Anda di halaman 1dari 14

Tinjauan tentang Sindrom Bronkiolitis Obliterans dan Strategi Pengobatannya Don Hayes

Abstrak: Transplantasi paru merupakan pilihan pengobatan yang penting bagi pasien dengan penyakit paru kronik luas. Lamanya kemampuan bertahan hidup pada resipien transplantasi paru telah meningkat, akan tetapi, keterbatasan bertahan hidup akibat Sindrom Bronkiolitis Obliterans (BOS) masih menjadi masalah yang belum dapat diselesaikan. Pada decade belakangan ini, kemampuan kemampuan hidup setelah transplantasi paru telah meningkatkan lamanya hidup bagi resipien transplantasi dengan BOS. Tulisan ini meninjau tentang BOS dengan strategi pengobatannya saat ini, termasuk outcome transplantasi paru saat ini.

PENDAHULUAN Transplantasi paru merupakan pilihan pengobatan bagi pasien dengan penyakit paru yang kronik luas atau kegagalan pulmoner ireversibel. Walaupun kemajuan tehnik bedah berkembang luas, pemeliharaan paru, imunospuresan, dan penanganan iskemia/reperfusi serta infeksi, penolakan transplantasi allograft akut dan kronik menjadi masalah besar saat ini. Insidensi dan keparahan penolakan terhadap transplantasi paru melebihi semua organ transplantasi padat

lainnya.[1,2]. Penolakan kronik sering disebut sebagai Sindrom Bronkiolitis Obliterans (BOS) yang dapat menyebabkan kematian pada tahun-tahun pertama setelah transplantasi paru [3,4]. Tanda-tanda klinis yang penting pada BOS adalah obstruksi jalan nafas dengan reduksi volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (FEV1) yang tidak berespon terhadap bronkodilator (Tabel 1) [5,6]. Temuan histologist dari penolakan kronik adalah obliterative bronkiolitis (OB) yang ditandai dengan proses inflamasi pada jalan nafas non kartilago [7,8]. Gambar 1 adalah contoh dari histopatologi OB. Perkembangan BOS sangat jarang dalam 1 tahun pertama setelah transplantasi paru, tetapi insidensi kumulatif berkisar dari 43 hingga 80% dalam 5 tahun pertama setelah transplantasi [4.9-11].

DIAGNOSIS Diagnosis BOS ditegakkan melalui parameter klinik, fisiologi dan radiografi. Karena keterlibatan OB jarang terjadi, diagnosis patologi dapat dibantu melalui biopsy transbronkial (TBB) [5], yang dapat mengeklusikan diagnosis lainnya termasuk penolakan akut atau infeksi. Secara histologi, lesi awal BOS menunjukkan inflamasi limfositik submukosa dan kerusakan epitel jalan nafas, diikuti dengan pertumbuhan jaringan granulasi fibromiksoid dalam lumen jalan nafas, mengakibatkan obstruksi parsial atau total. Selanjutnya, jaringan granulasi menyebabkan pola sikatrik dengan hasilnya adalah fibrosis dan selanjutnya obliterasi lumen jalan nafas [12]. Secara ringkas, hanya histology residual BOS yang menyebabkan cincin sirkumferensial elastin disekitar jalan nafas yang tidak dapat dideteksi, yang disebut sebagai vanishing airway disease [12]. Sebagai hasil variabilitas histology, International Society for heart and Lung Transplant (ISHLT) mengembangkan standar nomenklatur dan membuat pemisahan antara OB dan BOS [13]. ISHLT juga bertujuan untuk mengembangkan system aplikasi klinis BOS dalam rekomendasinya tahun 1993 [13]. Kelompok ini yang menyimpulkan bahwa FEV1 merupakan penting dan dipercaya sebagai penanda BOS dan merupakan indicator konsisten disfungsi allograft diserta dengan adanya atau tidak adanya kelainan patologi OB [12]. Kelompok ini juga mendefenisikan 4 stadium BOS dengan 2 subkategori untuk mengindikasikan apakah patologi OB telah diidentifikasi [13]. Tabel 1 Klasifikasi Sindrom Bronkiolitis Obliterans (BOS) Stadium BOS 0 Klasifikasi FEV1 > 90% dari garis dasar & FEV 25-75% > 75% dari garis dasar 0-p* FEV1 81-90% dari garis dasar dan/atau FEV 25-75% 75% dari garis dasar 1 2 3 FEV1 60-80% dari garis dasar FEV1 51-65% dari garis dasar FEV1 50% dari garis dasar

0-p* = potensial BOS, dimodifikasi dari referensi #6


2

Tanda klinis BOS bervariasi dari onset awal (tersembunyi) dan penurunan bertahap dalam fungsi paru selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun hingga akhirnya penurunan berat fungsi paru selama beberapa minggu [14,16]. Diagnosis klinik BOS memerlukan penurunan pulmoner yang terus-menerus dengan turunnya FEV1 selama lebih dari 3 minggu dan mengeklusikan penolakan allograft akut, komplikasi anastomosis atau striktur, infeksi, dan penyakit infeksi lainnya yang mempengaruhi fungsi paru. Sebagai perbandingan, penolakan allograft akut didefenisikan sebagai inflamasi perivaskular atau peribronkial mononuclear yang berhubungan dengan reduksi fungsi pulmoner akut. Presentasi klinis penolakan allograft akut bervariasi dari pasien asimptomatik dengan gejala non spesifik seperti batuk, sesak nafas, produksi sputum, demam, hipoksia, dan suara nafas tambahan pada saat auskultasi [8,15]. Klasifikasi BOS saat ini berdasarkan perubahan FEV1 dengan maksimum post transplant FEV1 ditandai dengan 100% nilai prediksi (rata-rata nilai FEV1 post operasi diukur sedikitnya 3 minggu) dan rata-rata ekspirasi paksa turun hingga setengah dari kapasitas vital paksa (FEF 25-75%), nilai ini digunakan sebagai penanda awal potensial BOS [5]. Saat ini, klasifikasi ISHLT untuk BOS dijabarkan dalam Tabel 1. Saat ini, pencitraan radiografi tidak digunakan sebagai alat diagnostic dalam resipien transplantasi saat mengevaluasi BOS, akan tetapi high resolution computed tomography (HRCT) dengan tampilan inspirasi dan ekspirasi sangat membantu dalam menegakkan diagnosis penyakit ini. Beberapa abnormalitas dampat dilihat seperti hiperlusens atau udara yang terjebak, bronkiektasis, pemendekan garis septum [17]. Mengumpulkan CT ekspirasi dapat membantu melihat adanya udara yang terjebak yang tidak terlihat pada saat scan inspirasi [17,18]. Oleh karena itu, udara yang terjebak dengan jumlah besar berkorelasi

dengan derajat keparahan BOS [18].

Gambar 1 Histopatologi representatif bronkiolitis obliterans dengan inflamasi dan fibrosis jalan nafas disekitar alveoli (pewarnaan hematoksilin eosin)

PATOGENESIS DAN FAKTOR RESIKO BOS Patogenesis BOS adalah hal yang rumit dan melibatkan mekanisme alloimun dan non alloimun yang dapat terjadi secara sendiri-sendiri atau kombinasi. Penolakan kronik diklasifikasikan secara patologi berdasarkan penolakan vascular kronik atau penolakan jalan nafas kronik [7]. Penolakan vascular kronik bermanifestasi umum sebagai aterosklerosis dalam vaskulatur paru [1]. Penolakan jalan nafas didefenisikan sebagai histology OB yang sering dapat dilihat dan menyebabkan peningkatakn mortalitas dan morbiditas [7,19]. Tabel 2 meringkaskan tentang faktor resiko yang dilaporkan saat ini yang berhubungan dengan perkembangan BOS dalam resipien transplantasi paru. Faktor resiko mayor berhubungan dengan BOS ditampilkan dalam paragraph dibawah ini.

Penolakan Akut Penolakan akut didefenisikan sebagai faktor resiko primer dalam perkembangan BOS [9,20-25]. Berikutnya, episode keparahan penolakan akut berhubungan dengan meningkatnya resiko BOS. Selain itu, Hachem et al [26] saat ini mendemonstrasikan bahwa episode tunggal penolakan minimal akut tanpa rekurensi atau progresi hingga stadium penolakan yang lebih tinggi merupakan prediktor penting faktor resiko BOS lainnya.

Tabel 2 Faktor Resiko Sindrom Bronkiolitis Obliterans (BOS) setelah transplantasi paru Kemungkinan Penolakan akut Pneumonitis CMV HLA-mismatching Bronchitis limfositik/bronkiolitis Noncompliance dengan pengobatan Disfungsi graft primer Etiologi penyakit paru dasar Refluks gastroesofageal Usia donor lebih tua Pneumonia (gram negative, gram positif, jamur) Iskmeia allograft memanjang Infeksi berulang selain CMV Reaktivasi Epstein Barr Virus Potensial Kolonisasi aspergillus pada jalan nafas bawah Aspirasi Infeksi CMV (tanpa pneumonitis) Aktivitas spesifik antigen donor

Kolonisasi jalan nafas/Pneumonia Pneumonia dan/atau kolonisasi jalan nafas dengan pathogen gram positif atau gram negatif sama seperti jamur sebagai determinan disfungsi allograft kronik [27]. Dalam suatu penelitian, serologi Chlamydia pneumonia dalam donor dan resipien berhubungan dengan perkembangan resipien tranplantasi paru BOS. Faktanya, BOS terjadi lebih sering dan lebih awal pada C.pneumoniae donor

seropositifdan berkebalikan dengan donor seropositif C.pneumoniae[28]. Dalam penelitian lainnya, kolonisasi jalan nafas bawah dengan Aspergillus juga menentukan peranan kausatif potensial dalam perkembangan transplantasi post lung BOS [29]. Bronkiolitis eksudatif ditentukan dengan pencitraan HRCT yang berhubungan dengan meningkatnya resiko BOS pada resipien transplantasi [30].

Jenis Transplan Jenis transplant, apakah tunggal atau bilateral, merupakan faktor resiko perkembangan BOS. Dalam tinjauan retrospektif terhadap 221 resipien transplant paru dengan penyakit paru obstruktif krinik (PPOK), resipien transplant bilateral mirip dengan resipien transplant tunggal BOS 3 tahun (57,4% vs 50,7%) dan 5 tahun (44,5% vs 17,9%) setelah transplantasi (P=0,024) [31].

Infeksi Virus Infeksi saluran nafas bawah disebabkan virus yang diperoleh dari komunitas yang dilaporkan telah meningkatkan resiko BOS termasuk rinovirus, corona virus, respiratory syncytial virus, influenza A, parainfluenza, human metapneumovirus, dan human herpes virus-6 [32-35]. Oleh karena itu, pengobatan infeksi virus ini secara teoritis dapat mengurangi insidensi BOS, tetapi ketersediaan datanya sangat terbatas [36]. Infeksi Cytomegalovirus (CMV) juga digambarkan sebagai faktor resiko yang berpotensial dalam perkambangan BOS; [19,37,38] akan tetapi, satu penelitain menunjukkan bahwa secara histopatologi CMV pneumonia yang diobati dengan ganciclovir bukanlah faktor resiko BOS atau pasien yang bertahan hidup bukanlah kelompok resipien/donor CMV tertentu [39]. Pengobatan CMV dan pencegahan selanjutnya BOS masih belum jelas seluruhnya. Dalam penelitian saat ini, reaktivasi Eisptein Barr Virus (EBV) dideteksi melalui analisis berulang DNA EBV dari darah donor transplant paru yang berhubungan dengan perkembangan BOS [40].

Disfungsi Graft Primer Jejas reperfusi iskemia setelah transplantasi paru atau disfungsi graft primer berhubungan dengan perkembangan selanjutnya BOS [41-43]. Daud et al

[43] melaporkan bahwa 334 resipien allograft paru, 269 orang mempunyai disfungsi graft: 130 orang adalah stadium 1, 69 orang stadium 2, 70 orang stadium 3. Model multivariabel menunjukkan bahwa meningkatnya resiko BOS dengan disfungsi graft primer tergantung pada penolakan akut, bronchitis limfositik, dan infeksi virus yang diperoleh dari komunitas [43]. Oleh karena itu, ini akan meningkatkan resiko BOS secara langsung yang berhubungan dengan keparahan disfungsi graft primer.

Refluks Gastroesofageal Refluks Gastroesofageal (GE) sangat sering terjadi setelah transplant paru dan dapat berkontribusi dalam penolakan allograft kronik. Mekanisme apakah GE refluks menyebabkan BOS masih merupakan hal yang belum jelas seluruhnya. Keberadaan asam empedu dan pepsin dalam cairan bronchoalveolar lavage (BAL) dari resipien transplant paru mengungkapkan bahwa aspirasi dapat menimbulkan jejas jalan nafas [44,45]. Selain itu, pengobatan dengan proton pump inhibitor mengurangi refluks asam tetapi tidak mempengaruhi refluks non asam termasuk empedu atau pepsin, mengungkapkan keberadaan elemen ini dalam jalan nafas bagian bawah sebagai faktor yang berhubungan dengan BOS [45]. Pengobatan bedah awal refluks GE dengan fundoplikasi setelah transplantasi paru berhubungan dengan bebas dari BOS dan telah memperbaiki lamanya masa hidup [46,47]. Suatu Institusi tunggal telah melaporkan bahwa 93/128 (73%) resipien transplant paru mempunyai anbomal pH esophageal 24 jam [46]. Setelah fundoplikasi, 16 pasien mengalami perbaikan skor BOS, dengan 13 pasien tidak lagi mengalami criteria BOS [46]. Penelitian lainnya mendemonstrasikan bahwa pengobatan bedah agresif dini terhadap refluks GE dengan fundoplikasi akan memperbaiki tingkat BOS dan lamanya masa hidup pasien [47].

Human Leukocyte antigen mismatches Efek perkembangan Human BOS Leukocyte telah antigen mismatches walaupun (HLA) selama

dilaporkan

masih

kontrovesial.

Perkembangan anti HLA antibody kelas I dan II berhubungan dengan BOS

[15,48,49]. Oleh karena itu, hubungan antara BOS dan mismatchespada lokus A [21,50], 2 DR mismatches [51], atau tota; mismatches pada lokus A, lokus B, atau lokus DR [9,50] juga telah dilaporkan. Akan tetapi, mismatches lokus HLA A bukan lokus B berhubungan dengan penolakan seluler akut tetapi bukan BOS [52]. Penelitian selanjutnya dibutuhkan untuk menginvestigasi masalah penting ini.

Autoimunitas Konsep penting BOS adalah kemungkinan autoimunitas dibandingkan alloimunitas untuk menyembunyikan epitop kolagen tipe V. Epitop ini tampak sebagai hasil jejas iskmemia atau reperfusi atau kerusakan lainnya epitel respirasi [53]. Penelitian selanjutnya akan menginvestigasi temuan penting ini.

Terapi BOS Terapi Immunosupresan Sejumlah penelitian telah menilai perbedaan modalitas terapetik yang dilaporkan bermanfaat pada pasien ini. Penyesuaian terapi immunosupresan dan penggunaan pengobatan immunomodulasi berpotensial sebagai pilihan

pengobatan. Penyesuaian dalam agen immunosupresan telah menunjukkan outcome positif [54.58]. Cairn et al [54] melaporkan bahwa konversi cyclosporine hingga tacrolimus mentabilisasikan pengukuran spirometrik pada pasien dengan BOS sementara Whyte et al [55] menunjukkan hasil yang sama dengan pengenalan mycophenolate mofetil. Dalam satu penelitian, BOS mungkin lebih sering berkembang ketika sirolimus disubsitusikan terhadap azathioprine dalam 37 resipien transplant paru yang menerima cyclosporine atau tacrolimus, tetapi sirolimus telah dihentikan karena mempunyai banyak efek samping [56].

Ide atau Munculnya Terapi Penggunaan terapi immunosupresan dapat memperbaiki outcome BOS. Hal ini meliputi penelitian dalam penggunaan aerosolized cyclosporine [59-61] suatu penelitian acak double blind tunggal meneliti placebo dan percobaan terkontrol aerosolized cyclosporine yang ditampilkan dengan inisiasi obat dalam

6 minggu setelah transplant paru dengan imunosupresan sistemk rutin [59]. aerosolized cyclosporine tidak memperbaiki penolakan akut tetapi memperbaiki lamanya masa hidup dan periode lamanya masa hidup dari penolakan kronik [59]. Saat ini, penelitian pusat acak tunggal menunjukkan perbaikan dalam fungsi paru pasien transplant paru yang menerima aerosolized cyclosporine selama2 tahun pertama setelah transplantasi dibandingkan dengan placebo [60]. Suatu penelitian kasus saat ini melaporkan bahwa aerosolized cyclosporine

berhubungan dengan perbaikan fungsional kapasitas dan oksigenasi pada pasien dengan BOS [62]. Terdapat terapi lain dibawah investigasi penelitian, termasuk alemtuzumab yaitu suatu anti CD 52 antibodi yang signifikan memperbaiki stadium histology BOS pada 7 dari 10 pasien yang tidak mempunyai efek pada fungsi paru.

Terapi Azithromycin Azithromycin mempunyai efek immunomodulator yang bermanfaat dalam gangguan paru, termasuk BOS. Beberapa penelitian menunjukkan nilai Azithromycin jangka panjang (250 mg secara oral setiap hari) dan totalnya 34 pasien dengan BOS dengan perbaikan FEV1 untuk beberapa pasien tetapi tidak semuanya [64-66]. Dalam suatu penelitian observasional yang lebih lama, Gottlieb et al [67] mendemonstrasikan bahwa 24/81 (30%) pasien dengan BOS mempunyai perbaikan dalam FEV1 setelah 6 bulan terapi Azithromycin; 22 dari 24 responden membaik setelah 3 bulan terapi. Dengan analisis univariat, responden Azithromycin pada 6 bulan mendemonstrasikan pengobatan awal neutrofil BAL yang lebih tinggi [67]. Neurohr et al (68) juga mendemonstrasikan bahwa neutrofil BAL dalam resipien transplant paru stabil memiliki nilai prediktif dalam identifikasi BOS.

Terapi Statin Statin (3-hidroksi-3-methylglutaryl koenzim inhibitor reduktase) secara luas digunakan untuk menurunkan agen lemak yang juga menunjukkan efek immunomodulator. Resipien transplant paru yang hidup selama 6 tahun menerima yang terapi statin mempunyai masa hidup lebih lama dibandingkan

yang tidak menerima terapi statin [69]. Penolakan akut sering ditemukan pada kelompok statin, tidak ada satupun dari 15 resipien memulai terapi statin selama post operasi pertama dimana kumulasi insidensi diantara kelompok kontrol adalah 37%.

Ekstrakorporeal Fotoferesis Terdapat fakta bahwa Ekstrakorporeal Fotoferesis adalah metode efektif dalam pengobatan gangguan inflamasi yaitu sel T dependent termasuk BOS. Dalam akhir tahun 1990, 2 penelitian menunjukkan stabilisasi obstruksi jalan nafas disebabkan BOS dengan Ekstrakorporeal Fotoferesis pada 4/5 pasien [70] dan 5/8 pasien [71]. Diharapkan tidak ada komplikasi yang terjadi melalui prosedur ini. Salerno et al [71] melaporkan 2 pasien mengalami penolakan histology. Stabilisasi fungsional diamati pada 3/5 pasien dengan BOS bersama dengan sejumlah peningkatan atau stabilisasi sejumlah darah perifer CD4 (+) CD25 (tinggi) sel dengan in vitrosel Treg dimana 2 lainnya adalah pasien non responsif dengan BOS menunjukkan penurunan dalam subset Treg perifer [72[. Suatu penelitian terhadap hewan coba menunjukkan bahwa CD4(+) CD25 (+) sel T memegang pernan penting dalam efek immunomodulator Ekstrakorporeal Fotoferesis [73]. Selama periode 10 tahun, satu penelitian melaporkan bahwa 12 pasien dengan BOS yang diobati dengan Ekstrakorporeal Fotoferesis mempunyai perbaikan signifikan dalam penurunan FEV1, 112 ml/bulan sebelum terapi dan 12 ml/bulan setelah 12 siklus terapi (P=0,011) [74]. Efek Ekstrakorporeal Fotoferesis pada FEV1 absolut pada kelompok 12 pasien tidak signifikan dan terapi ditoleransi [74]. Saat ini, 60 resipien transplant paru mengalami reduksi dalam tingkat penurunan fungsi paru yang berhubungan dengan BOS progresif dengan terapi Ekstrakorporeal Fotoferesis [75]. Penurunan FEV1 selama 6 bulan pertama terhadap pengobatan Ekstrakorporeal Fotoferesis adalah 116,0 ml/bulan, tetapi nilai ini menurun hingga 28,9 ml/bulan selama periode 6 bulan setelah inisiasi terapi dengan perbedaan rata-rata penurunan menjadi 87,1 ml/bulan ({<0,0001) [75]. Oleh karena itu, FEV1 sebenarnya telah diperbaiki pada 25,0% pasien

10

setelah memulai Ekstrakorporeal Fotoferesis dengan peningkatan rata-rata 20,1 ml/bulan [75].

Penanganan Strategis BOS Suatu strategi penting dalam mengobati BOS adalah pencegahan awal dan pengobatan agresif faktor yang berhubungan, yang sama seperti identifikasi BOS dengan untuk memberikan terapi awal dengan cepat. Awalnya, penanganan klinis pasien ini sebaiknya berfokus pada reduksi resiko disfungsi graft primer melalui waktu penurunan ventilasi mekanik bagi donor dan menurunkan waktu iskemia allograft, dimana juga membatasi bypass kardipulmonar dan transfuse produk darah selama transplantasi [76]. Skrining rutin untuk mendefenisikan onset BOS sangat penting karena disana tampak adanya jendela pengobatan bagi beberapa pilihan pengobatan yang tersedia. Jain et al [77] mendemonstrasikan bahwa pengobatan azithromycin yang dimulai sebelum perkembangan BOS stadium 2 berhubungan dengan reduksi signifikan resiko kematian. Oleh karena itu, klinisi seharusnya melakukan pemantauan resipien transplant paru secara hati-hati pada awal penolakan akut. Spirometri sebaiknya dilakukan secara rutin pada resipien transplant paru, melihat adanya perubahan dalam pengukuran FEV1 dan FEV 25-75% berdasarkan system klasifikasi ISHLT (Tabel 1). Penggunaan pencitraan HRCT dengan tampilan ekspirasi dan ekspirasi paru untuk menilai udara yang terjebak dapat membantu berdasarkan penelitian awal [18,78], tetapi penelitian selanjutnya kurang konklusif dalam mempertanggungjawabkan nilai ini [78-81]. Saat ini, pencitraan radiografik adalah penunjang dalam avaluasi diagnostic dan penanganan BOS. Gambar 2 menunjukkan kegunaan pencitraan HRCT dalam mendiagnosa BOS pada pasien berumur 55 tahun yang mengalami transplantasi tunggal paru kanan pada tahun 1992 untuk defisiensi alpha 1 antitripsin tetapi secara tiba-tiba mengalami reduksi 25% FEV1 3 tahun setelah mengalami transplantasi tunggal paru kiri untuk BOS. Allograft kanan secara signifikan jelas menunjukkan nronkiektasis karena BOS yang lama, tetapi allograft saat ini pada sisi kiri mempunyai tanda bronkiektasis dengan udara terjebak, selanjutnya mendukung diagnosis BOS dalam allograft.

11

Gambar 2 Resolusi CT Scan dada tingkat tinggi mendemonstrasikan bronkiektasis bilateral (kanan lebih berat dibandingkan kiri) pada pasien yang mengalami transplantasi paru tunggal kanan pada tahun 1992 untuk defisinesi alpha-1-antitripsin dan transplantasi tunggal paru kiri pada tahun 2003 pada Sindrom Bronkiolitis Obliterans (BOS)

Pengobatan agresif refluks GE, menghindari infeksi, dan vaksinasi merupakan cara untuk menangani resipien transpaln paru. Penelitian

eksperimental faktor resiko melaporkan bahwa dalam BOS sebaiknya dipertimbangkan tanda klinis selama evaluasi resipien transplant termasuk bronkoalveolar yang lebih luas (BAL) neutrofilia dan tingkat IL-8 [82,83] yang sama dengan kolonisasi jalan nafas dengan Pseudomonas aeruginosa [84,85]. Penlitian selanjutnya dibutuhkan untuk mendefenisikan peranan klinis yang lebih baik terhadap keterlibatan faktor-faktor ini.

12

Tabel 3 Retransplantasi Paru pada Sindrom Bronkiolitis Obliterans (BOS) Penulis pertama Usia rata-rata (tahun) Jumlah pasien Kemampuan bertahan hidup Brugiere et al 50 15 60% (1 tahun) 53% (2 tahun) 45% (5 tahun) Martnu et al Strueber et al 40 42 12 37 75% (1 tahun) 78% (1 tahun) 62% (1 tahun) Aigner et al 36 19 72% (1 tahun) 61% (5 tahun) Osaki et al 44 12* 67% (1 tahun) 67% (2 tahun) 44% (5 tahun) *1 pasien mangalami retransplantasi sebanyak 2 kali 77 76 74 75 73 referensi

Retransplantasi BOS Pengobatan defenitif BOS dan bronkiektasis adalah retransplantasi. Akan tetapi, retransplantasi paru masih merupakan hal yang controversial disebabkan terbatasnya organ dan tingkat kemampuan bertahan hidup lebih rendah dibandingkan transplant awal. Pada tahun 1995, Novick et al [86] meninjau rekaman 72 pasien yang mengalami retransplantasi BOS pada 26 pusat kesehatan di Amerika Utara dan Eropa. Pada penelitian Cohor, tingkat bertahan hidup actual adalah 71% pada 1 bulan, 43% pada 1 tahun, dan 35% pada 2 tahun [86]. Dalam 90 hari, 63% pasien masih hidup dan 2 tahun setelah retransplantasi [86]. Penelitian Cohort berikutnya pada 139 pasien retransplant pada tahun 1995 dan 230 penerima retransplant pada tahun 1998 mendemonstrasikan angka statistic bertahan hidup yang mempunyai nilai yang sama [87,88]. Walaupun tingkat bertahan hidup untuk retransplantasi paru lebih rendah dibandingkan transplant awal, retransplantasi par uterus dilakukan pada pasien yang mengalami BOS. Saat ini, kemampuan bertahan hidup setelah retransplantasi paru telah membaik

13

[84-94]. Suatu penelitian Cohort retrospektif pada 205 pasien yang mengalami retransplantasi paru antara bulan Januari 2001 dan Mei 2006 di United States mendemonstrasikan 1 tahun bertahan hidup adalah 62%, 3 tahun bertahan hidup adalah 49%, %, dan 5 tahun bertahan hidup adalah 45% [89]. Penulis tidak menilai outcome pasien yang mengalami retransplantasi secara spesifik untuk BOS, tetapi terdapat bukti dalam outcome pasien yang mengalami retransplantasi paru dalam era modern. Selain itu, terdapat penelitian yang lebih kecil yang membahas kemampuan hidup retransplantasi paru pada BOS pasien dewasa; Tabel 3 menjabarkan penelitian-penelitian yang telah dipublikasi sejak tahun 2000. Terdapat 5 penelitian yang melaporkan tingkat bertahan hidup 1 tahun dan 5 tahun pada 60-75% dan 44-62%, perbandingan terhadap tingkat bertahan hidup yang tidak disesuaikan saat ini untuk tranplan awal adalah 79% pada 1 tahun dan 52% pada 5 tahun seperti yang dipublikasikan oleh Christie et al [4].

Kesimpulan Untuk resipien tranplan paru, BOS merupakan penyebab utama mortalitas setelah 1 tahun pertama. Dalam skor alokasi paru saat ini dalam era transplantasi paru, resipien secara signifikan mempunyai 3 hari bebas BOS setelah 3 tahun di foolow up[95]. Penelitian berikutnya diperlukan dalam mendefenisikan mekanisme patofisiologi BOS untuk mencegah onset tertunda gangguan ini. Terapi yang tersedia untuk BOS saat ini sangat terbatas dan hanya penurunan lambat fungsi paru. Retranplantasi paru juga masih controversial, tetapi tingkat bertahan hidup telah meningkat pada pasien ini dengan BOS selama beberapa decade dan selanjutnya harus dipertimbangkan sebagai pilihan pengobatan bagi populasi pasien ini.

14

Anda mungkin juga menyukai