Anda di halaman 1dari 4

WAYANG

Tontonan, Tatanan dan Tuntunan yang Tergerus Jaman?

Cin Pratipa Hapsarin

Hari ini (14/12/08) pertemuan lanjutan dari Asean Puppetry Asossiation (APA) ke-2 dan
Asian Puppetry Gathering (APG) kembali digelar di Hotel Inna Garuda, Yogyakarta. Hadir
seluruh perwakilan negara Asean dan 3 negara Asia, yakni India, Cina dan Jepang. Berikut
cuplikan wawancara saya, Cin Hapsarin (C) dengan Bapak Tupuk Sutrisno (TS), Sekjen
Senawangi, yang pada pertemuan ini menjadi salah satu pimpinan sidang sekaligus wakil
delegasi Indonesia.

C: Apa perkembangan menarik yang menjadi rekomendasi pada pertemuan APA dan APG
kali ini?

TS: Sebenarnya pertemuan Asean Puppetry Asossiation (APA) ke-2 sudah selesai kemarin.
Hasilnya sangat menggembirakan karena menindaklanjuti plann of action yang sebelumnya
sudah disetujui pada September 2007 lalu di Palembang, pada pertemuan kali ini kita sepakat
untuk menghasilkan kerja sama yang lebih spesifik atau menjurus. Hasil dari pertemuan itu
adalah, pertama, persetujuan untuk membuat pembentukan sanggar wayang atau traditional
learning institution of puppetry di tiap negara Asean. Selain itu kita juga bersepakat untuk
mengadakan tukar menukar informasi untuk mendukung terbentuknya sanggar-sanggar ini.
Kalau pertanyaannya kenapa sanggar, ya karena sanggar kami nilai lebih sederhana, tidak
membutuhkan banyak biaya dan ‘hanya’ membutuhkan orang-orang yang benar-benar
mencintai wayang. Manfaat dari sanggar ini sendiri sangat banyak. Misalkan saja, dalam
sanggar orang akan diberi pendidikan mengenai falsafah dari wayang..tentu untuk tujuan
baik, untuk edukasi, informasi ataupun lainnya. Yang kedua yakni untuk meningkatkan
kualitas dalang. Di sini diharapakan kualitas dalang akan makin terasah, misalkan saja
kemampuan sanggit, sabet dan lainnya. Nah, yang ketiga adalah memperbanyak dalang. Jadi
inti sari kesepakatan itu adalah, yang pertama soal filosofi, yang kedua mengenai kualitas dan
yang ketiga meningkatnya jumlah dalang.

Para delegasi itu setuju untuk membuat sanggar dengan menggunakan sanggar Indonesia
sebagai model percontohan. Hal ini jadi menarik karena kemarin kita sendiri sempat
menghadirkan salah seorang pemilik sanggar dan kemudian dia bercerita kalau pembentukan
sanggar itu sama sekali tidak memerlukan biaya. Artinya, hanya yang senang saja yang akan
datang untuk belajar. Lalu, untuk anggota yang punya uang mereka bisa kasih iuran tetapi hal
ini tidak mengikat. Teman-teman yang tidak punya bisa bebas sementara teman-teman lain
yang benar-benar tidak memiliki biaya justru bisa kita bantu, misalkan saja dengan memberi
honor sebagai ganti uang transport. Jadi sanggar itu memang benar-benar sederhana dan
hasilnya juga istimewa. Ini bagian dari policy Senawangi dan APA.
Mengenai dalang-dalang itu sendiri, kita juga turut memikirkan. Misalkan saja, setelah
kualitas dalang-dalang itu menjadi baik lalu mau apa dan kemana mereka? Satu keputusan
penting yang kami hasilkan untuk menyelesaikan masalah ini adalah membuat kerjasama
untuk mengadakan pertukaran pertunjukan atau pagelaran, selain pertukaran informasi untuk
menambah pengetahuan dan bagi dalang-dalang itu sendiri, selain mereka memperoleh
kesempatan untuk pengembangan kreasi, kita juga berharap kalau mereka bisa memperoleh
penghidupan yang layak dari sini. Pada pokoknya adalah, kita berharap bahwa kegiatan
wayang Asean ini akan menjadi luar biasa.

C: Mengenai APG?

TS: Untuk memperluas kegiatan di tingkat Asean hari ini ada pertemuan 10 negara Asean plus
Asia 3, yakni India, Cina, Jepang. Perwakilan dari tiga delegasi ini menyampaikan
perkembangan wayang di negara masing-masing. Tapi selain itu, ternyata mereka juga
menginginkan adanya suatu ikatan kerjasama, karena bagaimanapun yang namanya
kerjasama pasti akan bermanfaat. Nah, tampaknya hari ini, mereka semua sudah menyetujui
adanya jalinan kerjasama Asean + Asia 3. Kerjasama ini nanti akan ditandatangani oleh
Bapak Solichin selaku Ketua Presidium APA dengan perwakilan 3 negara Asia.

C: Sejauh apa atau bagaimana dengan peran atau keterlibatan pemerintah RI dalam hal ini?

TS: Setiap kegiatan Senawangi dan Pepadi, syukullah selalu mendapat bantuan baik dari
sponsor maupun donatur. Pemerintah sendiri, melalui kementrian budpar, kan kegiatan yang
mereka ditangani cukup banyak, jadi ya...yang kami inginkan adalah bukan hanya perhatian
saja melainkan juga suport untuk memenuhi kebutuhan organisasi yang dilakukan untuk
melestarikan, mengembangkan dan meningkatkan potensi wayang ini. Ya, sudah ada bantuan
tetapi belum sebesar yang dibutuhkan organisasi.

C: Seberapa banyak?

TS: Cukup tapi harus ditambah dengan sponsor. Kita harap perhatian kepada budaya tradisi
seperti wayang itu bisa sebanding dengan perhatian pemerintah kepada film atau musik yang
bergelimang dengan uang. Kalau tradisi memang tidak banyak memberi hasil, oleh karena itu
bantuan pemerintah sangat dibutuhkan supaya SDM wayang dan semua yang terlibat dalam
kerja ini bisa berkreasi, tetapi juga bisa memperoleh penghasilan.

C: Adakah upaya khusus yang dilakukan untuk mendorong kerja budaya ini sampai ditingkat
kebijakan pemerintah, misalkan mendorong terbentuknya satu perundang-undangan atau
aturan main yang ‘lebih jelas’ yang mewajibkan setiap media komersil untuk memberi space
kepada tradisi?

TS: Sejauh ini TV swasta itu selalu komersil. Nah, kebetulan yang namanya pengembangan
tradisi budaya itu kan sifatnya non komersial...yang kita inginkan di sini sebenarnya bukan
bantuan melainkan bagaimana membuat balance antara kegiatan yang komersil dan non
komersil ini. Sebab bagaimanapun keduanya cukup penting. Artinya di sini, kerja-kerja non
komersil macam pengembangan tradisi itukan untuk membantu pendidikan moral, jadi besar
manfaatnya untuk meningkatkan budi pekerti bangsa sehingga masalah-masalah yang kita
hadapi hari ini macam korupsi, kolusi dan lainnya itu tidak terjadi, dan wayang bisa
melakukan ini! Apalagi wayang juga sudah mendapat penghargaan dari Unesco...

Ah, ya...misalkan saja soal Cempala itu...Bayangkan saja bagaimana TVRI yang televisi
nasional itu, yang salah satu tugasnya adalah memberi bantuan informasi dan tidak komersil
itu justru menarik biaya untuk program pengembangan budaya. TVRI kan harusnya beda
dengan TV swasta, tapi dia minta 20 juta untuk acara itu...mungkin tidak terlalu mahal, tapi
kalau buat wayang? 20 juta buat Senawangi itu berat! Sayang sebenarnya karena acaranya
sangat menarik sebenarnya... Istimewa! Ya, komersil sih boleh, tapi ya...mbok tetap ada ruang
untuk hal-hal yang non komersil itu lah...

C: Selain masalah ketidakberpihakan televisi-televisi swasta kepada hal yang bersifat non
profit, ada pendapat yang mengatakan, kalau pada kasus ini, masyarakat tradisi seharusnya
juga mampu mengolah ’kepiawaiannya’ dalam melakukan metamorfosa, paling tidak ketika
dia berhadap-hadapan dengan konteks sosial yang selalu bergerak dan berubah ini...

TS: Usaha masyarakat tradisi dan wayang, saya pikir sudah sangat bagus. Sekarang sudah ada
penggarapan wayang yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat...misalkan saja, sejam
cukup, lalu bahasa dibuat terjemahan. Sebab saya harus tekankan, bahwa dalam budaya
wayang, bahasa itu penting! Tidak bisa disingkirkan...oleh karena itu wayang memang harus
menggunakan bahasa daerah masing-masing...kalau Wayang Golek, ya, bahasa Sunda, lalu
Wayang Jawa ya bahasa Jawa. Ini penting sekali sebab banyak local wisdom yang adanya
dalam bahasa dan itu tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Salah satu cara
untuk menyiasati masalah itu misalkan dibuat terjemahan atau walau bahasanya tetap bahasa
Jawa, Bali, Sunda, tetapi dibuat penjelasan dalam bentuk lain. Misalkan saja kalau Entus itu
menggunakan burung untuk menterjemahkan bahasa yang sangat klasik, sementara orang-
orang di Bali pakai Punakawan. Jadi sebenarnya sudah banyak hal yang diusahakan untuk
meyiasati seluruh problem ini, tetapi sekali lagi menurut saya, memang belum ada bantuan
yang cukup dari orang-orang yang harusnya membantu.

Untuk industri kebudayaan sendiri, saya selaku Sekjen Senawangi, sudah menyampaikan
berulang kali dihadapan Rakornas Budpar...tolong kami, kami sudah buat satu konsep agar
wayang ini bisa menjadi industri budaya. Contohnya di Jakarta...di sana kami buat teater
wayang nasional dalam bentuk wayang orang tapi ceritanya sendiri sudah bagus dan
tampilannya sangat modern. Menurut kami dari Senowangi, ini dapat menjadi embrio untuk
membuat teater wayang nasional. Cita-cita saya, ini bisa jadi Broadway-nya Indonesia.
Saking bagus ceritanya jadi satu cerita itu bisa digunakan sampai 10 tahun misalkan dan bisa
dimainkan setiap hari..yang kelas kecil, ya bisa ditarik 10 dollar lah setiap pementasan. Yang
berhasil itu Vietnam...wayang airnya main terus sehari sampai enam kali dan selalu penuh.
Tiap orang bayar 20 dollar kan lumayan... Nah, usaha-usaha kami ini arahnya kesana. Andai
wayang punya dana abadi ummat seperti di Depag itu, aduh...senang sekali saya...

Perbincangan ini ditutup dengan gelak tawa, sambil berdiri Pak Tupuk masih sempat bicara,
”intinya kami sudah usaha benar untuk memajukan tradisi ini”. Ya, masih terngiang kata
Pak Tupuk tadi kalau wayang mendapatkan penghargaan dari Unesco karena empat hal.
Pertama, karena bentuk performentnya yang hebat (kulit yang dapat bergerak menjadi mirip
manusia); kedua, lantara ada gamelan yang orkestra; ketiga, ada sinden—dan gamelan di
sini bukan saja mengiringi pertunjukan melainkan penyanyi juga—dan terakhir, yang paling
penting adalah hal yang tidak nampak, yakni nilai-nilai moral yang terdapat dalam setiap
lakon wayang. Wayang memang bukan sekedar tontonan, tapi ia juga berisi tatanan dan
tuntunan tapi sayangnya, sebagaimana laiknya problem tradisi lainnya, ia terseok didera
jaman... Akankah tradisi ini ’bertahan’? Kepedulian kitalah jawabannya.

Anda mungkin juga menyukai