Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu cara untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah melalui pendidikan, baik secara pendidikan formal, nonformal dan informal. Pendidikan yang lebih banyak dirasakan seorang manusia dari lahir hingga mencapai tahap dewasa adalah pendidikan informal dan nonformal tapi pendidikan yang membuat seoarang manusia mengalami lingkungan sosial adalah pendidikan formal karena memiliki jenjang yang akan memenuhi kebutuhan yang sesuai dengan tingkat usia. suatu kewajiban seorang manusia belajar dan untuk mendapatkan pendidikan formal. Selanjutnya pendidikan pun harus dilangsungkan seumur hidup. Untuk mendapatkan pendidikan di lingkungan rumah tangga dan masyarakat tidak perlu dirisaukan hambatannya karena merupakan bagian dari kehidupan sehari hari. Tetapi yang masih menjadi kendala adalah hak untuk mendapatkan pendidikan dari lingkungan sekolah. Indonesia adalah sebuah negara berkembang sehingga masih ada masyarakat yang dibawah garis hidup kemiskinan. untuk menjalani pendidikan merupakan suatu hal yang tidak diutamakan. Sekolah merupakan suatu hal yang sangat mahal yang dirasakan oleh masyarakat pada lapisan tersebut.

B. Rumusan masalah Salah satu dalam aspek yang menentukan keberhasilan pemerintah tugas sebagai pemerintah daerah ialah

melaksanakan

meningkatkan pendidikan di daerah masing-masing. Berdasarkan pernyataan ini maka rumusan masalah yang dikemukakan dalam paper ini adalah sebagai berikut : 1. Masalah mengenai penyelenggaraan UN di Sulawesi Selatan ? 2. Kurangnya kepedulian terhadap tenaga pengajar di Sulawesi Selatan ?

C. Tujuan penelitian Sudi ini bertujuan berusaha menjawab mengenai penyelenggaraan UN di provinsi Sulawesi Selatan dan kurangnya kepedulian pemerintah terhadap guru diSulawesi Selatan. Hasil studi ini diharapkan bisa mempertajam pengetahuan tentang kebijakan publik khususnya di bidang kebijakan penyelenggaraan UN.

BAB II PENDEKATAN TEORI DAN NORMATIF

Pendekatan teori MEDAN (Waspada) : Ketua Pokja Pendidikan DPD RI Prof. DR. Darmayanti Lubis meminta Ujian Nasional (UN) dihapus dan

mengembalikan kewenangan daerah masing-masing untuk mengevaluasi hasil belajar siswa. Permintaan itu merupakan salah satu poin rekomendasi yang harus dilaksanakan pemerintah pusat atas temuan hasil pengawasan dan evaluasi 4 tahun, kata Darmayanti kepada wartawan di Medan, Rabu (15/ 5), terkait kisruh UN.

Berdasarkan hasil evaluasi setiap tahun, lanjut Darmayanti, maka pemerintah harus mengembalikan kewenangan ke daerah. Rekomendasi tersebut wajib dilaksanakan pemerintah. Sebab, UN secara nyata bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945. Serta, telah melahirkan degradasi moral pendidikan dimana tenaga didik secara tidak langsung telah memupuk kecurangan, mengajarkan kebohongan kepada anak didik.

Selama ini, menurut Darmayanti, UN hanya berkecenderungan terhadap proyek. Mengingat


1

besarnya sehingga

anggaran tidak lagi

yang

dikucurkan

untuk

penyelenggaraannya pendidikan.

memikirkan

substansi

"Masalah itulah yang mengakibatkan UN 2013 tidak terlaksana baik. Hal itu terlihat dengan makin tersentralisasinya proyek pelaksanaan UN yang

Thursday, 16 May 2013.koran waspada Makassar

dikelola langsung pemerintah pusat. Termasuk proses pencetakan sehingga perusahaan tidak sanggup melakukan distribusi," paparnya.

Anggota DPD RI ini juga mengemukakan, dulu pencetakan naskah ujian diserahkan ke daerah agar mudah didistribusikan. Namun sekarang semua ditangani pusat, sehingga proses distribusinya kacau.

Darmayanti juga mengungkapkan tentang temuan DPD RI pada salah satu sekolah di Bogor yang lokasinya berdekatan dengan perusahaan tempat naskah UN dicetak. Ternyata naskah UN tidak sampai di sekolah tersebut.

"Padahal naskah tinggal lempar saja, sudah sampai ke sekolah tersebut. Ini menjadi bahan tertawaan, ujarnya.

Karena itu, kata dia, pemerintah pusat harus bertanggungjawab terhadap evaluasi sarana dan prasarana sekolah, peningkatan kualitas guru, akses informasi, pemetaan hasil belajar siswa lima tahun sekali dan lainnya.

Evaluasi tersebut, kata Darmayanti, agar bisa diketahui apa saja kebutuhan yang harus diprioritaskan untuk daerah tertentu. Bukan untuk dijadikan landasan guna meluluskan siswa atau tidak. Misalnya, di provinsi ini atau kabupaten tertentu dalam hasil pemetaan Bahasa Inggerisnya kurang, maka tinggal menambah fasilitas khusus untuk meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris, tambahnya.

Evaluasi belajar tidak perlu lagi diterapkan pada tingkat Sekolah Dasar (SD). Sebab sistem pendidikan nasional sudah menggunakan Wajib Belajar (Wajar) 9 tahun.

Jadi, setelah siswa tamat SD enam tahun, langsung naik ke kelas 7, 8 dan 9. Sedangkan guru hanya mengevaluasi yang sifatnya rekomendasi kecerdasan saat siswa masuk SMP. Untuk apa lagi UN SD? Mereka itu harusnya tamat SD langsung naik kelas, bukan lulus-lulusan, jelasnya.

Yang perlu dilakukan pemerintah saat ini adalah mencabut PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dengan menerbitkan PP terbaru sebagai dasar penyelenggaraan evaluasi terhadap siswa didik yang substansi materinya tidak bertentangan dengan UU Sisdiknas.

Darmayanti disampaikan

juga

menyesalkan

paparan M.

hasil Nuh

evaluasi beberapa

UN hari

yang lalu,

Menteri

Pendidikan

mengorbankan pejabat Balitbang yang akhirnya mengundurkan diri. Padahal, itu seharusnya menjadi tanggungjawab penuh Mendiknas sebagai penyelenggara.2 Banyak para siswa-siswi yang mengeluhkan hal tersebut karena dianggap tindakan diskriminatif. Pasalnya saja dalam satu ruangan tidak ada paket yang sama tentunya ini sedikit menguras perasaan dan pikiran para siswa-siswi. Masih terkait masalah Ujian Nasional tahun 2013, kondisi yang lebih memprihatinkan lagi ialah mengenai kurangnya lembar soal dan lembar jawaban pada saat ujian.

Kekecewaan tersebut tentunya sangat dirasakan para siswa-siswi di tiaptiap sekolah baik sekolah negeri maupun sekolah swasta sebab dengan kurangnya lembar soal dan lembar jawaban ini mengakibatkan sebagian sekolah mengundurkan jadwal Ujian Nasional yang resminya jatuh pada hari senin, 15 April 2013.Kondisi seperti ini sangat disayangkan oleh
2

Thursday, 16 May 2013.koran waspada Makassar

orang tua ataupun siswa-siswi yang sudah bersiap menghadapi Ujian Nasional menjadi kabur karena kemunduran jadwal tersebut,

pengunduran jadwal ujian menyebabkan sebagian para siswa terguncang mentalnya dalam menghadapi ujian susulan.

Contohnya saja SMA Negeri 10 Medan yang memundurkan jadwal Ujian Nasional untuk jurusan IPA karena kurangnya materi soal.Sementara itu, masalah di SMA Harapan, siswa harus dipulangkan karena tidak mendapatkan soal uijan untuk jurusan IPS. Terkait masalah tersebut Dinas Pendidikan akan menggelar Ujian Nasional susulan.

Contoh lain juga terjadi di Mandailing Natal Ribuan siswa SMA jurusan IPS di Mandailing Natal, Sulawesi Selatan tidak dapat mengikuti Ujian Nasional yang terhitung mulai tanggal 15 April 2013 dan diundur hingga tiga hari ke depan karena tidak tersedianya naskah soal Ujian Nasional untuk jurusan IPS.

Para siswa tersebut akhirnya dipulangkan ke rumah masing-masing setelah tidak jadi mengikuti Ujian Nasional.Sementara sebagian siswa jurusan IPA dan siswa SMK di Madina tetap mengikuti ujian mata pelajaran Bahasa Indonesia pada hari senin lalu. Dan masih banyak lagi sekolah-sekolah yang mengundurkan jadwal ujian seperti; MAN 2 ModelMedan,dan SMA Al-Washliyah.

Kurangnya naskah Ujian Nasional di berbagai sekolah disebabkan karena percetakan naskah yang terlambat dalam menjalankan tugas dan tidak bisa memenuhi target percetakan naskah ujian tepat waktu. Akibatnya sekitar 40 persen para siswa diberbagai sekolah memundurkan jadwal Ujian Nasional untuk siswanya. Dari sumber yang didapat, siswa yang mengikuti Ujian Nasional tahun 2013 di Madina tercatat dari 6000 siswa, hanya sekitar 4000 siswa saja yang dapat mengikuti Ujian Nasional.

Kondisi ini sungguh disayangkan oleh pihak sekolah, namun, pihak sekolah tidak dapat berbuat banyak dan hanya bisa memfotokopi soal demi menutupi kekurangan soal. Sejalan dengan masalah UN tahun ini, salah satu pakar pendidikan sekaligus dosen di Universitas Negeri Medan, Muharina Harahap, M.Pd mengatakan bahwa, Ujian Nasional tahun ini dianggap gagal karena beberapa provinsi tidak melaksanakannya sesuai dengan jadwal. Konsep bercode dan terpusat yang dilakukan M. Nuh sangat baik, tetapi sekolah-sekolah belum bisa menerapkan konsep tersebut sehingga terjadi carut-marut dalam pelaksanaanya.3

Terkait masalah mental siswa yang tidak jadi melaksanakan UN lebih lanjut Muharina mengatakan bahwa secara psikologis tentu saja itu sangat mempengaruhi emosional siswa, kesiapan yang tadinya matang

cenderung menurun dan tingkat kekhawatiran juga meningkat.Pihak sekolah mengundurkan UN juga bukan karena kesalahan mereka, bagaimana mungkin ujian dilaksanakan sementara soal tidak ada.Justru Pihak sekolah dirugikan dengan kebijakan ini.

Ada yang Bocor Lagi Gak Ya? Terkait masalah kebocoran jawaban soal Ujian Nasional yang terjadi setiap tahun, bagaimana dengan Ujian Nasional tahun ini?.Dari informasi yang didapat, ternyata masih ada saja bocornya jawaban Ujian Nasional, walau hal ini bukanlah momok yang cetar membahana lagi, namun.

timbul pertanyaan dalam benak kita, jikalau masih ada kebocoran jawaban dalam Ujian Nasional, lantas mengapa program Ujian Nasional yang diselenggarakan setiap tahun oleh pemerintah tetap berlanjut ya? sama saja dong membuat sistem pendidikan di Indonesia kian menurun.
3

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/19/00422617/un.jangan.jadi.acuan . 1-6-2008..

Tentunya pemerintah perlu koreksi yang mendalam terkait masalah kebocoran ini. Jikalau Ujian Nasional masih berlanjut dan masih bocorbocor, ada baiknya program Ujian Nasional dihentikan saja4

Kajian normatif Bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 65 ayat (6), Pasal 67 ayat (3), dan Pasal 72 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik dari Satuan Pendidikan dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah/ Pendidikan Kesetaraan dan Ujian Nasional. 1. Undang-undang UU no 20 tahun 2013 tentang kemdiknas UU no 23 tahun 2000 tentang perlindungan anak khusus siwwa smp yang mengikuti UN UU no 32 tahun 2004 tentang pemerintah grade hasil ujian nasional

2. Peraturan pemerintahan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor : 3 tahun 2013 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik Dari Satuan Pendidikan Dan Penyelenggaraan Ujian Sekolah/Madrasah/Pendidikan Kesetaraan Dan Ujian Nasional Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
4

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/19/00422617/un.jangan.jadi.acuan . 1-6-2008..

2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);

3 . Keputusan peraturan setingkat menteri Keputusan menteri pendidikan nasional republik indonesia nomor 045/U/2002 tentang kurikulum inti pendidikan tinggi Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 232/U/2000 Tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi Dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa Keputusan menteri pendidikan nasional republik indonesia nomor 232/U/2000 tentang pedoman penyusunan kurikulum pendidikan tinggi dan penilaian hasil belajar mahasiswa.

BAB III METOLOGI PENULISAN

Jenis penelitian ini adalah study libery search .alasan penulisan menggunakan metode ini ialah waktu penelitian yang singkat .dan kebijakan UN di Sulawesi Selatan banyak melibatkan beberapa

pihak.sumber data yg di gunakan dalam studi ini adalah data skunder mau pun primer.sumber data skunder diperoleh dari bahan dokument yang berkaitan dengan ujian nasional .baik di cetak maupun elektronik.sumber data skunder ini adalah; laporan penelitian,jurnal ilmiah,buku

buku,peraturan per undang undangan ,surat kabar sumut pos,medan bisnis,waspada medan.

BAB IV PEMBAHASAN

Kurangnya kepedulian terhadap tenaga pengajar di Sulawesi Selatan

sebagai bagian dari komponen evaluasi pendidikan, publik setuju apabila ujian nasional dipakai sebagai tolok ukur kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, ujian nasional sebaiknya jangan dijadikan acuan atau dasar kelulusan siswa, tetapi kelulusan siswa mengikuti standar sekolah yang bersangkutan. Hal itu terangkum dalam jajak pendapat terhadap 871 pemilik telepon rumah di 10 kota besar pada 7-9 Mei 2008. Sebanyak 70 persen responden setuju apabila ujian nasional (UN) dilaksanakan dengan tujuan penyeragaman mutu pendidikan.Meski demikian, 75 persen responden mengingatkan hal ini menjadi tugas berat pemerintah karena beragamnya mutu pendidikan di Tanah Air. UN saat ini lebih berkaitan dengan dimensi kognitif atau akademik siswa.Padahal, pendidikan pada hakikatnya adalah upaya mengubah perilaku peserta didik.Dalam prosesnya, perubahan perilaku

membutuhkan banyak aspek penanganan, meliputi aspek kognitif, sikap (afektif), dan keterampilan gerak (psikomotorik).Sementara UN cenderung mengabaikan dimensi afeksi dan psikomotorik. Dilaksanakannya UN membuat sekolah-sekolah melakukan model belajar drilling, memaksa peserta didik terus-menerus berlatih soal mata pelajaran yang akan diujikan. Siswa dipaksa menghafal beragam tipe soal dan rumus, tanpa harus memikirkan logika soal yang dihadapi atau kritis terhadap permasalahan yang ia hadapi. Potensi otak yang sangat luar biasa pun menjadi terlatih berpikir konvergen, yaitu berpikir secara menyempit.Setiap masalah yang muncul hanya butuh satu jawaban, tak ada alternatif.Sekolah hanya sebagai tempat ujian, bukan wahana mengasah akal budi.

Di sisi lain, penyamarataan soal-soal UN merugikan sekolah dan peserta didik yang belum mencapai taraf pembelajaran setingkat yang diujikan UN. UN per jenjang Jika melihat kenyataan mutu pendidikan Indonesia yang bervariasi, semestinya evaluasi pendidikan tidak bersifat standar di seluruh daerah. Menurut Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), tahun 2006-2007 sekitar 285.000 guru sekolah menengah atas (SMA) memiliki tingkat pendidikan akhir yang beragam mulai dari diploma tiga (D-3) hingga strata 1 (S-1). Namun, kenyataan itu tidak memengaruhi pendapat publik tentang perlunya ujian nasional dan keseragaman soal dalam UN.Hal ini dibuktikan dengan jumlah responden yang setuju pelaksanaan UN di seluruh jenjang pendidikan dasar dan menengah yang lebih banyak daripada yang tidak setuju.Jika dilihat per jenjang, hanya 11 persen responden tidak setuju terhadap pelaksanaan ujian nasional

SMA.Sementara pada sekolah menengah pertama (SMP) kurang dari sepertiga responden tidak setuju UN.Hanya terhadap pelaksanaan UN di jenjang sekolah dasar (SD) publik tampak ragu.Di kategori ini, meski jumlah yang setuju tetap lebih besar, yaitu 60 persen, selebihnya menyatakan tidak setuju dan ragu-ragu. Walaupun indikasi setuju cukup kuat, hal ini tidak menutupi keresahan publik.Tidak semua sekolah telah mencapai kompetensi seperti yang ditetapkan pemerintah.Dengan demikian, terhadap standardisasi tingkat kesulitan butir soal, tanggapan responden cukup berimbang.Mereka yang setuju terhadap penyeragaman soal sekitar 53 persen dan yang tidak setuju mencapai 45 persen. Di samping itu, menurut teori kecerdasan majemuk dari Gagne, tidak semua orang berpotensi menjadi ahli Matematika, Bahasa Inggris, atau mata pelajaran lain yang diujikan dalam UN. Bagi jago olahraga, misalnya,

UN adalah monster.Hal itu karena jika mereka tak lulus UN, pupuslah langkah mereka ke pendidikan berikutnya. Penggunaan hasil nilai UN untuk menentukan kelulusan ditanggapi secara kontroversial oleh publik. Responden yang menerima 49,6 persen dan yang menolak 49,7 persen. Mereka yang menolak, terutama tergambar pada orangtua yang memiliki anak yang bersekolah di SLTA dan kalangan responden berpendidikan tinggi (perguruan tinggi).Pendapat setuju lebih banyak dilontarkan responden berpendidikan SLTP ke bawah. UN, sesuai namanya, adalah bagian dari evaluasi pendidikan secara nasional. Namun, jika UN ditetapkan sebagai penentu kelulusan siswa, ia bisa dianggap algojo yang mengeksekusi nasib dan masa depan ribuan siswa yang tidak lulus. (Litbang Kompas)5

Artikel di atas merupakan salah satu artikel yang ingin saya soroti dan saya angkat Dalam melakukan pembangunan, setiap negara memerlukan sumber daya yang bermutu dan potensial. Dengan demikian,maka harus tercipta suatu hubungan yang sinergis dan kooperatif antara Sumber Daya Alam (SDA) dan juga Sumber Daya Manusia (SDA) yang ada di negara tersebut, sehingga pembangunan yang telah direncanakan dapat berjalan maksimal, terarah dan sesuai dengan yang diharapkan. Untuk dapat memaksimalkan potensi SDA yang ada di suatu negara, maka harus juga tesedia SDM yang memadai untuk dapat mengolah, memanfaatkan dan menggunakan SDA tersebut. Salah satu cara yang digunakan untuk dapat membangun SDM yang memadai dan berkualitas adalah dengan cara menyelenggarakan pendidikan baik itu secara formal yaitu lembaga yang biasa kita sebut sebagai sekolah, ataupun lembaga nonformal lainnya yang dapat menyentuh semua kalangan. Pendidikan menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Bangsa
5

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/19/00422617/un.jangan.jadi.acuan . 1-6-2008..

Indonesia.Pendidikan menjadi sarana bagi pembentukan intelektualitas, bakat, budi pekerti/akhlak serta kecakapan peserta didik (Zubaedi, 2006). Tetapi lambat laun pengembangan pendidikan di Negara

Indonesia semakin kompleks dikarenakan banyaknya masalah yang dihadapi. Permasalahan yang ada dapat saya inventarisasikan menjadi beberapa poin seperti; pertama,segi tenaga pengajar yang sebagian besar belum memenuhi standar kompetensi, kedua, kurikulum yang silih berganti dan tidak mengembangkan siswa, ketiga kebijakan pendidikan yang tidak jelas tujuannya, keempat, masalah buku pelajaran yang selalu berganti sehingga pada akhirnya berimplikasi kepada semakin mahalnya beban biaya pendidikan, kelima, biaya pendidikan yang sedemikian mahal sehingga tidak bisa diakses oleh semua kalangan masyarakat, karena bisa dibayangkan betapa besarnya biaya masuk sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar yang berkisar antara 1 3,5 juta, tingkat SMP dengan biaya masuk yang berkisar antara 3-7 juta, serta beban biaya untuk tingkat SMU yang mampu mencapai angka 10 juta (Eko Prasetyo, 2006), sampai kepada evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang dinilai kontroversial yang biasa kita kenal sebagai Ujian Nasional (UN). Dalam pembahasan kasus kali ini,saya mencoba mengkaji mengenai fenomena UN yang baru bulan Mei lalu dilaksanakan, baik untuk tingkat SD,SMP sampai SMU. Sebuah artikel dari surat kabar harian Kompas yang terbit pada tanggal 19 Mei 2008 yang lalu menurut saya semakin memperjelas kontroversi yang terjadi di dalam tubuh

pelaksanaan UN sendiri dan semakin memeprlihatkan betapa carutmarutnya pendidikan dan pemahaman orang mengenai arti pendidikan itu sendiri.

Rumusan Masalah Intisari Kasus dan Pemetaan Kasus

Masalah Ujian Nasional menurut saya harus kembali kepada konsep dan tujuan dasar dari pendidikan itu sendiri.Pendidikan berasal dari kata didik v, mendidik, yang dapat diartikan memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang / kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan; proses, perbuatan, cara mendidik (KBBI, 1988). Dalam bahasa Latin, kata pendidikan diartikan menjadi educare yang berasal dari sebuah kata e ducare yang berarti menggiring ke luar. Jadi educare dapat diartikan sebagai usaha pemuliaan, pemuliaan manusia atau pembentukan manusia (J.Drost, SJ, 1999). Masalah utama yang terjadi adalah Ujian Nasional (UN) yang menuai banyak kritik dikarenakan beberapa pertimbangan. Pertimbangan pertama yang menjadi faktor penyebab adalah UN yang fungsinya digunakan sebagai salah satu instrumen yang digunakan sebagai evaluasi pendidikan yang dilaksanakan di Negara

Indonesiamalahan dinilai mematikan potensi siswa dalam melakukan pembelajaran karena lewat instrumen UN ini yang dievaluasi adalah dari aspek kogntif atau dengan kata lain hanya mendewakan sisi akademis, pengetahuan intelektual, dan kemampuan teoritis belajar dari seorang siswa tanpa memperhitungkan aspek-aspek lainnya dari seorang siswa, seperti aspek psikologis, aspek afektif (sikap), dan aspek psikomotoriknya. Selain itu, faktor berikutnya UN yang dilaksanakan saat ini tidak melihat bagaimana sistem pendidikan dan pembelajaran yang berjalan di sekolahsekolah di daerah-daerah.Adanya penyeragaman standardisasi angka kelulusan siswa menyebabkan masalah pelaksaan UN menjadi semakin kompleks.Sebagai contoh kecil, setiap sekolah pasti mempunyai kualitas guru yang berbeda.Menyamakan kemampuan dan kualitas setiap sekolah tentu saja merupakan hal yang salah, karena setiap sekolah tentu mempunyai kualitas yang ber beda-beda.Akibatnya, standarisasi nilai

kelulusan siswa akhirnya menjadi momok yang menakutkan baik bagi siswa dan bagi guru sendiri. Padahal, seharusnya ada 8 standar nasional pendidikan yang harus dipenuhi oleh masing-masing sekolah (Kompas, 17 Mei 2008), yaitu :

BAB V PENUTUP

KESIMPULAN Dengan menggunakan pertanyaan penelitian yang dirumuskan dalam bab pendahuluan sebagai penuntun,penulisan dapat menarik kesimpulan studi ini sebagai berikut.bahwa UN di Sulawesi Selatan masih perlu kita benahi.

SARAN Paling tidak ada beberapa hal yang menarik dari hasil studi ini Dapat di jadikan saran dan pembuktian bahwa pelaksanaan ujian nasional harus lebih di pikirkan,perlu atau tidaknya di laksanakan.karna bnyak faktor negatif ,jngan kita lihat bagaimana sisi positif pelaksanaannya saja.tapi ternyata masih banyak saudara-saudara kita yg hancur masa depannya karna ujian nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Thursday, 16 May 2013.koran waspada Makassar

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/05/19/00422617/un.jangan. jadi.acuan. 1-6-2008..

Minggu, 21 Apr 2013. Makassar bisnis

MAKALAH KEBIJAKAN PUBLIK

NAMA NPP KELAS

: FAJRIN ARDIANSYAH ABMA : 22.1483 : F-2

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI 2013

Anda mungkin juga menyukai