Anda di halaman 1dari 9

BAB 1 PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir dari kehidupan dan merupakan proses alami yang tidak dapat dihindarkan oleh setiap individu. Organisasi kesehatan dunia World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa Lansia meliputi usia pertengahan 4559 tahun, Lansia 60-74 tahun, usia tua 75-90 tahun, dan usia sangat tua di atas 90 tahun (Mubarak, 2006). Sedangkan Lansia menurut UU no 4 tahun 1965 adalah seseorang yang mencapai umur 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain (Wahyudi, 2000), dan menurut UU no.12 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia diatas 60 tahun (Depsos, 1999). Lansia adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan fenomena biologis. Dari teori di atas dapat disimpulkan bahwa lansia meliputi usia pertengahan 45-59 tahun, Lansia 60-74 tahun, usia tua 75-90 tahun, dan usia sangat tua di atas 90 tahun Proporsi penduduk dewasa, terutama lansia di Jawa Tengah terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 naik menjadi 3,29 juta jiwa atau sebesar 10,6%, pada tahun 2009 naik menjadi 3,39 juta jiwa atau sebesar 10,30%. Perkembangan tahun 2006- 2007 meningkat dari 9,81% menjadi 10,16%. Perkembangan penduduk lansia tahun 2008-2009 baik secara absolut maupun persentase mengalami peningkatan. Persentase lansia terhadap jumlah penduduk meningkat dari 10,20% menjadi 10,30%. Tidak lain disebabkan karena meningkatnya usia sebagai hasil pembangunan di bidang kesehatan. Jumlah penduduk lansia diprovinsi Jawa Tengah untuk tahun mendatang diperkirakan akan semakin bertambah menjadi 3,46 juta pada tahun 2010 (Proyeksi Supas 2005 dalam Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa, Profil Lansia Jawa Tengah 2007 & 2009). Badan Kesehatan Dunia WHO bahwa penduduk lansia di seluruh dunia pada tahun 2010 9,8%, di perkirakan pada tahun 2020 mendatang sudah mencapai angka 11,34%

atau tercatat 28,8 juta orang. Jumlah populasi Lansia (Lansia) > 60 tahun diperkirakan hampir mencapai 600 juta orang dan diproyeksikan menjadi 2 milyar pada tahun 2050. Saat itu lansia akan melebihi jumlah populasi anak (0-14 tahun), yang berarti kejadian ini pertama kali terjadi dalam sejarah umat manusia (UN-Population Division, Department of Economic and Social Affairs 1999). Indonesia menduduki peringkat keempat dengan jumlah lansia terbanyak setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Saat ini jumlah kelompok Lansia di Indonesia adalah sebesar 7,28 % dari jumlah penduduk. Diperkirakan pada tahun 2020, jumlah lansia di Indonesia akan meningkat menjadi sebesar 11,34 %. Sedangkan jumlah lansia di seluruh Indonesia tahun 2012 mencapai 18,1 juta jiwa atau sekitar 9,8 %, dari total jumlah lansia di Indonesia. (Kosasih, 2004). Presentase jumlah penduduk lansia di daerah ibu kota (BPS Susenas 2011) mencatat DKI Jakarta perempuan usia 60 69 thn : 3,37 70 79 thn : 1,52 >80 thn : 0,51 dan laki laki 60 69 thn : 3,26 70 79 thn : 1,38 >80 thn : 0,28 Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia juga terjadi di Provinsi Riau. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Riau, jumlah lansia tahun 2010 dengan usia 50-64 tahun berjumlah 404.303 jiwa dan diatas 65 tahun berjumlah 131.808 jiwa. Data penduduk lansia yang ada di Pekanbaru yaitu lansia berusia 50-64 tahun berjumlah 18.997 jiwa dan lansia berusia 65 tahun keatas berjumlah5.628 jiwa (Badan Pusat Statistik, 2010). DKI 6,1%, Masukkan data seluruh Jakarta Jakarta Timur 2,2% Menjadi tua ditandai dengan bermacam-macam perubahan, salah satunya adalah adanya perubahan fisik yang terjadi pada lansia antara lain adalah kemunduran biologis yang terlihat sebagai gejala-gejala kemunduran biologis yaitu perubahan fisik, antara lain kulit mulai mengendur, timbul keriput, rambut beruban, gigi mulai ompong, pendengaran dan penglihatan mulai berkurang, mudah lelah, gerakan menjadi lambat dan kurang lincah, serta terjadi penimbunan lemak terutama di perut dan pinggul. Kemunduran lain yang terjadi adalah perubahan kemampuan-kemampuan kognitif

seperti lupa, kemunduran orientasi terhadap waktu, ruang, tempat, serta tidak mudah menerima hal atau ide baru (Maryam, 2008). dari yang telah dipaparkan di atas dapat di simpulkan bahwa lansia akan mengalami kemunduran fisiologis dan kemunduran kognitif yang mempengaruhi dalam kehidupannya sehari-harinya. Terjadinya perubahan normal pada fisik lansia yang dipengaruhi oleh factor kejiwaan, sosial, ekonomi dan medik. Perubahan tersebut akan terlihat dalam jaringan dan organ tubuh seperti kulit menjadi kering dan keriput, rambut beruban dan rontok, penglihatan menurun sebagian atau menyeluruh, pendengaran berkurang, indra perasa menurun, daya penciuman berkurang, tinggi badan menyusut karena proses osteoporosis yang berakibat badan menjadi bungkuk, tulang keropos, massanya dan kekuatannya berkurang dan mudah patah, elastisitas paru berkurang, nafas menjadi pendek, terjadi pengurangan fungsi organ didalam perut, dinding pembuluh darah menebaldan menjadi tekanan darah tinggi otot jantung bekerja tidak efisien, adanya penurunan organ reproduksi, terutama pada wanita, otak menyusutdan reaksi menjadi lambat terutama pada pria, serta seksualitas tidak terlalu menurun pada pria (Martono, 1997 dalam Darmojo, 2004). Umumnya lansia banyak yang melepaskan partisipasi sosial mereka, walaupun pelepasan itu dilakukan secara terpaksa. Orang Lansia yang memutuskan hubungan dengan dunia sosialnya akan mengalami kepuasan. Pernyataan tadi merupakan disaggrement theory. Aktivitas sosial yang banyak pada lansia juga mempengaruhi baik buruknya kondisi fisik dan sosial lansia (Santrock, 2002). Keadaan social ekonomi pada lansia adalah suatu masalah. Lansia Indonesia masih banyak yang tegantung pada orang lain (terutama anaknya). Dalam penelitian dilapangan didesa maupu dikota 78,3% menggaku hidup serba pas-pasan,14,1% mengaku hidupnya berlebih dan 7,6% mengaku hidupnya dalam kekurangan,dan hanya 1,4 mengaku dapat hidup memanfaatkan tabungan sebelumnya (BudhiDarmojodkk,1991,dalam Boedhi Darmojo,2006)

(Martono, 1997) dalam Darmojo (2004), adapun masalah psikologis pada beberapa masalah psikologis lansia antara lain kesepian (loneliness), yang dialami oleh lansia pada saat meninggalnya pasangan hidup, terutama bila dirinya saat itu mengalami penurunan status kesehatan seperti menderita penyakit fisik berat, Duka cita (bereavement), dimana pada periode duka cita ini merupakan periode yang sangat rawan bagi lansia. meninggalnya pasangan hidup, temen dekat. Depresi, pada lansia stress lingkungan sering menimbulkan depresi dan kemampuan beradaptasi sudah menurun. Gangguan cemas pada lansia merupakan kelanjutan dari dewasa muda dan biasanya berhubungan dengan sekunder akibat penyakit medis, efek samping obat atau gejala penghentian mendadak suatu obat. Kecemasan adalah perasaan kepribadian, rasa gelisah, ketidak tentuan atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual yang tidak di ketahui tidak dikenal. Faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan diantaranya frustasi, konnflik, harga diri, lingkungan yang berupa dukungan sosial, lingkungan penedikan, usia dan jenis kelamin (Stuart, 2006). Kecemasan adalah suatu sinyal yang menyedarkan, memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman. Respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, sama samar atau konfliktual. Kecemasan juga dapat diartikan sebagai respon emosi tanpa obyek yang spesifik yang secara subyektif dialami oleh dan dikomunikasikan secara interpersonal. Kebingungan atau kekhawatiran pasa sesuatu yang akan terjadi dengan penyebab yang tidak jelas dan dihubungkan dengan perasaan tidak menentu dan tidak berdaya. (Suliswati, 2006). Dari teori di atas dapat di simpulkan bahwa kecemasan adalah respon psikologis yang umum terjadi pada setiap manusia dan dapat di pengaruhi oleh factor factor ekstrinsik maupun intrinsic, kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki obyek yang spesifik. Cemas dialami secara subyektif dan dikomunikasikan secara interpersonal.

Prevalensi kecemasan pada lansia di dunia, Indonesia, dan jakarta Kecemasan yang dialami lansia memiliki gejala-gejala yang sama dengan gejala-gejala yang dialami oleh setiap orang hanya saja objek yang menyebabkan kecemasan itu yang berbeda dan lansia sering mengalami kecemasan dengan masalah-masalah yang ringan (Maryam, 2008). Kecemasan bersifat adaptif bila ia memotivasi sebuah correlate lazim untuk stress, tetapi bila terjadi sedemikian parah hingga mendistrupsi fungsi normal, ia di sebut gangguan kecemasan semua gangguan kecemasan dikaitkan dengan perasaan cemas (misalnya, ketakutan, kekhawatiran, despondensi murung, patah semangat) dan dengan berbagai reaksi stress psikologis misalnya, tachycardia (detak jantung yang cepat), hipertensi (tekanan darah tinggi), mual, sulit bernafas, gangguan tidur, dan kadar glukokortikoid yang tinggi (P. Jhon, 2009). The Diagnostic and Statistical of Mental Disorder (DSM-IV) mendefinisikan gangguan insomnia primer adalah keluhan tentang kesulitan mengawali tidur dan /atau menjaga keadaan tidur atau keadaan tidur yang tidak restoratif minimal satu bulan terakhir (Espie, 2002). Insomnia adalah suatu gangguan tidur yang dialami oleh penderita dengan gejala gejala selalu merasa letih dan lelah sepanjang hari dan secara terus menerus (lebih dari sepuluh hari) mengalami kesulitan untuk tidur atau selalu terbangun di tengah malam dan tidak dapat kembali tidur. Seringkali penderita terbangun lebih cepat dari yang diinginkannya dan tidak dapat kembali tidur. Ada tiga jenis gangguan insomnia, yaitu: susah tidur (sleep onset insomnia), selalu terbangun di tengah malam ( sleep maintenance insomnia), dan selalu bangun jauh lebih cepat dari yang diinginkan (early awakening insomnia). Cukup banyak orang yang mengalami satu dari ketiga jenis gangguan tidur ini (Liu, 1999). Insomnia adalah gangguan tidur yang di alami oleh penderita yang bisa dipengaruhi oleh beberapa aspek baik psikologis maupun fisiologis

yang terganggu dan terbagi ke dalam 3 macam insomnia susah tidur, terbangun di tengah malam, dan selalu bangun lebih cepat dari yang di inginkan. Orang Indonesia tidur rata-rata pukul 22.00 dan bangun pukul 05.00 keesokkan harinya. Kemudian penelitian terhadap kelompok anak-anak muda di Denpasar menunjukkan 30-40 persen aktivitas mereka untuk tidur. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh di Jepang disebutkan 29 % responden tidur kurang dari 6 jam, 23 % merasa kekurangan dalam jam tidur 6 % menggunakan obat tidur, kemudian 21 % memiliki prevalensi insomnia dan 15 % kondisi mengantuk yang parah pada siang harinya(Liu, 2000). Menurut Luce dan Segal dalam Nugroho (2000) faktor usia merupakan faktor terpenting yang berpengaruh terhadap kualitas tidur. Bertambahnya usia seseorang akan berpengaruh terhadap kualitas tidur pada kelompok usia lanjut, hanya 7% kasus yang mengeluh mengenai masalah tidur (hanya dapat tidur tidak lebih dari lima jam sehari). Hal yang sama dijumpai pada 22% kasus pada kelompok usia 70 tahun. Demikian pula, kelompok usia lanjut lebih banyak mengeluh terbangun lebih awal dari pukul 05.00 pagi. selain itu terdapat 30% kelompok usia 70 tahun yang banyak terbangun di waktu malam hari. Angka ini teryata tuju kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia 20 tahun. Penyakit insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering dikeluhkan masyarakat. Prevalensinya bervariasi berdasarkan definisi kasus dan kriteria diagnostik yang spesifik, sehingga estimasi prevalensi insomnia memiliki rentang sekitar 10% hingga 40%. Penelitian di Korea Selatan menunjukkan bagaimana variasi angka prevalensi angkanya insomnia menjadi berdasarkan 17%. Bila definisinya. definisinya Ketika insomnia pada didefinisikan dalam berdasarkan frekuensi tidur (gejala muncul selama 3 malam dalam 1 minggu) maka mengarah kesulitan mempertahankan tidur, nilainya menjadi 11,5%. Dengan menggunakan DSM-IV nilainya menjadi 5%. (Mai Evelyn dan J Daniel Buysee. 2009).

Suatu survey di Singapura menunjukkan 8% sampai 10% pasien yang datang ke dokter umum mengeluhkan gejala insomnia.(Mahendran R. 2001) Penelitian ini menunjukkan kuantitas pasien insomnia yang datang kepada dokter umum tidaklah sedikit. Sebuah artikel menyatakan Riset internasional yang telah dilakukan US Census Bureau, International Data Base tahun 2004 terhadap penduduk Indonesia menyatakan bahwa dari 238,452 juta jiwa penduduk Indonesia, sebanyak 28,035 juta jiwa(11,7%) terjangkit insomnia. Angka ini membuat insomnia sebagai salah satu gangguan paling banyak yang dikeluhkan masyarakat Indonesia. (Daniel Bluestein, Carolyn M. Rutledge, Amanda C. Healey. 2010) Penatalaksanaan untuk mengatasi cemas dapat dilakukan dengan farmakoterapi dan terapi non farmakoterapi. Penatalaksanaan farmako terapi dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti anxietas. Sedangkan pendekatan non farmakoterapiyang biasa dilakukan untuk mengatasi cemas antara lain Cognitif Behavioral Therapy (CBT), Progressive Muscular Relaxation (PMR). CBT dapat digunakan untuk mengatasi kecemasan, tentu saja dalam hal ini dibutuhkan terapi yang kompeten. Pendekatan terapi kognitif ini mampu merubah pola pem ikiran seseorang terhadap sumber kecemasan yang dihadapinya. Selain itu penggunan terapi PMR dilakukan dengan dengan mengatur system pernafasan seseorang juga mampu mereduksi kecemasan ( US Departement Of Healt And Human Service,2009). Relaksasi adalah salah satu teknik di dalam terapi perilaku yang pertama kali dikenalkan oleh Jacobson, seorang psikolog dari Chicago, yang mengembangkan metode fisiologis melawan ketegangan dan kecemasan. Teknik ini disebutnya relaksasi progresif yaitu teknik untuk mengurangi ketegangan. Jacobson berpendapat bahwa Semua bentuk ketegangan termasuk ketegangan mental didasarkan pada kontraksi otot (Utami, 1993). Pada waktu relaksasi yang bekerja adalah sistem saraf parasimpatis, dengan demikian relaksasi dapat menekan rasa tegang dan rasa cemas dengan cara resiprok, sehingga timbul counter conditioning dan penghilangan (Prawitasari, 1988). Apabila Individu melakukan relaksasi ketika ia mengalami ketegangan atau kecemasan, maka reaksi-reaksi fisiologis yang dirasakan individu akan berkurang, sehingga la akan

merasa rileks. Apabila kondisi fisiknya sudah rileks, maka kondisi psikisnya juga tenang (Lichstein, 1993). PMR merupakan salah satu teknik relaksasi yang mudah dan sederhana serta sudah digunakan secara luas. PMR merupakan suatu prosedur untuk mendapatkan relaksasi pada otot melalui dua langkah, yaitu dengan memberikan tegangan pada suatu kelompok otot, dan menghentikan tegangan tersebut kemudian memusatkan perhatian terhadap bagaimana otot tersebut menjadi rileks, merasakan sensasi rileks, dan ketegangan menghilang (Richmond, 2007) PMR telah menunjukkan manfaat dalam mengurangi ansietas atau kecemasan, dan berkurangnya kecemasan ini mempengaruhi berbagai gejala psikologis dan kondisi medis. (Yildirim & Fadiloglu, 2006) Hasil penelitian menyebutkan bahwa PMR menurunkan kecemasan dan meningkatkan kualitas hidup pasien yang menjalani dialisis. Penelitian yang dilakukan oleh Sheu, et al, (2003) memperlihatkan bahwa PMR menurunkan rata-rata tekanan darah sistolik sebesar 5,4 mmHg dan rata-rata tekanan darah diastolik sebesar 3,48 mmHg pada pasien hipertensi di Taiwan. Gazavi, et al, (2007) menyebutkan bahwa PMR dan masase menurunkan tingkat HbA1C pada diabetes melitus tipe 1 (DM pada anak-anak). Maryani (2008), menyebutkan PMR mengurangi kecemasan yang berimplikasi pada penurunan mual dan muntah pada pasien yang menjalani kemoterapi. Selanjutnya relaksasi otot progresif efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi primer di Kota Malang (Hamarno, 2010). Intervensi PMR pada lansia dengan insomnia belum pernah dilakukan, dan ini menjadi ketertarikan peneliti untuk meneliti bagaimana pengaruh PRM kepada lansia yang mengalami insomnia Dari latar belakang di atas maka penulis merasa tertarik untuk meneliti Pengaruh terapi Muskular Relaksasi Progresif Terhadap Kecemasan Pada Lansia yang Mengalami Insomnia di RT 03/RW 04 Perumnas Klender Jakarta Timur

2.1 Rumusan Masalah Dengan semakin meningkatnya populasi lansia yang mengalami insomnia dan belum adanya penelitian yang terkait untuk mengatasi ganguan insomnia pada lansia tersebut juga berdasarkan latar belakang di atas dan hasil penelitian yang sebelumnya maka peneliti tertarik untuk mengangkat judul dan merumuskan masalah sebagai berikut: Pengaruh terapi Muskular Relaksasi Progresif Terhadap Kecemasan Pada Lansia yang Mengalami Insomnia di RT 03/RW 04 Perumnas Klender Jakarta Timur 3.1 Tujuan Penelitian 1. Mengukur gejala insomnia pada lansia yang mengalami kecemasan sebelum dilakukan PMR 2. Mengukur gejala insomnia pada lansia yang mengalami kecemasan setelah dilakukan PMR 3. Mengetahui adakah perbedaan gejala insomnia yang sudah diberikan PMR dan yang belum diberikan PMR 4.1 Manfaat Penelitian 1. Manfaat bagi peneliti Meningkatkan pengalaman nyata guna memperluas wawasan dan pengetahuan dalam melakukan penelitian tentang Pengaruh terapi Muskular Relaksasi Progresif Terhadap Kecemasan Pada Lansia yang Mengalami Insomnia di RT 03/RW 04 Perumnas Klender Jakarta Timur 2. Manfaat bagi lansia Sebagai masukan dan meningkatkan pengetahuan Lansia dalam mengatasi kecemasan dengan terapi muscular relaksasi progresif 3. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan Untuk mengetahui Pengaruh terapi Muskular Relaksasi Progresif Terhadap Kecemasan Pada Lansia yang Mengalami Insomnia. Penelitian ini dapat di gunakan sebagai bahan pertimbangan penelitian selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai