Anda di halaman 1dari 31

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian Kopi adalah sejenis minuman hasil dari pengolahan biji kopi. Tanaman kopi berasal dari Etopia. Pada abad ke-17 orang Belanda membawa tanaman kopi ke Jawa. Kemudian kopi ditanam di berbagai daerah di Jawa Barat. Ekspor kopi pertama dari Indonesia dilakukan pada tahun 1711 oleh VOC (Forum Kerja Sama Agribisnis, 2008). Perkembangan tanaman kopi begitu pesat. Ratusan jenis varietas kopi telah ditemukan. Seperti kopi Arabica, Yamen Mocha, Java, dan Oxaca. Semua jenis varietas unggulan ini, berlomba-lomba memasok kopi, memenuhi tingginya tingkat permintaan dari berbagai Negara di dunia (Shalimow. Y, 2009). Kopi, minuman ekstase berkafein tinggi menempati peringkat 2 dunia, satu tingkat di bawah air putih dalam hal konsumsi. Tidak kurang dari 2 juta orang peminum setiap harinya. Hal ini menyebabkan kopi menjadi komoditas utama terbesar ketiga di bawah minyak bumi dan gas (Shalimow. Y,2009). Indonesia merupakan negara produsen kopi keempat terbesar dunia setelah Brazil, Vietnam dan Colombia. Dari total produksi, sekitar 67% kopinya diekspor sedangkan sisanya (33%) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tingkat konsumsi kopi dalam negeri berdasarkan hasil survei LPEM UI tahun 1989 adalah sebesar 500 gram/kapita/tahun. Dewasa ini kalangan pengusaha kopi memperkirakan tingkat konsumsi kopi di Indonesia telah mencapai 800 gram/kapita/tahun. Dengan demikian dalam kurun waktu 20 tahun peningkatan konsumsi kopi telah mencapai 300 gram/kapita/tahun. Dimana sektor perkebunan rakyat merupakan penghasil utama kopi Indonesia (96,2%), sisanya dari sektor perkebunan swasta lebih kurang sebesar 10.000 ton (1,5%) dan dari sektor perkebunan negara menyumbang rata-rata 15.000 ton (2,3%) per tahun. Dari total produksi kopi Indonesia, 550.000 ton (81,2%) berupa kopi robusta dan 125.000 ton (18,8%) berupa kopi arabika. Lampung, Sumatera Selatan dan Bengkulu merupakan daerah utama penghasil kopi robusta Indonesia yang dalam pasar dunia lebih dikenal sebagai Kopi Robusta Sumatera. ( Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia). Secara umum sektor pertanian di Negara berkembang sangat dipengaruhi oleh kecendrungan globalisasi dan liberalisasi. Dan salah satu komoditas pertanian yang sangat dipengaruhi oleh pasar global adalah komoditi kopi. Konsumen komoditas pertanian ini sebagian besar berada di negara maju sedangkan produsennya sebagian besar berada di negara sedang berkembang (Soekartawi, 2002). Kopi merupakan komoditas perdagangan global yang penting dan menjadi sumber devisa utama bagi sejumlah negara yang sedang berkembang. Komoditas ini diyakini sebagai salah satu cash crops yang penting dan vital bagi kehidupan lebih dari 25 juta 1

petani kopi skala kecil di negara yang sedang berkembang (Ilyas, 1991). Jika dilihat secara Nasional tingkat produktivitas kopi per hektarnya di Indonesia umumnya masih relatif rendah, hal ini dipengaruhi oleh iklim, ekologi, tanah dan sistem pertanian yang ada sangat mempengaruhi tinggi rendahnya produktifitas hasil kopi Indonesia (Ilyas, 1991). Dimana produktifitas kopi di Indonesia hanya rata-rata 500 Kg/ha, sementara negara Brazil bisa menghasilkan 600 Kg/ha, Costarica menghasilkan 1.200 Kg/ha dan Colombia menghasilkan 800 Kg/ha. Mubyarto (1984), juga menyampaikan bahwa mutu kopi yang dihasilkan oleh Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang juga merupakan produsen komoditi kopi, hal ini disebabkan karena di Indonesia penanganan proses produksinya masih sederhana. Dan sekitar 80% luas areal tanaman kopi di Indonesia dikelola oleh rakyat (perkebunan rakyat) dan 88,80% produksi kopi Indonesia berasal dari perkebunan kopi rakyat dengan sistem pertanian, teknik budidaya, perlakuan dalam proses pasca panen dan kondisi sosial petani kopi masih relatif sederhana dan bersifat tradisional sehingga menyebabkan mutu kopi yang dihasilkan petani kita sangat rendah (Mubiyarto, 1984). Menurut Papas dan Mark Hirshey (1995), bahwa permintaan adalah merupakan sejumlah barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen selama periode tertentu berdasarkan situasi dan kondisi tertentu. Mereka juga menyampaikan bahwa terdapat dua (2) model dasar dalam permintaan, yang pertama adalah permintaan langsung yang dikenal sebagai teori konsumen dan yang kedua adalah permintaan turunan yaitu permintaan atas bahan baku sebagai input didalam pembuatan suatu barang atau jasa yang diminta untuk didistribusikan menjadi produk lainnya Kopi yang di perdagangkan dipasaran sekarang ini, bukan saja dalam bentuk tradisional green coffee (biji kopi mentah) yang ditampung oleh para pengolah roasters, tetapi juga telah siap untuk dikonsumsi dalam bentuk produk turunan. Produk turunan dari kopi tersebut diantaranya kopi bubuk nescafe, indocafe, coffeemix dan capuccino dalam bentuk powder coffee. Kopi selain digunakan sebagai minuman kenikmatan juga dipergunakan sebagai penyedap berbagai jenis makanan ringan seperti; tar moka (kue) hingga es krim moka yang sangat disukai oleh masyarakat, hal ini menyebabkan komoditi kopi menjadi komoditi yang menarik dalam dunia perdagangan (Spillane, 1991). Dan pada akhir-akhir ini perkembangan kopi Indonesia sudah mulai menunjukkan perbaikan, baik dari sisi produksi maupun dari sisi lahan (areal) tanamannya. Pengelola perkebunan kopi terbesar di Indonesia adalah perkebunan rakyat (PR) yang luasnya mencapai 94,2% dari total luas tanaman kopi di Indonesia (Hiraw, 2006). Perkebunan kopi tersebut tersebar diseluruh wilayah Indonesia, namun hanya beberapa kawasan yang sangat cocok untuk menjadi sentra produksi kopi seperti Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu serta Sumatera Utara(Hiraw, 2006). Produksi Perkebunan Kopi di Bengkulu untuk Tahun 2006 Terdiri dari : Produksi Perkebunan Rakyat :63,426 Ton,Produksi Perkebunan Swasta :331 Ton, Untuk Tahun 2007 2

terdiri dari Produksi Perkebunan Rakyat :55,162 Ton, Untuk tahun 2008 yang terdiri dari Perkebunan Rakyat : 53,146 Ton,Untuk Tahun 2009 terdiri dari : Produksi Perkebunan Rakyat :55,271 Ton,Produksi Perkebunan Swasta :147 Ton, Untuk tahun 2010 terdiri dari : Produksi Perkebunan Rakyat :54,801 Ton,Produksi Perkebunan Swasta :147 Ton statusnya masih sementara. Luas Area Untuk Perkebunan Kopi yang terdiri dari perkebunan Rakyat:97,149 Ha,dan Perkebunan Swasta : 306 Ha Produksi 2010 (Ton) Produksi 2009 (Ton) Produksi 2008 (Ton) Produksi 2007 (Ton) Produksi 2006 (Ton) 54.948 55.418 53.146 55.162 63.757

Sumber Data: Statistik Perkebunan 2009-2011 Kementrian Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan. Telp 021-7815380-4 Fax 021-715486 7815586

Perkebunan kopi bengkulu tersebut tersebar di berbagai daerah tingkat Kabupaten dan Kota Bengkulu, untuk lebih jelasnya lihat pada tabel dibawah ini (Updated: 23-9-2011).

Wilayah Pengembangan Komoditi Kopi Bengkulu


Lokasi Perkebunan Kopi Kab. Bengkulu Selatan Kab. Bengkulu Utara Kab. Kaur Kab. Kepahiang Kab. Lebong Kab. Muko-Muko Kab. Rejanglebong Kab. Seluma Kota Bengkulu Luas Lahan yang sudah Digunakan (Ha) 18.498 73.278 47.910 144.102 45.744 888 126.354 100.560 126

Sumber Data: Statistik Perkebunan 2009-2011 Kementrian Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan. Telp 021-7815380-4 Fax 021-715486 7815586

Berdasarkan data tabel diatas, dapat dilihat perkebunan kopi Robusta terluas berada di Kabupaten Kepahiang yakni sebesar 24.017 hektar, disusul perkebunan Kopi di Kabupaten Seluma seluas 16.760 hektar. Keseluruhan hasil produksi Kopi Bengkulu (Robusta) tersebut berkisar antara 53.000 55.000 ton per tahun dengan jumlah petani Kopi sebanyak 62.970 kepala keluarga. Hasil produksi kopi bengkulu pernah mencapai 63.757 ton pada tahun 2006. Data sementara menyebutkan Produksi Perkebunan kopi bengkulu milik Rakyat pada tahun 2010 mencapai 54,801 Ton, sedangkan produksi Perkebunan swasta sebesar 147 Ton. Jadi total produksi kopi bengkulu Thn 2010 yaitu sebesar 54.948 Ton. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS, permintaan kopi untuk konsumsi rumah tangga berupa kopi bubuk dan kopi biji. Perkembangan konsumsi kopi di Indonesia pada periode tahun 1984 s/d 2008 secara rata-rata menunjukkan peningkatan sebesar 4,32% per tahun, meskipun pada tahun 1987 dan 1999 mengalami penurunan cukup besar dibandingkan tahun sebelumnya yaitu masing-masing sebesar 15,62% dan 18,93%.

Perkembangan konsumsi kopi di Indonesia, 1984-2008

Konsumsi kopi bubuk dan kopi biji pada rumah tangga di Indonesia tahun 1984 sebesar 0,186 ons per minggu atau 9,67 ons per tahun meningkat menjadi 0,238 ons per minggu atau 12,38 ons per tahun pada tahun 2008. Pertumbuhan konsumsi kopi terbesar terjadi pada tahun 1990 dan 2002 masing-masing meningkat sebesar 17,28% dan 57,54%. Perkembangan konsumsi kopi di Indonesia secara rinci disajikan pada Tabel.
Perkembangan konsumsi kopi di Indonesia, 1984 2008

Tahun

Konsumsi Perkapita (ons/minggu) (ons/Tahun)


9.67

Pertumbuhan (%)

1984
1987

0.186

0.157

8.16

-15.62

1990 1993 1996 1999 2002 2005 2006 2007 2008 Rata-rata
Sumber : BPS, Susenas

0.184 0.199 0.195


0.158 0.249 0.246 0.22 0.246 0.238 0.207

9.57 10.35 10.14


8.22 12.95 12.79 11.44 12.79 12.38 10.77

17.28 8.15 -2.03


-18.93 57.54 -1.24 -10.56 11.82 -3.25 4.32

Banyak faktor yang sangat mempengaruhi konsumsi per kapita nasional tersebut antara lain; faktor internal konsumen seperti budaya, kelas sosial, karakteristik individu, dan faktor psikologis termasuk produk substitusi (air mineral, susu, teh dan coklat). Sebagaimana kebiasaan seperti negara-negara lain, konsumen kopi di Indonesia umumnya mengkonsumsi sebagai minuman penyegar. Pada segmen-segmen tertentu masyarakat sangat fanatik dengan minuman kopi bahkan pada merek-merek tertentu. Budaya konsumen merupakan penentu keinginan dan perilaku yang paling mendasar. Minum kopi di Indonesia khususnya Bengkulu telah menjadi sebuah tradisi yang sangat umum dan sebuah budaya selayaknya tradisi minum teh. Bahkan kopi diminum dari mulai kelas bawah hingga atas , karena kopi sekarang sudah tampil dengan banyak ragam dan variasi, sehingga mulai warung pinggir jalan hingga kafe dengan fasilitas WiFi sekarang menyediakan minuman ini. Dilihat dari kelas sosial, masyarakat beranggapan bahwa minum kopi merupakan minuman kelas rendah, sedangkan minuman susu atau minuman lainnya dipersepsikan sebagai minuman kelas sosial tingkat menengah dan atas. Kajian gaya hidup bertumpu pada penelaahan transformasi kultur konsumtif dan identitas cultural. Ketika kopi dianggap sebagai bagian dari life style (gaya hidup ), maka terdapat perubahan pola prilaku mengkonsumsi kopi dan identitas cultural para peminum kopi berkembang masalah lainnya adalah persoalan disposisi kelas social dan selera. Dilihat dari karaktersitk individu, secara umum menunjukkan adanya kecenderungan bahwa minuman kopi hanya khusus orang dewasa dan orang yang sehat saja, padahal kopi juga bagus untuk kesehatan bila dikonsumsi dengan dosis yang benar. Jumlah konsumsi kopi 5

yang dibeli, erat hubungannya dengan jumlah anggota keluarga, sehingga semakin besar jumlah anggota keluarga seharusnya jumlah yang dibelipun akan meningkat. Selanjutnya, faktor psikologis konsumen yang menunjukkan bahwa kecenderungan seseorang mengkonsumsi minuman kopi masih terbatas pada motivasi untuk menghilangkan rasa haus (pelepas dahaga) dan relative belum mengetahui secara luas manfaat dari kopi Dari pernyataan di atas dipandang perlu untuk mengetahui seberapa besar pengaruh factor internal konsumen terhadap pemilihan komoditas kopi dan pembelian kopi sebagai salah satu minuman dalam rumah tangga. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana faktor internal konsumen rumah tangga yang mencakup budaya konsumen, kelas sosial, karakteristik individu, dan faktor psikologis 2. Berapa besar pengaruh faktor internal konsumen yang mencakup budaya konsumen, kelas sosial, karakteristik individu, dan faktor psikologis terhadap keputusan pembelian komoditas kopi.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk mengumpulkan data-data dan informasi mengenai factor internal konsumen rumah tangga yang mencakup budaya, kelas sosial, karakteristik individu, dan faktor psikologis.

1.3.2

Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah dan maksud penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: (a) Faktor internal konsumen rumah tangga yang mencakup budaya, kelas sosial, karakteristik individu, dan faktor psikologis (b) Pengaruh faktor internal konsumen rumah tangga yang mencakup budaya, kelas social, karakteristik individu, dan faktor psikologis terhadap keputusan pembelian komoditas kopi oleh konsumen rumah tangga

1.4 Manfaat Penelitian. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perusahaan kopi dalam menentukan kebijakan dan pengembangan strategi pemasaran yang sesuai kebutuhan pasar. 2. Untuk memperdalam kajian teori perilaku konsumen yang berkaitan dengan pengambilan keputusan pembelian, khususnya implementasinya pada komoditi kopi. 3. Sebagai bahan studi bagi peneliti yang berminat untuk melakukan penelitian lanjutan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1 KAJIAN PUSTAKA 2.1.1 Beberapa Penelitian Sebelumnya dan Posisi Penelitian Penulis Kejelasan arah, originalitas, dan kemanfaatan dari suatu penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti akan terlihat dengan jelas apabila peneliti mampu menelusuri secara mendalam beberapa temuan penelitian terdahulu yang terkait dan memposisikan keberadaan penelitian yang dilakukan sekarang. Adapun temuan hasil penelitian yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini, adalah perilaku konsumen khususnya penelitian yang membahas mengenai: (1) faktor internal konsumen yang mencakup budaya konsumen, kelas sosial, karakteristik individu, faktor psikologis. Beberapa temuan hasil penelitian mengenai perilaku konsumen dan bauran pemasaran adalah sebagai berikut: (a) Dadang Surjadi dkk., (2002:92) dalam penelitiannya telah menguji pengaruh iklan televisi terhadap perilaku konsumen. Penelitian ini menggunakan metode survey yang dilakukan di daerah urban dan di daerah rural yang dipilih secara purposive. Metode analisis menggunakan Chi-Square, hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa televisi merupakan media yang efektif untuk mengiklankan produk teh. Di daerah urban konsumen bereaksi sangat nyata dalam merespons iklan teh dari televisi dibandingkan dengan mereka yang berada di daerah rural pada taraf kepercayaan 95 % (b) Dede R.Oktini (2002: 105) dalam penelitiannya telah menguji pengaruh karakteristik pembeli dan penjual serta unsur produk terhadap tingkat konsumsi di Kota Bandung, dengan menggunakan metode regresi linier berganda. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengaruh karakteristik penjual lebih besar dibandingkan dengan pengaruh karakteristik pembeli dilihat dari koefisien determinasinya (square-R).83,3 %. Beberapa temuan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya di atas, baik yang berfokus pada teori manajemen pemasaran dan perilaku konsumen, maka originalitas dan posisi penelitian yang dilakukan pada tesis ini sebagai berikut. Menguji hubungan kausal faktor internal konsumen rumah tangga yang mencakup budaya, kelas sosial, karakteristik individu, dan factor psikologis sebagai variabel independen dengan keputusan pembelian komoditas kopi oleh konsumen rumah tangga sebagai variabel dependen. Beberapa penelitian sebelumnya baru menguji hubungan atau pengaruh langsung
8

dari masing-masing variabel independen secara berdiri sendiri terhadap keputusan pembelian konsumen. Akan tetapi, secara konseptual antar variabel internal konsumen saling berinteraksi. 2.1.2. Sekilas Tinjauan Teori Perilaku Konsumen Rumah Tangga Tujuan pemasaran adalah memenuhi dan memuaskan kebutuhan serta keinginan pelanggan sasaran. Perilaku konsumen (consumer behavior) dapat didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan,

mengkonsumsi, dan menghabiskan produk atau jasa. (Engel et al., 1994:3; Wilkie,1994:14; Lamb et al., 2001:188), sedangkan Peter dan Olson (2000:8), menjelaskan bahwa perilaku konsumen (consumer behavior) sebagai interaksi dinamis antara pengaruh kognisi (pikiran), perilaku, dan kejadian di sekitar kita, di mana manusia melakukan aspek pertukaran dalam hidup mereka. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen akan berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan yang dipikirkan (cognitive), dirasakan (affective) dan yang dilakukan (conative) oleh konsumen. Oleh karena itu, dalam pengembangan strategi pemasaran, sifat perilaku konsumen yang dinamis tersebut merupakan isyarat bahwa seorang manajer pemasaran hendaknya selalu mengevalusi keberhasilan kineja pemasarannya. 2.1.2.1 Teori Engel Menurut Miler dan Meineres (1997), Engel sebagai pelopor dalam penelitian tentang pengeluaran rumah tangga. Penelitian Engel melahirkan empat butir kesimpulan, yang kemudian dikenal dengan hukum Engel. Keempat butir kesimpulannya yang dirumuskan tersebut adalah: a. Jika pendapatan meningkat, maka persentase pengeluaran untuk konsumsi pangan semakin kecil b. Persentase pengeluaran untuk konsumsi pakaian relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan c. Persentase pengeluaran untuk konsumsi keperluan rumah relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan d. Jika pendapatan meningkat, maka persentase pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, rekreasi, barang mewah dan tabungan semakin meningkat. Menurut Prathama Rahardja dan Mandala Manurung (2000:115), untuk mengetahui suatu barang sebagai barang kebutuhan pokok atau barang mewah dilakukan dengan menggunakan kurva Engel (Engel Curve). Kurva ini mencoba melihat hubungan antara tingkat pendapatan dengan tingkat konsumsi, sebagai beikut:
9

a. Barang kebutuhan pokok, seperti makanan pokok. Perubahan pendapatan nominal tidak berpengaruh banyak terhadap perubahan permintaan. Bahkan jika pendapatan terus meningkat, permintaan terhadap barang tersebut perubahannya makin kecil dibandingkan dengan perubahan pendapatan. Jika dikaitkan dengan konsep elastisitas, maka elastisitas pendapatan dari barang kebutuhan pokok makin kecil bila tingkat pendapatan nominal makin tinggi. b. Barang mewah. Kenaikan permintaan terhadap barang tersebut lebih besar dibandingkan dengan kenaikan tingkat pendapatan. Atau dapat dikatakan bahwa permintaan terhadap barang mewah mempunyai derajat elastisitas yang besar.

2.1.2.2 Barang Inferior dan Barang Giffen Menurut Prathama Rahardja dan Mandala Manurung (2000:121), ada dua kemungkinan yang terjadi akibat kenaikan pendapatan nyata terhadap permintaan, yaitu: a. Kenaikan pendapatan nyata menaikkan permintaan (efek pendapatan positif), maka dapat digolongkan sebagai barang normal b. Kenaikan pendapatan nyata menurunkan permintaan (efek pendapatan negatif), hal ini terjadi pada barang inferior (barang bernilai rendah) dan barang Giffen. Selanjutnya, dijelaskan bahwa permintaan terhadap barang inferior akan naik apabila harga turun selama efek substitusi lebih besar dari efek pendapatan, begitu pula sebaliknya, tetapi jika efek pendapatan lebih besar, maka turunnya harga barang akan menurunkan permintaan. Sebaliknya, naiknya harga barang akan menaikkan permintaan, maka barang ini disebut barang Giffen. Jadi barang Giffen pastilah barang inferior, tetapi tidak semua barang inferior adalah barang Giffen. Apabila semua orang atau sebagian besar masyarakat, menganggap suatu barang sebagai barang inferior, maka barang tersebut dinamakan barang Giffen, contoh barang Giffen adalah beras (nasi). Bagi kebanyakan orang Indonesia, ada kecenderungan bahwa kalau penghasilannya meningkat, konsumsi terhadap beras akan berkurang, karena mereka akan menambah lauknya (baik secara kuantitas maupun secara kualitas). Artinya, kenyang bagi mereka sudah tidak lagi kenyang secara fisik, melainkan kenyang secara gizi. Hal ini dapat di buktikan dengan membandingkan orang yang makan di warung Tegal dengan orang yang makan di restoran. Jika kita perhatikan, porsi nasi bagi konsumen di tiap-tiap rumah makan tersebut akan berbeda-beda. Gejala ini pertama kali ditemukan oleh Sir Robert Giffen di Irlandia, yaitu meningkatnya harga kentang menyebabkan jumlah yang dibeli meningkat, begitu sebaliknya.
10

2.1.3 Proses Pengambilan Keputusan Konsumen Rumah Tangga Secara umum konsumen mengikuti suatu proses atau tahapan dalam pengambilan keputusan. Menurut Kotler (2000:160-161) dan Lamb et al., (2001:188), ada lima tahapan yaitu (1) pengenalan masalah, (2) pencarian informasi, (3) evaluasi alternatif, (4) keputusan pembelian, dan (5) perilaku pascapembelian, sedangkan Wilkie (1994:481) membagi tiga tahap: (1) aktivitas sebelum pembelian, (2) aktivitas pembelian, dan (3) aktivitas setelah pembelian. (a) Pengenalan masalah Pengenalan kebutuhan terjadi ketika konsumen menghadapi ketidakseimbangan antara keadaan sebenarnya dan keinginan. Pengenalan kebutuhan terpicu ketika konsumen diekspos pada stimulasi internal (rasa haus) atau stimulasi eksternal (produk, harga, saluran distribusi/tempat, dan promosi). Manajer pemasaran dapat menciptakan keinginan konsumen, keinginan ada ketika seseorang mempunyai kebutuhan yang tidak terpenuhi dan memutuskan bahwa hanya produk/jasa yang mempunyai keistimewaan tertentu yang akan memuaskannya. Hal ini dipertegas oleh Lamb et al., (2001:190), bahwa keinginan dapat diciptakan melalui iklan dan promosi lainnya. Selain itu, untuk meningkatkan konsumsi kopi dalam negeri, hendaknya perusahaan melakukan strategi promosi yang tepat dan mengalokasikan biaya promosi secara proporsional yang selama ini dianggap tidak penting. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dadang Suryadi dkk., (2002:99), bahwa konsumen rumah tangga di daerah urban bereaksi sangat nyata dalam merespons iklan teh dari media televisi, sedangkan konsumen rumah tangga yang berada di daerah rural kurang meresponsnya. (b) Pencarian Informasi Pencarian informasi dapat terjadi secara internal dan eksternal maupun keduanya. Pencarian informasi internal adalah proses mengingat kembali informasi yang tersimpan di dalam ingatan. Informasi yang tersimpan ini sebagian besar berasal dari pengalaman sebelumnya atas suatu produk. Misalnya konsumen sedang berbelanja menemukan salah satu merek kopi yang pernah dibelinya yang mungkin menurutnya kualitas air seduhan dan aromanya lebih baik, sehingga konsumen memutuskan untuk membelinya kembali. Sebaliknya pencarian informasi eksternal adalah mencari informasi di lingkungan luar. Ada dua tipe sumber informasi eksternal yaitu pertama; non marketing controlled (dikendalikan oleh non pemasaran) berkaitan dengan pengalaman pribadi, sumber-sumber pribadi (teman, keluarga, kenalan, rekan kerja), dan sumber publik. Ke dua; marketing
11

controlled (dikendalikan oleh pemasaran) seperti variabel bauran pemasaran (marketing mix= 4P yaitu: product, price, place, dan promotion). Hal ini dipertegas oleh hasil penelitian Dadang Surjadi dkk., (2002:101), bahwa reaksi konsumen rumah tangga dalam merespons teh sesuai dengan rangsangan produsen melalui iklan televisi. (c) Evaluasi Alternatif Setelah mendapatkan informasi dan merancang sejumlah pertimbangan dari produk alternatif yang tersedia, konsumen siap untuk membuat suatu keputusan. Konsumen akan menggunakan informasi yang tersimpan dalam ingatan, ditambah dengan informasi yang diperoleh dari luar untuk membangun suatu kriteria tertentu. Tujuan manajer pemasaran adalah memperkirakan atribut-atribut yang mempengaruhi pilihan konsumen. Banyak faktor yang mungkin bersamaan mempengaruhi evaluasi konsumen atas produk, seperti harga, kemudahan dan lain sebagainya. Seperti konsumen rumah tangga yang lebih memilih merek produk Sariwangi, karena merek tersebut dapat ditemukan di berbagai tempat penjualan. (d) Keputusan Pembelian Sejalan dengan evaluasi atas sejumlah alternatif tersebut, maka konsumen dapat memutuskan apakah produk akan dibeli atau diputuskan untuk tidak membeli. Jika konsumen memutuskan untuk melakukan pembelian, maka langkah berikutnya dalam proses adalah melakukan evaluasi terhadap produk tersebut setelah pembelian. (e) Perilaku Pascapembelian Ketika membeli suatu produk, konsumen mengharapkan dampak tertentu dari pembelian tersebut, mungkin konsumen puas (satisfaction) atau tidak puas (dissatisfaction). Kepuasan konsumen merupakan fungsi dari seberapa dekat antara harapan konsumen atas produk dengan daya guna yang dirasakan akibat mengkonsumsi produk tersebut. Jika daya guna produk tersebut berada di bawah harapan konsumen, maka konsumen merasa dikecewakan, sedangkan jika harapan melebihi kenyataan maka konsumen merasa puas. Kepuasan atau ketidakpuasan konsumen terhadap suatu produk akan mempengaruhi perilaku selanjutnya . 2.1.4 Faktor Utama yang Mempengaruhi Keputusan Pembelian Konsumen Rumah Tangga Perilaku pembelian dipengaruhi oleh internal konsumen yang meliputi: (1) faktor budaya konsumen, (2) tingkat sosial, (3) karakteristik pribadi atauindividu, dan (4) faktor psikologis (Kotler, 2000:161; Lamb et al., 2001:201), sedangkan menurut Engel et al., (1994:46), internal konsumen terdiri atas: (1) budaya, (2) kelas sosial, (3) pribadi, (4) keluarga, dan (5) situasi.
12

(a) Budaya Konsumen Budaya merupakan karakter sosial konsumen yang membedakannya dari kelompok kultur yang lainnya (nilai, bahasa, mitos, adat, ritual, dan hukum) yang telah menyatu dalam kebiasaan mereka sehari-hari. Budaya merupakan sesuatu yang perlu dipelajari, konsumen tidak dilahirkan untuk secara spontan mengerti tentang nilai dan norma atas kehidupan sosial, melainkan mereka harus belajar tentang apa yang diterima dari keluarga dan lingkungannya. Masing-masing budaya terdiri atas sub-budaya yang lebih kecil yang memberikan lebih banyak ciri-ciri dan sosialisasi khusus bagi anggotaanggotanya. Sub budaya terdiri dari kebangsaan, agama, kelompok ras, dan daerah geografis. Sub-budaya tersebut akan membentuk suatu segmen pasar dan memerlukan strategi bauran pemasaran yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. (b) Kelas Sosial Pada dasarnya masyarakat memiliki kelas sosial. Kelas sosial adalah pembagian masyarakat yang relatif homogen dan permanen yang tersusun secara hierarkis dan anggotanya menganut nilai, minat, dan perilaku yang serupa. Kelas sosial tidak hanya mencerminkan penghasilan, tetapi juga indikator lain seperti pekerjaan, pendidikan, dan tempat tinggal. Di Amerika kelas sosial dibagi atas: (1) kelas atas (kapitalis, menengah atas), (2) kelas menengah (kelas pekerja/karyawan), (3) kelas bawah (pekerja miskin) (Lamb et al., 2001:211). Kelas atas kapitalis yaitu mereka yang melakukan keputusan investasi membentuk perekonomian nasional, sebagian besar pendapatan berasal dari asset secara turun temurun. Kelas menengah atas yang terdiri atas manajer tingkat tinggi, professional, tamatan universitas, dan pendapatan keluarga yang mendekati dua kali rata-rata pendapatan nasional. Kelas menengah adalah mereka yang berpendidikan Sekolah Menengah Umum (SMU), pendapatan terkadang melebihi pendapatan ratarata nasional. Kelas pekerja/karyawan yaitu mereka yang pendapatannya cenderung di bawah rata-rata pendapatan nasional. Kelas bawah pekerja miskin adalah mereka yang dibayar rendah dan operasional banyak dari mereka lulusan Sekolah Menengah Umum (SMU), taraf hidup di bawah standar tetapi di atas garis kemiskinan. Kelas bawah adalah mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap, berpendidikan rendah, dan hidup di bawah garis kemiskinan. Selanjutnya, di Indonesia untuk mengukur besarnya pendapatan masyarakat yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik dalam survei social ekonomi nasional (SUSENAS) masih menggunakan pendekatan pengeluaran, karena seringkali mengalami kesulitan untuk mendapatkan data pendapatan dari masyarakat. Masyarakat merasa tidak nyaman jika harus mengungkapkan pendapatan yang diterimanya,
13

dan sebagian merasa bahwa pendapatan adalah suatu hal yang bersifat pribadi sehingga sangat sensitif jika diinformasikan pada orang lain. Selain itu, untuk kepentingan pemasaran, para peneliti sering menggolongkan pendapatan konsumen ke dalam beberapa kelompok untuk menggambarkan perbedaan daya beli. Salah satu cara pengelompokkan pendapatan penduduk adalah menggunakan kriteria Bank Dunia. Bank Dunia membagi penduduk ke dalam tiga kelompok yaitu 40 % penduduk berpendapatan rendah, 40 % penduduk berpendapatan sedang, dan 20 % penduduk berpendapatan tinggi (Ujang Sumarwan; 2004:207). (c) Karakteristik Individu Keputusan pembelian konsumen juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi atau individu. Karakteristik tersebut meliputi usia dan siklus hidup, pekerjaan dan keadaan ekonomi, kepribadian, gaya hidup dan konsep diri. Usia dan tahapan siklus hidup konsumen mempunyai pengaruh penting terhadap perilaku konsumen. Seberapa usia konsumen biasanya menunjukkan produk apa yang menarik baginya untuk dibeli. Selera konsumen pada makanan, pakaian, mobil, mebel, dan rekreasi sering dihubungkan dengan usia. Dihubungkan dengan usia seorang konsumen akan menempatkan diri pada siklus hidup keluarga (family life cycle). Siklus hidup keluarga (family life cycle) adalah suatu urutan yang teratur dari tahapan di mana sikap dan perilaku konsumen cenderung berkembang melalui kedewasaan, pengalaman, dan perubahan pendapatan serta status. Manajer pemasaran sering mendefinisikan target pasar yang menghubungkan dengan siklus hidup keluarga, misalnya belum menikah, sudah menikah, punya anak, dan tidak punya anak. Setiap konsumen memiliki kepribadian yang unik. Kepribadian (personality) adalah menggabungkan antara tatanan psikologis dan pengaruh lingkungan. Termasuk watak dasar seseorang terutama karakteristik dominan mereka. Ciri-ciri kepribadian konsumen misalnya: kemampuan untuk beradaptasi, kebutuhan akan afiliasi (hubungan), sikap agresif, kekuasaan, otonomi, dominasi, rasa hormat, pertahanan diri, emosionalisme, keteraturan, stabilitas, dan kepercayaan pada diri sendiri. Konsep diri atau persepsi diri adalah bagaimana konsumen mempersepsikan diri mereka sendiri. Konsep diri meliputi sikap, persepsi, keyakinan, dan evaluasi diri. Meskipun konsep diri bisa berubah, perubahan tersebut biasanya bertahap. Lamb et al., (2001:222) Perilaku konsumen sebagian besar tergantung pada konsep diri, karena konsumen ingin menjaga identitas mereka sebagai individu. Hal ini tergambar pada produk dan merek yang mereka beli, tempat pembelian, dan kartu kredit yang digunakan akan memberikan
14

gambaran image diri konsumen. Pengaruh persepsi konsumen terhadap suatu produk, pemasar dapat mempengaruhi motivasi konsumen untuk belajar tentang bagaimana berbelanja, dan membeli suatu merek yang tepat. Kepribadian dan konsep diri ini mencerminkan gaya hidup (life style). Gaya hidup (life style) adalah cara hidup, yang diidentifikasikan melalui aktivitas seseorang, minat, dan pendapat. (d) Faktor Psikologis Pilihan pembelian konsumen dipengaruhi oleh empat faktor psikologi utama yaitu: motivasi, persepsi, pembelajaran, serta keyakinan dan pendirian. (Kotler, 2000: 171; Wilkie; 1994:121). Motivasi, konsumen memiliki banyak kebutuhan pada waktu tertentu, beberapa kebutuhan bersifat biogenis. Kebutuhan tersebut muncul dari tekanan biologis seperti lapar, haus, dan tidak nyaman. Kebutuhan lain dapat bersifat psikogenis. Kebutuhan ini muncul dari tekanan psikologis seperti kebutuhan akan pengakuan dan penghargaan. Suatu kebutuhan akan menjadi motif jika ia didorong hingga mencapai tingkat intensitas yang memadai. Jadi motif adalah kebutuhan yang mendorong seseorang untuk bertindak. Basu Swasta dan Hani Handoko (1997:77), menjelaskan bahwa motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan. Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa factor-faktor yang mempengaruhi motivasi adalah sebagai berikut: (1) kebutuhan pribadi, (2) tujuan dan persepsi orang atau kelompok yang bersangkutan, (3) bagaimana cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan tujuan-tujuan tersebut agar

terrealisasikan. Teori yang berhubungan dengan motivasi dapat dijelaskan dengan teori hierarki kebutuhan manusia (Maslows Hierarchy of Needs) dari Maslow, yang menjelaskan lima kebutuhan manusia berdasarkan tingkat kepentingannya dari yang paling rendah, yaitu kebutuhan biologis (physiological or biogenic needs) sampai paling tinggi yaitu kebutuhan psikogenik (psyhogenic needs). Menurut teori ini, manusia berusaha memenuhi kebutuhan tingkat rendahnya terlebih dahulu sebelum memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi. (1) Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs) Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan tubuh manusia untuk memeprtahankan hidup. Kebutuhan tersebut meliputi makanan, air, udara, rumah, pakaian, dan seks. Teori Engel menjelaskan bahwa semakin sejahtera seseorang maka semakin kecil persentase pendapatannya untuk membeli makanan. Data Susenas ( 2003), diketahui bahwa persentase pengeluaran ratarata per kapita sebulan untuk makanan adalah 63
15

%, sedangkan untuk bukan makanan adalah 37 %. Angka ini menunjukkan bahwa pengeluaran penduduk Indonesia yang masih bergelut untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. (2) Kebutuhan Rasa Aman (Safety Needs) Kebutuhan rasa aman adalah kebutuhan tingkat kedua setelah kebutuhan dasar. Ini merupakan kebutuhan perlindungan bagi fisik manusia. Manusia membutuhkan perlindungan dari gangguan kriminalitas, sehingga ia dapat hidup dengan aman dan nyaman ketika berada di rumah maupun ketika berpergian. (3) Kebutuhan Sosial (Social Needs) Setelah kebutuhan dasar dan rasa aman terpenuhi, manusia mebutuhkan rasa cinta dari orang lain, rasa memiliki dan dimiliki, serta diterima oleh orang-orang disekelilingnya. Inilah kebutuhan ketiga dari Maslow yaitu kebutuhan sosial. Kebutuhan tersebut berdasarkan kepada perlunya berhubungan satu dengan lainnya. Pernikahan dan keluarga adalah cermin kebutuhan sosial yang dipraktekkan oleh manuisa. Keluarga adalah lembaga sosial yang mengikat anggota-agotanya secara fisik dan emosional. Sesama anggota saling

membutuhkan, menyayangi, saling melindungi. (4) Kebutuhan Ego (Egoistic or Esteem Needs) Kebutuhan ego atau esteem adalah kebutuhan tingkat ke empat, yaitu kebutuhan untuk berprestasi sehingga mencapai derajat yang lebih tinggi dari yang lainnya. Manusia tidak hanya puas dengan telah terpenuhinya kebutuhan dasar, rasa aman, dan sosial. Manusia memiliki ego yang kuat untuk bisa mencapai prestasi kerja, dan karier yang lebih baik untuk dirinya maupun lebih baik dari orang lain. Manusia berusaha mencapai prestasi, reputasi, dan status yang lebih baik, contoh iklan Mobil Nisan Serena yang berbunyi hanya untuk orangorang sukses . .(5) Kebutuhan Aktualisasi Diri (Needs for Self-Actualization) Derajat tertinggi atau ke lima dari kebutuhan adalah keinginan dari individu untuk menjadikan dirinya sebagai orang yang terbaik sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Seorang individu perlu mengekspresikan dirinya dalam suatu aktivitas untuk membuktikan dirinya bahwa ia mampu melakukan hal tersebut. Kebutuhan aktualisasi diri juga menggambarkan keinginan seseorang untuk mengetahui, memahami, dan membentuk suatu sistem nilai, sehingga ia dapat mempengaruhi orang lain. Kebutuhan aktualisasi diri adalah keinginan untuk bisa menyampaikan ide, gagasan, dan sistem nilai yang diyakininya kepada orang lain. Selain teori Maslow, Herzberg mengembangkan teori motivasi dua faktor yang membedakan dissatisfier (faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpuasan konsumen) dan satisfier (faktor-faktor yang menyebabkan
16

kepuasaan konsumen). Teori ini mempunyai dua implikasi. Pertama; pemasar harus berusaha sebaik-baiknya untuk menghindari dissatisfier. Ke dua; produsen harus mengindikasikan satisfier atau motivator utama pembelian di pasar dan kemudian menyediakan faktor satisfier tersebut. Hal ini akan menghasilkan perbedaan besar terhadap suatu merek produk, mutu, dan pelayanan bagi keputusan pembelian konsumen (Nugroho J. Setiadi; 2003:111). Persepsi seseorang konsumen yang termotivasi siap untuk bertindak, bagaimana seorang konsumen yang termotivasi akan dipengaruhi oleh persepsinya terhadap situasi tertentu. Menurut Kotler (2000:173), persepsi adalah proses yang digunakan oleh konsumen untuk memilih, mengorganisasi, dan menginterprestasikan masukan-masukan informasi. Persepsi tidak hanya bergantung pada rangsangan fisik tetapi juga pada rangsangan yang berhubungan dengan lingkungan sekitar dan keadaan individu yang bersangkutan. Pembelajaran meliputi perubahan perilaku konsumen yang timbul dari pengalamannya, sehingga saat konsumen bertindak pengetahuannya pun akan bertambah. Teori pembelajaran mengajarkan bahwa para pemasar dapat membangun permintaan sebuah produk dengan mengaitkannya pada dorongan yang kuat, dan memberikan penguatan yang positif. Perusahaan baru dapat memasuki pasar dengan menawarkan bujukan yang sama dengan yang digunakan pesaing dan memberikan konfigurasi sebagai isyarat untuk menarik perhatian yang serupa, karena pembeli lebih cenderung untuk mengalihkan kesetiaan mereka pada merek yang mirip. Keyakinan (belief) adalah gambaran pemikiran yang dianut konsumen tentang suatu hal. Melalui tindakan dan belajar konsumen mendapatkan keyakinan dan sikap, keduanya mempengaruhi perilaku pembelian konsumen. Keyakinan mungkin berdasarkan pengetahuan, pendapat, atau kepercayaan (faith). Keyakinan konsumen akan membentuk citra produk dan merek, serta konsumen akan bertindak berdasarkan citra tersebut. Sikap (attitude) adalah evaluasi, perasaan emosional, dan kecenderungan tindakan yang menguntungkan atau tidak menguntungkan serta bertahan lama dari seseorang terhadap suatu obyek atau gagasan. Sebaiknya perusahaan menyesuaikan produknya dengan sikap yang telah ada dari pada berusaha untuk mengubah sikap konsumen, karena untuk merubah sikap dibutuhkan biaya yang besar. 2.1.5 Karakteristik Agribisnis Kopi Agroindustri adalah usaha yang dikelola dengan prinsip ekonomi untuk memberi nilai tambah dengan mengubah hasil pertanian, mencakup hasil pertanian nabati dan hewani. Pengolahan yang dilakukan meliputi transformasi dan preservasi bahan melalui perubahan

17

secara kimia, fisik, biologis, penyimpanan, pengemasan dan distribusi (Yuliati, 2001 dalam Ronal 2004). Agroindustri dapat digolongkan menjadi dua, berdasarkan skala usahanya, yaitu skala kecil-menengah dan skala menengah-besar. Kelompok industri kecil meliputi industri kecil dan menengah (IKM) serta industri kecil kerajinan dan industri rumah tangga (Lukmana dalam Taufik. A , 2004). Lebih lanjut Said dan Wiyandi (1993) , mengatakan bahwa strategi pengembangan agroindustri ditujukan untuk menyelamatkan hasil panen, meningkatkan daya manfaat, dan memberikan nilai tambah sehingga dapat meningkatkan daya serap tenaga kerja dengan membuka spektrum baru lapangan kerja yang luas dan beragam. Beberapa hal yang merupakan tantangan dalam pengembangan agroindustri adalah kualitas produk, sumber bahan baku, transportasi teknologi dan sumber daya manusia. Lingkup agroindustri tidak hanya terbatas pada industri pengolahan hasil-hasil pertanian. Kegiatan agroindustri mencakup (1) Industri pupuk, (2) Industri obat-obatan pemberantas hama, (3) Industri alat dan mesin budidaya pertanian, (4) Industri alat-alat pengolahan, (5) Industri pengolahan hasil pertanian, (6) Industri pengolahan limbah, (7) Industri pengemasan, (8) Industri jasa transportasi (Simposium Agroindustri dalam Taufik. A , 2004). Agroindustri kopi sebagai salah satu komoditas perkebunan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan negara dan daerah. Sejalan dengan pengembangan dan kemajuan teknologi pengolahan, maka produk olahan yang berbahan baku kopi semakin beragam sesuai dengan keinginan konsumen. 2.1.6. Proses Pengolahan Kopi Bubuk 2.1.6.1 Waktu Panen Untuk memperoleh hasil bermutu tinggi, buah kopi dipetik setelah matang, yaitu saat kulit buah berwarna merah. Kopi yang sudah dipetik harus segera diolah lebih lanjut dan tidak boleh dibiarkan selama lebih dari 12 20 jam. Bila tidak segera diolah, kopi akan mengalami fermentasi dan proses kimia lainnya yang dapat menurunkan mutu. Bila terpaksa belum dapat diolah, kopi harus direndam dulu dalam air bersih yang mengalir (Tim Penulis PS, 2008)

18

2.1.6.2 Pengolahan Kopi Biasa 1. Pengolahan Buah kopi biasanya dipasarkan dalam bentuk kopi beras, yaitu kopi kering yang sudah terlepas dari daging buah dan kulit arinya. Pengolahan buah kopi bertujuan untuk memisahkan biji kopi dari kulitnya dan mengeringkan biji tersebut sehingga diperoleh kopi beras dengan kadar air tertentu dan siap dipasarkan. Pengolahan buah kopi dilakukan melalui dua cara, yaitu cara basah dan kering. a. Pengolahan Basah Cara ini disebut pengolahan basah karena prosesnya banyak menggunakan air. Pengolahan basah hanya digunakan untuk mengolah kopi sehat yang berwarna merah, sedangkan kopi berwarna hijau dan terserang bubuk diolah secara kering. Pengolahan basah dilakukan melalui enam tahap. Tahap-tahap tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Sortasi gelondong Sortasi gelondong dimaksudkan untuk memisahkan kopi merah yang berbiji dan sehat dengan kopi hampa dan terserang bubuk. Caranya, kopi merah yang sudah ditimbang dimasukkan ke dalam alat yang disebut bak penerimaan atau bak sortasi. Bak ini dilengkapi dengan saringan serta keran pemasukkan dan pengeluaran air. Setelah itu, bak diisi air dengan cara membuka keran pemasukan air. Bila bak sudah hampir penuh, kemudian diaduk. Setelah diaduk, gelondong yang terserang bubuk dan yang hampa akan mengapung, sedangkan yang sehat dan berisi akan tenggelam. Gelondong yang tenggelam (bernas) selanjutnya disalurkan ke mesin pulper, sedangkan gelondong yang terapung(gelondong rambang) diolah secara kering. 2. Pulping (penguapan kulit buah) Pulping bertujuan untuk memisahkan biji dari kulit buah sehingga diperoleh biji kopi yang masih terbungkus kulit tanduk. Pemisahan kulit menggunakan mesin pulper. 3. Fermentasi Fermentasi bertujuan untuk membantu melepaskan lapisan lendir yang meneyelimuti kopi yang ke luar dari mesin pulper. Fermentasi bisa dilakukan melalui dua cara yaitu cara basah dan cara kering.
19

Fermentasi basah dilakukan di dalam bak semen yang bagian bawahnya berlubang-lubang sebagai jalan keluar air. Lubang ini dilengkapi dengan saringan dan pengatur keluaran air. Fermentasi basah dilakukan dengan cara sebagai berikut : 1. Biji kopi di masukkan ke dalam bak, lalu diberi air bersih hingga hampir penuh. Kulit buah kopi yang mengembang dibuang. Rendaman dibiarkan selama 10 jam. 2. Kemudian air di keluarkan melalui lubang di bagian bawah. Bila sudah surut, bak diisi air kembali seperti semula. 3. Air rendaman diganti setiap 3 4 kali sambil diaduk. 4. Perendeman dihentikan setelah 36 40 jam difermentasi. Lebih dari 40 jam, biasanya kopi akan berbau busuk sehingga menurunkan mutu. Fermentasi kering dilakukan dengan cara menumpuk kopi yang baru keluar dari mesin pulper di tempat yang teduh selama 2-3 hari. Tumpukan kopi ditutup dengan goni agar tetap lembab sehingga proses fermentasi berlangsung dengan baik. Agar fermentasi lebih merata, setiap 5-6 jam sekali tumpukan perlu diaduk. 4. Pencucian Pencucian bertujuan untuk menghilangkan seluruh lapisan lendir dan kotoran lainnya yang masih tertinggal setelah difermentasi atau setelah keluar dari mesin raung pulper. Pencucian secara sederhana dilakukan pada bak memanjang dengan air mengalir. Cara yang lebih sederhana lagi bisa dilakukan di dalam bak yang bagian bawahnya diberi lubang pengatur keluaran air. Di dalam bak yang memanjang atau bak yang lebih sederhana, kopi diaduk dengan tangan atau kaki untuk melepaskan sisa lendir yang masih melekat. Bila sudah bersih dan tidak licin, kopi diangkat dari bak dan ditiriskan. Di pabrik pengolahan yang cukup besar, pencucian bisa dilakukan dengan mesin pencuci vis washer atau raung washer yang bisa mencuci jauh lebih cepat dibandingkan cara sederhana. 5. Pengeringan Kopi yang sudah selesai dicuci mengandung air sekitar 53-55 %. Pengeringan bertujuan untuk menurunkan kadar air hingga menjadi 8-10%. Dengan demikian kopi tidak mudah terserang cendawan dan tidak mudah pecah ketika digiling. 6. Hulling (pemecahan kulit tanduk) Hulling bertujuan untuk memisahkan biji kopi yang sudah kering dari kulit tanduk dan kulit ari.
20

b. Pengolahan kering Pengolahan secara kering sangat cocok untuk lahan yang tidak terlalu luas karena alatnya sederhana dan biaya investasi rendah. Pengolahan secara kering terutama ditujukan untuk kopi robusta karena tanpa fermentasi sudah diperoleh mutu yang cukup baik. Untuk kopi arabika, sedapat mungkin kopi diolah secara basah karena diperlukan fermentasi untuk mendapatkan mutu kopi yang baik. Di perkebunan besar, pengolahan secara kering hanya digunakan untuk kopi berwarna hijau, kopi rambang, dan kopi yang terserang bubuk. Kopi ini langsung masuk ke tahap pengeringan. Pengolahan secara kering dibagi beberapa tahap yaitu: 1. Sortasi gelondongan Sortasi gelondongan sudah mulai dilakukan sejak pemetikan, tetapi harus diulangi lagi pada waktu pengolahan. Sortasi pada awal pengolahan dilakukan setelah kopi datang dari kebun. Kopi yang berwarna hijau, hampa, dan terserang bubuk disatukan, sementara kopi berwarna merah dipisahkan karena akan menghasilkan kopi bermutu baik. 2. Pengeringan Kopi yang sudah dipetik dan disortasi harus segera dikeringkan agar tidak mengalami proses kimia yang dapat menurunkan mutu. 3. Hulling (pengupasan kulit) Hulling pada pengolahan kering agak berbeda dengan hulling pada pengolahan basah. Hulling pada pengolahan kering bertujuan untuk memisahkan biji kopi dari kulit buah, kulit tanduk, dan kulit ari. 2. Pembuatan Kopi Bubuk Pembuatan kopi bubuk bisa dibagi ke dalam dua tahap (tahap perendangan dan tahap penggilingan). 1. Perendangan (penyangraian) Perendangan atau penyanggarain adalah proses pemanasan kopi beras pada suhu 200225o C. Tujuannya adalah untuk mendapatkan kopi rendang yang berwarna coklat kayu manis-kehitaman. Dalam proses perendangan ini biji kopi mengalami dua proses, yaitu penguapan air pada suhu 1000 C dan pirolisis pada suhu 180-2250 C. Pada tahap pirolisis,

21

kopi mengalami perubahan kimia antara lain pengarangan serat kasar, terbentuknya senyawa volatil, penguapan zat-zat asam, dan terbentuknya zat beraroma khas kopi. 2. Penggilingan (penumbukan) Penggilingan adalah proses pemecahan butir-butir biji kopi yang telah direndang untuk mendapatkan kopi bubuk berukuran maksimum 75 mesh. Ukuran butir-butir (partikelpartikel) bubuk kopi berpengaruh terhadap rasa dan aroma kopi. Secara umum, semakin kecil ukurannya maka rasa dan aromanya semakin baik. Hal ini dikarenakan sebagian besar bahan yang terdapat di dalam kopi dapat larut dalam air ketika diseduh 3. Penyimpanan Kopi yang sudah direndang dan digiling mudah sekali mengalami perubahan, misalnya perubahan aroma, kadar air, dan ketengikan. Kopi bubuk yang disimpan di tempat terbuka akan kehilangan aroma dan berbau tengik setelah 2-3 minggu. Kehilangan aroma ini disebabkan oleh menguapnya zat caffeol yang beraroma khas kopi. Sementara ketengikan disebabkan oleh reaksi antara lemak yang terdapat dalam kopi dengan oksigen di udara. Untuk menghindari penurunan mutu biji kopi yang telah direndang selama penyimpanan, sebaiknya kopi disimpan sebelum digiling. Hal ini dikarenakan kopi rendang yang belum digiling mempunyai daya simpan 2-3 kali kopi yang telah digiling. Kopi yang sudah digiling sebaiknya segera disimpan dan dipak dengan lapisan kedap udara misalnya plastik atau aluminium foil (Najiyanti dan Danarti, 2008). 2.2 Kerangka Pemikiran Kebutuhan dan keinginan-keinginan konsumen akan berubah secara terus menerus, sehingga seorang manajer pemasaran harus mempunyai pengetahuan yang seksama tentang perilaku konsumen kopi agar dapat memberikan definisi pasar yang baik untuk mengikuti perubahan yang konsisten, serta merancang strategi pemasaran yang tepat. Menurut Engel, et al., (1994:3), Wilkie (1994:14) dan Lamb, et al., (2001:188), perilaku konsumen menggambarkan bagaimana konsumen membuat keputusan-keputusan pembelian dan bagaimana mereka menggunakan dan mengatur pembelian barang atau jasa. Dengan demikian perilaku konsumen adalah kegiatan yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan mengkonsumsi produk atau jasa, termasuk di dalamnya proses pengambilan keputusan, yaitu : pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, pembelian, dan perilaku pasca pembelian. Proses pengambilan keputusan konsumen tidak dapat terjadi dengan sendirinya, banyak faktor yang mempengaruhinya.
22

Menurut Lamb, et al., (2001:201) dan Kotler (2000:161), bahwa faktor-faktor tersebut adalah: (1) budaya konsumen, (2) sosial, (3) karakteristik individu, dan (4) factor psikologi. Selain itu, Engel, et al., (1994:62) membagi atas lima faktor yaitu : (1) budaya, (2) kelas sosial, (3) keluarga, (4) pengaruh pribadi, dan (5) situasi. Budaya adalah simbol (sikap, pendapat, kepercayaan, nilai) dan fakta yang kompleks, yang diciptakan oleh manusia dari generasi ke generasi sebagai penentu dan pengatur perilaku manusia dalam masyarakat yang ada. Budaya merupakan karakter yang penting dari status sosial yang membedakannya. (Wilkie, 1994:311; Kotler, 2000:161). Kelas sosial, adalah sekelompok orang yang sama-sama mempertimbangkan secara dekat kebersamaan di dalam status atau penghargaan komunitas yang secara terus menerus bersosialisasi di antara mereka sendiri baik secara formal maupun informal. Hal ini sejalan dengan pendapat Kotler (2000:161-162), menyatakan bahwa kelas social adalah pembagian masyarakat yang relatif homogen dan permanen, yang tersusun secara hierarkis, di mana anggotanya menganut nilai-nilai, minat, serta perilaku yang serupa. Kelas sosial tidak hanya mencerminkan pendapatan, tetapi juga indikator seperti pekerjaan, pendidikan, dan tempat tinggal. Keputusan seorang individu untuk membeli juga dipengaruhi oleh karakteristik pribadi yang unik dari masing-masing individu, seperti jenis kelamin, usia, dan tahapan dalam siklus hidup, kepribadian, konsep diri, serta gaya hidup. Aspek-aspek psikologis mencakup persepsi, motivasi, pembelajaran, kepercayaan, serta sikap. Persepsi adalah proses di mana seseorang memilih, mengatur dan menginterprestasikan rangsangan tersebut ke dalam gambaran yang memberi makna dan melekat dibenaknya. Konsumen tidak dapat menerima seluruh rangsangan yang ada di lingkungan mereka. Oleh karena itu, konsumen menggunakan keterbukaan yang selektif (selective exposure) untuk menentukan mana rangsangan yang harus diperhatikan dan mana yang harus diabaikan. Berkaitan dengan motivasi keamanan pangan yang menjadi sorotan akhir-akhir ini, masyarakat konsumen di seluruh dunia semakin peduli (concerned). Menurut Hidayat (2000:1-2), menjelaskan bahwa keamanan pangan makin mendapat perhatian serius pada perjanjian perdagangan global, dan merupakan isu penting di bidang pembatasan perdagangan non tarif (non tariff trade barriers). Hal ini telah dibuktikan dengan standar toleransi residu pestisida dalam bahan dan produk pangan melalui Food Quality Protection Act (FQPA), untuk mencegah resiko yang ditimbulkan oleh pangan. Dengan demikian agar perusahaan berhasil dalam mempromosikan produk kopi, hendaknya mencantumkan label

23

tentang keamanan pangan, sehingga harapan konsumen dengan minum kopi akan memberikan rmanfaat bagi kesehatannya. Pembelajaran adalah proses penciptaan perubahan perilaku melalui pengalaman dan latihan. Menurut Basu Swasta dan Hani Handoko (1997:86), bahwa proses pembelian yang dilakukan oleh konsumen merupakan sebuah proses belajar, hal ini sebagai bagian dari kehidupan konsumen. Proses belajar pada suatu pembelian terjadi apabila konsumen ingin menanggapi dan memperoleh suatu kepuasan, atau sebaliknya konsumen dikecewakan. Demikian Kotler (2000:174) menjelaskan bahwa, teori pembelajaran mengajarkan ke pada para pemasar bahwa mereka dapat membangun permintaan atas sebuah produk dengan mengaitkannya pada dorongan yang kuat atau motivasi dan memberikan penguatan yang positif. Keyakinan adalah gambaran pemikiran yang dianut seseorang tentang sesuatu, sedangkan sikap adalah evaluasi, perasaan emosional, dan kecenderungan tindakan yang menguntungkan atau tidak menguntungkan dan bertahan lama dari seseorang terhadap suatu obyek atau gagasan. (Lamb et al., 2001:232-234; Kotler, 2000:174). Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa sikap konsumen terhadap suatu produk berdasarkan atas pandangan konsumen dan proses belajar baik dari pengalaman pribadi ataupun dari orang lain. Sikap konsumen dapat merupakan sikap positif ataupun negatif. Seorang konsumen kopi mungkin percaya bahwa dengan minum kopi dapat mengurangi penyakit jantung dan lain-lain. Kelompok acuan adalah kelompok dalam masyarakat yang mempengaruhi perilaku pembelian seseorang. Konsumen mengamati bagaimana anggota dari kelompok acuan tersebut dalam melakukan konsumsi, dan mereka menggunakan kriteria yang sama untuk membuat keputusan konsumsi. Kelompok acuan terbagi atas : (1) kelompok keanggotaan utama, dimana anggota kelompok melakukan interaksi secara teratur, informal, tatap muka, keluarga, teman, tetangga, (2) kelompok keanggotaan kedua, di mana anggotanya kurang konsisiten dan bersifat formal seperti klub, kelompok profesional, dan kelompok keagamaan, (3) kelompok acuan aspirasional adalah kelompok di mana seseorang ingin bergabung, dan (4) pelopor opini yang dapat mempengaruhi anggotanya untuk membeli sesuatu (Lamb et al., 2001: 213214; Kotler, 2000:163-165). Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa kelompok acuan seperti keluarga atau kerabat, dan teman dapat mempengaruhi keputusan pembelian oleh konsumen rumah tangga dalam mengkonsumsi. Keluarga merupakan organisasi pembelian konsumen
24

yang paling penting dalam masyarakat. Anggota keluarga merupakan kelompok acuan primer yang paling berpengaruh. Aturan dalam pengambilan keputusan di antara anggota keluarga memiliki perbedaan yang cukup signifikan tergantung jenis barang yang akan dibeli. Setiap anggota keluarga memiliki selera dan keinginan yang berbeda. Oleh karena itu, manajer pemasaran perlu mengetahui sebenarnya siapa anggota keluarga yang bertindak sebagai pengambil inisiatif, penentu, dan pembeli atau siapa yang mempengaruhi suatu keputusan. Di Indonesia seorang ibu rumah tangga pada umumnya sebagai pembeli dan pengambil keputusan dalam memenuhi kebutuhan makanan dan minuman anggota keluarga termasuk komoditi kopi. 2.3 Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya perlu diuji secara empirik. Rumusan masalah yang telah dibuat, untuk masalah nomor 1, 2 dan 6 merupakan masalah deskriptif, oleh karena itu hipotesis tidak diperlukan (Moh.Nazir, 1988:182; Sugiyono, 1999:51). Faktor internal konsumen yang mencakup budaya konsumen, kelas sosial, karakteristik individu, dan faktor psikologis berpengaruh terhadap keputusan pembelian komoditas kopi oleh konsumen rumah tangga.

25

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek penelitian adalah konsumen rumah tangga dan respondennya adalah ibu rumah tangga yang dianggap sebagai pengambil keputusan dalam melakukan pembelian komoditas teh. Yang dimaksud dengan rumah tangga adalah semua orang, baik kerabat maupun yang tidak, yang menempati satu unit perumahan (Engel et al., (1994:194) yang diasumsikan mengkonsumsi kopi. Lokasi penelitian dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa kontribusi Provinsi Bengkulu terhadap kopi nasional cukup tinggi . Adapun waktu penelitian lapangan selama 6 (enam) bulan, mulai bulan Juni 2012 sampai dengan bulan Desember 2012. 3.2 Metode Penelitian Penelitian menggunakan metode penelitian explanatory survey. Pendekatan explanatory survey ini, sebagaimana simpulan Cooper dan Pamela (2003:13), Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi (1995:3) terbukti mampu dengan baik menjelaskan hubungan antar aspek yang diamati dan bukan hanya sekedar descriptive, sedangkan bentuk penelitian verifikatif menurut Moh. Nazir (1988:63) digunakan untuk menguji hipotesis yang menggunakan perhitungan-perhitungan statistic 3.2.1 Operasionalisasi Variabel Pada penelitian ini dirumuskan beberapa konsep variabel yang diamati yaitu : (1) Faktor internal konsumen (X1) yaitu: faktor internal konsumen yang mencakup budaya konsumen, kelas sosial, karakteristik individu, dan faktor psikologis. (a) Budaya konsumen (X1.1) yaitu: kebiasaan yang diciptakan oleh manusia dari generasi ke generasi sebagai penentu dan pengatur perilaku manusia dalam masyarakat yang mencakup suku, frekuensi minum teh, dan waktu minum teh. (b) Kelas sosial (X1.2) yaitu: pembagian masyarakat yang relatif homogeny dan permanen, tersusun secara hierarkis yang mencakup pendapatan, pekerjaan, pendidikan, dan tempat tinggal. (c) Karakteristik individu (X1.3) yaitu: karakteristik individu yang dapat mempengaruhi perilaku dalam pengambilan keputusan pembelian yang mencakup umur, jumlah keluarga, dan gaya hidup. (d) Faktor psikologis (X1.4) yaitu: suatu dorongan psikologis konsumen yang melibatkan perasaan (afeksi) dan pemikiran (kognisi) dalam pengambilan keputusan yang mencakup persepsi, motivasi, dan keyakinan/sikap (konatif).

26

Variabel

Sub-Variabel

Indikator

Ukuran

Skala Ukur
Nominal Ordinal Rasio Nominal Rasio Nominal Nominal Nominal

Internal (x-1)

Konsumen

Budaya (X1.1)

Kelas Sosial (X1.2)

Individu (X1.3)

Psykologis (X1.4)

Suku Kebiasaan Frekuensi Waktu konsumsi Pendapatan Pekerjaan Pendidikan Tempat Tinggal Umur Keluarga gaya hidup Persepsi Pilihan anggota keluarga pada saat sakit Pengobatan penyakit Keyakinan dan sikap Motivasi Kenikmatan Manfat kesehatan Kebaikan dalam mengatasi rasa haus

Asal suku Tingkat keseringanya Berapa kali dalam sehari pilhan waktu Rupiah/bln Status pekerjaan Strata pendidikan Lokasi tempat tinggal Tingkat usia Jumlah keluarga Tingkat pengaruh Tingkat persepsi Tingkat pilihan Jenis penyakit Tingkat motivasi Tingkat kenikmatan Tingkat manfaat Tingkat kebaikan

Rasio Rasio Ordinal

Nominal Nominal Nominal Nominal Ordinal Ordinal Ordinal

3.2.2 Populasi Populasi sasaran (target population) adalah populasi yang menjadi sasaran penelitian yaitu populasi yang nantinya akan menjadi cakupan kesimpulan penelitian. Dalam penelitian ini, populasi sasaran adalah konsumen rumah tangga Bengkulu. 3.2.3 Teknik Penarikan Sampel Penentuan sampel menggunakan teknik multi-stage cluster sampling dan simple random sampling. 3.2.4 Metode Pengumpulan Data 3.2.4.1 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dianalisis adalah data primer dan data sekunder, sumber data primer adalah ibu rumah tangga. Data sekunder diperoleh dari perusahan kopi dan dinas dinas terkait di Bengkulu. 3.2.4.2 Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini, dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.

27

1. Melakukan observasi, yaitu pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap obyek yang diteliti, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan sesungguhnya. 2. Melakukan wawancara kepada ibu rumah tangga sebagai responden, 3.2.4.3 Pengujian Instrumen Kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data yang merupakan penjabaran dari indikator variabel sebelum digunakan untuk mengumpulkan data di lapangan, terlebih dahulu harus diuji tingkat validitas dan reliabilitasnya. Validitas menunjukkan sejauh mana instrumen dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur, sedangkan reliabilitas menunjukkan sejauh mana instrumen pengukur dapat dipercaya atau dihandalkan (Sugiyono, 1999:109; Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, 1995:124). Oleh karena itu setelah instrumen itu valid dan reliable, maka dapat digunakan untuk mengumpulkan data di lapangan. (a) Pengujian Validitas Sebelum kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data, terlebih dahulu diuji validitasnya kepada responden dengan menggunakan rumus teknik korelasi Product Moment dari Pearson (dikutip oleh Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, 1995:137) sebagai berikut : N ( d xy ) - ( fdx ) ( fdy ) r = N fdy2 - ( dx )2 N fdY2 - ( fy )2 Di mana : r = Koefisien Validitas item yang dicari X = Skor yang diperoleh dari subyek dalam tiap item Y = Skor total yang diperoleh dari subyek seluruh item X = Jumlah skor dalam distribusi X Y = Jumlah skor dalam distribusi Y X2 = Jumlah kuadrat pada masing-masing skor X Y2 = Jumlah kuadrat pada masing-masing skor Y N = Jumlah responden Koefisien Validitas dianggap signifikan jika r hitung > r tabel pada a = 0,05 (b) Pengujian Reliabilitas Adapun teknik yang digunakan dalam pengujian reliabilitas pada penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan teknik test-retest yaitu pengujian reliabilitas instrumen yang

28

dilakukan dengan cara percobaan instrumen dua kali kepada responden yang sama dengan waktu yang berbeda. Sugiyono (1999:120) mengatakan bahwa pengujian reliabilitas instrumen secara internal dapat dilakukan dengan menggunakan teknik belah dua (split-half) yaitu pengujian reliabilitas internal yang dilakukan dengan membelah item-item instrumen menjadi dua kelompok (ganjil dan genap), kemudian dijumlahkan, dicari korelasinya, dan kemudian dianalisis dengan rumus koefisien Spearman Brown, yang rumusnya sebagai berikut : rj =

Di mana : rj = Reliabilitas internal seluruh instrumen rb = Korelasi product moment antara belahan ganjil dan genap Koefisien reliabilitas dianggap signifikan jika rj hitung > r tabel pada a = 0,05 3.2.4.4 Transformasi Data Melalui Method of Successive Interval (MSI) Skala pengukuran dari data yang diperoleh adalah bervariasi yaitu nominal, skala ordinal dan rasio. Untuk data yang mempunyai skala ordinal dengan menggunakan skala Likert, dengan bobot nilai 5,4,3,2,1 atau pengukuran sikap dengan kisaran positif sampai dengan negatif. (Sugiyono, 1999:86). Maka data tersebut perlu ditingkatkan menjadi skala interval dengan metode method of successive interval. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: a) Ambil data ordinal hasil kuesioner b).Setiap pertanyaan, dihitung proporsi jawaban untuk setiap kategori jawaban dan hitung proporsi kumulatifnya. c) Menghitung nilai Z untuk setiap proporsi kumulatif yang diperoleh dengan menggunakan tabel normal. d) Menghitung nilai densitas untuk setiap proporsi kumulatif dengan memasukkan nilai Z pada rumus distribusi normal e) Menghitung nilai skala dengan rumus Method of Successive Interval Density at Lower Limit - Density at Upper Limit Means of Interval = Area at Below Density Upper Limit - Area at Below Lower Limit f) Menentukan nilai transformasi (nilai untuk skala interval) dengan menggunakan rumus :
29

Nilai Transformasi = Nilai Skala - Nilai Skala Minimal + 1 3.2.5 Metode Analisis 3.2.5.1 Analisis Deskriptif Sesuai dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka untuk menjelaskan secara deskriptif digunakan metode Interval Score dengan pembagian Median Interval Score yang bertujuan untuk mengukur kuat tidaknya faktor internal konsumen yang mencakup budaya konsumen, kelas sosial, karakteristik individu, dan faktor psikologis. 3.2.5.2 Pengujian Hipotesis (a) Pengujian Secara Simultan Hipotesis pertama secara simultan adalah: faktor internal konsumen yang mencakup budaya, kelas sosial, karakteristik individu, faktor psikologis keputusan pembelian komoditas kopi oleh konsumen rumah tangga di Provinsi Bengkulu. Untuk mengetahui pengaruh antar variabel tersebut digunakan analisis jalur (Path Analysis), Nirwana Sitepu (1994:15), (b) Pengujian Secara Parsial (Individual) Hipotesis secara parsial sebagai berikut: Faktor internal konsumen yang mencakup budaya konsumen, kelas sosial, karakteristik individu, dan faktor psikologis berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan pembelian komoditas teh oleh konsumen rumah tangga.

30

DAFTAR PUSTAKA

Forum

KerjaSama Agribisnis. 2008. Kiat Mengangkat Harga Kopi Robusta. http://foragri.blogsome.com/kiat-mengangkat-harga-kopi-robusta 1 November 2009 (19 :00)

Najiyati, S., dan Danarti, 2008. Kopi, Budidaya dan Penanganan Pasca Panen. Penebar Swadaya. Jakarta Shalimow ,Y. 2009. Kopi Luwak, Biji Kopi dari Kotoran Luwak. http://www.shalimow.com/kuliner/kopi-luwak-biji-kopi-dari-kotoran-luwak.html 1 November 2009 (19 :00) Taufik A. 2004, Profil Industri dan Strategi Pengembangan Usaha Ikan Asin di Pantai Indah Kelurahan Pasar MukoMuko Kabupaten MukoMuko, Skripsi, Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu. Tim Penulis PS. 2008. Agribisnis tanaman perkebunan. Penebar Swadaya, Jakarta.

31

Anda mungkin juga menyukai