulai lelah. Di sisi lain, nilai yang ia anggap benar, yang Syam anggap benar, bukan negara macam ini. Yang dipenuhi bungkus rokok. Negara yang dipenuhi sampah. Bukan juga negara yang menjamin kebebasan demonstrasi, sebab dalam teori, demonstrasi terjadi hanya dalam kondisi apabila para wakil rakyat gagal menghubungkan antara rakyat dan pemerintahnya. Bagaimana dengan NII? Demonstrasi tidak dijamin hilang, namun Pram yakin, pemerintahan atas nama Tuhan sudah tentu bergerak atas keinginan dan izin Tuhan, dan dengan sendirinya menjadi lebih tertib. Syam Kamaruzzaman, nama yang selalu mengganggu mimpi para intel dan petinggi negara. Syam Kamaruzzaman, seorang yang mampu hidup tanpa terlihat sedikitpun oleh mesin pencari politik paling tangguh di dunia. Syam Kamaruzzaman, seorang petinggi NII yang hidupnya seperti cerpen, tidak terduga dan licin seperti amoeba, bersifat seperti udara. Pramudyatama, seorang yang menjadi bintang berita media massa, yang berani menggugat pemerintah. Pramudyatama, seorang yang seperti Rasul Penuh Teladan bagi gerakan mahasiswa politik dan diskusi. Pramudyatama, yang merupakan tokoh masyarakat dan kata-katanya seperti senjata bagi lawan politik pemerintah. Ia mendambakan kedamaian yang sedang tertutup bungkus rokok.

Jesus Aku sebal. Tetapi aku senang. Ini hari pertama aku menemui teman-temanku setelah tiga bulan liburan. Aku sebal. Katanya aku terlihat senang. Tetap saja, aku sebal. Jesus! Aku katanya mirip Jesus! Apa? Ya! Jesus. Bukan! Rambut panjang, keriting keemasan. Mata cokelat tanah. Terang. Tinggi dan mancung, figur Israel. Namaku Nasrul. Bukan Nasrani! Nasrul! Bukan Jesus! Aku menyukai gadis kelas sebelah, namanya Khanza. Ia cantik, tinggi sedang, putih terang, cemerlang. Matanya sayu. Tetapi cerah dan menggairahkan. Suaranya lembut, ia cerdas, juga ramah. Senyumnya mampu mengalihkan pandangan mata Jesus. Bukan! Pandangan mata Nasrul! Caranya berbicara mampu mengalihkan pandangan hati Jesus. Bukan! Nasrul! Caranya berjalan memancing Jesus untuk selalu mengikutinya. Bukan! Nasrul! Caranya menjawab pertanyaan memancing Jesus untuk selalu bertanya lagi dan lagi. Bukan! Nasrul. Bukan! Nasrul! Ketika aku duduk-duduk bersama rekan di bawah tembok kampus, mereka memanggilku Jesus. Ada Jesus dalam kampus. Karena rambutku mirip Jesus, maka ada Jesus di rambutku. Sinting! Aku Nasrul! Bukan Jesus! Aku cerita pada mereka tentang aku yang menyukai wanita. Bah! Jesus jatuh cinta! kata mereka. Aku bukan Jesus! Apa karena rambutku mirip Jesus maka aku Jesus? Omong-omong, hidungmu mirip pelacur, maka kamu pelacur. Matamu mirip maling, maka kamu maling. Tanganmu mirip aku, maka kamu aku tapi kamu bukan Jesus. Kamu Nasrul, karena aku bukan Jesus. Rambutmu mirip juga Jacko, maka kamu Jacko. Entah kenapa dengan perubahan panjang rambutku yang dramatis-tapi sungguh tak ada maksud menyaingi orang anak Tuhan itu-teman-teman bilang aku mirip Jesus. Semua puisi yang mereka serukan kala latihan menghujat aku. Semua menghujat aku. Engkau mengaku sebagai Tuhan, Lantas Tuhan mengakuimu sebagai apa!

Sial. Brengsek. Akhirnya aku tahu juga rasanya jadi Tuhan yang dihina. Tuhan yang terhina. Tuhan yang dihujat umat-umatnya! Tuhan yang dihujat rekan-rekannya! Bah! Brengsek! Brengsek. Tetapi tabah juga Tuhan yang asli dihina macam ini. Hm, aku diam saja. Katanya Tuhan maha penyabar. Ya! Maha penyabar. Tuhan yang Maha Penyabar. Cukup! Aku bukan Tuhan! Tetapi aku Jesus! Bukan! Aku Nasrul! Ketika di kelas, aku selalu memilih duduk di dekat-Nya. Khanza. Nama yang menggetarkan tiang-tiang kampus hingga siap menimpa aku. Di dekat-Nya itu, bisa di belakang-Nya, bisa di depan-Nya, bisa di kiri-Nya. Ya! Dia adalah matahari, yang menerangi Tuhan yang butuh kasih sayang seperti aku. Bukan! Nasrul yang butuh kasih sayang. Bukan Tuhan. Bukan Jesus. Khanza, nama yang sanggup mengganggu tidur pejabat-pejabat dan pembantunya. Yang memicu tsunami. Yang membuat pesawat jatuh di Gunung Gedhe. Yang membuat kampusku banjir tiap tahun. Yang membuat Cililitan macet! Yang membuat gempa dimanamana! Di dekat-Nya, Aku mulai memuja dia. Ada Tuhan yang dipuja Tuhan seperti aku. Aku juga mulai termakan sugesti mengenai diriku. Apakah aku benar-benar Jesus? Oh tidak. Apakah iya? Oh tidak. Oh tidak. Aku menjadi Tuhan. Oh tidak. Aku benar-benar menjadi Tuhan. Aku harus maha kuasa atas Khanza! Tuhan! Tuhan! Aku harus mendapatkan Khanza! Kususun rencana, aku harus menyatakan cinta-Ku kepadanya. Wahai Khanza, Tuhan yang tercatat seperti legenda dalam kitab-kitab suci samawi kini menyatakan cinta kepadaMu. Wahai Khanza tunggulah aku datang kepada-Mu! *** Sebagai Tuhan yang baru diakui tahun 2012, aku harus menjaga penampilan. Baju belang-belang. Celana levis, rokok Magnum, tiga kali sehari. Ini asap rokok dari Surga. Gelang plastik biru, sepatu sobek-sobek. Tiga tahun ku beli. Sebelum jadi Tuhan.

Apakah aku Tuhan? Harus dikaji ulang. Aku sendiri bimbang. Menurut teori-teori dari buku-buku, Tuhan adalah maha kuasa. Kini akan ku tunjukkan kekuasaanku pada Khanza. Akan ku pengaruhi jiwa-Nya. Akan ku renggut hati-Nya. Akan kugetarkan pula tiangtiang penyangga kampus yang telah retak karena pesona-Nya. Sebagai Tuhan, aku diturunkan di tengah domba-domba tersesat dari kaum sastra. Ada yang memuja puisi. Ada yang menyembah Sutardji. Ada yang cinta Sapardi. Tugasku memperbaiki akhlak mereka. Oh tidak. Aku mulai percaya bahwa aku adalah Tuhan. Oh tidak. Aku mulai percaya bahwa aku dapat menurunkan Azab bagi mereka yang mengatai aku mirip Tuhan. Oh tidak. Aku Jesus. Setidaknya, Mirip Jesus. Aku membawa ajaran kasih. Tapi jangan kasihi Khanza, karena Khanza harus menjadi milikku seorang. Karena Khanza harus aku kasihi seorang. aku membawa ajaran kasih. Maka kasihilah aku, akan kukasihi pula kamu. Ajaranku ajaran kasih, mengasihi sesama manusia, mengasihi sesama yang mirip Jesus. Tunggulah. Sesungguhnya, aku mulai bosan. Aku mulai bosan mengasihi Khanza. Huf. Hufh. Aku lelah. Aku mengejar-ngejar dia setiap hari. Seperti film India, tapi ini Indonesia. Tapi kenapa di Indonesia turun pula Jesus? Dia harusnya hanya ada di Palestina. Di Jerussalem. Di hati mereka yang penuh rasa kasih dan sayang. Bukan dalam rambutku. Bukan pula dalam namaku. Aku Nasrul! Bukan Jesus! Aku batalkan rencanaku menyatakan cinta kepada Khanza. Semua sandiwara ini, semua orang ini harus dihentikan! Aku bukan Tuhan! Brengsek! Aku bukan Tuhan! Aku bukan Jesus! Brengsek bertuhan!

Apakah aku harus berteriak di depan gedung jurusan? Tidak. Mereka akan semakin percaya bahwa aku Tuhan. Tuhan yang rendah diri, tak mau mengaku Tuhan. Seperti kebiasaan orang-orang jawa yang merendahkan dirinya di hadapan tamu-tamu. Apakah aku harus berteriak menggunakan spiker masjid? Tidak. Bisa habis aku dibabtis imam masjid. Liurnya memang seperti memandikan aku bila marah. Lagi pula, jadi apa aku di tengah anak-anak yang suka memegang Kitab Suci? Dirajamnya aku nanti. Apakah aku harus membuat surat? Bisa-bisa suratku nanti dipandang sebagai surat ke seratuslimabelas dalam Al-Quran karena aku Tuhan. Atau, menjadi Injil Kelima. Bayangkan betapa kerennya, Injil Lukas, Markus, Matius, Yohanes, dan Nasrul. Injil yang langsung dari orang yang diakui sebagai Jesus. Oh tidak. Oh tidak. Mengaku bukan Tuhan lebih sulit dari yang ku kira, lebih sulit dari diakui sebagai Tuhan. Oh tidak. Bagaimana caranya mengaku bukan Tuhan? Sudahlah, mereka akan lupa seiring berjalannya waktu. Aku tenang-tenang saja, berhenti menebar keajaiban. Berhenti mengejar-ngejar Khanza. Berhenti menuhankan dia. Dia bukan Tuhan! Aku harus lebih mengasihi diriku sendiri baru mengasihi dia. Sudahlah. Aku ingin tobat sebagai Tuhan. Ya, Jesus yang tobat. Kini namaku kembali Nasrul. Selamat tinggal, Khanza. Selamat tinggal, Jesus. Kini tugasku, menghentikan diri mengejar-ngejar kamu. Terserah apa kata temanku. Yang jelas, aku bekas Tuhan selama beberapa bulan, dan ketika itu, aku gagal mendapatkan kekasih. Akhirnya aku paham, kenapa Tuhan tidak pernah punya pacar juga. Aku pernah menjadi Dia beberapa bulan.

30 Maret 2012 "Saudaraku, pada hari ini kita dikejutkan dengan kenaikan harga BBM. kami putus asa, kami berjuang atas nama masyarakat, tetapi masyarakat menghujat kami maka kami berjuang atas nama bapak, ibu, dosen, dan pacar-pacar kami Amri terdiam sejenak. Ia paham sekali aksi demonstrasi besar-besaran dan dengan sering akan membuat masyarakat jenuh. Awalnya, demonstrasi adalah langkah pemenuhan kebutuhan berbicara, dan lebih jauh lagi, kebutuhan untuk didengarkan. Masyarakat perlu itu, oleh karenanya demonstrasi kala reformasi berhasil mencapai tujuannya. tetapi mereka juga menentang kami-takut-kami mati, tertembak, atau hilang seperti kala reformasi pada akhirnya kami berjuang hanya demi keputus asaan kami, ketika tak ada lagi yang ingin bicara Dengan beberapa rekannya, ia merencanakan Final Demonstration, demonstrasi final untuk menggulingkan rezim berkuasa. Tidak tanggung-tanggung, lima puluh ribu mahasiswa dari segala kampus melalui BEM SI dan KONAMI turut dikerahkan. Sasarannya lurus, gedung DPR/MPR dan Istana Negara. Ini hanya akumulasi kemarahan akibat naiknya kembali harga BBM, dari 10.000 menjadi 13.000 rupiah ketika tahun baru 2014. Ini mengakibatkan kenaikan harga barang secara berantai, pertama kali adalah harga beras dan gula, diikuti harga minyak goreng. Terigu. Gula pasir. Telur ayam. Sekarang ayamnya. Harga makanan ayam juga. Pulsa. Listrik. Handphone. Kertas.

Pelacur. Semuanya naik, kecuali harga diri, dan pemerintah berencana mengekspor beras lebih banyak lagi untuk menurunkan harga beras petani lokal. Langkah pemerintah ini dipandang sebagai ancaman, maka terjadilah gelombang demonstrasi besar-besaran oleh buruh, guru, karyawan, dan mahasiswa. Tadi pagi, terjadi kerusuhan. Beberapa mahasiswa dibunuh polisi dengan peluru karet tepat di kepala, dan buruh membalasnya dengan menusuk seorang polisi dengan patahan gerbang gedung DPR/MPR yang tajam. Mayat keempat orang itu diusung, diarak, dan ditutupi kain putih, lalu dihamparkan di lapangan gedung yang luas. Hati para wakil rakyat menjadi gentar, dan beberapa mereka keluar menemui mahasiswa, dengan wajah pucat. Tak bisa bicara. Semuanya termenung. Buruh terpekur, mahasiswa terpekur. Ada yang mati. Ada yang mati. Ada yang mati. Ada yang mati, wakil rakyat!

suara tak akan terdengar dan tergetar hingga telinga! maka kami menggunakan batu, kayu, bambu dan tubuh kami sendiri untuk dilemparkan satu-persatu ke gerbang Istana dan Perwakilan Rakyat

Amri masih ingat bagaimana ayahnya mengeluh tentang gajinya yang tak cukup untuk membeli beras selama satu bulan. Gaji Amri sendiri hanya cukup buat bensin, tetapi ia tidak makan dengan gajinya. Ia tertekan. Seluruh teman-temannya tertekan. Ayahnya kurang makan. Ayah temannya kurang makan juga. Terjadi putus sekolah besar-besaran ketika semester dua dimulai, dan para guru melakukan mogok mengajar, mirip Indonesia Mengajar.

demi kami, demi menurunnya biaya hidup dan keringat ayah kami kami putus asa; batu-batu dan tubuh berbalik dilempar menimpa kepala dan hati pers, dan media massa terus meneriakkan kebencian pada kami tetapi menyuarakan kegelisahan kantong-kantong rakyat kami putus asa! Kompas memberitakan, bahwa ada kemungkinan demonstrasi disusupi kalangan asing, untuk menurunkan pemerintah berkuasa. Tempo mengisahkan, mahasiswa teramat beringas ketika memukuli polisi. Indopos lain lagi, ia memuat foto mayat yang sudah memutih, dan dilabur balsem agar awet dipajang di lapangan. Wajah mayat itu sudah menyedihkan, mereka kehausan. Mati dibunuh namun kehausan. Biru berganti putih, pucat berganti luruh dan bau balsem sesekali menyeruak di udara. Sinar Harapan memotret wajah Presiden yang sedang tertawa, ketika pertemuan internasional OPEC yang mana kita bukan menjadi anggotanya. Majalah-majalah politik memberitakan kemungkinan manuver politik dan alternatif presiden. Poskotalah yang setia memberitakan pelacuran dengan objektif, tidak terpengaruh media lainnya. Hujan menyelimuti demonstran yang lelah. Kubah gedung DPR juga lelah diduduki dan tersiram hujan. Deras. Memadamkan api ban bekas yang dibakar. Mahasiswa hanya merindukan negara baik. Merindukan pemimpin yang penuh cinta. Hujan semakin meresapkan keputusasaan dan kekecewaan dalam hati. Meresap dengan sempurna, dan mampu menggetarkan semangat demonstran. Negara yang nyaman, yang miskin, sebab miskin berarti kebutuhan rakyatnya sedikit, dan dengan demikian rakyat tidak konsumtif. Transparan. Layak anak. Yang merindukan surga yang dipimpin oleh penduduk surga pula.

Amri juga akhirnya mati, ia ditembak pelipisnya oleh seorang ABRI, tepat ketika ia selesai membacakan puisinya. Semua demosntran yang puluhan ribu itu entah kenapa dengan takzim hening, mendengarkan tiap bait orasinya. Hujan pun reda. Malam tiba, semua demonstran menyalakan lilin kecil putih sebagai tanda bela sungkawa. Ribuan lilin menyala. Tangan-tangan yang lelah menyangga mereka, dan menyanyikan lagu dukacita. Mereka duduk dengan rapi, dan membentuk barisan membawa lilin. Orator yang tersisa membacakan doa perpisahan, sementara polisi masih berjaga ketat. Ambulan tak bisa masuk. Pagar gedung yang rusak membisu, terpana melihat pemandangan ribuan demonstran membawa lilin kecil. Dimana-mana menjadi penuh cahaya lilin, seperti ribuan bintang yang digenggam demonstran dan siap dilemparkan kedalam gedung DPR. Kelima jenazah sudah ditutupi kain putih, dan darah merembes dari sela-selanya. Ada Amri diantara kelima jenazah itu, wajahnya juga menjadi putih. Bom molotov, mercon, batu, kami lemparkan Kembali menjadi asap yang mengeringkan perasaan dan peluru tajam Kami putus asa!

Anda mungkin juga menyukai