Anda di halaman 1dari 4

1.

Jenis detektor Detektor foton Detektor foton termasuk: Foto sel (Photovoltaic atau Barrier Layer Cells) Tabung foton hampa (Photo Tube/Photo Emissive Cell) biasa dipakai pada spektrofotometer visible dan ultra violet Phototube terdiri dari anode dan cathode, apabila sinar UV ditembakan ke cathode (-), maka akan terjadi emisi/pergerakan electron dari cathode ke anode sebagai akibat dari efek photoelectric. Pergerakan electron ini akan diukur sebagai arus listrik yang sebanding dengan intensitas UV yang mengenai cathode tersebut. Tabung penggandaan foton (Photomultiplier Tube) Untuk pengukuran intensitas radiasi rendah. Photomultiplier Tubes (PMTS) adalah detektor cahaya yang berguna dalam aplikasi intensitas rendah seperti spektroskopi fluoresensi. PMTS merupakan detektor yang sangat sensitif. PMTS/Photomultiplier Tubes mirip dengan Phototubes. Terdiri dari photocathode dan serangkaian dynodes dalam kaca tertutup. Rentang panjang gelombang: 110-1100 nm (sensitivitas panjang gelombang tergantung pada panjang gelombang, PMTS uv-sensitif harus memiliki jendela uv-transmisi, bahan optik) Efisiensi kuantum (QE, jumlah elektron dikeluarkan oleh photocathode / jumlah foton): 1-10% Waktu respon: 1-15 ns Foton (cahaya) yang menyerang katoda memancarkan elektron photoemissive karena efek fotolistrik. Daripada mengumpulkan elektron (tidak boleh ada banyak, karena PMT digunakan untuk sinyal yang sangat rendah) pada anoda seperti di phototubes, elektron dipercepat menuju serangkaian elektroda tambahan yang disebut dynodes. Elektroda ini masing-masing dipertahankan pada potensial yang lebih positif. Elektron tambahan dihasilkan pada dynode masing-masing. Sinyal yangtelah diperkuat akhirnya dikumpulkan di anoda yang dapat diukur. Detektor semi konduktor Detektor diode silicon (Photo diode-array) merupakan detektor dengan teknologi modern Untuk mendapatkan hasil yang optimum maka detector cahaya harus memiliki fiturfitur sebagai berikut: 1. Peranti detector cahaya harus sangat sensitive. 2. Waktu respon terhadap Sinyal optic masukan harus cepat. 3. Untuk sistem penerimaan data analog, detector cahaya harus memiliki hubungan masukan-keluaran yang linier. 4. Internal noise yang dibangkitkan oleh peranti harus sekecil mungkin agar peranti dapat mendeteksi sinyal optic masukan sekecil mungkin.

Detektor panas

Detektor panas
Detektor panas atau detektor kalor atau thermal detector merupakan jenis detektor bekerja berdasarkan pada efek pertier yang ditimbulkan oleh sinar infra merah. Terdapat 3 jenis detektor panas yang biasa digunakan dalam sprektrofotometri untuk mendeteksi sinar infra merah yaitu thermokoppel, bolometer, dan sel golay
2. Jenis monokromator Ada 2 macam monokromator yaitu : a) Prisma Prisma bekerja berdasarkan prinsip pembiasan cahaya, hasil pembiasan adalah terpecahnya radiasi menjadi beberapa radiasi dengan panjang gelombang tertentu. Prisma bisa terbuat dari gelas, kuarsa, atau silica. Pada daerah UV harus digunakan prisma dari kuarsa ataupun silika leburan. Prisma juga dapat digunakan untuk daerah infra merah, tetapi radiasi infra merah ditransmisikan oleh gelas dan silica leburan. Prisma bekerja baik pada daerah radiasi UV dan sinar tampak, meskipun dapat juga digunakan untuk infra merah, akan tetapi prisma lebih efektif pada daerah panjang gelombang yang lebih pendek maka jarang sekali prisma digunakan untuk radiasi infra merah. b) Grating/kisi difraksi Keuntungan menggunakan kisi difraksi : - Dispersi sinar merata,Dispersi lebih baik dengan ukuran pendispersi yang sama. - Dapat digunakan dalam seluruh jangkauan spektrum Cahaya monokromatis ini dapat dipilih panjang gelombang tertentu yang sesuai untuk kemudian dilewatkan melalui celah sempit yang disebut slit. Ketelitian dari monokromator dipengaruhi juga oleh lebar celah (slit width) yang dipakai.

3.

Kaidah wood-ward Kaidah Woodward dan Fieser membahas secara terinci tentang pergeseran panjang gelombang maximum yang disebabkan substitusi berbagai gugus ke dalam, diena terkonjugasi, aromatic karbonil, keton tak jenuh dan poliena. Dengan demikian setiap substitusi kimia akan dapat diperhitungkan terlebih dahulu berapa panjang gelombang maksimumnya dengan memakai tabel yang disusun atas dasar kaidah Woodward dan Fieser. Kemungkinan memang ada perbedaan harga panjang gelombang maximum antara hasil perhitungan dengan tabel Wooward-Fieser terhadap harga panjang gelombang maksimum hasil perhitungan dengan panjang gelombang maximum darihasil pengamatan. Besarnya perbedaan panjang gelombang maximum hasil perhitungan dengan panjang gelombang maximum hasil pengamatan biasanya bergeser antara 0 sampai 4 nm. Kuantitasnya energi yang diserap oleh suatu senyawa berbanding terbalik dengan panjang gelombang radiasi :

Dimana : E : Energi yang diabsorpsi h : tetapan planck (6,6.10-27 erg.det) v : Frekuensi (Hz) c : tetapan cahaya (3.1010 cm/s) : panjang gelombang (cm)

4. Pengaruh pelarut

Penggunaan pelarut dengan kepolaran yang berbeda menyebabkan posisi puncak absorbsi suatu senyawa bergeser. Dengan kata lain kepolaran pelarut berpengaruh pada lmaks suatu senyawa. Kepolaran pelarut mempengaruhi maks karena kepolaran molekul biasanya berubah jika suatu elektron bergerak dari satu orbital ke orbital lainnya. Pengaruh pelarut biasanya mencapai hingga 20 nm jika digunakan pelarut senyawa-senyawa karbonil. Pada umumnya transisi * menghasilkan keadaan tereksitasi yang lebih polar dari keadaan dasar molekul itu. Interaksi dipol-dipol antara molekul dalam keadaan tereksitasi dengan molekul-molekul pelarut yang polar, menyebabkan tingkat energi molekul dalam keadaan tereksitasi menjadi turun. Akibatnya transisi * suatu molekul dalam pelarut polar memerlukan energi yang lebih kecil dari transisi * molekul itu dalam pelarut nonpolar. Pergantian

pelarut heksana dengan etanol menggeser lmaks suatu senyawa ke nilai yang lebih besar dengan pergeseran sebesar 1020 nm. Untuk membantu memahami bagaimana suatu pelarut polar dapat menstabilkan suatu keadaan tereksitasi, dapat diambil contoh di sini adalah transisi * dalam alkena. Pernyataan spesies pada keadaan dasar dan keadaan tereksitasi dengan konsep sederhana melalui struktur resonansinya sehingga membentuk spesies dipolar (lihat Gambar). Kondisi struktur sebenarnya pada Gambar bukan sebagai keadaan tereksitasi tetapi memberikan kontribusi untuk suatu struktur keadaan tereksitasi.

Gambar Struktur resonansi keadaan dasar dan eksitasi untuk alkena

Transisi n*, pada keton menunjukan pengaruh yang berlawanan. Molekulmolekul pelarut yang mampu mengadakan ikatan hidrogen berinteraksi lebih kuat dengan molekul pada keadaan dasar daripada dengan molekul pada keadaan tereksitasi. Transisi n* molekul keton dalam pelarut air atau etanol (dalam pelarut polar) terjadi geseran biru (geseran hipsokromat) atau transisi dalan kedua pelarut polar tersebut memerlukan energi yang lebih besar (panjang gelombang lebih kecil) daripada transisi n* molekul keton dalam pelarut heksana. Hal ini disebabkan oleh adanya ikatan hidrogen antara molekul air atau etanol dengan molekul keton pada keadaan dasar. Akibatnya transisi n* molekul keton dalam pelarut air atau etanol memerlukan energi yang lebih besar (lmaks yang lebih kecil).
http://wanibesak.wordpress.com/tag/pengaruh-pelarut-dan-ikatan-konjugasi-terhadadapserapan-maksimum/ 5. Eksitasi triptofan

Anda mungkin juga menyukai