Anda di halaman 1dari 3

SEKOLAH DAN PENDIDIKAN SEKS Membaca perilaku remaja Indonesia belakangan ini memang dapat dikatakan cukup mengkhawatirkan.

Di tengah perkembangan kecanggihan teknologi dan globalisasi, remaja Indonesia cenderung mendapatkan dampak negatif. Bagaimana tidak, teknologi dimanfaatkan secara salah sehingga menimbulkan penyimpangan sosial yang melanggar nilai kesusilaan dalam masyarakat. Perilaku seks di luar nikah terus membudaya dan mengakar kuat, sehingga tidak mengherankan berkembang wabah penyakit HIV/AIDS yang menggila. Perkembangan HIV/AIDS yang cenderung marak terjadi belakangan ini memang bukan sebuah omong kosong. Dalam ruang lingkup Kepulauan Riau (Kepri), berdasarkan data Dinasi Kesehatan Kepri dari tujuh kabupaten/kota di Provinsi Kepri, penderita HIV/AIDS mencapai 852 orang. Dari 852 penderita, sebanyak 75 persen adalah usia remaja USIA 15-29 tahun. Dari jumlah itu, sebanyak 65 persen di antaranya terdapat di Kota Batam, disusul Kabupaten Karimun dan Kota Tanjungpinang. Pengidap HIV/AIDS laki-laki sebanyak 52 persen sementara perempuan sebanyak 48 persen. Temuan ini menguatkan penemuan pertama kalhi sejak muncul kasus pada 1987, dimana Human Immuno Deficiency Virus (HIV/) Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) berkembang liar, seolah-olah tidak terkendali (Haluan Kepri, Senin, 13 Mei 2013) Fakta mengejutkan ini menegaskan perang terhadap HIV/AIDS belum berakhir. Semua unsur masyarakat yang peduli HIV/AIDS harus semakin massif menyelamatkan masa depan remaja Indonesia. Ini disebabkan remaja adalah aset strategis masa depan yang akan mewariskan dan meneruskan sejarah kepemimpinan Indonesia di masa mendatang. Penyelamatan remaja juga diperlukan mengingat secara psikologis mereka berada dalam proses yang rawan dan rentan. Dikatakan rawan sebab usia remaja cenderung labil secara emosi, mudah dipengaruhi dan sering mengambil tindakan cepat tanpa pertimbangan matang. Adanya persoalan HIV/AIDS jelas membuktikan remaja Indonesia mengalami degradasi moralitas yang mengacu kepada lemahnya pendidikan karakter di sekolah. Sekolah formal sebagai tempat remaja mengenyam pendidikan gagal membenahi moralitas sehingga diperlukan revitalisasi makna pendidikan yang berkarakter agar budaya destruktif seperti penyebaran virus HIV/AIDS dapat diminimalisir. Pendidikan berkarakter adalah kunci strategis dan benteng moral efektif untuk meminimalisir segala pengaruh negatif untuk remaja. Untuk itu sudah selayaknya dalam membahas persoalan kerusakan moral remaja tak dapat dipisahkan kepada sektor pendidikan. Dalam memperbincangkan pendidikan tersebut, kita tak dapat melupakan empat sektor strategis yakni guru, kurikulum, ekstakurikuler kerohanian dan orang tua. Guru dan kurikulum memainkan intervensinya dalam institusi pendidikan. Sedangkan ekstakurikuler kerohanian dan orang tua merupakan intervensi dalam bentuk non formal. Keempatnya harus disinergiskan sehingga mampu mencapai tujuan terbentuknya remaja yang kuat, sehat, matang secara emosional, cerdas intelektual dan spiritual.

Guru, seperti dijelaskan tokoh emansipasi perempuan Raden Ajeng Kartini, harus memiliki kemampuan sebagai pendidik, tidak hanya kemampuan profesi namun juga kecakapan moral spiritual. Ini disebabkan tujuan pendidikan tidak berujung mencerdaskan pikiran semata, namun menghasilkan pendidikan budi dan jiwa. Dalam konteks kontemporer, ajaran Kartini mengenai pendidikan karakter sesuai dengan pasal 31 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Untuk itu, sudah sewajarnya guru dapat memainkan peran pentingnya dalam mencegah penyebaran bahaya HIV/AIDS di kalangan remaja. Ketika mengajar guru dapat menekankan bahaya HIV/AIDS dan mengajarkan pendidikan seks sehat untuk kalangan remaja. Dengan pengetahuan yang diberikan guru, diharapkan remaja mendapatkan kesadaran dan pengetahuan yang baik mengenai seks. Apalagi, berdasarkan data, diketahui penyebab meluasnya penyebaran HIV/AIDS akibat minimnya pengetahuan remaja tentang seks yang diperoleh dari teman (65 persen), film porno (35 persen), lingkungan sekolah (19 persen), dan orang tua (5 persen) Kedua, kurikulum dimana pemerintah harus mampu tergerak untuk mengitegrasikan pendidikan seks yang sehat dalam kurikulum pendidikan nasional. Adanya momentum kurikulum 2013 menjadi langkah awal, sebab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah menggariskan kurikulum baru akan dilaksanakan secara tematik integratif, artinya mata pelajaran akan diajarkan pertema. Untuk itu, guru dapat mengajarkan mata pelajaran diselingi nilai pendidikan seksual dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan. Ketiga, pemerintah perlu mengusahakan peningkatan jam belajar dalam materi pelajaran agama sebagai benteng moral. Pendidikan agama sebagai sarana peningkatan spritualitas, dapat menjadi alat efektif mencegah kerusakan moral. Penambahan jam belajar tentunya tidak harus mengganggu jam belajar yang sudah ditetapkan sekolah, namun dapat disiasati dengan memaksimalkan ekstrakurikuler kerohanian yang ada di sekolah. Hal ini sangat strategis, sebab dapat meringankan beban guru pelajaran agama sekaligus mengefektifkan kerja lembaga kerohanian sekolah dalam mencapai siswa yang cerdas spiritual. Terakhir, adanya partisipasi aktif orang tua dalam mengajarkan pendidikan seks yang sehat, memilih lingkungan dan teman sebaya yang baik. Orang tua, sebagai guru pertama harus terus didorong menjadi teladan utama dalam mencegah penyimpangan sosial yang semakin membahayakan ini. Orang tua sebagai teman terdekat yang menemani anak dalam kehidupan sehari-harinya diharapkan mampu mengerti kebutuhan anak. Salah satunya, orang tua harus memilihkan teman yang terbaik sehingga anak tidak salah arah dalam pergaulan hidupnya. Inggar Saputra Peneliti Institute For Sustainable Reform (Insure)

Anda mungkin juga menyukai