Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

ANESTESI INTRAVENA

Pembimbing : dr. Firdaus , Sp.An

Disusun oleh : Fitri Anugrah 030.08.104

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI RSAL DR. MINTOHARDJO PERIODE 8 OKTOBER 10 NOVEMBER 2012 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

LEMBAR PENGESAHAN

Nama NIM Bagian

: Fitri Anugrah : 030.08.104 : Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi FK Universitas Trisakti

Judul Referat : Anestesi Intravena Pembimbing : Dr. Firdaus, SP. An

Referat Anestesi Intravena telah disetujui oleh Dr. Firdaus, Sp. An pada tanggal 5 November 2012 dalam rangka memenuhi tugas kepanitiaan klinik Ilmu Anestesi di RSAL Dr. Mintohardjo, Jakarta. Periode 8 Oktober 10 November 2012.

Jakarta, 4 November 2012 Pembimbing,

Dr. Firdaus, Sp. An

KATA PENGANTAR

Dengan rahmat Allah SWT, saya dapat menyelesaikan penyusunan referat saya yang berjudul Anestesi Intravena. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi di RSAL Dr. Mintohardjo, Jakarta, periode 3 September 8 Oktober 2012. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada dokter pembimbing saya dr. Firdaus, Sp.An dan seluruh pihak yang telah membantu saya dalam penyusunan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya. Demikianlah kata pengantar dari saya, sebelumnya saya mohon maaf yang sebesarbesarnya jikalau masih banyak kekurangan dan kesalahan pada referat ini. Oleh karena itu saya berharap para pembaca dapat memberikan saran dan kritik untuk perbaikan referat ini.

Jakarta, 3 November 2012

Penulis

DAFTAR ISI

Bab I. Pendahuluan......................................................................................1 Bab II. Pembahasan II.1 Anestesi Intravena..............................................2 II.2 Propofol..................................................................... 2 II.3 Thiopental.......................................................7 II.4 Ketamin..................................................8 II.4 Midazolam..................................................8 II.4 Fentanyl..................................................8 Bab III. Kesimpulan........................................................................................12 Daftar Pustaka.................................................................................................13

BAB I PENDAHULUAN

I.

LATAR BELAKANG

Otitis media dengan Efusi (OME) adalah keadaan terkumpulnya sekret non-purulen di telinga tengah dengan membran timpani yang utuh tanpa tanda dan gejala infeksi. Berdasarkan cara terbetuknya sekret, OME dapat dibagi atas dua jenis, yaitu OME akut dan OME kronis. Pada OME akut, sekret terbentuk secara tiba-tiba akibat gangguan fungsi tuba. OME akut lebih sering dijumpai orang dewasa, sedangkan OME kronis lebih sering dijumpai pada anak-anak. Pada OME kronis, sekret terbentuk secara bertahap tanpa rasa nyeri dan gejala-gejala pada telinga yang berlangsung lama(1). OME adalah penyebab tersering gangguan pendengaran pada anak. Jenis Gangguan pendengaran yang terjadi adalah tuli konduktif yang jarang melebihi 35dB(2). Berdasarkan penelitian di Amerika dan Eropa diperkirakan 50% 80% anak usia 4 tahun pernah menderita OME. Sebuah penelitian lain di Amerika menyatakan bahwa antara usia 2 bulan hingga 2 tahun, 91% anak pernah mengalami episode OME dan 52% diantaranya mengenai kedua telinga(3). Pada anak-anak gangguan pendengaran dapat bermanifestasi sebagai defisit atensi, gangguan perilaku, penurunan prestasi belajar, atau pada anak yang lebih kecil dapat terjadi keterlambatan berbicara bila mengenai kedua telinga(2). Otitis media efusi didefinisikan sebagai keadaan terkumpulnya sekret non-purulen pada telinga tengah dengan membran timpani yang utuh dan tanpa adanya tanda-tanda radang(1). Namun, Khoramrooz ss, dkk pada tahun 2012 melakukan penelitian untuk mendeteksi mikro organisme pada pasien OME dengan metode PCR dan kultur. Sample terdiri dari 63 cairan telinga tengah dari 48 penderita OME yang 15 diantaranya mengalami OME bilateral. Hasilnya bakteri positif pada 47% kasus (4). Penemuan ini mendasari pemikiran sebagian praktisi klinis untuk memberikan terapi antibiotik pada pasien dengan OME. Meskipun ada petunjuk klinis penatalaksanaan OME yang dit ulis oleh Rosenfeld pada tahun 2006 dinyatakan untuk menghindari penggunaan antibiotik untuk terapi OME (5) .

Adapun tujuan penulisan referat ini adalah agar dokter, khususnya penulis sendiri, memiliki bekal pengetahuan memadai dalam menangani OME. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari pembaca.

BAB II

PEMBAHASAN

II.1

ANESTESI INTRAVENA Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intravena,

baik untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Setelah berada di dalam vena, obat-obat ini akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi sistemik. Obat anestesi yang ideal memiliki sifat: 1.) hipnotik dengan onset cepat serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan; 2.) analgetik; 3.) amnesia; 4.) memiliki antagonis; 5.) cepat dieliminasi; 6.) depresi kardiovaskular dan pernafasan tidak ada atau minimal; 7.) farmakokinetik tidak dipengaruhi atau minimal terhadap disfungsi organ.(1) Indikasi anestesi intravena antara lain untuk: 1.) induksi pada anestesi umum; 2.) anestesi tunggal pada pembedahan singkat; 3.) sebagai tambahan untuk anestesi inhalasi yang kurang kuat; 4.) obat tambahan pada anestesi regional; 5.) menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan ssp. Cara pemberian dapat berupa : 1.) suntikan intravena tunggal untuk induksi anestesi atau pada operasi-operasi singkat hanya obat ini saja yang dipakai; 2.) suntikan berulang untuk prosedur yang tidak memerlukan anestesi inhalasi dengan dosis ulangan lebih kecil dari dosis permulaan, 3) Melalui infus, untuk menambah daya anestesi inhalasi. (2) Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam 2 golongan: 1.) Obat yang terutama digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan barbiturat, eugenol, dan steroid; 2.) obat yang digunakan baik sendiri maupun kombinasi untuk mendapat keadaan seperti pada neuroleptanalgesia (contohnya: droperidol), anestesi dissosiasi (contohnya: ketamin), sedative (contohnya: diazepam). Dari bermacam-macam obat anesthesia intravena, hanya beberapa saja yang sering digunakan, yakni golongan: barbiturat, ketamin, dan diazepam. (2)

II.2

PROPOFOL Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena. Pertama

kali digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Propofol

dikemas dalam cairan emulsi berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg).(3)

II.2.1 Farmakokinetik Waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat menimbulkan sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis dan redistribusi dari sistem saraf pusat.(4) Sebagian besar propofol terikat dengan albumin (96-97%). Setelah pemberian bolus intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu paruh 1-3 menit) kemudian diikuti bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30 menit). Kedua fase ini menunjukkan distribusi dari plasma dan ambilan oleh jaringan yang cepat. (5) Metabolisme terjadi di hepar melalui konjugasi oleh konjugasi oleh glukoronida dan sulfat untuk membentuk metabolit inaktif yang larut air yang kemudian diekskresi melalui urin(6). Eliminasi propofol sensitif terhadap perubahan aliran darah hepar namun tidak dipengaruhi oleh ikatan protein ataupun aktivitas enzim. Propofol diketahui menghambat metabolisme obat oleh sitokrom p450 oleh karena itu dapat menyebabkan perlambatan klirens dan durasi yang memanjang pada pemberian bersama dengan fentanyl, alfentanil dan propanolol.(5) II.2. 2 Farmakodinamik II.2.2.1 Sistem saraf pusat Dosis induksi menyebabkan pasien kehilangan kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik. Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood tapi tidak sehebat thiopental. Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%.(5)

II.2.2.2 Sistem kardiovaskuler Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun. Hal ini disebabkan oleh efek dari propofol yang menurunkan resistensi vaskular sistemik sebanyak 30%. Namun penurunan tekanan darah biasanya tidak disertai peningkatan denyut nadi. Pernafasan spontan (dibanding nafas kendali) serta pemberian drip melalui infus (dibandingkan dengan pemberian melalui bolus) mengurangi depresi jantung. Sedangkan usia berbanding lurus dengan efek depresi jantung. (5) II.2.2.3 Sistem pernafasan Apnoe paling banyak didapatkan pada pemberian propofol dibanding obat intravena lainnya. Umumnya berlangsung selama 30 detik, namun dapat memanjang dengan pemberian opioid sebagai premedikasi atau sebelum induksi dengan propofol. Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal. Efek ini biasanya bersifat sementara namun dapat memanjang pada penggunaan dosis yang melebihi dari rekomendasi atau saat digunakan bersamaan dengan respiratory depressants.(5) II.2.4 Dosis dan penggunaan Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak anak usia lebih dari 3 tahun. (4) Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 2-2.5 mg/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 1-1.5 mg/kgBB. Untuk pemeliharaan dosis yang dianjurkan pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.1-0.2 mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.05-0.1 mg/menit/kgBB. (4) Dosis yang dianjurkan yang dapat menimbulkan sedasi adalah 0.1-0.15 mg/kgBB sebagai dosis inisial dengan dosis pemeliharaan yang dianjurkan pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.025-0.075 mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.02-0.06 mg/menit/kgBB. (4) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri. (4)

II.2.5 Efek samping Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB intravena(3). Biasanya terjadi saat penyuntikan dilakukan di dorsum Palmaris. Insidens nyeri lebih sedikit didapatkan pada penyuntikan di vena yang lebih besar di fossa antecubiti. (5) Bradikardi serta hipotensi kadang didapatkan setelah penyuntikan propofol, namun dapat diatasi dengan penyuntikkan obat antimuskarinik, misalnya: atropin. Efek samping eksitatorik seperti myoclonus, opisthotonus serta konvulsi kadang dihubungkan dengan pemberian propofol dan dapat terjadi pada masa pemulihan. Resiko konvulsi dan onset yang melambat ditemujan pada pemberian propofol pada pasien epilepsi.(5)

II.3

TIOPENTAL Tiopental (pentotal, tiopenton) dikemas dalam bentuk tepung atau bubuk berwarna

kuning, berbau belerang, biasanya dalam ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2.5% (1 ml= 25 mg). Thiopental hanya boleh digunakan untuk intravena. Penyuntikan dilakukan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.(3) Keuntungan thiopental antara lain: 1.) Induksi mudah dan cepat; 2.) tidak ada delirium; 3.) kesadaran cepat pulih; 4.) tidak ada iritasi mukosa jalan nafas. Sedangkan kekurangan dari penggunaan thiopental antara lain: 1.) depresi pernafasan; 2.) depresi kardiovaskular; 3.) kecendurangan tejradinya spasme laring; 4.) relaksasi otot perut kurang; 5.) tidak memiliki efek analgesik.

II.2.1 Farmakokinetik Waktu paruh thiopental berkisar antara 3-6 jam dengan onset berkisar antara 30-60 detik dan durasi kerja obat 20-30 menit.(7) Thiopental di dalam darah 70% diikat oleh albumin, sisanya 30% dalam bentuk bebas, sehingga pada pasien dengan albumin rendah, dosis rendah harus dikurangi. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan, thiopental akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hipnotik, anesthesia, atau depresi nafas.

Metabolisme thiopental terutama terjadi di hepar dengan sebagian kecil thiopental keluar lewat urin tanpa mengalami perubahan. 10-15% thiopental dalam tubuh akan dimetabolisme tiap jam. Pulih sadar yang cepat setelah thiopental disebabkan oleh pemecahan dalam hepar yang cepat. Dilusi dalam darah dan redistribusi ke jaringan tubuh yang lain. Oleh karena itu thiopental termasuk dalam obat dengan daya kerja sangat singkat (ultra short acting barbiturate) Thiopental dalam jumlah kecil masih dapat ditemukan dalam darah 24 jam setelah pemberian. Oleh karena itu dapat membahayakan bagi pasien one day care yang masih harus mengendarai mobil setelah sadar dari efek thiopental. (2) II.2. 2 Farmakodinamik II.2.2.1 Sistem saraf pusat Seperti barbiturat yang lain, thiopental menimbulkan sedasi, hipnosis, atau tertidur dan depresi pernafasan tergantung dosis dan kecepatan pemberian. Efek analgetik sedikit dan terhadap SSP terlihat adanya depresi dan kesadarannya menurun secara progresif. Kontak dengan lingkungan, gerakan-gerakan, dan kemampuan menjawab pertanyaan pelan-pelan menghilang.(3) Kecepatan kerja dari thiopental bergantung pada penetrasi obat ke SSP yang dipengaruhi oleh kadar obat dalam plasma dan ikatannya dengan protein plasma. Akibat perbedaan konsentrasi, konsentrasi obat yang lebih tinggi di plasma akan menyebabkan difusi ke SSP dalam jumlah besar. 70% thiopental terikat albumin, sedangkan hanya thiopental bebas yang dapat menembus blood brain barrier karena itu ikatan dengan protein plasma dan kecepatan onset obat berbanding terbalik.(6) Tiopental menurukan kebutuhan oksigen otak sehingga perfusi ke otak juga berkurang yang ditandai dengan peningkatan resistensi vaskular otak, penurunan aliran darah ke otak dan penurunan tekanan intrakranial. (5) II.2.2.2 Sistem kardiovaskuler Thiopental mendepresi pusat vasomotor dan kontraktilitas miokard yang

mengakibatkan vasodilatasi, sehingga dapat menurunkan curah jantung dan tekanan darah. Efek ini tergantung dosis dan lebih nyata pada pasien dengan penyakit kardiovaskular atau yang menerima pengobatan yang mempengaruhi simpatis. (5) II.2.2.3 Sistem pernafasan

Efek utama ialah depresi pernafasan karena efek langsung ke pusat pernafasan dan penurunan sensitivitas terhadap kadar CO2 sehingga PCO2 akan meningkat dan pH darah akan naik. Efek ini akan bertambah jelas apabila sebelumnya diberikan opioid atau obat depresan yang lain.(3) II.2.4 Dosis dan penggunaan Dosis yang dianjurkan untuk induksi yang lambat 2-6mg/kgBB, sedangkan untuk induksi yang cepat 3-4 mg/kgBB dibagi dalam 2-4 dosis. Untuk pasien bedah saraf dengan peningkatan tekanan intracranial 1.5-3.5 mg/kgBB dengan ventilator mekanik yang mendukung dan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dengan GFR kurang dari 10ml/menit dapat diberikan 75% dari dosis normal dengan interval yang sama dengan dosis normal.(4) Tiopental dapat digunakan untuk: 1.) induksi pada anestesi umum; 2.) operasi atau tindakan yang singkat, contohnya: reposisi fraktur, insisi, jahit luka, tindakan ginekologi keci seperti curettage; 3.) sedasi pada analgesi regional; 4.) mengatasi kejang-kejang pada eklampsia, tetanus, epilepsi, dan lain-lain.(3) II.2.5 Efek samping Larutan ini sangat alkalis dengan PH 10-11, sehingga suntikan keluar vena akan menimbulkan rasa sakit, bengkak, kemerah-merahan, dapat terjadi nekrosis. Untuk menghindari efek ini sebaiknya memakai larutan 2.5%. sedangkan injeksi intraarteri akan menyebabkan rasa terbakar, terjadi spasme arteri dan kemungkinan thrombosis.

II.4

KETAMIN Ketamin adalah suatu rapid acting non-barbiturate general anesthetic. Pertama kali

diperkenalkan oleh Domino and Carsen pada tahun 1965.(2) Ketamin kurang digemari untuk induksi anesthesia karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia dapat menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.(3)

II.4.1 Mekanisme Kerja Blok terhadap reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik. II.4.2 Farmakokinetik Onset kerja ketamin pada pemberian intravena lebih cepat dibandingkan pemberian intramuskular. Onset pada pemberian intravena adalah 30 detik sedangkan dengan pemberian intramuskular membutuhkan waktu 3-4 menit, tetapi durasi kerja juga didapatkan lebih singkat pada pemberian intravena (5-10 menit) dibandingkan pemberian intramuskular (1225 menit).(8) Metabolisme terjadi di hepar dengan bantuan sitokrom P450 di reticulum endoplasma halus menjadi norketamine yang masih memiliki efek hipnotis namun 30% lebih lemah dibanding ketamine, yang kemudian mengalami konjugasi oleh glukoronida menjadi senyawa larut air untuk selanjutnya diekskresikan melalui urin.(5) II.4. 3 Farmakodinamik II.4.3.1 Sistem saraf pusat Ketamine memiliki efek analgetik yang kuat akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) disertai anestesia disosiasi. Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan, dilatasi pupil dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Pada pasien yang diberikan ketamin juga mengalami amnesia anterograde. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian Ketamin. Sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Selain itu, ketamin menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan tekanan intrakranial. Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit menentukan saatnya yang tepat seperti halnya sulit menentukan permulaan kerjanya. Kontak penuh dengan lingkungan dapat bervariasi dari beberapa menit setelah permulaan tanda-tanda sadar sampai 1 jam.

Sering mengakibatkan mimpi buruk, disorientasi tempat dan waktu, halusinasi dan menyebabkan gaduh, gelisah, tidak terkendali. II.4.3.2 Sistem kardiovaskuler Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun diastolik. Kenaikan rata-rata antara 2025% dari tekanan darah semula mencapai maksimum beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15 menit kemudian. Denyut jantung juga meningkat. Efek ini disebabkan adanya aktivitas saraf simpatis yang meningkat dan depresi baroreseptor. Efek ini dapat dicegah dengan pemberian premedikasi opioid, hiosine. Namun aritmia jarang terjadi.

II.4.3.3 Sistem pernafasan Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya sementara, kecuali dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depressan sebagai premedikasi. Ketamin menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat antagonis terhadap efek konstriksi bronkus oleh histamin, sehingga baik untuk penderita asma dan untuk mengurangi spasme bronkus pada anesthesia umum yang masih ringan. II.4.4 Dosis dan penggunaan Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa adalah 1-4mg/kgBB atau 12mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, sedangkan melalui infus dengan kecepatan 0.5mg/kgBB/menit, sedangkan untuk anak-anak terdapat banyak rekomendasi. Menurut Mace, et al (2004) dosis induksi adalah 1-2 mg/kgBB sedangkan menurut Harriet Lane, 0.250.5 mg/kgBB. Dengan dosis tambahan setengah dari dosis awal sesuai kebutuhan.(8) Untuk sedasi dan analgesik dosis yang dianjurkan adalah 0.2-0.8 mg/kgBB intravena dan untuk mencegah nyeri dosis yang dianjurkan adalah 0.15-0.25 mg/kgBB intravena.(6) Ketamin dapat diberikan bersama dengan diazepam atau midazolam dengan dosis 0.1mg/kgBB intravena dan untuk mengurangi salvias dapat diberikan sulfas atropine 0.01mg/kgBB.(3) II.4.5. Indikasi

Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun sebagai induksi pada anestesi umum : 1.) untuk prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit, misalnya pada koreksi jaringan sikatriks daerah leher; 2.) untuk prosedur diagnostic pada bedah saraf atau radiologi (radiografi); 3.) tindakan ortopedi, misalnya reposisi; 4.) pada pasien dengan resiko tinggi karena ketamin yang tidak mendepresi fungsi vital; 5.) untuk tindakan operasi kecil; 6.) di tempat dimana alat-alat anestesi tidak ada; 7.) pasien asma. II.4.6 Kontra Indikasi Ketamin tidak dianjurkan untuk digunakan pada: 1.) Pasien hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160mmHg dan diastolic 100mmHg; 2.) Pasien dengan riwayat CVD; 3.) pasien dengan decompensatio cordis. Penggunaan ketamin juga harus hati-hati pada pasien dengan riwayat kelainan jiwa & operasi-operasi pada daerah faring karena reflex masih baik. II.4.7 Efek samping Di masa pemulihan pada 30% pasien didapatkan mimpi buruk sampai halusinasi visual yang kadang berlanjut hingga 24 jam pasca pemberian. Namun efek samping ini dapat dihindari dengan pemberian opioid atau benzodiazepine sebagai premedikasi. II.5 Benzodiazepin Golongan benzodiazepine yang sering digunakan adalah adalah Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Miloz). Diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air. Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls atau Dizacs), sedangkan midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan dengan PH 3,5. II.5.1 Mekanisme kerja Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative, anxiolitik, amnestik, antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja di sentral. Benzodiazepine bekerja pada reseptor GABAA. Afinitas pada reseptor GABAA berurutan seperti berikut lorazepam > midazolam > diazepam. Reseptor spesifik benzodiazepine akan berikatan pada komponen gamma yang terdapat pada reseptor GABA. II.5.2 Farmakokinetik

Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak akan muncul setelah 4 - 8 menit setelah diazepam disuntikkan secara I.V dan waktu paruh dari benzodiazepine ini adalah 20 jam. Dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya akumulasi dan pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan diazepam didistribusikan secara cepat setelah injeksi bolus, metabolisme mungkin akan tampak lambat pada pasien tua.

II.2. 2 Farmakodinamik II.2.2.1 Sistem saraf pusat


Dapat menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi otot dan mepunyai efek sedasi, efek analgesik tidak ada, menurunkan aliran darah otak dan laju metabolisme.

Dosis induksi menyebabkan pasien kehilangan kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik. Pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood tapi tidak sehebat thiopental. Propofol dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%.(5) II.2.2.2 Sistem kardiovaskuler
Menyebabkan vasodilatasi sistemik yang ringan dan menurunkan cardiac out put. Ttidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung, perubahan hemodinamik mungkin terjadi pada dosis yang besar atau apabila dikombinasi dengan opioid

Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun. Hal ini disebabkan oleh efek dari propofol yang menurunkan resistensi vaskular sistemik sebanyak 30%. Namun penurunan tekanan darah biasanya tidak disertai peningkatan denyut nadi. Pernafasan spontan (dibanding nafas kendali) serta pemberian drip melalui infus (dibandingkan dengan pemberian melalui bolus) mengurangi depresi jantung. Sedangkan usia berbanding lurus dengan efek depresi jantung. (5) II.2.2.3 Sistem pernafasan
Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal , depresi pusat nafas mungkin dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru atau pasien dengan retardasi mental.

Apnoe paling banyak didapatkan pada pemberian propofol dibanding obat intravena lainnya. Umumnya berlangsung selama 30 detik, namun dapat memanjang dengan pemberian

opioid sebagai premedikasi atau sebelum induksi dengan propofol. Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal. Efek ini biasanya bersifat sementara namun dapat memanjang pada penggunaan dosis yang melebihi dari rekomendasi atau saat digunakan bersamaan dengan respiratory depressants.(5)
Sistem saraf otot Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supraspinal dan spinal , sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka.

II.2.4 Dosis dan penggunaan Midazolam Induction 0.05-0.15 mg/kg 1 g/kg/min Sedation * 0.5-1 mg repeated 2 mg repeated 0.25 mg repeated 0.07 mg/kg IM Maintenance 0.05 mg/kg prn Diazepam Lorazepam

0.3-0.5 mg/kg 0.1 mg/kg 0.1 mg/kg prn 0.02 mg/kg prn

Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak anak usia lebih dari 3 tahun. (4) Dosis yang dianjurkan untuk sedasi pada pasien dewasa adalah 0 .5-1mg/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 1-1.5 mg/kgBB. Untuk pemeliharaan dosis yang dianjurkan pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.1-0.2 mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.05-0.1 mg/menit/kgBB. (4) Dosis yang dianjurkan yang dapat menimbulkan sedasi adalah 0.1-0.15 mg/kgBB sebagai dosis inisial dengan dosis pemeliharaan yang dianjurkan pada pasien lebih dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.025-0.075 mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.02-0.06 mg/menit/kgBB. (4) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri. (4)

II.2.5 Efek samping


Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika digunakan sebagai sedasi. Lorazepam dan diazepam dapat menyebabkan iritasi pada vena dan trombophlebitis. Benzodiazepine turut memperpanjang waktu sedasi dan amnesia pada pasien. Efek Benzodiazepines dapat di reverse dengan flumazenil (Anexate, Romazicon) 0.1-0.2 mg IV prn to 1 mg, dan 0.5 - 1 mcg/kg/menit berikutnya.

Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB intravena(3). Biasanya terjadi saat penyuntikan dilakukan di dorsum Palmaris. Insidens nyeri lebih sedikit didapatkan pada penyuntikan di vena yang lebih besar di fossa antecubiti. (5) Bradikardi serta hipotensi kadang didapatkan setelah penyuntikan propofol, namun dapat diatasi dengan penyuntikkan obat antimuskarinik, misalnya: atropin. Efek samping eksitatorik seperti myoclonus, opisthotonus serta konvulsi kadang dihubungkan dengan pemberian propofol dan dapat terjadi pada masa pemulihan. Resiko konvulsi dan onset yang melambat ditemujan pada pemberian propofol pada pasien epilepsi.(5) II.6 FENTANYL BAB III KESIMPULAN Otitis media dengan Efusi (OME) adalah keadaan terkumpulnya sekret non-purulen di telinga tengah dengan membran timpani yang utuh tanpa tanda dan gejala infeksi(1). OME adalah penyebab tersering gangguan pendengaran pada anak yang dapat bermanifestasi sebagai defisit atensi, gangguan perilaku, penurunan prestasi belajar, atau pada anak yang lebih kecil dapat terjadi keterlambatan berbicara bila mengenai kedua telinga (2) . Penelitian oleh Khoramrooz ss, dkk dari Department of Microbiology, School of Medicine, Tehran University of Medical Sciences, Iran pada tahun 2012 melakukan penelitian untuk mendeteksi mikro organisme pada pasien OME dengan metode PCR dan kultur. Sample terdiri dari 63 cairan telinga tengah dari 48 penderita OME yang 15 diantaranya mengalami OME bilateral. Hasilnya bakteri positif pada 47% kasus OME (4) . Oleh karena itu antibiotik dapat diberikan untuk terapi OME. Hal ini

didukung oleh hasil metaanalisis yang melibatkan 1041 anak dengan OME mendapatkan bahwa resolusi lebih banyak terjadi pada anak yang mendapat terapi antibiotik dibanding plasebo (15) . Tidak ada petunjuk klnis ataupun hasil konsensus yang menyatakan terapi antibiotik lini pertama untuk OME. Untuk setiap pasien harus dipertimbangkan riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya, usia, serta berat badan. Bila pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap golongan penicillin dan belum mendapat terapi antibiotik sebelumnya, dapat diberikan amoxicillin. Apabila sebelumnya pasien telah mendapatkan antibiotik dapat dipertimbangkan untuk diberikan amoxicillin dengan asam klavulanat atau cephalosporin golongan II atau III. Antibiotik diberikan selama 10 hari. Pengobatan yang lebih dari 10 hari tidak menunjukkan manfaat penyembuhan pada pasien OME (19).

DAFTAR PUSTAKA

1. 2. Muhiman, Muhardi, dr. et. al. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; 65-71 3. Latief, Said A, Sp.An; Suryadi, Kartini A, Sp.An; Dachlan, M. Ruswan, Sp.An. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2010; 46-47 4. Propofol. Available at: http://reference.medscape.com/drug/diprivan-propofol-

343100#0. Accessed on 28 October 2012 5. Calvey, Norman; Williams, Norton. Principles and Practice of Pharmacology for Anaesthetists. Fifth edition. Blackwell Publishing 2008; 110-126 6. Miller, Ronald D. MD, et. al. Millers anesthesia. Elseveir 2010

7. Thiopental. Available at: http://reference.medscape.com/drug/ pentothal-thiopental343092#5. Accessed on 27 October 2012 8.

Anda mungkin juga menyukai