Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

TERAPI ANTIBIOTIK PADA OTITIS MEDIA EFUSI

Pembimbing : dr. Tri Kunjana, Sp.THT

Disusun oleh : Fitri Anugrah 030.08.104

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT RSUD DR. SOESELO SLAWI PERIODE 3 SEPTEMBER - 6 OKTOBER 2012 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

LEMBAR PENGESAHAN

Nama NIM Bagian

: Fitri Anugrah : 030.08.104 : Kepaniteraan Klinik Ilmu penyakit THT FK Universitas Trisakti

Judul Referat : Terapi Antibiotik pada Otitis Media Efusi Pembimbing : Dr. Tri Kunjana, SP. THT

Referat Terapi Antibiotik pada Otitis Media Efusi telah disetujui oleh Dr. Tri Kunjana, Sp. THT pada tanggal 4 Oktober 2012 dalam rangka memenuhi tugas kepanitiaan klinik Ilmu Penyakit THT di RSUD Dr. Soeselp, Slawi. Periode 3 September 6 Oktober 2012.

Slawi,

Oktober 2012

Pembimbing,

Dr. Tri Kunjana, Sp. THT

KATA PENGANTAR

Dengan rahmat Allah SWT, saya dapat menyelesaikan penyusunan referat saya yang berjudul Terapi Antibiotik pada Otitis Media Efusi. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT di RSUD Dr. Soeselo Slawi, periode 3 September 8 Oktober 2012. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada dokter pembimbing saya dr. Tri Kunjana, Sp.THT dan seluruh pihak yang telah membantu saya dalam penyusunan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya. Demikianlah kata pengantar dari saya, sebelumnya saya mohon maaf yang sebesarbesarnya jikalau masih banyak kekurangan dan kesalahan pada referat ini. Oleh karena itu saya berharap para pembaca dapat memberikan saran dan kritik untuk perbaikan referat ini.

Slawi, Agustus 2012

Penulis

DAFTAR ISI

Bab I. Latar Belakang......................................................................................1 Bab II. Pembahasan II.1 Anatomi Telinga Tengah............................................3 II.2 Fisiologi Pendengaran................................................................... 6 II.3 Patogenesis Otitis Media Efusi......................................................7 II.4 Penatalaksanaan Otitis Media Efusi...............................................8 Bab III. Kesimpulan........................................................................................12 Daftar Pustaka.................................................................................................13

BAB I PENDAHULUAN

I.

LATAR BELAKANG Otitis media dengan Efusi (OME) adalah keadaan terkumpulnya sekret non-purulen di

telinga tengah dengan membran timpani yang utuh tanpa tanda dan gejala infeksi. Berdasarkan cara terbetuknya sekret, OME dapat dibagi atas dua jenis, yaitu OME akut dan OME kronis. Pada OME akut, sekret terbentuk secara tiba-tiba akibat gangguan fungsi tuba. OME akut lebih sering dijumpai orang dewasa, sedangkan OME kronis lebih sering dijumpai pada anak-anak. Pada OME kronis, sekret terbentuk secara bertahap tanpa rasa nyeri dan gejala-gejala pada telinga yang berlangsung lama(1). OME adalah penyebab tersering gangguan pendengaran pada anak. Jenis Gangguan pendengaran yang terjadi adalah tuli konduktif yang jarang melebihi 35dB(2). Berdasarkan penelitian di Amerika dan Eropa diperkirakan 50% 80% anak usia 4 tahun pernah menderita OME. Sebuah penelitian lain di Amerika menyatakan bahwa antara usia 2 bulan hingga 2 tahun, 91% anak pernah mengalami episode OME dan 52% diantaranya mengenai kedua telinga(3). Pada anak-anak gangguan pendengaran dapat bermanifestasi sebagai defisit atensi, gangguan perilaku, penurunan prestasi belajar, atau pada anak yang lebih kecil dapat terjadi keterlambatan berbicara bila mengenai kedua telinga(2). Otitis media efusi didefinisikan sebagai keadaan terkumpulnya sekret non-purulen pada telinga tengah dengan membran timpani yang utuh dan tanpa adanya tanda-tanda radang(1). Namun, Khoramrooz ss, dkk pada tahun 2012 melakukan penelitian untuk mendeteksi mikro organisme pada pasien OME dengan metode PCR dan kultur. Sample terdiri dari 63 cairan telinga tengah dari 48 penderita OME yang 15 diantaranya mengalami OME bilateral. Hasilnya bakteri positif pada 47% kasus (4). Penemuan ini mendasari pemikiran sebagian praktisi klinis untuk memberikan terapi antibiotik pada pasien dengan OME. Meskipun ada petunjuk klinis penatalaksanaan OME yang dit ulis oleh Rosenfeld pada tahun 2006 dinyatakan untuk menghindari penggunaan antibiotik untuk terapi OME (5) . Adapun tujuan penulisan referat ini adalah agar dokter, khususnya penulis sendiri, memiliki bekal pengetahuan memadai dalam menangani OME. Penulis menyadari

sepenuhnya bahwa referat ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari pembaca.

BAB II PEMBAHASAN
II.1 ANATOMI TELINGA TENGAH

Kavum timpani terletak didalam pars petrosa dari tulang temporal, bentuknya bikonkaf. Diameter anteroposterior atau vertikal 15 mm, sedangkan diameter transversal 2-6 mm. Kavum timpani mempunyai 6 dinding yaitu: dinding superior (atap), dinding inferior (lantai), dinding lateral, dinding medial, dinding anterior, dinding posterior. 1. Dinding superior atau atap dari cavum timpani dibentuk oleh tegmen timpani, memisahkan telinga tengah dari fosa kranial dan lobus temporalis otak. bagian ini juga dibentuk oleh pars petrosa tulang temporal dan sebagian lagi oleh skuama dan garis sutura petroskuama; 2. Dinding inferior atau lantai kavum timpani dibentuk oleh tulang yang tipis memisahkan lantai kavum timpani dari bulbus jugularis, atau tidak ada tulang sama sekali hingga infeksi dari kavum timpani mudah merembet ke bulbus vena jugularis; 3. Dinding lateral di bagian mesotimpanum, membran timpani merupakan dinding lateral kavum timpani, sedangkan di bagian epitimpanum, dinding lateralnya adalah skutum, yaitu lempeng tulang yang merupakan bagian pars skuamosa tulang temporal; 4. Dinding medial cavum timpani berisi banyak organ penting dan mudah cedera. Dinding ini juga merupakan dinding lateral dari telinga dalam yang membatasi kedua ruangan tersebut; 5. Pada dinding posterior bagian atas terdapat saluran yang disebut aditus ad antrum yang menghubungkan kavum timpani dengan antrum mastoid melalui epitimpanum. Dibelakang dinding posterior kavum timpani adalah fosa kranii posterior dan sinus sigmoid; 6. Dinding anterior bawah lebih besar dari bagian atas dan terdiri dari lempeng tulang yang tipis menutupi arteri karotis pada saat memasuki tulang tengkorak dan sebelum berbelok ke anterior. Dinding ini ditembus oleh saraf timpani karotis superior dan inferior yang membawa serabut-serabut saraf simpatis kepleksus timpanikus dan oleh satu atau lebih cabang timpani dari arteri karotis interna. Dinding anterior ini terutama berperan sebagai muara tuba eustachius. Isi kavum timpani terdiri dari tulang-tulang pendengaran, otot, saraf korda timpani, saraf pleksus timpanikus.Tulang-tulang pendengaran yaitu maleus, incus, stapes.Otot-otot pada kavum timpani terdiri dari otot tensor timpani dan otot stapedius . Kontraksi kedua otot ini timbul akibat refleks terhadap suara keras. Kontaksi ini menyebabkan rantai tulang pendegaran menjadi lebih kaku sehingga mengurangi reaksinya terhadap rangsang akustik,

terutama penghantaran suara di bawah nada 1000 Hz dapat mengurangi hantaran sampai dengan 40 dB. Saraf Korda Timpani merupakan cabang dari nervus fasialis masuk ke kavum timpani dari analikulus posterior yang menghubungkan dinding lateral dan posterior. Korda timpani juga mengandung jaringan sekresi parasimpatetik yang berhubungan dengan kelenjar ludah sublingual dan submandibula melalui ganglion submandibular. Korda timpani memberikan serabut perasa pada 2/3 depan lidah bagian anterior. Pleksus Timpanikus, berasal dari n. timpani cabang dari nervus glosofaringeus dan dengan nervus karotikotimpani yang berasal dari pleksus simpatetik disekitar arteri karotis interna(6).

Membran timpani merupakan batas lateral rongga telinga tengah . terletak oblique, berbentuk lonjong.. Diameter membran timpani sekitar 1cm. Paling panjang pada arah anterior-inferior ke superior-posterior.

Struktur membran timpani di bagi menjadi dua bagian yaitu pars flaksida yang merupakan bagian atas dan pars tensa yang merupakan bagian bawah. Membran timpani

terdiri atas 3 lapisan yaitu a) lapisan luar yaitu lapisan epidermis (lapisan kulit terusan dari kulit yang melapisi dinding liang telinga), b)Lapisan tengah yaitu lapisan fibrosa. Jaringan ikat yang terdiri dari 2 lapisan yaitu lapisan radier yang serabut-serabutnya berpusat di manubrium maleus, dan lapisan sirkuler yang serat-seratnya lebih padat di lingkaran luar dan makin jarang ke arah sentral, dan c) Lapisan dalam yaitu mukosa kavum timpani Bagian pars flaksida hanya terdiri dari 2 lapis, tidak terdapat lapisan fibrosa sehingga menjadi lebih lemas. Bagian pars tensa terdiri dari 3 lapisan. Membran timpani dibagi menjadi 4 kuadran dengan cara menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo. Kuadrannya terdiri dari superior anterior, superior posterior, inferior anteror, dan inferior posterior.

Tuba Eustachius disebut juga tuba auditory atau tuba faringotimpani, bentuknya seperti huruf S. Tuba ini merupakan saluran yang menghubungkan antara kavum timpani dengan nasofaring
(7)

. Panjang tuba eustachius kurang lebih 37-40 mm. Tuba eustachius ini

dibagi menjadi 2 bagian : pars osseus dan pars cartilaginea. Pertemuan antara pars osseus dan pars cartilaginea merupakan daerah yang paling sempit yang dinamakan isthmus. Pars osseus bermuara pada dinding anterior cavum tympani, bagian ini merupakan bagian yang selalu terbuka dan merupakan 1/3 (bagiam belakang) dari panjang tuba. Pars cartilaginea merupakan 2/3 (bagian depan) dari panjang tuba, berbentuk seperti terompet. Bagian ini bermuara pada nasofaring dan selalu berada dalam keadaan tertutup, hanya sewaktu-waktu terbuka yaitu apabila ada kontraksi dari m. levator dan m. tensor veli palatina, yaitu pda

waktu orang menguap, menelan, dan mengunyah seringnya terjadi otitis media pada bayi (8).

(8,9)

.Pada bayi ternyata tuba eustachius

letaknya lebih horizontal, lumennya relatif lebih besar sehingga keadaan ini membawa akibat

Fungsi tuba Eusthachius untuk ventilasi telinga yang mempertahankan keseimbangan tekanan udara di dalam kavum timpani dengan tekanan udara luar, drainase sekret yang berasal dari kavum timpani menuju ke nasofaring dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring menuju ke kavum timpani
(7)

. Gangguan fungsi tuba dapat terjadi pada beberapa

hal seperti tuba terbuka abnormal, pada penyakit-penyakit kronik seperti rhinitis atrofi dan faringitis,myoklonus palatal, palatokisis,dan obstruksi tuba (10).

II.2

FISIOLOGI PENDENGARAN Seseorang dapat mendengar melalui getaran yang dialirkan melalui udara atau tulang

langsung ke koklea. Aliran suara melalui udara lebih baik dibandingkan dengan aliran suara melalui tulang. Getaran suara ditangkap oleh daun telinga dialirkan ke liang telinga dan mengenai membran timpani sehingga membran timpani bergetar kedalam dan keluar. Getaran ini diteruskan ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain. Agar membran timpani dapat bergerak bebas kedua arah, tekanan udara istirahat pada kedua sisinya harus sama. Membran sebelah luar terekspos tekanan atmosfer yang melewati meatus akustikus eksterna sedangkan bagian dalam menghadapi tekanan atmosfer dari tuba eustachius yang menghubungkan telinga tengah dan nasofaring. Secara normal, tuba tertutup tetapi dapat dibuka melalui kontraksi otot levator palatinum yang berorigo di palatum.molle. Getaran membran timpani selanjutnya diteruskan ke telinga tengah oleh rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang-tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap

lonjong yang menyebabkan pergerakan cairan pada koklea. Selanjutnya di koklea, rangsang mekanis ini selanjutnya akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.

II.3

PATOGENESIS OTITIS MEDIA EFUSI Otitis media dengan Efusi (OME) adalah keadaan terkumpulnya sekret

non-purulen di telinga tengah dengan membran timpani yang utuh tanpa tanda dan gejala infeksi (1) . Hampir keseluruhan otitis media efusi disebabkan gangguan fungsi tuba Eustachius, yaitu ventilasi untuk menjaga agar tekanan udara antara telinga tengah dan telinga luar selalu sama, pembersihan sekret dari telinga tengah yang dialirkan ke nasofaring, dan sebagai proteksi pada telinga tengah. Kegagalan pada fungsi ventilasi menyebabkan tekanan negatif berkembang dalam telinga tengah sehingga terjadi transudasi dari mukosa yang menyebabkan terjadinya otitis media serosa. Sedangkan otitis media mukoid timbul akibat sekresi aktif dari kelenjar dan kista yang terdapat pada telinga tengah, tuba eustachius, dan rongga mastoid. Kegagalan fungsi tuba dapat disebabkan oleh hyperplasia adenoid, rhinitis kronis, sinusitis, tonsillitis kronis, tumor nasofaring dan defek palatum. Alergi juga dapat menyebabkan timbulnya OME akibat tersumbatnya tuba eustachius oleh edema dan juga dapat menyebabkan peningkatan produksi sekret pada mukosa telinga tengah. Peningkatan produksi sekret juga dapat diakibatkan oleh infeksi adeno atau rhinovirus yang berasal dari ISPA yang menyebar ke telinga tengah. OME dapat terjadi selama resolusi otitis media akut (OMA) sekali peradangan akut telah teratasi. Di antara anak-anak yang telah memiliki sebuah episode dari otitis media akut, sebanyak 45% memiliki efusi persisten setelah 1 bulan, tetapi jumlah ini menurun menjadi 10% setelah 3 bulan(11).

II.3

PENATALAKSANAAN OTITIS MEDIA EFUSI

Rekomendasi pedoman klinis penatalaksaan OME oleh The American Academy of Family Physicians (AAFP), the American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS), and the American Academy of Pediatrics (AAP) menyebutkan bahwa pada anak yang tidak memiliki faktor resiko perlu dipantau selama 3 bulan. Faktor resiko yang dimaksud adalah: Anak-anak dengan kehilangan pendengaran permanen independen

akibat otitis media efusi; Mereka dicurigai atau didiagnosis dengan gangguan atau keterlambatan bicara dan bahasa; Mereka dengan gangguan autisme atau gangguan perkembangan terkait lainnya; Anak-anak dengan sindrom (misalnya sindrom Down) atau kelainan kraniofasial yang meliputi keterlambatan kognitif, bicara, dan bahasa; Mereka yang buta atau memiliki gangguan penglihatan yang tidak bisa diperbaiki; Anak-anak dengan labiopalatoskisis, dengan atau tanpa sindrom terkait; Anak-anak dengan keterlambatan perkembangan. Sedangkan pada anak-anak dengan faktor resiko perlu intervensi yang lebih agresif. (12) Penatalaksanaan OME dimulai dari modifikasi faktor risiko, diantaranya adalah menghindari asap rokok, menyusui bila memungkinkan, menghindari makan dalam posisi terlentang, menghindari paparan dari anak yang diketahui menderita OME, menghindari alergen dikenal. Penelitian dari Kouwen dan Dejonckere menunjukkan penurunan prevalensi 40% pada anak-anak dari Belanda dengan otitis media efusi yang secara rutin (setidaknya mingguan) mengunyah permen karet.(12) Indikasi dilakukan intervensi operasi apabila OME berlangsung lebih dari 3 bulan karena pada lebih dari setengah kasus mengalami resolusi spontan dalam waktu 3 bulan(13). Rekomendasi pedoman klinis bagi intervensi operasi dari The American Academy of Family Physicians (AAFP), American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS), dan American Academy of Pediatrics (AAP) adalah sebagai berikut : 1. Ketika terdapat indikasi operasi pada seorang anak, penempatan tuba timpanostomi adalah prosedur awal yang dianjurkan; 2. Adenoidektomi tidak boleh dilakukan, kecuali ada terdapat indikasi misalnya, sumbatan hidung, dan adenoiditis kronis; 3. Operasi ulang terdiri dari adenoidektomi ditambah miringotomi, dengan atau tanpa penembatan tuba; 4. Tonsilektomi atau miringotomi saja tidak berguna untuk mengobati otitis media efusi. Tonsilektomi dan miringotomi harus sesuai dengan indikasi.(12) Terapi farmakologi untuk OME meliputi antibiotik, steroid, antihistamin, dekongestan dan mukolitik(14). Meskipiun OME didefinisikan sebagai keadaan terkumpulnya sekret nonpurulen pada telinga tengah dengan membran timpani yang utuh dan tanpa adanya tandatanda radang(1). Namun, Khoramrooz ss, dkk dari Department of Microbiology, School of Medicine, Tehran University of Medical Sciences, Iran pada tahun 2012 melakukan penelitian untuk mendeteksi mikro organisme pada pasien OME dengan metode PCR dan kultur. Sample terdiri dari 63 cairan telinga tengah dari 48 penderita OME yang 15

diantaranya mengalami OME bilateral. Hasilnya bakteri positif pada 47% kasus (4) . Sebelumnya pada tahun 2008, Yeo SG dkk. Department of Otolaryngology, College of Medicine, Kyung Hee University, Korea melakukan deteksi bakteri pada cairan tengah 58 pasien OME menggunakan metode kultur standard dan PCR. Dari sample didaptkan bakteri positif dari 41% cairan telinga penderita OME yang dideteksi dengan PCR dan 20,6% pada kultur standar (14) . Meskipun ada petunjuk klinis penatalaksanaan OME yang ditulis oleh Rosenfeld pada tahun 2006 dinyatakan untuk men ghindari penggunaan antibiotik untuk terapi OME (5) . Dan resolusi spontan juga terjadi pada lebih dari 50% kasus dalam waktu 3 bulan (13) . Namun hasil meta analisis yang melibatkan 1041 anak dengan OME mendapatkan bahwa resolusi lebih banyak terjadi pada ana k yang mendapat terapi antibiotik dibanding plasebo. Namun perbedaan hanya

didapatkan pada minggu ke 2 hingga minggu ke 5, namun pada evaluasi pada minggu ke 6 11 tidak didapatkan adanya perbedaan (15) . Tetapi antibiotik tetap dianjurkan untuk diberikan pada pasien OME kronis (3 bulan atau lebih OME bilateral atau 6 bulan atau lebih OME unilateral) yang dipertimbangkan untuk dilakukan operasi. Pemberian 1 kali terapi jangka pendek antibiotik mungkin dapat membatalkan atau setidaknya menunda prosedur operasi. Selain itu terapi antibiotik dapat membantu meringankan gejala pada anak yang memiliki kontra indikasi untuk dilakukan operasi atau operasi harus ditunda(16) . Pada pasien dengan gangguan pendengaran yang telah berlangsung 2-3 bulan pada anak usia lebih dari 2 tahun, antibiotik wajib diberikan sesuai dengan hasil uji resistensi bakteri dari aspirasi nasofaring(17). Pemilihan antibiotika idealnya didasarkan pada kuman penyebab,namun hal ini

sangat sulit dilaksanakan, karena pemeriksaan biakan kuman dan uji sensitifitas tidak dapat dilakukan pada setiap kasus. Khoramrooz ss, dkk Department of Microbiology, School of Medicine, Tehran University of Medical Sciences, Iran..pada tahun 2012 melakukan penelitian untuk mendeteksi mikro organisme pada pasien OME dengan metode PCR dan kultur. Sample terdiri dari 63 cairan telinga tengah dari 48 penderita OME yang 15 diantaranya mengalami OME bilateral. A. otitidis, S. pneumoniae, H. influenzae dan M. catarrhalis adalah bakteri patogen utama yang paling banyak ditemukan pada pasien OME (4). Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Mahadevan M dkk Starship Children's Hospital,

Auckland, New Zealand pada tahun 2012, streptococcus pneumoniae dan haemophillus influenza adalah penyebab terbanyak otitis media pada anak-anak di asia pasifik(18). Tidak ada petunjuk klnis ataupun hasil konsensus yang menyatakan terapi antibiotik lini pertama untuk OME. Untuk setiap pasien harus dipertimbangkan riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya, usia, serta berat badan. Bila pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap golongan penicillin dan belum mendapat terapi antibiotik sebelumnya, dapat diberikan amoxicillin. Apabila sebelumnya pasien telah mendapatkan antibiotik dapat dipertimbangkan untuk diberikan amoxicillin dengan asam klavulanat atau cephalosporin golongan II atau III. Antibiotik diberikan selama 10 hari. Pengobatan yang lebih dari 10 hari tidak menunjukkan manfaat penyembuhan pada pasien OME (19). Pertemuan tahunan American College of Allergy, Asthma & Immunology (ACAAI) 2011 menyatakan bahwa resolusi OME lebih cepat terjadi dengan pemberian nasal steroid dibanding antibiotik yang tepat. Hal ini disimpulkan dari penelitian yang dilakukan pada anak dengan atopi usia 6-11 tahun dengan OME yang dibagi menjadi 2 grup. 1 grup menerima pengobatan berupa 2 semprot ciclesonide 50 g/hari dan grup lainnya menerima terapi amoxiciliin dan asam klavulanat 90mg/kg yang dibagi menjadi 2 dosis yang diberikan setiap 12 jam. Kedua terapi diberikan selama 2 minggu. Efektivitas kedua terapi dinilai dengan otoskopi pneumatic, timpanometri impedans serta audiometric. Hasilnya didapatkan resolusi terjadi pada hari ke 8 pada anak yang menerima nasal steroid dan pada hari ke 14 pada anak dengan terapi antibiotik(20). Cantekin dkk (1983) melakukan perbandingan penggunaan kombinasi dekongestan oral dan antihistamin (pseudoephedrine hydrochloride 4mg/kg BB/hari dan

chlorpheniramine maleate 0.35 mg/kg BB/hari) dengan plasebo pada 533 bayi dan anak yang terkena OME. Setelah 4 minggu pemberian, didapatkan resolusi terjadi pada 38% pasien yang mendapat kombinasi dekongestan serta antihistamin dan 34% pada pasien penerima plasebo. Sehingga disimpulkan kombinasi dekongestan dan antihistamin tidak efektif untuk pengobatan OME(21). Metaanalisis yang dilakukan oleh Griffin G; Flynn CA pada 2011 mengkonfirmasi temuan ini. Percobaan terkontrol menggunakan dekongestan, antihistamin serta kombinasi dekongestan dan antihistamin dilakukan pada anak-anak dengan OME. Anak-anak dengan riwayat OMA dieksklusi. Hasil temuan menunjukkan dari 1880 partisipan, tidak didapatkan manfaat secara statistik ataupun klinis setelah pemberian(22).

Penggunaan antihistamin dan dekongestan oral dapt dipertimbangkan pada pasien dengan keluhan hidung tersumbat, rinore, sinusitis, ataupun gejala-gejala alergi lainnya. Antihistamin bekerja mencegah degranulasi sel mast dan pelepasan histamine yang menyebabkan edema mukosa yang akan berakibat peningkatan obstruksi nasal dan produksi mucus(15).

BAB III KESIMPULAN Otitis media dengan Efusi (OME) adalah keadaan terkumpulnya sekret non-purulen di telinga tengah dengan membran timpani yang utuh tanpa tanda dan gejala infeksi(1). OME adalah penyebab tersering gangguan pendengaran pada anak yang dapat bermanifestasi sebagai defisit atensi, gangguan perilaku, penurunan prestasi belajar, atau pada anak yang lebih kecil dapat terjadi keterlambatan berbicara bila mengenai kedua telinga (2) . Penelitian oleh Khoramrooz ss, dkk dari Department of Microbiology, School of Medicine, Tehran University of Medical Sciences, Iran pada tahun 2012 melakukan penelitian untuk mendeteksi mikro organisme pada pasien OME dengan metode PCR dan kultur. Sample terdiri dari 63 cairan telinga tengah dari 48 penderita OME yang 15 diantaranya mengalami OME bilateral. Hasilnya bakteri positif pada 47% kasus OME (4) . Oleh karena itu antibiotik dapat diberikan untuk terapi OME. Hal ini didukung oleh hasil metaanalisis yang melibatkan 1041 anak dengan OME mendapatkan bahwa resolusi lebih banyak terjadi pada anak yang mendapat terapi antibiotik dibanding plasebo (15) . Tidak ada petunjuk klnis ataupun hasil konsensus yang menyatakan terapi antibiotik lini pertama untuk OME. Untuk setiap pasien harus dipertimbangkan riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya, usia, serta berat badan. Bila pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap golongan penicillin dan belum mendapat terapi antibiotik sebelumnya, dapat diberikan amoxicillin. Apabila sebelumnya pasien telah mendapatkan antibiotik dapat dipertimbangkan untuk diberikan amoxicillin dengan asam klavulanat atau cephalosporin golongan II atau III. Antibiotik diberikan selama 10 hari. Pengobatan yang lebih dari 10 hari tidak menunjukkan manfaat penyembuhan pada pasien OME (19).

DAFTAR PUSTAKA

1. Iskandar, Nurbaiti et al. Kelainan Telinga Tengah, dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Teling Hidung Tenggorok Kepala dan Leher,edisi 6,FKUI,2010;h.54-7 2. Higler, Adams Boies. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : Penerbit Buku kedokteran EGC. Hlm 98 3. Williamson, Ian. Otitis media with effusion in children. Available at:

http://bestpractice.bmj.com/best-practice/evidence/background/0502.html 4. Jung H; Lee SK; Cha SH; Byun JY; Park MS; Yeo SG. Current bacteriology of chronic otitis media with effusion: high rate of nosocomial infection and decreased antibiotic sensitivity. Available at:

http://reference.medscape.com/medline/abstract/19715725 5. Rosenfeld RM, Culpepper L, Doyle KJ, Grundfast KM, Hoberman A, Kenna MA. Clinical practice guideline: Otitis media with effusion. Otolaryngol Head Neck Surg. May 2004;130(5 Suppl):S95-118. 6. Anonym. BAB II Tinjauan Kepustakaan. Available at :

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27175/.../Chapter%20II.pdf. accessed on 19 September 2012 7. Helmi. 2005. Otitis Media Supuratif Kronis. Jakarta : Balai Penerbit FKUI 8. Anonym. Anatomi telinga. Available at .Accessed on : 18

http://www.scribd.com/doc/51987920/ANATOMI-TELINGA September 2012

9. Sloane ethel. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. EGC. Jakarta. 2004. 10. Anonym. Ilmu Penyakit & Anatomi, Fisiologi THT (Telinga Hidung Tenggorokan). Available at: http://www.e-jurnal.com/ilmu-penyakit-anatomi-fisiologi-tht-telingahidung-tenggorokan/. Accessed on : 20 September 2012 11. Thrasher RD. Otitis Media With Effusion. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/858990-overview#a0104. Updated: Oct 7, 2011. Accessed on 20 September 2012 12. Thrasher RD. Otitis Media With Effusion Treatment & Management.

http://emedicine.medscape.com/article/858990-treatment#showall. Updated: Oct 7, 2011. Accessed on 20 September 2012.

13. Williamson I. Otitis media with effusion in children. Clin Evid. 2011. Available at : http://reference.medscape.com/medline/abstract/21477396. Accessed on 26 September 2012. 14. Yeo SG; Park DC; Lee SK; Cha CI. Relationship between effusion bacteria and concentrations of immunoglobulin in serum and effusion fluid in otitis media with effusion patients. Int J Pediatric Otorhinolaryngol. 2008; 72(3):337-42 available at : http: // reference.medscape.com/medline/abstract/18242717. Accessed on 23 september 2012. 15. Thrasher RD. Otitis Media With Effusion Treatment and Management. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/858990-treatment#aw2aab6b6b3. Oct 7, 2011. Accessed on 20 September 2012 16. Mandel EM; Casselbrant ML. Antibiotics for otitis media with effusion. Minerva Pediatr. 2004; 56(5):481-95. Available at: http://reference.medscape.com/medline/abstract/15459573. Accessed on 23 september 2012. 17. Corbeel L. What is new in otitis media. Eur J Pediatr. 2007; 166(6):511-9 Available at: http://reference.medscape.com/medline/abstract/17364173. Accessed on 20 september 2010. 18. Mahadevan M; Navarro-Locsin G; Tan HK et al. A Review of The Burden of Disease Due to Otitis Media in The Asia-Pacific. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. 2012; 76(5):623-35 available at: http://reference.medscape.com/medline/abstract/22404948. Accessed on: 30 September 2012. 19. Waseem Muhammad, MD. Otitis Media Treatment and Management. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/994656-treatment. Updated on: December 8, 2010. Accessed on: 20 september 2010. 20. American College of Allergy, Asthma & Immunology (ACAAI) 2011 Annual Scientific Meeting: Abstract 62. Presented November 6, 2011. Available at: http: //www.medscape.com/viewarticle/754040. Accessed on: 22 September 2012 21. Cantekin EI, Mandel EM, Bluestone CD, et al. Lack of efficacy of a decongestantantihistamine combination for otitis media with effusion ("secretory" otitis media) in children. Results of a double-blind, randomized trial. N Engl J Med. Feb 10 1983;308(6):297-301 Updated:

22. Griffin G, Flynn CA. Antihistamines and/or decongestants for otitis media with effusion (OME) in children.Cochrane Database Syst Rev. Sep 7 2011;9:CD003423

Anda mungkin juga menyukai