Anda di halaman 1dari 33

REFERAT PENGGUNAAN OBAT YANG RASIONAL PADA KEHAMILAN

Oleh : Gita Chandra Setyorini, S.Ked J500080084

Pembimbing: dr. Asna Rosida, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD DR. HARJONO PONOROGO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013
1

LEMBAR PENGESAHAN REFERAT PENGGUNAAN OBAT YANG RASIONAL PADA KEHAMILAN Yang Diajukan Oleh : GITA CHANDRA SETYORINI J 500080084 Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pada Hari Senin, 1 April 2013 Pembimbing Nama : dr. Asna Rosida, Sp.PD : (.....................................................)

Dipresentasikan di hadapan Nama : dr. Asna Rosida, Sp.PD :(.......................................................)

Disahkan oleh Nama : dr. Yuni Prasetyo K, MM.Kes :(.......................................................)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD DR.HARJONO PONOROGO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013
2

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .................................................................................. LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ DAFTAR ISI ............................................................................................... BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................ B. Tujuan Penulisan ....................................................................... BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Farmakokinetika Obat dalam kehamilan .................................. B. Farmakodinamika Obat dalam Kehamilan................................ C. Indeks Keamanan Penggunaan Obat dalam Kehamilan............ D. Penggunaan Antibiotik dalam Kehamilan................................. E. Penggunaan Obat Bebas dalam Kehamilan .............................. BAB III KESIMPULAN.............................................................................. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. LAMPIRAN 4 8 10 11 22 28 29 1 3 i ii iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehamilan, persalinan dan menyusui merupakan proses fisiologi yang perlu dipersiapkan oleh wanita dari pasangan subur agar dapat dilalui dengan aman. Selama masa kehamilan, ibu dan janin adalah unit fungsi yang tak terpisahkan. Kesehatan ibu hamil adalah persyaratan penting untuk fungsi optimal dan perkembangan kedua bagian unit tersebut1. Selama kehamilan dan menyusui, seorang ibu dapat mengalami berbagai keluhan atau gangguan kesehatan yang membutuhkan obat. Beberapa studi epidemiologi menunjukkan bahwa sekitar 80% ibu hamil dan menyusui terpaksa minum obat akibat beberapa masalah kesehatan yang dialami selama hamil atau menyusui2. Salah satu studi menemukan bahwa selama masa kehamilan, 12% ibu mengkonsumsi obat analgetika dan 9% mengunakan obat yang diresepkan oleh dokter akibat berbagai penyakit yang menyertai, seperti hipertensi dan asma2. Penelitian multisenter pada wanita hamil yang dilakukan antara tahun1992-1998 di 6 negara Eropa memberikan informasi bahwa 64,1% wanita hamil mengkonsumsi minimal 1 obat selama kehamilan (termasuk bulan sebelum konsepsi) dan 36,2% menggunakan obat selama trimester pertama, serta 14,2 % selama bulan sebelum kehamilan. Terapi selama trimester pertama paling sering untuk penyakit akut (31,9%) dan hanya sedikit (7,8%) untuk penyakit kronis. Obat untuk penyakit akut yang paling sering digunakan adalah obat antiinfeksi (12,3% dari semua ibu yang diteliti) dan sebagian besar dari golongan antibiotika (6,5%). Jenis obat lain untuk penyakit akut yang digunakan adalah antimual (10,6%, terapi untuk abortus imminens (5,5%), vasoprotektor (3,1%) dan psikotropika (2%). Penelitian ini juga memberi informasi bahwa 29% ibu hamil mendapat lebih dari satu jenis obat2.

Banyak ibu hamil menggunakan obat dan suplemen pada periode organogenesis sedang berlangsung sehingga risiko terjadi cacat janin lebih besar. Karena banyak obat yang dapat melintasi plasenta, maka penggunaan obat pada wanita hamil perlu berhati-hati. Dalam plasenta, obat mengalami proses biotransformasi, mungkin sebagai upaya perlindungan dan dapat terbentuk senyawa antara yang reaktif, yang bersifat teratogenik/dismorfogenik. Obat-obat teratogenik atau obat-obat yang dapat menyebabkan terbentuknya senyawa teratogenik dapat merusak janin dalam pertumbuhan1. Beberapa obat dapat memberi risiko bagi kesehatan ibu, dan dapat memberi efek pada janin juga. Selama trimester pertama, obat dapat menyebabkan cacat lahir (teratogenesis), dan risiko terbesar adalah kehamilan 3-8 minggu. Selama trimester kedua dan ketiga, obat dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan secara fungsional pada janin atau dapat meracuni plasenta1. Di beberapa negara maju, angka kejadian cacat lahir relatif cukup tinggi. Di Australia misalnya, 1 diantara 25 bayi yang dilahirkan ditemukan mengalami cacat bawaan dan sebagian dari cacat lahir tersebut berkaitan dengan penggunaan obat oleh ibu selama kehamilan2. Angka yang hampir sama juga dilaporkan oleh March of Dimes Birth Defect Foundation (2001) bahwa di Amerika Serikat 1 diantara 28 bayi yang dilahirkan ditemukan mengalami cacat bawaan2. Bukti selanjutnya menunjukkan bahwa diantara bayi yang dilahirkan cacat tersebut ternyata berkaitan dengan riwayat penggunaan beberapa jenis obat oleh ibu selama masa kehamilan2. Penggunaan obat pada kehamilan selain harus ekstra hati-hati juga harus mempertimbangkan dengan seksama berbagai manfaat dan risikonya (risk benefit assesment), oleh karena hampir sebagian obat yang diminum oleh ibu hamil dapat menembus sawar darah plasenta dan selanjutnya masuk ke sirkulasi janin1.

Peran dokter dan tenaga kesehatan lainnya sangat besar dalam mencegah terjadinya berbagai risiko yang mungkin timbul akibat penggunaan obat dalam masa kehamilan. Oleh karena itu, penulis membuat referat tentang penggunaan obat-obat rasional selama kehamilan agar didapatkan pengetahuan yang memadai tentang berbagai obat dan risikoya pada ibu hamil. B. Tujuan Untuk mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik obat selama kehamilan dan untuk mengetahui penggunaan obat-obatan yang rasional pada wanita hamil.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Farmakokinetik Obat dalam Kehamilan Perubahan fisiologis pada kehamilan, yang dimulai selama trimester pertama, dan paling jelas pada trimester ketiga, mengubah absorbsi, distribusi, dan klirens obat. Selain itu, sebagian besar obat masuk ke unit fetoplasenta. Sebelum membicarakan efek-efek spesifik untuk masingmasing obat, perlu diketahui perubahan-perubahan yang terjadi pada kehamilan berikut ini2: 1. Absorbsi Pengosongan lambung dan motilitas usus kecil menurun pada kehamilan karena peningkatan progesteron. Ini dapat meningkatkan Tmaks (waktu mencapai kadar puncak obat dalam sirkulasi sistemik) dan menurunkan Cmaks (kadar puncak obat yang dicapai). Efek terhadap bioavailabilitas total kemungkinan relatif kecil. Peningkatan PH lambung dapat menurunkan absorbsi asam lemah lebih besar daripada absorbsi basa lemah. Efek ini dapat menurunkan efficacy dosis tunggal obat oral dimana Tmaks dan Cmaks penting. Absorbsi obat dari pemberian intramuskuler biasanya meningkat karena peningkatan perfusi jaringan akibat vasodilatasi. 2. Distribusi Selama kehamilan, terdapat ekspansi kandungan air intravaskular (volume plasma) dan ekstravaskular (payudara, uterus, edema perifer). Dengan demikian, total body water meningkat sehingga terjadi peningkatan Vd (volume distribusi). Sebagai akibat dilusi ini, C maks dari banyak obat hidrofilik menurun. Kadar plasma total obat yang terikat pada albumin menurun sebagai akibat dari hemodilusi dan turunnya kadar albumin plasma. Dengan demikian, ada kemungkinan peningkatan kadar obat bebas (aktif) dari obat yang biasanya terikat pada protein. Ini akan meningkatkan efek obat. Namun, obat yang
7

tidak terikat pada protein plasma akan didistribusi, dimetabolisme, dan diekskresi, sehingga kadar bebas obat sedikit saja dipengaruhi. 3. Metabolisme Beberapa enzim sistem sitokrom P-450 hati diinduksi oleh estrogen/progesteron, mengakibatkan metabolisme dan eliminasi obat yang lebih tinggi, sementara isoenzim lain diinhibisi secara kompetitif oleh progesteron dan estradiol, mengakibatkan gangguan eliminasi. Klirens obat, seperti rifampisin, yang disekresi melalui sistem bilier, bisa berkurang akibat sifat kolestatik estrogen. 4. Eliminasi Aliran darah ginjal meningkat 60-80% selama kehamilan, dan kecepatan filtrasi glomerulus meningkat 50%, mengakibatkan peningkatan eliminasi obat yang secara normal diekskresi secara utuh, misalnya penisilin. Ini mengakibatkan kadar obat steady-state yang sedikit lebih rendah, walaupun jarang memerlukan peningkatan dosis. 5. Unit fetoplasenta Transfer obat terjadi terutama melalui difusi melewati plasenta, sehingga memudahkan pergerakan obat lipofilik, dan rate limiting stepnya adalah aliran darah plasenta. Obat-obat yang terikat protein, dan obat-obat berberat molekul besar tidak melewati plasenta. Obat-obat yang digunakan wanita hamil yang dapat melintasi plasenta tersebut memberikan pemaparan pada embrio dan janin yang tumbuh terhadap efek farmakologik dan teratogeniknya. Faktor kritis yang mempengaruhi transfer obat melalui plasenta dan efek obat obat pada janin antara lain3: 1. Sifat fisikokimia obat 2. Kecepatan obat melintasi plasenta dan jumlah obat yang sampai pada janin 3. Lama pemaparan obat 4. Distribusi khas dalam jaringan janin yang berbeda

5. Tahapan perkembangan plasenta dan janin pada waktu pemaparan obat 6. Efek kombinasi obat Perpindahan obat lewat plasenta. Perpindahan obat lewat plasenta umumnya berlangsung secara difusi sederhana sehingga konsentrasi obat di darah ibu serta aliran darah plasenta akan sangat menentukan perpindahan obat lewat plasenta. Seperti juga pada membran biologis lain, perpindahan obat lewat plasenta dipengaruhi oleh hal-hal dibawah ini3: 1. Kelarutan dalam lemak Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi dengan mudah melewati plasenta masuk ke sirkulasi janin. Contohnya , thiopental, obat yang umum digunakan pada bayi dapat menyebabkan apnea (henti nafas) pada bayi yang baru dilahirkan. 2. Derajat ionisasi Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati plasenta. Sebaliknya, obat yang terionisasi akan sulit melewati membran, Contohnya suksinilkholin dan tubokurarin yang juga digunakan pada seksio sesarea, adalah obat-obat yang derajat ionisasinya tinggi, akan sulit melewati plasenta sehingga kadarnya di janin rendah. Contoh lain yang memperlihatkan pengaruh kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi adalah salisilat, zat ini hampir semua terion pada pH tubuh akan melewati akan tetapi dapat cepat melewati plasenta. Hal ini disebabkan oleh tingginya kelarutan dalam lemak dari sebagian kecil salisilat yang tidak terion. Permeabilitas membran plasenta terhadap senyawa polar tersebut tidak absolut. Bila perbedaan konsentrasi ibujanin tinggi, senyawa polar tetap akan melewati plasenta dalam jumlah besar. 3. Ukuran molekul Obat dengan berat molekul sampai dengan 500 Dalton akan mudah
9

melewati pori membran bergantung pada kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi. Obat-obat dengan berat molekul 500-1000 Dalton akan lebih sulit melewati plasenta dan obat-obat dengan berat molekul >1000 Dalton akan sangat sulit menembus plasenta. Sebagai contoh adalah heparin, mempunyai berat molekul yang sangat besar ditambah lagi adalah molekul polar, tidak dapat menembus plasenta sehingga merupakan obat antikoagulan pilihan yang aman pada kehamilan 4. Ikatan protein. Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat bebas) yang dapat melewati membran. Derajat keterikatan obat dengan protein, terutama albumin, akan mempengaruhi kecepatan melewati plasenta. Akan tetapi, bila obat sangat larut dalam lemak maka ikatan protein tidak terlalu mempengaruhi, misalnya beberapa anastesi gas. Obat-obat yang kelarutannya dalam lemak tinggi, kecepatan melewati plasenta lebih tergantung pada aliran darah plasenta. Bila obat sangat tidak larut di lemak dan terionisasi maka perpindahannya lewat plasenta lambat dan dihambat oleh besarnya ikatan dengan protein. Perbedaan ikatan protein di ibu dan di janin juga penting, misalnya sulfonamid, barbiturat dan fenitoin, ikatan protein lebih tinggi di ibu dari ikatan protein di janin. Sebagai contoh adalah kokain yang merupakan basa lemah, kelarutan dalam lemak tinggi, berat molekul rendah (305 Dalton) dan ikatan protein plasma rendah (8-10%) sehingga kokain cepat terdistribusi dari darah ibu ke janin. 5. Metabolisme obat di plasenta dan di janin Dua mekanisme yang ikut melindungi janin dari obat di sirkulasi ibu adalah: a. Plasenta yang berperan sebagai penghalang semipermiabel juga sebagai tempat metabolisme beberapa obat yang melewatinya. Semua jalur utama metabolisme obat ada di plasenta dan juga terdapat beberapa reaksi oksidasi aromatik yang berbeda misalnya oksidasi etanol dan fenobarbital. Sebaliknya, kapasitas
10

metabolisme plasenta ini akan menyebabkan terbentuknya atau meningkatkan jumlah metabolit yang toksik, misalnya etanol dan benzopiren. Dari hasil penelitian prednisolon, deksametason, azidotimidin yang struktur molekulnya analog dengan zat-zat endogen di tubuh mengalami metabolisme yang bermakna di plasenta. b. Obat-obat yang melewati plasenta akan memasuki sirkulasi janin lewat vena umbilikal. Sekitar 40-60% darah yang masuk tersebut akan masuk hati janin, sisanya akan langsung masuk ke sirkulasi umum janin. Obat yang masuk ke hati janin, mungkin sebagian akan dimetabolisme sebelum masuk ke sirkulasi umum janin, walaupun dapat dikatakan metabolisme obat di janin tidak berpengaruh banyak pada metabolisme obat maternal. Obat-obat yang bersifat teratogenik adalah asam lemah, misalnya talidomid, asam valproat, isotretinoin, warfarin. Hal ini diduga karena asam lemah akan mengubah pH sel embrio. Dan dari hasil penelitian pada hewan menunjukkan bahwa pH cairan sel embrio lebih tinggi dari pH plasma ibu, sehingga obat yang bersifat asam akan tinggi kadarnya di sel embrio.Obat-obat dianggap teratogenik, jika zat atau proses harus3 (1) menghasilkan rangkaian malformasi yang khas, mengindikasikan selektivitas target organ tertentu; (2) memberikan efeknya pada tahap pertumbuhan janin tertentu, yaitu selama organogenesis organ target dalam periode waktu yang terbatas; dan (3) menunjukkan insiden yang bergantung dosis. B. Farmakodinamik Obat dalam Kehamilan2,3 1. Mekanisme kerja obat pada ibu hamil Efek obat pada jaringan reproduksi, uterus dan kelenjar susu, pada kehamilan kadang dipengaruhi oleh hormon-hormon sesuai dengan fase kehamilan. Efek obat pada jaringan tidak berubah bermakna karena kehamilan tidak berubah, walau terjadi perubahan
11

misalnya curah jantung, aliran darah ke ginjal. Perubahan tersebut kadang menyebabkan wanita hamil membutuhkan obat yang tidak dibutuhkan pada saat tidak hamil. Contohnya glikosida jantung dan diuretik yang dibutuhkan pada kehamilan karena peningkatan beban jantung pada kehamilan. Atau insulin yang dibutuhkan untuk mengontrol glukosa darah pada diabetes yang diinduksi oleh kehamilan. 2. Mekanisme kerja obat pada janin Beberapa penelitian untuk mengetahui kerja obat di janin berkembang dengan pesat, yang berkaitan dengan pemberian obat pada wanita hamil yang ditujukan untuk pengobatan janin walaupun mekanismenya masih belum diketahui jelas. Contohnya kortikosteroid diberikan untuk merangsang matangnya paru janin bila ada prediksi kelahiran prematur. Contoh lain adalah fenobarbital yang dapat menginduksi enzim hati untuk metabolisme bilirubin sehingga insidens jaundice (bayi kuning) akan berkurang. Selain itu, fenobarbital juga dapat menurunkan risiko perdarahan intrakranial bayi kurang umur. Anti aritmia juga diberikan pada ibu hamil untuk mengobati janinnya yang menderita aritmia jantung. 3. Kerja obat teratogenik Penggunaan obat pada saat perkembangan janin dapat mempengaruhi struktur janin pada saat terpapar. Thalidomid adalah contoh obat yang besar pengaruhnya pada perkembangan anggota badan (tangan, kaki) segera sesudah terjadi pemaparan. Pemaparan ini akan berefek pada saat waktu kritis pertumbuhan anggota badan yaitu selama minggu ke empat sampai minggu ketujuh kehamilan. Mekanisme berbagai obat yang menghasilkan efek teratogenik belum diketahui dan mungkin disebabkan oleh multi faktor, yaitu: a. Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan juga secara tidak langsung mempengaruhi jaringan janin.

12

b. Obat mungkin juga menganggu aliran oksigen atau nutrisi lewat plasenta sehingga mempengaruhi jaringan janin. c. Obat juga dapat bekerja langsung pada proses perkembangan jaringan janin, misalnya vitamin A (retinol) yang memperlihatkan perubahan pada jaringan normal. Derivat vitamin A (isotretinoin, etretinat) adalah teratogenik yang potensial. d. Kekurangan substansi yang esensial diperlukan juga akan berperan pada abnormalitas. Misalnya pemberian asam folat selama kehamilan dapat menurunkan insiden kerusakan pada selubung saraf , yang menyebabkan timbulnya spina bifida. Paparan berulang zat teratogenik dapat menimbulkan efek kumulatif. Misalnya konsumsi alkohol yang tinggi dan kronik pada kehamilan, terutama pada kehamilan trimester pertama dan kedua akan menimbulkan fetal alcohol syndrome yang berpengaruh pada sistem saraf pusat, pertumbuhan dan perkembangan muka. C. Indeks Keamanan Penggunaan Obat dalam Kehamilan Suatu pedoman untuk meresepkan obat secara aman pada kehamilan berdasarkan kategori kehamilan menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan Amerika Serikat (US FDA). Berdasarkan kemanan penggunaannya pada kehamilan, obat menurut FDA dibagi dalam kategori2,3: 1. Kategori A Studi terkontrol pada wanita tidak memperlihatkan adanya risiko terhadap janin pada kehamilan trimester pertama (dan tidak ada bukti mengenai risiko pada trimester berikutnya), dan kecil kemungkinan obat ini untuk membahayakan janin. 2. Kategori B Studi pada binatang percobaan tidak memperlihatkan adanya risiko terhadap janin, tetapi tidak ada studi terkontrol pada wanita hamil. Atau studi terhadap reproduksi binatang percobaan memperlihatkan
13

adanya efek samping (selain penurunan fertilitas) yang tidak didapati pada studi terkontrol terhadap wanita hamil pada trimester pertama (dan tidak ada bukti mengenai risiko pada trimester selanjutnya). 3. Kategori C Studi pada binatang percobaan memperlihatkan adanya efek samping pada janin (bersifat teratogenik atau embrisidal atau yang lainnya) dan tidak ada studi terkontrol pada wanita, atau belum ada studi terhadap wanita dan binatang percobaan. Obat dalam kategori ini hanya boleh diberikan jika besarnya manfaat yang diperoleh melebihi besarnya risiko terhadap janin. 4. Kategori D Ada bukti positif mengenai risiko obat ini terhadap janin, tetapi obat ini masih diperbolehkan untuk diberikan pada wanita hamil jika besarnya manfaat yang diperoleh melebihi besarnya risiko terhadap janin (misalnya jika obat ini diperlukan untuk mengatasi keadaan yang mengancam jiwa atau penyakit serius dimana obat yang lebih aman tidak dapat digunakan atau tidak efektif). 5. Kategori X Studi pada binatang percobaan atau manusia memperlihatkan abnormalitas pada janin atau terbukti berisiko terhadap janin, dan besarnya risiko pada obat ini pada wanita hamil jelas-jelas melebihi manfaat yang diharapkan. Dikontraindikasikan pada wanita hamil atau yang memiliki kemungkinan untuk hamil. D. Penggunaan Antibiotik pada Kehamilan Prinsip umum pemberian obat pada kehamilan yaitu bahwa obat tidak boleh diberikan selama kehamilan kecuali jika manfaat bagi ibu lebih besar daripada risiko bagi janin2. Antibiotika banyak digunakan secara luas pada kehamilan. Karena adanya efek samping yang potensial bagi ibu maupun janinnya, penggunaan antibiotika seharusnya digunakan jika terdapat indikasi yang
14

jelas. Prinsip utama pengobatan wanita hamil dengan penyakit adalah dengan memikirkan pengobatan apakah yang tepat jika wanita tersebut tidak dalam keadaan hamil. Biasanya terdapat berbagai macam pilihan, dan untuk alasan inilah prinsip yang kedua adalah mengevaluasi keamanan obat bagi ibu dan janinnya4. Antimikroba adalah obat yang digunakan untuk memberantas infeksi mikroba pada manusia. Sedang antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme (khususnya dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain5. 1. Aktivitas, Spektrum, dan Mekanisme Kerja Antibiotik Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif yang tinggi. Artinya obat itu harus bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk manusia. Berdasarkan sifat ini, ada antibiotika yang bersifat bakteriostatik dan ada pula yang bersifat bakterisid9. a. Bakteriostatik Kloramfenikol , Tetrasiklin, Eritromisin , Linkomisin Klindamisin, Rifampisin, Sulfonamid, Trimetoprim, Spektinomisin, Metenamin mandelat, Asam nalidiksid dan asam oksolinik, Nitrofurantoin. b. Bakterisid Penisilin, Sefalosporin, Aminoglikosid, Polimiksin,

Vankomisin Basitrasin, Sikloserin Dilihat dari daya basminya terhadap mikroba, antibiotika dibagi manjadi 2 kelompok yaitu yang berspektrum sempit dan berspektrum luas. Walaupun suatu antibiotika berspektrum luas, efektifitas klinisnya tidak seperti apa yang diharapkan, sebab efektifitas maksimal
15

diperoleh dengan menggunakan obat terpilih untuk infeksi yang sedang dihadapi, dan bukan dengan antibiotika yang spektrumnya paling luas8. Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotika dibagi dalam 5 kelompok, yaitu8 : a. Yang menggangu metabolisme sel mikroba. Termasuk disini adalah: Sulfonamid, trimetoprim, PAS, INH b. Yang menghambat sintesis dinding sel mikroba. Termasuk disini adalah : Penisilin, sefalosporin, sefamisin, karbapenem,vankomisin c. Yang merusak keutuhan membran sel mikroba. Termasuk disini adalah : Polimiksin B, kolistin, amfoterisin B, nistatin d. Yang menghambat sintesis protein sel mikroba. Termasuk disini adalah : Streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin, tobramisin, amikasin, netilmisin, eritromisin, linkomisin, klindamisin, kloramfenikol, tetrasiklin, spektinomisin e. Yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba. Termasuk disini adalah : Rifampisin, aktinomisin D, kuinolon. 2. Resistensi
a. Mikroba mensintesis suatu emzim inaktivator atau penghancur

antibiotik
b. Mikroba mensintesis enzim baru untuk menggantikan enzim

inaktivator/penghancur antibiotika yang dihambat kerjanya


c. Mikroba meningkatkan sintesis metabolit yang bersifat antagonis-

kompetitif terhadap antibiotika


d. e.

Mikroba membentuk jalan metabolisme baru Permeabilitas dinding atau membran sel mikroba menurun untuk antibiotika

f. Perubahan struktur atau komposisi ribosom sel mikroba

3. Farmakokinetik Antibiotik

16

Agar suatu obat efektif untuk pengobatan, maka obat itu harus mencapai tempat aktifitasnya di dalam tubuh dengan kecepatan dan jumlah yang cukup untuk menghasilkan konsentrasi efektif5,8. Faktorfaktor yang penting dan berperan dalam farmakokinetika obat adalah absorpsi, distribusi, biotransformasi, eliminasi, faktor genetik dan interaksi obat. Antibiotika yang akan mengalami transportasi tergantung dengan daya ikatnya terhadap protein plasma. Bentuk yang tidak terikat dengan protein itulah yang secara farmakologis aktif, yaitu punya kemampuan sebagai antimikroba5,8 Transport antibiotika ditentukan oleh proses difusinya, luas daerah transfer, kelarutan dalam lemak, berat molekul, derajat ionisasi, koefisien partisi dan perbedaan konsentrasi maternofetal 2,5.Perubahan fisiologis pada ibu yang terjadi selama kehamilan bisa mempengaruhi konsentrasi antibiotika dalam serum, sehingga bisa mempengaruhi efek obat. Perubahan-perubahan itu adalah8: a. Kehamilan bisa merubah absorpsi obat yang diberikan peroral b. Kehamilan bisa merubah distribusi obat yang disebabkan karena peningkatan distribusi volume (intravaskuler, interstisial dan di dalam tubuh janin) serta peningkatan cardiac output c. Kehamilan merubah interaksi obat-reseptor karena timbul dan tumbuhnya reseptor obat yang baru di plasenta dan janin d. Kehamilan dapat merubah ekskresi obat melalui peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus Setelah absorpsi obat sampai proses pengeluarannya dari dalam tubuh, terdapat sejumlah proses biologis yang bias mempengaruhi efek obat. Kehamilan tidak mempengaruhi semua proses tersebut. Sebagai contoh molekul yang kecil dan larut lemak akan berdifusi secara bebas. Sebagian besar obat mempunyai berat molekul yang rendah dibawah 250. Dan hanya yang mempunyai berat molekul dibawah 600 yang bisa melewati plasenta8.

17

Akhirnya, walaupun jaringan plasenta mempunyai enzim yang mampu memetabolisir obat hampir sekaya hati manusia, tetapi jaringan plasenta hanya bisa sedikit melindungi janin. Bisa dikatakan bahwa tidak ada barier plasenta yang efektif, kecuali untuk protein yang besar. Oleh karena itu janin mengandalkan proses detoksifikasi dan ekskresi pada ibunya6,8,9. 4. Efek Teratogenik Teratogenisitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu zat eksogen (disebut teratogen) untuk menimbulkan malformasi kongenital yang tampak jelas saat lahir bila diberikan selama kehamilan. Efek teratogen yang terjadi tergantung dari7: 1. Kepekaan genetis janin 2. Masa gestasi 3. Dosis obat yang diberikan 4. Kondisi ibu seperti umur, nutrisi, patologi Telah disebut sebelumnya bahwa antibiotika yang bebas yang mempunyai efek farmakologis dan mampu ditransfer melalui plasenta untuk selanjutnya terdistribusi dalam tubuh janin. Obat yang berada di dalam tubuh janin inilah yang bisa mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin4,9. Menurut yaitu4: a. Sifat antibiotika dan kemampuannya untuk memasuki tubuh janin b. Saat obat bekerja c. Kadar dan lama pemberian (dosis) d. Kesempurnaan genetik janin 5. Antibiotik yang digunakan dalam Kehamilan a. Penisilin
18

Eriksson

dkk,

ada

prinsip

teratogenik

yang

menyebabkan suatu antibiotika bisa menimbulkan efek teratogenik

Penisilin adalah antibiotika yang termasuk paling banyak dan paling luas dipakai. Obat ini merupakan senyawa asam organik, terdiri dari satu inti siklik dengan satu rantai samping. Inti sikliknya terdiri dari cincin tiazolidin dan cincin betalaktam. Rantai samping merupakan gugus amino bebas yang dapat mengikat berbagai jenis radikal8,11. Mekanisme kerjanya dengan menghambat pembentukan dinding sel mikroba yaitu dengan menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba1,3. Mikroba yang memproduksi enzim betalaktamase resisten terhadap beberapa penisilin karena enzim tersebut akan merusak cincin betalaktam dan akhirnya obat menjadi tidak aktif5. Setelah pemberian parenteral, absorpsi penisilin terjadi cepat dan komplit. Pada pemberian peroral hanya sebagian obat yang diabsorpsi tergantung dengan stabilitas asam, ikatan dengan makanan dan adanya buffer. Untuk mengatasi hal itu pemberian peroral sebaiknya dilakukan 1 jam sebelum makan8. Penisilin mempunyai batas keamanan yang lebar. Pemberian obat ini selama masa kehamilan tidak menimbulkan reaksi toksik baik pada ibu maupun janin, kecuali reaksi alergi5,8. Kadar penisilin di dalam serum wanita hamil lebih rendah daripada wanita yang tidak hamil, sedang clearancenya lewat ginjal lebih tinggi selama masa kehamilan5,8. Pemberian pada wanita hamil untuk golongan penisilin dengan ikatan protein yang tinggi, misal oksasilin, kloksasilin, dikloksasilin dan nafsilin akan menghasilkan kadar obat di dalam cairan amnion dan jaringan di dalam tubuh janin yang lebih rendah dibandingkan bila yang diberikan adalah golongan penisilin dengan ikatan protein yang rendah seperti ampisilin dan metisilin8. b. Sefalosporin

19

Sefalosporin terbagi dalam 3 kelompok atau generasi yang terutama didasarkan atas aktifitas antimikrobanya yang secara tidak langsung juga sesuai dengan urutan masa pembuatannya5. Generasi tersebut adalah5 : 1) Generasi pertama Aktifitas anti mikrobanya tidak banyak berbeda dengan penisilin berspektrum luas, yaitu mempunyai aktifitas yang baik terhadap gram (+) aerob dan beberapa gram (-) . Keunggulannya dari penisilin adalah aktifitasnya terhadap bakteri penghasil penisilinase. Yang termasuk generasi pertama ialah : a) Untuk pemberian peroral : Sefaleksin, sefradin, sefadroksil, sefaleksin b) Untuk pemberian IV : Sefazolin, sefalotin, sefapirin c) Untuk pemberian IM : Sefapirin, sefazolin 2) Generasi kedua Golongan ini kurang aktif terhadap bakteri gram + dibandingkan dengan generasi pertama, tetapi lebih aktif terhadap gram -. Yang termasuk generasi kedua ialah : a) Untuk pemberian peroral : Sefaklor b) Untuk pemberian IV dan IM : Sefosinid, sefoksitin, sefamandol, sefuroksim, sefotetan, seforanid 3) Generasi ketiga Golongan ini kurang aktif terhadap gram +, tetapi jauh lebih aktif terhadap gram-. Yang termasuk generasi ketiga ialah : Sefoperazon, seftriakson, sefotaksim, moksalaktam, seftizoksim. Penggunaan sefalosporin dalam obstetrik makin meluas. Obat ini digunakan sebagai profilaksis dalam seksio sesarea dan dalam pengobatan abortus septik, pielonefritis dan amnionitis. Dan sampai saat ini efek teratogenik dalam penggunaan obat ini belum ditemukan6.

20

Transfer

transplasental

dari

sefalosporin

cepat

dan

konsentrasi bakterisidnya adekuat, baik pada jaringan janin maupun cairan amnion. Pemberian dosis tinggi secara bolus yang berulang menunjukkan hasil kadar di dalam serum janin dan cairan amnion yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemberian secara infus dalam jumlah obat yang sama besarnya 7 c. Eritromisin Eritromisin termasuk antibiotika golongan makrolid yang sama-sama mempunyai cincin lakton yang besar dalam rimus molekulnya8,9. Antibiotika ini tidak stabil dalam suasana asam, kurang stabil pada suhu kamar, tetapi cukup stabil pada suhu rendah. Aktivitas invitro paling besar dalam suasana alkalis8. Eritromisin merupakan alternatif pilihan setelah penisilin dalam pengobatan terhadap gonore dan sifilis dalam kehamilan. Diantara berbagai bentuk eritromisin yang diberikan peroral, bentuk estolat diabsorpsi paling baik, tetapi sediaan ini sekarang tidak lagi beredar di Indonesia karena hepatotoksik8,11. d. Kloramfenikol Sejak ditemukan pertama kali dan diketahui bahwa daya antimikrobanya kuat, maka penggunaan obat ini meluas dengan cepat sampai tahun 1950 ketika diketahui bahwa obat ini dapat menimbulkan anemia aplastik yang fatal. Kloramfenikol umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kadang-kadang bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu. Kerjanya dengan jalan menghambat sintesis protein kuman8. Obat ini dipakai dalam pengobatan infeksi-infeksi anaerob dan dikatakan bahwa kloramfenikol berhubungan dengan terjadinya drug-induced aplastic anemia serta dengan terjadinya
21

gray baby syndrome jika digunakan untuk neonatus8. Adanya resiko terjadinya gray baby syndrome ini menyebabkan kloramfenikol tidak direkomendasikan untuk pemakaian pada trimester tiga kehamilan8,12. e. Tetrasiklin Golongan tetrasiklin termasuk antibiotik yang terutama bersifat bakteriostatik dan bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Dikatakan juga bahwa tetrasiklin mampu bertindak sebagai chelator logam berat, khususnya kalsium8,11. Tetrasiklin tidak direkomendasikan untuk penggunaan dalam kehamilan. Obat ini melintas plasenta dengan cepat dan terikat pada tulang dan gigi yang sedang tumbuh. Karena dapat menyebabkan reaksi toksik yang berat baik pada janin maupun pada ibu, maka penggunaan obat ini dalam kehamilan harus dihindarkan.1,5 Pemberian obat ini dalam terimester pertama kehamilan dapat menyebabkan kelainan pada janin berupa mikromelia dan keabnormalan tulang rangka ; pada kehamilan trimester kedua dapat menyebabkan penghambatan pertumbuhan tulang dan pembentukan desiduous gigi. Jika diberikan pada trimester ketiga obat ini akan disimpan dalam tulang dan desiduous gigi5. Tetrasiklin juga dapat menyebabkan efek toksik pada ibu yaitu terjadinya acute fatty necrosis hati, pankreatitis dan kerusakan ginjal. Kerusakan yang terjadi pada hati berhubungan dengan dosis yang diberikan, dan ini bisa berakibat fatal1,5. f. Aminoglikosid Aminoglikosid bersifat bakterisid yang terutama tertuju pada basil gram () yang aerobik. Sedang aktifitas terhadap mikroorganisme anaerobik atau bakteri fakultatif dalam kondisi
22

anaerobik rendah sekali2,4. Termasuk golongan obat ini ialah : streptomisin, neomisin, kanamisin, amikasin, gentamisin, tobramisin, netilmisin dan sebagainya. Pengaruhnya menghambat sintesis protein sel mikroba dengan jalan menghambat fungsi ribosom11. Pada umumnya obat golongan ini mempunyai reaksi toksik berupa ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksik ditunjukkan dengan hilangnya pendengaran (kerusakan koklear) dan kerusakan vestibular (vertigo, ataksia dan gangguan keseimbangan). Nefrotoksik yang terjadi bisa diketahui dengan adanya peningkatan kadar kreatinin serum dan penurunan clearance kreatinin8. Walaupun baru streptomisin yang dilaporkan menimbulkan gangguan pada janin akibat pemberian pada ibu selama kehamilan dalam jangka waktu yang lama, tetapi karena obat yang lain potensial ototoksik maka sebaiknya pemakaian obat golongan aminoglikosid ini dihindarkan selama masa kehamilan4. g. Sulfonamid Sulfonamid adalah antimikroba yang digunakan secara sistemik maupun topikal untuk mengobati dan mencegah beberapa penyakit infeksi. Sebelum ditemukan antibiotik, sulfonamid merupakan kemoterapeutik yang utama. Kemudian penggunaannya terdesak oleh antibiotik. Dengan ditemukannya preparat kombinasi trimetoprim sulfametoksazol meningkatkan kembali penggunaan sulfonamid untuk pengobatan penyakit infeksi tertentu. Nama sulfonamid adalah nama generik derivat paraamino benzen sulfonamid (sulfanilamide)
8

Sulfonamid

memperlihatkan

spektrum antibakteri yang luas terhadap bakteri gram + maupun gram -, meskipun kurang kuat dibandingkan dengan antibiotik lainnya. Umumnya hanya bersifat bakteriostatik kecuali pada kadar yang tinggi dalam urin, sulfonamid bersifat bakterisid.4,5

23

Obat ini menghambat

pertumbuhan bakteri dengan

mencegah penggunaan PABA (para amino benzoic acid) oleh bekteri untuk mensintesis PGA (pteroylglutamic acid)8. Trimetoprim-sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatis pada dua tahap yang berturutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat memberikan efek sinergis.

h. Metronidazol Obat ini digunakan dalam obstetrik untuk trikomoniasis vagina dan endometritis postpartum. Di dalam studi pada binatang obat ini dikatakan dapat menyebabkan timbulnya adenomatosis paru, tumor mamae dan karsinoma hepar sehingga dikatakan obat ini berifat karsinogenik. Tetapi tidak ada studi yang mendukung terjadinya akibat itu pada manusia 8. Oleh karena adanya potensi karsinogenik maka obat ini sebaiknya tidak digunakan dalam kehamilan kecuali betul-betul mutlak diperlukan untuk pengobatan i. Isoniazid Obat ini termasuk obat tuberkulosis yang dikEtahui menghambat pembelahan kuman tuberkulosis. Isoniazid merupakan obat dengan potensi hepatotoksik yang toksisitasnya dapat meningkat jika diberikan selama kehamilan7. Untuk wanita hamil yang telah terinfeksi TBC tetapi tidak aktif maka wanita ini tidak perlu profilaksis dengan INH sampai setelah melahirkan. Tetapi jika telah ada tuberkulosis aktif pengobatan dengan INH diperbolehkan8. j. Nitrofurantoin Nitrofurantoin adalah antiseptik saluran kemih derivat furan. Obat ini biasa digunakan untuk infeksi saluran kemih baik pada wanita hamil ataupun tidak hamil. 5 Nitrofurantoin bisa
24

menyebabkan hemolisis, anemia dan hiperbilirubinemia pada bayi yang menderita defisiensi enzim G6PD yang dilahirkan dari ibu yang mendapat terapi obat ini. Selain potensi tersebut tidak ada efek teratogenik lain yang dilaporkan. k. Klindamisin Klindamisin merupakan derivat linkomisin, tetapi

mempunyai sifat yang lebih baik. Klindamisin lebih aktif, lebih sedikit efek sampingnya serta pada pemberian peroral tidak terlalu dihambat oleh adanya makanan dalam lambung. Obat ini umumnya digunakan pada infeksi postpartum, tidak biasa digunakan alam kehamilan. Walaupun obat ini melintas plasenta dengan cepat dan mencapai kadar terapeutik yang adekuat pada janin, tetapi tidak dilaporkan adanya efek teratogenik yang terjadi8. E. Penggunaan Obat Bebas pada Kehamilan 1. Obat bebas yang banyak digunakan Obat bebas (over the counter drugs) ialah obat jadi yang dapat diperoleh secara bebas, tanpa resep dokter. Obat bebas dapat tersusun atas satu jenis bahan aktif atau dapat juga terdiri atas beberapa jenis bahan aktif yang dosisnya dibuat sedemikian rupa sehingga jika menimbulkan efek yang tidak diharapkan hanya bersifat ringan saja. Pandangan bahwa obat bebas efeknya lemah dan khasiatnya diragukan, tidak mempunyai dasar, karena jika dilihat dari bahan aktif penyusunnya, obat bebas dapat menimbulkan efek sesuai sesuai kandungan bahan aktif. Selain dapat menimbulkan efek yang diharapkan, bahan aktif dalam obat bebas juga dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan, dan bahkan dapat menyulitkan terapi2. Oleh karena itu, penggunaan obat bebas harus tepat, baik peruntukannya (indikasi, jenis penyakit, atau gangguan kesehatan yang diobati) maupun kondisi penderitanya agar dapat diperoleh efek yang diharapkan secara maksimal dengan sedikit mungkin efek yang tidak diharapkan2.
25

Obat bebas yang banyak digunakan antara lain obat untuk nyeri, demam, flu, alergi, sakit mag, sesak napas, dan diare. Obat nyeri yang paling sedikit efek sampingnya ialah paracetamol atau asetaminofrn, tetapi tidak efektif untuk nyeri yang ditimbulkan oleh atau yang disertai oleh radang. Untuk nyeri yang disertai radang, obat yang sesuai adalah analgesik antiinflamasi (NSAID) misalnya mefenamat, ketofenamat, diclofenac, ibuprofen, ketoprofen, naproxen, piroxicam, ketoxicam, dan meloxicam. Asetosal (Aspirin) merupakan obat analgesik tetapi efek antiinflamasinya hanya timbul pada dosis yang sangat besar, jauh di atas dosis analgesiknya. Efek obat analgesik antiinflamasi (baik efek terapi maupun efek sampingnya terkait dengan penghambatan enzim siklooksigenase. Oleh karena itu, obat analgesik antiinflamasi dapat menimbulkan efek samping berupa nyeri ulu hati, ulkus lambung, gangguan pembekuan darah, dan sesak napas (pseudoalergi) sebagai akibat dari inhibisi sintesis prostaglandin2,3. Obat antipiretik (menurunkan suhu tubuh pada demam) yang paling aman ialah paracetamol dan ibuprofen. Sebenarnya, semua obat analgesik antiinflamasi (NSAIDs) mempunyai efek antipiretik tetapi hanya paracetamol (pada pemberian per oral) dan ibuprofen (secara injeksi intamuskular yang dapat dianjurkan untuk terapi demam karena obat NSAIDs lainnya lebih berisiko untuk menimbulkan banyak efek samping yang dapat merugikan terapi2,3. Obat flu yang dapat diperoleh tanpa resep dokter juga banyak digunakan sebagai self medication. Umumnya, obat flu (cold remedy) berisi racikan dari obat analgesik antipiretik (paracetamol), antialergi (klorfeniramin), obat penekan batuk (dekstrometorfan), pengencer dahak (guaifenesin, gliseril guaikolat, bromhexin atau ambroxol), dan pelega hidung tersumbat: decongestan (fenilpropanolamin atau pseudoefedrin). Obat antihistamin lain dalam sediaan cair obat flu dapat berupa difenhidramin atau prometazin. Difenhidramin dan prometazin seringkali menimbulkan efek samping berupa perasaan melayang seperti kantuk yang
26

berat.

Pseudoefedrin

dan

fenilpropanolamin

mempunyai

efek

vasokonstriksi sehingga mengurangi gejala hidung tersumbat tetapi juga dapat gejala hidung tersumbat tetapi juga dapat menimbulkan peningkatan tekanan darah akibat vasokonstriksi pembuluh darah pada umumnya2,3. Obat antialergi berupa CTM, difenhidramin, dan prometazin merupakan obat yang murah dan mudah didapat. Difenhidramin dan prometazin sering menimbulkan efek samping berupa rasa melayang sehingga jarang diberikan pada penderita yang tugasnya menjalankan mesin, mengendarai motor, mobil, atau kendaraan lain. Obat antialergi lainnya misalnya astemizol, terfenadin, dan loratadin cukup efektif tetapi tidak menimbulkan efek samping mengantuk1,2,3. Antasida juga dapat dibeli secara bebas tanpa resep. Umumnya, obat antasida merupakan kombinasi alumunium dan magnesium hidroklorida. Setelah bereaksi dengan asam lambung, antasida tersebut menjadi magnesium klorida dan amonium klorida, keduanya mengendap (tidak larut) di dalam saluran cerna. Antara alumunium klorida dan magnesium klorida terjadi interaksi antagonistik. Alumunium klorida yang terbentuk bersifat konstipatif dan tidak larut dalam air sedangkan magnesium klorid yang juga tidak larut di dalam air tetapi bersifat catartik atau memacu gerak usus2,3. Obat untuk diare yang umumnya dijual secara bebas sebagai obat bebas biasanya mengandung kaolin, pektin, atapulgit, loperamide, dan kadang atropin sulfat, difenoksilat, atau bismuthsubsalisilat. Kaolin, pektin, dan atapulgit merupakan adsorben yang beraksi menyerap zat-zat yang menimbulkan diare secara fisikokimiawi1,3. Oleh karena itu, ketiga obat itu tidak boleh diberikan bersama-sama dengan obat lain, atau jika obat lain harus diberikan jarak minum antara keduanya paling tidak 2 jam. Loperamide, atropin, dan difenoksilat berefek menghambat gerak usus sehingga dapat menimbulkan efek samping konstipasi, penglihatan kabur, dan berkurangnya sekresi kelenjar eksokrin (keringat, air mata, ludah, dan kelenjar mukus saluran nafas)2,4.
27

2. Penggunaan Obat Bebas dalam Masa Kehamilan Untuk seorang wanita hamil, obat nyeri yang paling aman ialah paracetamol atau acetaminofen. Paracetamol efektif untuk nyeri yang tajam dan aman untuk wanita hamil meskipun obat ini terdistribusi ke sleuruh bagian tubuh (termasuk ke dalam tubuh janin di dalam kandungan dan air susu ibu). Kerusakan hepar akibat paracetamol hanya terjadi pada dosis besar3. Obat analgesik yang mmpunyai efek antiinflamasi (NSAIDs, nonsteroidal antiinflammatory drugs) dapat menyebabkan lebih banyak efek smaoing daripada paracetamol. Oleh karena itu, obat NSAIDs misalnya mefenamat, ketofenamat, indometasin, diclofenar, ibuprofen, ketoprofen, naproxen, dan asetosal sebaiknya tidak digunakan pada wanita hamil apalagi tida ada tanda radang atau inflamasi2,3. Asetosal (Aspirin) terkait dengan kematian bayi perinatal, perdarahan pada neonatus, berat badan lahir rendah, bayi cacat, dan partus lama. Meskipun terjadinya abruptio placenta tidak terkait dengan pemberian asetosal dosis kecil, asetosal jangan diberikan pada wanita hamil terutama hamil tua. Hal ini disebabkan karena selain dapat menimbulkan nyeri ulu hati dan ulkus lambung, asetosal juga dapat menghambat pembekuan darah sehingga perdarahan sukar berhenti. Hal ini tentu dapat membahayakan wanita hamil tua, pada periode dekat persalinan1,3. Indometasin diberikan pada wanita hamil biasanya untuk nyeri leiomioma degeneratif atau sebagai tokolitik. Sayangnya, indometasin pada wanita hamil dapat meyebabkan oligohidramnion dan penutupan duktus arteiosus lebih dini yang dapat berakibat timbul hipertensi sirkulasi kecil (pulmonary hypertension), nefrotoksik pada fetus dan hemoragia periventrikuler. Meskipun penelitian terhadap ibuprofen tidak banyak, tetapi pernah dilaporkan bahwa penderita (wanita hamil) yang menderita

28

kelebihan dosis ibuprofen tidka ditemukan petunjuk adanya abnormalitas pada fetus1,3. Pseudoefedrin yang ada dalam obat flu menimbulkan vasokonstriksi sehingga dapat berpengaruh pada aliran darah ke janin. Mekanisme ini mungkin dapat menerangkan kaitan antara timbulnya gastrochisis pada penggunaan pseudoefedrin oleh wanita hamil trimester pertama. Meskipun demikian, pseudoefedrin dapat digunakan secara oral oleh wanita hamil asal tidak pada trimester pertama kehamilan. Difenhidramin yang juga sering digunakan wanita hamil sebagai obat batuk aktif akibat alergi tidak dianjurkan untuk wanita hamil pada trimester pertama karena dapat menimbulkan palatoschisis, tetapi jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan pada kehamilan sesudah trimester pertama dan pada dosis yang besar, obat ini diketahui mempunyai efek meningkatkan kontraksi uterus. Obat antialegi (antihistamin) yang dianjurkan untuk wanita hamil, ialah klorfeniramin dan tripenilamin. Obat penekan batuk (dekstrometorfan) yang diketahui dapat menimbulkan cacat pada hewan uji pernah diteliti dengan memantau lebih dari 50.000 orang hamil, 300 diantara mereka menggunakan dekstrometorfan. Hasilnya diketahui bahwa tidak ada kenaikan jumlah bayi cacat akibat obat itu. Penggunaan kaolin, pektin, dan atapulgit pada kehamilan umumnya tidak mempengaruhi kehamilan. Meskipun demikian, penggunaan kaolin dalam waktu lama dapat menghambat absorbsi zat besi sehingga dapat menimbulkan anemia1,3. Meskipun loperamid diketahui tidak menimbulkan efek teratogenik pada hewan uji, tetapi suatu penelitian menunjukkan ada kaitan antara penggunaan loperamid pada wanita hamil dalam trimester pertama dengan malformasi jantung pada janin dalam kandungan. Sebaliknya, atropin dan difenoksilat yang sudah dikethaui mempunyai efek teratogenik pada hewan uji, belum pernah diketahui apakah mempunyai efek serupa pada wanita hamil1,2. Pengaruh antasida pada wanita hamil belum diketahui secara pasti karena penelitian yang mendalam tentang hal itu belum pernah dilaporkan.
29

Beberape penelitian terhadap efek antasida pada kehamilan. Alumunium hidroksida di dalam antasida dapat menyebabkan gangguan perkembangan janin dalam kandungan jika diberikan dalam waktu lama, tetapi beberapa ahli menilai datanya tidak valid. Magnesium hidroksida dalam antasida diketahui mempunyai efek tokolitik yang tidak merugikan kehamilan. Oabt penghambat sekresi asam lambung, golongna H-2 blockers seperti simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin, sering digunakan untuk mengobati gejala rasa panas pada ulu hati saat kehamilan. Keempat obat pemblok resptor H2 itu dapat mudah melewati sawar uri dan sampai di tubuh janin sehingga tidak dianjurkan untuk terapi ndigesti pada kehamilan jika dengan mengatur diet atau dengan obat lain masih dapat diatasi. Meskipun demikian, penelitian yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa tidka ada bukti simetidin, ranitidin, dan famotidin menyebabkan risiko pada janin. Tetapi, nizatidin pada hewan uji dapat menimbulkan keguguran dan penurunan berat badan janin yang dilahirkan. Obat lain yang sering digunakan pada kehamilan antara lain obat untuk infeksi jamur seperti cotrimazole,butoconazole, miconazole, tioconazol, dan ketoconazol. Penelitian yang dilakukan terhadap cotrimazole menunjukkan obat ini aman untuk untuk wanita hamil tetapi butoconazole, miconazole, dan tioconazole hanya boleh digunakan setelah trimester kedua. Demikian juga penggunaan fluconazol untuk terapi candidiasis pada vagina dan vulva pada trimester pertama tidak menimbulkan gangguan kehamilan jika dibanding kontrol, tetapi untuk ketokonazole diketahui menimbulkan efek teratogenik dan efek toksik pada embrio hewan uji2.

30

BAB III KESIMPULAN Perubahan fisiologi selama kehamilan dapat berpengaruh terhadap kinetika obat pada ibu hamil yang kemungkinan berdampak terhadap perubahan respon ibu hamil terhadap obat yang diminum, sehingga perlu pemahaman yang baik mengenai obat apa saja yang relatif tidak aman hingga harus dihindari selama kehamilan agar tidak merugikan ibu dan janin yang dikandung ataupun bayinya.

31

DAFTAR PUSTAKA 1. Muchid, Abdul. 2006. Pedoman Pelayanan Farmasi untuk Ibu Hamil dan Menyusui. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian da Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2. Dwiprahasto, Iwan., Kristin, Erna., Ngatidjan, dkk. 2006. Pemakaian Obat pada Kehamilan dan Menyusui. Yogyakarta: Bagian Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 3. Katzung, Bertram G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI . Jakarta: EGC. 4. Yankowitz J. Use of medications in pregnancy : General principles, teratology, and current developments. In : Yankowitz J, Niebyl J, eds. Drug therapy in pregnancy. London : Lippincott Williams & Wilkins, 2001 ; 1-19 5. Chaidir J, Munaf S. Obat Antimikroba. In : Munaf S, eds. Farmakologi Unsri. Jakarta : EGC, 1994 ; 9-58 6. Tait M. Preparat Antimikroba. In : Jordan S. Farmakologi kebidanan. Jakarta : EGC, 2004 ; 309-335 7. Repke JT. Medication Use During Pregnancy. In : Randsom S,Dombrowski M, Evans M, eds. Contemporary therapy in obstetrics an gynecology. London : Saunders Company, 2002 ; 137-141 8. Jawet E. Prinsip Kerja Obat Antimikroba. In : Katzung B, eds. Farmakologi dasar dan klinik. Jakarta : EGC, 1998 ; 699-751 9. Pedler S, Orr K. Bacterial, Fungal and Parasitic Infections. In : Baron W, Lindheimer M, Davison J, eds. Medical disorders during pregnancy. London : Mosby, 2000 ; 411-418 10. Cunningham F, Gant N, Leveno K. Williams Obstetrics. 21st ed. London : McGraw Hill, 2001 ; 1018-1022 11. Briggs G, Freeman R, Yaffe S. Drugs in Pregnancy and Lactation. 5thed. London : Lippincott Williams & Wilkins, 1998
32

12. Rubin, Peter, 1999, Peresepan Untuk Ibu Hamil, Penerbit Hipokrates, Jakarta 13. Anonim, 2005, Indek Keamanan Obat Pada Kehamilan dan Petunjuk Penggunaan Obat dengan atau tanpa Makanan, Tugas Khusus Pelatihan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta 14. Riordan, Jan, EdD, RN, IBCLC, FAAN, 1996, Buku Saku Menyusui & Laktasi, Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta:EGC

33

Anda mungkin juga menyukai