Anda di halaman 1dari 10

BAB I PENDAHULUAN

A. Pendahuluan Salah satu persoalan mendasar kehidupan bernegara dalam proses penyelenggaran pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah adalah bagaimana membangun atau menciptakan mekanisme pemerintahan yang dapat mengemban misinya untuk mewujudkan raison deetre pemerintahan yaitu mensejahterakan kesejahteraan masyarakat masyarakat secara tersebut, berkeadilan. pemerintah Untuk harus mewujudkan melaksanakan

pembangunan. Selain untuk memelihara keabsahannya (legitimasi), pemerintah juga akan dapat membawa kemajuan bagi masyarakatnya sesuai dengan perkembangan jaman. Terdapat dua hal yang harus dilaksanakan oleh pemerintah, pertama perlu aspiratif terhadap aspirasi-aspirasi yang disampaikan oleh masyarakatnya, dan perlu sensitive terhadap kebutuhan rakyatnya. Pemerintah perlu mengetahui apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya serta mau mendengarkan apa kemauannya. Kedua pemerintah perlu melibatkan segenap kemauan dan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Dengan kata lain pemerintah perlu menempatkan rakyat sebagai subjek pembangunan, bukan hanya sebagai objek pembangunan. Seiring dengan penerapan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah atau yang lebih dikenal dengan otonomi daerah, maka peran daerah menjadi sangat penting artinya bagi upaya meningkatkan peran serta dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Semangat seperti itulah yang saat ini terus bergulir ditengah-tengah masyarakat, meskipun dalam prakteknya belum sebagaimana yang diharapkan banyak pihak. Barangkali itulah proses yang harus dilalui secara bertahap dan berkesinambungan untuk bisa menghasilkan sesuatu yang lebih baik.

Kalau merujuk pada UU No 22 Tahun 1999, yang dimaksud otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain bahwa otonomi daerah memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri, termasuk bagaimana suatu daerah melakukan perencanaan pembangunan di daerahnya masing-masing. B. Permasalahan Pengalaman yang telah lalu, program-program pembangunan banyak diturunkan dari atas dan masyarakat tinggal melaksanakan. Program itu direncanakan oleh lembaga penyelenggara program tanpa melibatkan secara langsung warga masyarakat yang menjadi sasaran program tersebut. Kita menyadari bahwa perencanaan program semestinya dimulai dengan suatu penjajagan kebutuhan (need assessment) masyarakat, namun hal itu sering dilaksanakan hanya berdasarkan suatu survei (penelitian konvensional) yang dilakukan oleh petugas lembaga, atau oleh ahli-ahli dari lembaga penelitian atau perguruan tinggi. Berbagai kritik sering dilontarkan terhadap pola pengembangan program yang masih diturunkan dari atas ke bawah seperti itu. Kritik itu antara lain: 1. Kritik dalam pola tersebut sering terjadi kesenjangan antara peneliti/para pemrakarsa dan para pelaksanan program. Penelitian yang terlalu bersifat akademis seringkali diwarnai wawasan, pikiran, dan pandangan peneliti sendiri, yang sering tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Dengan sendirinya program yang disusun berdasarkan penelitian itu akan berangkat dari asumsi yang keliru, sehingga programnya tidak menyentuh kebutuhan-kebutuhan yang sesungguhnya dirasakan oleh masyarakat. 2. Kritik lain adalah bahwa keterlibatan masyarakat dalam program yang diturunkan berupa paket hanya sekedar sebagai pelaksana, masyarakat tidak merasa sebagai pemilik program karena mereka seringkali tidak melihat

hubungan antara penelitian yang pernah dilakukan dan program yang akhirnya diturunkan. Dengan sendirinya dukungan masyarakat terhadap programprogram seperti itu akan sangat pura-pura, demilkan pula partisipasi mereka. 3. Kritik yang lain lagi adalah keterlibatan masyarakat hanya sebagai pelaksana saja kurang mendidik dan kurang menjamin keberlanjutan program karena prakarsa selalu dating dari luar, dan ketrampilan analitis, perencanaan, dan pengorganisasian tetap dimiliki oleh orang luar. Sebenarnya jika masyarakat dapat dilibatkan secara berarti dalam keseluruhan proses (dari survei awal sampai perencanaan dan pengorganisasian kegiatan program, selain program itu akan menjadi lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat dan rasa kepemilikan warga masyarakat terhadap program akan lebih tinggi, juga ketrampilan analisis dan perencanaan tadi teralihkan kepada masyarakat. Dengan demikian di masa yang akan datang secara bertahap ketergantungan pada pihak luar dalam pengambilan prakarsa dan perumusan program akan bisa dikurangi.

BAB II PEMBAHASAN

A. Perencanaan Pembangunan Partisipatif Perencanaan pembangunan partisipatif adalah perencanaan yang bertujuan melibatkan kepentingan rakyat dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik langsung maupun tidak langsung). Melibatkan masyarakat secara langsung akan membawa tiga dampak penting yaitu: 1. Terhidar dari peluang terjadinya manipulasi. Keterlibatan rakyat akan memperjelas apa yang sebetulnya dikehendaki masyarakat. 2. Memberi nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan. Semakin banyak jumlah mereka yang terlibat akan semakin baik. 3. Meningkatkan kesadaran dan ketrampilan politik masyarakat. Salah satu pola pendekatan perencanaan pembangunan yang kini sedang dikembangkan adalah perencanaan pembangunan partisipatif. Salah satu contoh Pemerintah Kota atau Kabupaten telah mencoba melakukan perencanaan pembangunan partisipatif didalam kerangka menggali aspirasi yang berkembang di masyarakat melalui musyawarah tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan, kota dan kabupaten. Sebuah langkah positif yang patut dikembangkan lebih lanjut, apalagi hal seperti itu masih dalam taraf pembelajaran yang tentu saja disana-sini masih terdapat kelemahan baik dalam tataran konsep maupun implementasinya di masyarakat. Perencanaan pembangunan partisipatif merupakan pola pendekatan perencanaan pembangunan yang melibatkan peran serta masyarakat pada umumnya bukan saja sebagai obyek tetapi sekaligus sebagai subyek pembangunan, sehingga nuansa yang dikembangkan dalam perencanaan pembangunan benar-benar dari bawah (bottom-up approach). Nampaknya mudah dan indah kedengarannya, tetapi jelas tidak mudah implementasinya karena banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, termasuk bagaimana sosialisasi konsep itu di tengah-tengah masyarakat.

Meskipun demikian, perencanaan pembangunan yang melibatkan semua unsure atau komponen yang ada dalam masyarakat tanpa membeda-bedakan ras, golongan, agama, status sosial, pendidikan, tersebut paling tidak merupakan langkah positif yang patut untuk dicermati dan dikembangkan secara berkesinambungan baik dalam tataran wacana pemikiran maupun dalam tataran implementasinya di tengah-tengah masyarakat. Sekaligus, pendekatan baru dalam perencanaan pembangunan ini yang membedakan dengan pola-pola pendekatan perencanaan pembangunan sebelumnya yang cenderung sentralistik. Dengan era otonomi daerah yang tengah dikembangkan di tengah-tengah masyarakat dengan asas desentralisasi ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dalam pengertian yang luas menjadi semakin baik dan meningkat. Lagipula, pola pendekatan perencanaan pembangunan ini sekaligus menjadi wahana

pembelajaran demokrasi yang sangat baik bagi masyarakat. Hal ini tercermin bagaimana masyarakat secara menyeluruh mampu melakukan proses

demokratisasi yang baik melalui forum-forum musyawarah yang melibatkan semua unsur warga masyarakat mulai dari level RT (Rukun Tetangga), RW (Rukun Warga), Kelurahan, Kecamatan, sampai Kota dan Kabupaten.

B. Penggerak Pembangunan Dalam pola pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif yang sedang dikembangkan ini pada dasarnya yang menjadi ujung tombak dan sekaligus garda terdepan bagi berhasilnya pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif tiada lain adalah sejauhmana keterlibatan warga termasuk pengurus RT dan RW dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program-program pembangunan yang ada di lingkup RT dan RW tersebut. Lembaga organisasi RT dan RW sebagai sebuah lembaga masyarakat yang bersifat pengabdian yang dikelola oleh pengurus RT dan RW ini benar-benar patut diacungi jempol karena pengabdian, ketulusan dan keikhlasan yang dilakukan bagi kepentingan masyarakat semata-mata dan jauh dari berbagai kepentingan pribadi. Barangkali pada level-level seperti inilah pembelajaran

demokratisasi warga diimplementasikan bagi kepentingan warga masyarakat sekitarnya. Warga masyarakat yang mengajukan usulan program kegiatan, warga masyarakat pulalah yang melakukan dan sekaligus melakukan pengawasannya. Kesederhanaan, kebersamaan, dan kejujuran diantara warga yang sangat majemuk barangkali menjadi kata kunci perekat diantara mereka. C. Harapan dan Tantangan Nuansa demokratis benar-benar nampak diberbagai forum musyawarah tingkat RT dan RW. Kesadaran dan kebersamaan yang tumbuh dan berkembang dengan baik pada organisasi paling bawah ini paling tidak merupakan modal dasar yang sangat berharga bagi pembangunan masyarakat di daerah pada umumnya. Tetapi, kondisi yang ada di lingkup RT maupun RW sekaligus bisa menjadi kendala atau ganjalan manakala aspirasi yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat level bawah ini terabaikan begitu saja. Jangan sampai manis di mulut tetapi sepi dalam realitas. Apabila hal ini terjadi, maka pola pendekatan perencanaan pembangunan partisipatif hanya tinggal sebagai sebuah slogan yang manis dibicarakan, namun pahit dalam tataran pelaksanaannya. Sebagai sebuah gambaran sederhana, misalnya ketika akan

diselenggarakan Musyawarah Kelurahan Membangun (Muskelbang) maka setiap RT dan RW harus mempersiapkan usulan-usulan program yang akan dilakukan untuk suatu periode tertentu baik berupa usulan kegiatan yang bersifat fisik maupun nonfisik. Usulan program yang diajukan oleh RT dan RW tersebut selanjutnya dibawa ke level kelurahan untuk dibahas lebih lanjut ke forum Muskelbang. Forum inilah diharapkan menjadi ajang pembelajaran demokratisasi para warga di level kelurahan. Musyawarah yang dilakukan mulai level Kelurahan, Kecamatan, dan Kota tiada lain dimaksudkan untuk menjaring semua aspirasi yang berkembang dari berbagai komponen masyarakat yang ada tanpa terkecuali untuk ikut serta merencanakan, melaksanakan, dan melakukan pengawasan program

pembangunan daerahnya masing-masing. Apa yang dimusyawarahkan pada forum-forum tersebut bukan saja usulan program kegiatan yang bersifat program

fisik tetapi juga yang bersifat non-fisik, termasuk didalamnya sejumlah indicator keberhasilan dan besaran dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Pertanyaan yang sering muncul dari warga masyarakat lapisan bawah ini adalah apakah program kegiatan yang diusulkan yang bersumber dari musyawarah di tingkat RT dan RW tersebut nantinya akan terealisir? Pertanyaan polos dan lugas yang muncul dari lubuk hati yang paling dalam warga masyarakat tersebut tentunya wajar dan sah-sah saja. Oleh karena, umumnya mereka sangat berharap bahwa apa yang diusulkan tersebut dapat terealisir, sehingga akan mampu memperbaiki kondisi lingkungan masyarakat di sekitarnya. Akan tetapi, di sisi yang lain pemerintah daearah memiliki kendala klasik yaitu keterbatasan anggaran bagi pembangunan daerah. Disamping itu, masyarakat sendiri juga tidak pernah tahu seberapa besar pemerintah daearah mampu menghasilkan penerimaan (pendapatan) bagi APBDnya dan akan dialokasikan pada kegiatan apa. Ini berarti bahwa sosialisasi memiliki arti yang sangat penting bagi warga masyarakat. Mengingat berbagai keterbatasan yang ada (sumber dana), maka pemerintah biasanya menggunakan strategi penetapan Daftar Skala Prioritas (DSP). Dalam artian bahwa pemerintah hanya akan melaksanakan atau membiayai program kegiatan yang memang menjadi skala prioritas utama pembangunan di daerah. Sikap-sikap tersebut jelas akan menghambat gerak pembangunan di suatu daerah. Oleh karenanya, salah satu gagasan yang barangkali dapat membantu meredam kekecewaan masyarakat adalah dengan menempatkan skala prioritas pembangunan berdasarkan periodisasi (jenjang waktu), katakanlah tahun pertama, kedua dan seterusnya. Kalau periodisasi ini bisa dilakukan maka masyarakat akan tetap memiliki motivasi yang tinggi karena mereka tahu bahwa usulan kegiatannya akan tetap dapat dilaksanakan, meskipun tidak periode sekarang (misalnya). Disisi lain, masyarakat akan memiliki apresiasi yang baik dan positif terhadap pemerintah bahwa ternyata pemerintah benar-benar memiliki komitmen yang tinggi terhadap masyarakat pada umumnya. Ini merupakan modal dasar

pembangunan yang sangat berharga bagi pembangunan masyarakat kedepan, tumbuhnya kepercayaan terhadap pemerintahannya sendiri.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Seiring dengan penerapan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah atau yang lebih dikenal dengan otonomi daerah, maka peran daerah menjadi sangat penting artinya bagi upaya meningkatkan peran serta dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Perencanaan pembangunan partisipatif adalah perencanaan yang bertujuan melibatkan kepentingan rakyat dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik langsung maupun tidak langsung). Sebenarnya jika masyarakat dapat dilibatkan secara berarti dalam keseluruhan proses (dari survei awal sampai perencanaan dan pengorganisasian kegiatan program, selain program itu akan menjadi lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat dan rasa kepemilikan warga masyarakat terhadap program akan lebih tinggi, juga ketrampilan analisis dan perencanaan tadi teralihkan kepada masyarakat. Dengan demikian di masa yang akan datang secara bertahap ketergantungan pada pihak luar dalam pengambilan prakarsa dan perumusan program akan bisa dikurangi. B. Saran-saran Saya selaku pemakalah mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran dari semuanya agar makalah ini dapat dibuat dengan lebih baik lagi. Dan mudahmudahan ini dapat bermanfaat bagi kita sebagai mahasiswa, umumnya bagi semuanya.

DAFTAR PUSTAKA

Website. Departemen Sosial RI. http://www.mirror.depsos.go.id/, Di akses, 3 November 2007. Solihin, D. 2006. Perencanaan Pembangunan Partisipatif. Makalah disampaikan pada Pelatihan Aparatur Pemerintahan Daerah. Jakarta, 27 Desember 2006. Khairuddin. 1992. Pembangunan Masyarakat. Tinjauan Aspek; Sosiologi, Ekonomi, dan Perencanaan. Liberty: Yogyakarta.

10

Anda mungkin juga menyukai