Anda di halaman 1dari 36

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG Pada tahun 2004 terdapat kurang lebih 12.000 penderita MG di Indonesia. MG 1 MG merupakan salah satu penyakit autoimun yang dapat menyebabkan kematian, misalnya bila terjadi kelumpuhan pada otot-otot pernafasan. Penatalaksanaan yang tepat terhadap penyakit ini bisa mencegah komplikasi yang berbahaya.
MG 2

Namun dengan obat-obatan dan terapi yang ada saat ini, sebagian besar penderita tetap melaporkan berbagai keluhan seperti misalnya kelumpuhan pada matanya. Selain itu efek samping obat-obat yang digunakan untuk MG di Indonesia cukup merugikan, misalnya mestinon memiliki efek samping mual, muntah, meningkatkan sekresi saliva, diare, dan perut keram; prostigmin memiliki efek samping meningkatkan sekresi saliva, fasikulasi, pusing, konvulsi, mengatuk, sakit kepala, disatria, perubahan penglihatan, aritmia jantung, sinkop, meningkatkan sekresi membran mukosa, gagal napas, bronkospasme, mual, muntah, serta spasme GI tract dan hipermotilitas; neostigmine memiliki efek samping aritmia jantung, hipotensi, gagal jantung, sakit kepala, konvulsi, koma, susah tidur, bicara tidak beraturan, agitasi, cemas, mual, muntah, diare, perut keram, meningkatkan peristaltik, defekasi dan urinasi involunter, sekresi bronkial, bronkospasme, depresi napas, wheezing, ruam, dan urtikaria.
(?)

Indonesia sendiri merupakan negara tropis kaya akan berbagai tanaman obat. Namun, hanya beberapa dari tanaman obat tersebut yang telah didayagunakan dengan tepat laksana. Salah satu tanaman obat tersebut adalah akar kucing (Acalypha indica, Linn) yang merupakan tanaman liar dari keluarga Euphorbiaceae yang ditemukan di seluruh daerah tropis di dunia, termasuk Indonesia, Malaysia, dan India. 1,2,3,4
(AK)

Tanaman ini

dikenal dengan nama cekamas di daerah Sumatera. Selain itu dikenal pula dengan nama lelatang, kucingkucingan, rumput bolong-bolong, dan rumput kokowngan di daerah Jawa. Namun, umumnya dipakai nama kucing-kucingan sebagai nama dagang.1 (AK) Bagian tanaman ini yang dapat digunakan adalah daun, akar, ranting, dan bunganya.2
(AK)

Selama

berabad-abad, akar kucing telah digunakan untuk merawat sejumlah penyakit, seperti bronkitis, asma, pneumonia, rematik, purgatif, antiparasit, antibakteri, antifungal, dan antihelmintes, termasuk sebagai ekspektoran, diuretik (Varies et al. 1996).4 (AK) Tanaman ini pun memiliki aksi katartik, hemostatik, emetik, anodin, dan hipnotis.2 (AK) Selain itu, di Indonesia, daun Acalypha indica digunakan untuk pencahar dan obat sakit mata.1 (AK) Ekstrak dari tanaman ini juga telah mendapat reputasi sebagai linimentum yang baik dalam perawatan artritis dan sifilis.3(AK) Selain itu, juga digunakan untuk perawatan anak malnutrisi, penderita gangguan pencernaan makanan (dispepsi), perdarahan, seperti epistaksis, hematemesis, melena, dan hematuria, serta penyakit malaria, dan konstipasi.

Rebusan akar kucing ini sendiri sudah digunakan sebagai obat untuk mengatasi diare di India. 5 Selain itu rebusan akar tanaman ini sendiri juga sudah diuji coba dapat menurunkan kadar asam urat darah. 6 Percobaan yang telah dilakukan menunjukan bahwa rebusan akar dari tumbuhan akar kucing tidak bersifat toksik. 5 Namun tanaman ini belum pernah digunakan sebagai terapi untuk pengobatan kelumpuhan otot misalnya seperti pada penyakit myasthenia gravis. Oleh karena tanaman akar kucing ini belum pernah diujicobakan untuk mengatasi gangguan tersebut, studi pustaka untuk memperkaya analisis sulit dilakukan. Berdasarkan ide awal, penelitian ini mulanya diarahkan pada penyakit stroke karena secara empiris tanaman ini berkhasiat membantu penyembuhan gejala sisa pasca stroke. Namun, belum ada model penelitian yang menyerupai penyakit tersebut. Model penelitian mengikuti hasil uji awal ekstrak akar tanaman Acalypha indica secara eks vivo dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh kelompok lain, dengan judul Efek Neuroterapi Ekstrak Rebusan Akar Acalypha indica linn (akar kucing) secara Eks Vivo. Model penelitian tersebut menggunakan pankuronium bromida sebagai pelumpuh yang bekerja di neuromuscular junction pada katak. Penggunaan pankuronium bromide sebagai pelumpuh otot yang bekerja di neuromuscular junction lebih dikaitkan dengan penyakit myasthenia gravis. Karena itu penelitian selanjutnya lebih diarahkan pada penyakit myasthenia gravis. Penelitian ini didahului dengan membuktikan bahwa ekstrak akar tanaman Acalypha indica pada dosis 25 mg dapat mengatasi kelumpuhan akibat pankuronium bromida pada katak. 1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah ekstrak rebusan akar tanaman akar kucing (ratak) per oral dapat mengurangi kelumpuhan otot pada hewan percobaan (katak) setelah penyuntikan pankuronium bromida? 1.3 HIPOTESIS PENELITIAN Ekstrak akar tanaman Acalypha indica dapat mengurangi kelumpuhan otot pada hewan percobaan (katak) akibat penyuntikan pankuronium bromida. 1.4 TUJUAN PENELITIAN 1.4.1 Tujuan Umum Ekstrak akar tanaman Acalypha indica dapat mengurangi kelumpuhan otot pada hewan percobaan (katak) akibat penyuntikan pankuronium bromida. 1.4.2 Tujuan Khusus

Ekstrak akar tanaman Acalypha indica pada dosis tertentu dapat mengurangi kelumpuhan otot pada hewan percobaan (katak) akibat penyuntikan pankuronium bromida.

1.5 MANFAAT PENELITIAN 1.5.1 Manfaat bagi Peneliti

1. Memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam membuat suatu penelitian. 2. Menggali pengetahuan tentang efek ekstrak akar tanaman Acalypha indica terhadap kelumpuhan di neuromuscular junction. 3. Menyelesaikan tugas utama pendidikan secara sistematis dan integratif.

1.5.2

Manfaat bagi Perguruan Tinggi

1. Mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam melaksanakan fungsi perguruan tinggi sebagai lembaga penyelenggaraan pendidikan, terutama dalam penelitian, dan pengabdian masyarakat 2. Turut berperan serta dalam rangka mewujudkan Visi FKUI 2010 sebagai universitas riset. 3. Meningkatkan kerjasama yang harmonis serta komunikasi antara mahasiswa dan staf pengajar serta tenaga pendukung baik di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia maupun di lingkungan Universitas Indonesia. 1.5.3 Manfaat bagi masyarakat

1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pengobatan penyakit myastenia gravis atau kelumpuhan di neuromuscular junction dengan tanaman akar kucing. 2. Meningkatkan upaya pencegahan terhadap penyakit yang lebih baik (terutama myastenia gravis) daripada mengobati dengan menggunakan akar kucing. 3. Mengembangkan budidaya tanaman obat asli Indonesia terutama Acalypha indica agar menjadi primadona tanaman berkhasiat di dalam negeri maupun luar negeri.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Acalypha indica Linn.

Gambar . Tanaman Acalypha indica Linn.[4drtempatstella]

Tanaman yang memiliki nama umum kucing-kucingan atau akar kucing ini merupakan gulma yang sangat umum ditemukan tumbuh liar di pinggir jalan, lapangan rumput, maupun di lereng bukit atau gunung pada daerah tropis. [1,2, 5, 6]

2.1.1 Taksonomi [6] Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae Kelas Bangsa Suku Famili : Dicotyledoneae : Euphorbiales : Euphorbiaceae : Acalypha

Jenis

: Acalypha indica Linn.

2.1.2 Deskripsi [1, 6] Habitus Batang Daun : Semak, tinggi 30-50 cm. : Tegak, masif, bulat, bercabang, berambut halus, berwarna hijau. : Tunggal, letak tersebar, bentuk belah ketupat, ujung runcing, pangkal membulat, tipis, tepi bergerigi, pertulangan menyirip, panjang 3-4 cm, lebar 2-3 cm, tangkai panjang silindris, berwarna hijau. Bunga : Majemuk, bentuk bulir, berkelamin satu, terletak di ketiak daun dan ujung cabang, kecil-kecil, dalam rangkaian berbentuk bulir, bulir betina lebih pendek, daun pelindung menjari, terbagi dalam 5-15 taju yang sempit, bunga jantan duduk dalam gelendong sepanjang sumbu bulir, bakal buah beruang tiga, berambut, tangkai putik silindris, putih kehijauan atau merah pucat, mahkota bulat telur, merah, bertaju, berambut. Buah Biji Akar : Kotak, bulat, berwarna hitam. : Bulat panjang, berwarna coklat. : Tunggang, berwarna putih kotor.

2.1.3 Kandungan Tanaman ini mengandung acalyphine, sinogenik glikosida, inositol metileter, resin, triacetonamine, minyak volatil, saponin, tanin, flavonoida, dan minyak atsiri. [5, 6]

Gambar . Struktur kimia acalyphin [7]

2.1.4 Kegunaan Tanaman ini berkhasiat sebagai antiinflamasi, antibiotik, anthelmintik, diuretik, laksatif dan hemostatis.[1, 3, 4] Ekstrak daun dan akar tanaman Aacalypha indica memiliki potensi aktivitas antifungal dan antibakteri secara in vitro.[4,5] Tanaman ini dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan disentri basiler, disentri amuba, diare, dispepsia, epistaksis, hematemesis, melena, hematuria, malaria.[1]

2.2 Rana pipiens 2.2.1 Taksonomi Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Amphibia : Anura : Ranidae : Rana : Pipiens1

2.2.2 Sistem Persarafan Katak memiliki sistem persarafan yang sudah berkembang dengan baik, terdiri dari otak, tulang belakang dan saraf-saraf perifer. Bagian-bagian saraf sistem saraf tersebut bisa disamakan dengan manusia. Medula mengatur fungsi pencernaan dan pernafasan. Postur tubuh dan koordinasi pergerakan otot diatur oleh cerebellum. Cerebrum pada katak berukuran kecil.2 2.2.3 Sistem Pencernaan dan Absorbsi Tempat pencernaan dimulai adalah di mulut, sama seperti pada manusia. Mulut katak dilengkapi dengan gigi yang lemah dan hampir tidak berguna. Lidah pada katak sangat khusus, biasanya dilipat ke belakang dan bisa memanjang ke luar untuk menangkap mangsa karena memiliki permukaan lengket. Makanan yang masuk akan melewati esophagus, lambung dan selanjutnya ke usus halus dimana proses pencernaan paling banyak terjadi. Berbagai kelenjar, hati dan pancreas akan mengeluarkan sekretnya di usus halus. Sebagian besar absorbsi juga terjadi di sini. Selanjutnya hasil pencernaan akan dibuang melalui urin bila cair dan kloaka bila padat.2

Gambar . Kerangka Anura (sumber: http://www.infovisual.info/02/028_en.html)

Gambar . Kerangka Anura (sumber: http://www.savalli.us/LSC370/Anatomy/4.FrogSkeletonLabel.html

Gambar . Organ Dalam Anura (sumber: http://student.britannica.com/eb/art-52906/Digestive-system-of-a-frog

2.3 Asetilkolin guyton, ganong,marieb Struktur sederhana asetilkolin adalah asetil ester kolin.ganong Asetilkolin (Ach) berada pada vesikel sinaps yang kecil berukuran kira-kira 40 nanometer, dibentuk oleh aparatus Golgi dalam badan sel motoneuron medula spinalis. Vesikel ini kemudian diangkut oleh aliran aksoplasma melalui inti akson dari badan sel pusat pada medula spinalis menuju sambungan neuromuskular yang terletak di ujung serat saraf. Kira-kira 300.000 vesikelvesikel ini berkumpul di bagian terminal saraf dari sebuah lempeng akhir otot rangka. guyton ACh dilepaskan oleh semua neuron yang menstimulasi otot rangka dan oleh sejumlah neuron dari sistem saraf otonom. Neuron yang melepaskan ACh juga terdapat di sistem saraf pusat.marieb

Gambar . Strukur kimia asetilkolin (sumber: http://www.rathbuc.com/images/acetylcholine.gif) 2.3.1 Sintesis asetilkolin (ganong, guyton, marieb, farmakologi) Sintesis ACh memerlukan reaksi kolin dengan asetil KoA. Kolin adalah amina penting yang juga prekursor dari membran fosfolipid berupa fosfatidilkolin, spingomielin, signaling phospholipids platelet-activating factor, dan spingosilfosforilkolin. Terjadi ambilan aktif kolin melalui transporter ke neuron kolinergik yang tergantung pada Na+ ekstrasel dan dihambat oleh hemikolinium. Kolin juga disintesis dalam neuron. Asetil KoA disintesis dalam mitokondria ujung saraf dan diaktivasi oleh kombinasi senyawa asetat dengan koenzim A yang tereduksi. Reaksi antara asetil KoA dan kolin dikatalisis oleh enzim kolin asetiltransferase (kolinasetilase). Enzim ini disintesis dalam perikarion sel saraf dan ditransporasi sepanjang akson ke ujung saraf. Reaksi pembentukan ACh terjadi dalam sitoplasma ujung saraf. ACh kemudian akan diangkut melalui membran vesikel menuju ke bagian dalamnya, tempat ACh disimpan dalam bentuk sangat pekat, dengan sekitar 10.000 molekul ACh dalam setiap vesikel. Asetil KoA + Kolin 2.3.2 Kolinesterase
Kolin asetiltransferase

Asetilkolin + CoA

marieb

ganong, farmakologi, marieb

Kolinesterase tersebar luas di berbagai jaringan dan cairan tubuh. Terdapat dua macam kolinesterase, yakni asetilkolinesterase (AchE) dan butirilkolinesterase (BuChE). Asetilkolinesterase (juga dikenal sebagai kolinesterase yang spesifik atau kolinesterase yang sejati) terutama terdapat di tempat transmisi kolinergik pada membran pra- maupun pascasinaps, dan merupakan kolinesterase yang memecah ACh. Butirilkolinesterase (juga dikenal sebagai serum esterase atau pseudokolinesterase) terutama memecah butirilkolin dan banyak terdapat dalam plasma dan hati. Enzim ini berperan dalam eliminasi suksinilkolin, suatu obat relaksan otot rangka. Degradasi ACh terjadi melalui hidrolisis ACh menjadi kolin dan asetat. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim asetilkolinesterase. Enzim ini memiliki afinitas terbesar untuk ACh, namun ia juga menghidrolisis kolin ester lainnya.

Gambar . Sintesis dan degradasi asetilkolin (sumber: http://www.frca.co.uk/images/acetylcholine.jpg) 2.3.3 Reseptor Asetilkolin ganong, farmakologi Berdasarkan efek farmakologisnya, reseptor ACh dibagi menjadi dua tipe. Pertama, tipe muskarinik yang efeknya disebut efek muskarinik. Reseptor muskarinik terdapat di organ efektor otonomik, di ganglion, di medula adrenal, di sel tertentu seperti endotel, dan di sistem saraf pusat. Reseptor kolinergik muskarinik ini dihambat olah obat atropin. Reseptor muskarinik memiliki 5 subtipe, yakni M 1, M2, M3, M4, dan M5. M1 di ganglia dan berbagai kelenjar, M2 di jantung dan M3 di otot polos dan kelenjar. Reseptor M4 dan M5 belum jelas diketahui fungsinya. Penempelan ACh dengan bagian eksternal reseptor muskarinik akan menyebabkan bagian internalnya melepaskan protein G ke dalam sel. Protein G inilah yang akan menginisiasi aktivitas lain dalam sel seperti kontraksi otot polos, ekskresi kelenjar, dan lain-lain. Respon terhadap reseptor muskarinik lebih lambat daripada respon terhadap reseptor tipe kedua, yakni reseptor kolinergik nikotinik.

Gambar . Reseptor kolinergik muskarinik (sumber: http://www.nature.com/nrd/journal/v6/n9/images/nrd2379f5.jpg) Aksi dari reseptor kolinergik nikotinik disebut aksi nikotinik. Reseptor nikotinik terdapat di sambungan neuromuskular otot, ganglia otonom, dan sistem saraf pusat. Semua reseptor nikotinik berhubungan langsung dengan kanal kation, aktivasinya menyebabkan peningkatan permeabilitas Na + dan K+ sehingga terjadi depolarisasi. Penempelan ACh dengan bagian eksternal reseptor nikotinik akan menginduksi perubahan konformasi yang secara selektif membuka kanal terhadap ion Na+. Influks dari Na+ inilah yang merangsang terjadinya depolarisasi. Efek nikotinik dihambat oleh nikotin dalam dosis besar. Pada otot rangka, efek nikotinik khusus dihambat oleh kurare.

Gambar . Reseptor kolinergik nikotinik (sumber: www.atsdr.cdc.gov/csem/cholinesterase/nicotinic_receptors.html)

2.4 Sambungan neuromuskular

Serat otot rangka dipersarafi oleh serat saraf besar dan bermielin yang berasal dari motoneuron besar pada kornu anterior dari medula spinalis. Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga sampai beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat sambungan, yang disebut sambungan neuromuskular. Ketika serat otot mendekati pertengahan serat, potensial aksi di dalam serat menjalar dalam dua arah menuju ujung-ujung serat otot. (guyton) Pada sambungan neuromuskular, saraf dan serat otot rangka tidak berkontak secara langsung.
(Sherwood)

Terdapat celah sinaps yang lebarnya 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular yang dapat dilalui cairan ekstraselular secara difusi. (guyton) Celah ini terlalu besar untuk dapat memfasilitasi terjadinya transmisi elektrik.
(Sherwood)

Pada terminal akson terdapat banyak

mitokondria yang menyediakan energi terutama untuk sintesis bahan transmiter perangsang, yaitu ACh yang akan merangsang serat otot. ACh disintesis dalam sitoplasma bagian terminal, namun dengan cepat diabsorbsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal lempeng akhir motorik. (guyton) (guy, sher, gan) Bila impuls saraf tiba di sambungan neuromuskular, kira-kira 125 kantong ACh dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Adanya potensial aksi akan memicu terbukanya voltage-gated kanal Ca2+ pada terminal button, yang memungkinkan difusi Ca2+ dari ekstraseluler ke terminal button. Difusi Ca2+ ini menyebabkan penglepasan ACh dari vesikel ke dalam celah sinaps secara eksositosis. ACh yang dilepaskan berdifusi melintasi celah sinaps dan berikatan dengan reseptor ACh tipe nikotinik. Pengikatan ACh dengan reseptor ini menginduksi terbukanya gerbang kanal pada lempeng akhir motorik. Terbukanya kanal ini menyebabkan pertukaran kation Na+ dan K+, namun tidak dengan anion. Permeabilitas membran terhadap ion Na+ dan K+ seimbang. Namun pada kenyataannnya, terdapat jauh lebih banyak ion Na+ yang mengalir melalui saluran ACh dibanding ion lain. Hal ini terjadi karena dua alasan berikut. Pertama, hanya terdapat dua ion positif dalam konsentrasi cukup besar untuk memberi pengaruh yang cukup kuat, yaitu ion natrium dalam cairan ekstraseluler dan ion kalium dalam cairan intraseluler. Kedua, nilai potensial yang sangat negatif pada bagian dalam membran otot, -80 sampai -90 milivolt, akan menarik ion-ion natrium ke dalam serat otot, sementara pada saat yang bersamaan akan mencegah keluarnya ion kalium. Efek utama terbukanya saluran ACh adalah bahwa sejumlah besar ion natrium dapat masuk ke dalam serat otot, yang bersama ion tersebut terbawa serta sejumlah besar muatan positif. Peristiwa ini akan mengubah potensial setempat pada membran serat otot yang disebut potensial lempeng akhir. Potensial lempeng akhir ini akan menimbulkan suatu potensial aksi pada membran otot dan selanjutkan menyebabkan kontraksi otot. (guy, ganong) Sekali ACh dilepaskan ke daerah sinaps, ia akan terus mengaktifkan reseptor ACh selama berada dalam ruangan. Namun, jika terjadi repolarisasi, ACh dengan cepat akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase, yang melekat pada lamina basalis, yaitu lapisan dari jaringan ikat halus yang mengisi ruang sinaptik antara

terminal presinaptik dan membran otot postsinaptik. Sejumlah kecil ACh lainnya akan berdifusi keluar dari ruang sinaptik. Periode ACh menetap dalam ruang sinaptik sangat singkat, paling lama beberapa milidetik, tapi hampir selalu cukup untuk merangsang serat otot. Degredasi ACh yang cepat akan mencegah perangsangan otot kembali. Gambar (nomor) menjelaskan prinsip potensial lempeng akhir yang menimbulkan potensial aksi. Potensial lempeng akhir A dan C begitu lemah untuk menimbulkan suatu potensial aksi, namun mereka menghasilkan potensial lempeng akhir setempat yang lemah, yang terekam dalam gambar. Sebaliknya potensial lempeng akhir B jauh lebih kuat dan menyebabkan saluran natrium terbuka, sehingga akan menimbulkan suatu potensial aksi. Potensial lempeng akhir yang lemah pada titik A disebabkan keracunan serat otot oleh kurare, suatu obat yang dapat memblok kerja gerbang ACh pada saluran ACh dengan cara bersaing dengan ACh pada tempat reseptornya. Potensial pada titik C disebabkan oleh pengaruh toksin botulinum, yaitu racun bakteri yang menurunkan pelepasan ACh oleh terminal saraf. (guyton, ganong)

Gambar . Potensial Lempeng Akhir. A, Potensial lempeng akhir yang lemah yang terekam pada otot yang sudah teracuni kurare, terlalu lemah untuk menimbulkan potensial aksi; B, potensial lempeng akhir normal yang menimbulkan potensial aksi otot; dan C, potensial lempeng akhir yang lemah yang disebabkan oleh racun botulinum yang menurunkan pelepasan asetilkolin pada lempeng akhir, dan terlalu lemah untuk menimbulkan guyton suatu potensial aksi otot.

2.5 Penyakit Neuromuskular 2.5.1 Myastenia Gravis 2.5.1.1 Definisi Myastenia Gravis (MG) adalah penyakit akibat kelainan imunitas dimana terbentuk antibodi terhadap reseptor nikotinik post-sinaptik asetilkolin pada myoneural junction. Berkurangnya reseptor asetilkolin akan

menimbulkan karakteristik berkurangnya kekuatan otot dan timbul kelelahan secara progresif setelah otot tersebut digunakan. 1 2.5.1.2 Klasifikasi Myastenia Gravis bisa diklasifikasi berdasarkan kelainan yang timbul: 1. Biasanya 85 90 % penderita akan mengalami Generalized Myastenia Gravis pada 1 tahun onset yang ditandai dengan kelemahan pada tungkai, lengan dan kaki. 2. 10 15 % penderita hanya mengalami kelemahan pada otot yang mengendalikan pergerakan mata yang disebut Ocular Myastenia Gravis. 3. Selain itu ada Myastenia Gravis yang didapat secara kongenital yang timbul pada bayi dari penderita MG. 4. Myastenia Gravis juga bisa bersifat sementara misalnya pada 10 20 % bayi dari penderita MG yang akan mengalami kelumpuhan selama beberapa minggu setelah lahir akibat adanya antibodi dari ibu di dalam tubuhnya. 2 Myastenia Gravis Foundation di Amerika Serikat telah mengklasifikasikan MG berdasarkan tingkat keparahannya: Kelas I: kelemahan otot hanya terjadi pada otot, kemungkinan terjadi ptosis, tidak ada kelainan pada otot lain. Kelas II: kelemahan pada otot mata dan kelainan ringan pada otot tubuh lain. o Kelas IIa: terutama pada bagian tungkai atau axial. o Kelas IIb: terutama pada bulbar dan/atau otot-otot pernafasan. Kelas III: kelemahan pada otot mata dan kelainan sedang pada otot tubuh lain. o Kelas IIIa: terutama pada bagian tungkai atau axial. o Kelas IIIb: terutama pada bulbar dan/atau otot-otot pernafasan. Kelas IV: kelemahan pada otot mata dan kelainan berat pada otot tubuh lain. o Kelas IVa: terutama pada bagian tungkai atau axial. o Kelas IVb: terutama pada bulbar dan/atau otot-otot pernafasan. Kelas V: pasien dengan intubasi untuk mempertahankan pernafasan. 3

2.5.1.3 Etiologi Tidak diketahui dengan jelas bagaimana autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin bisa timbul, namun beberapa genotip diperkirakan berhubungan dengan penyakit ini.1 Selain itu muncul spekulasi bahwa MG disebabkan adanya kelainan pada organ timus.4,5 Hal ini dikarenakan penelitian menunjukkan adanya sel epitelial myoid

pada timus yang memiliki bentuk seperti sel otot skelet. Sel ini bisa bersifat antigenik dan menimbulkan reaksi imun. Namun hal ini sendiri belum dipastikan.4 Beberapa kemungkinan lain yang menjadi penyebab, misalnya:

Pembesaran organ timus, karena pada 75% penderita MG ditemukan adanya penyakit pada timus, pada 85% penderita terdapat hyperplasia, dan pada 10-15% penderita terdapat thyoma. Penyakit auto-imun seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan Rheumatoid Arthritis. Tumor pada bagian tubuh lain seperti small cell carcinoma pada paru dan penyakit Hodgkin Hipertiroidisme terdapat pada 3-8% penderita. Beberapa obat yang berhubungan: o D-penicillamine yang meningkatkan Anti-AChR pada titer antibodi. o Nitrofurantoin telah dihubungkan dengan ocular Myasthenia Gravis pada satu kasus. o Aminoglikosida, polymyxin dan banyak obat lainnya yang mungkin berhubungan dengan MG.4

2.5.1.4 Patofisiologi Ketika potensial aksi berjalan dari motor neuron dan sampai ke neuron terminal, asetilkolin akan dilepaskan dari presinaps dan akan menempel pada reseptornya di postsinaps. Kanal di reseptor asetilkolin akan terbuka sehingga Na+ dan kation lain akan masuk ke lempeng akhir serat otot dan menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi akan terakumulasi dan bila cukup kuat akan menimbulkan kontraksi. Selanjutnya jumlah asetilkolin yang dikeluarkan akan berkurang karena jumlah yang disimpan pada presinaps akan habis.4 Pada sebagian besar kasus Myastenia Gravis, terdapat berkurangnya reseptor asetikolin fungsional pada taut neuromuskular dengan cara: Mengakibatkan kerusakan langsung pada membran postsinaps. Meningkatkan degradasi reseptor. Menghambat penempelan asetilkolin pada reseptornya.5 Hal ini akan mengakibatkan transmisi neuromuskular terganggu dan kontraksi tidak dapat timbul. 2.5.1.5 Gejala Klinis Otot menjadi lumpuh bila digunakan terus-menerus. Kekuatan otot yang lumpuh normal kembali setelah istirahat beberapa saat. Kelumpuhan pada ocular menimbulkan ptosis baik unilateral maupun bilateral.

Pada kelumpuhan otot-otot wajah, maka tampak penderita tidak memiliki ekspresi sehingga tidak bisa menyedot atau bersiul, tidak bisa mengangkat wajahnya, suara tidak jelas, rahang lemah sehingga tidak bisa mengunyah daging atau permen karet dan ada kemungkinan terjadi aspirasi sekresi oral.

Penderita tidak bisa bernafas dengan baik bila terjadi kelumpuhan otot-otot pernafasan. Kelumpuhan pada otot-otot anggota gerak tubuh mengakibatkan pasien tidak bisa melakukan pekerjaan fisik yang berat, seperti menaiki tangga.4,5,6icen

2.5.1.6 Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium: Antibodi anti-AChR positif pada 90% penderita Generalized Myastenia Gravis namun hanya pada 5070% penderita Ocular Myastenia Gravis. Tes fungsi tiroid karena biasanya pada penderita Ocular Myastenia Gravis terdapat hipertiroidisme. Pemeriksaan faktor rheumatoid dan ANA yang berhubungan dengan penyakit autoimun.4icen

Pemeriksaan radiologi: MRI atau CT-Scan otak untuk memeriksa kemungkinan adanya massa yang menekan saraf kranial sebagai diagnosis banding kelumpuhan. MRI atau CT-Scan timus untuk melihat adanya kelainan.4icen

Pemeriksaan lain: Pemberian antikolinesterase, bila terjadi peningkatan kekuatan otot maka menunjukkan hasil positif. Tes sensitivitas ini 86% untuk Ocular Myastenia Gravis dan 95% untuk Generalized Myastenia Gravis.6icen Repetitive Nerve Stimulation dilakukan dengan pemberian stimulasi dengan tujuan menghabiskan asetilkolin yang disimpan. 4,6icen Single Fiber Electromyography merupakan metode yang paling sensitif untuk memeriksa transmisi abnormal neuromuskular dengan merekam potensial aksi serat otot menggunakan sejenis jarum konsentrik.6icen 2.5.1.7 Penatalaksanaan Non-Medikamentosa: Thymectomy pada pasien dengan kelainan timus. Pembedahan pada pasien yang mengalami strabismus atau diplopia yang tidak bisa ditangani dengan pengobatan.

Blepharoptosis pada pasien dengan ptosis yang tidak respons terhadap terapi. Pengurangan makanan solid pada pasien yang mengalami kelumpuhan rahang.4icen

Medikamentosa: Inhibitor asetilkolinesterase, contohnya diisofluorofosfat (DFP), edrofonium, dan takrin, mencegah pemecahan asetilkolin dan memberikan peningkatan kekuatan pada otot. Namun obat simtomatik ini tidak berpengaruh terhadap proses autoimun pada tubuh sehingga pemberiannya hanya bersifat menyembuhkan sementara. Efek sampingnya antara lain mual, muntah, diare, meningkatnya saliva, meningkatnya sekresi bronkial, dan berbagai efek dari peningkatan aktivitas muskarinik. Kortikosteroid merupakan obat paling umum yang diberikan pada pasien dengan penyakit akibat kelainan sistem imun. Obat ini biasanya digunakan merupakan obat pertama yang diberikan untuk mengatasi serangan autoimun. Namun karena efek sampingnya yang merugikan seperti hipertensi, retensi cairan, osteoporosis, ulkus gastrik, moon face dan lainnya, pemberian obat ini harus diawasi dengan baik. Azathioprine merupakan obat yang mencegah proliferasi limfosit T. Obat ini efektif untuk mengatasi autoimun pada jangka panjang, selain itu juga memiliki efek samping yang lebih ringan daripada kortikosteroid. Namun butuh waktu sekitar 4-8 bulan setelah terapi untuk menunjukkan efek yang baik pada penderita MG. Efek sampingnya antara lain anemia makrositik, leukopenia, trombositopenia, hepatitis toksik, serta obat ini bersifat teratogenik. Cyclosporin memiliki kerja yang sama dengan azathioprine namun jarang digunakan karena efek sampingnya terutama nefrotoksisitas yang ditimbulkan. Efek samping lainnya misalnya hipertensi, tremor, sakit kepala, muntah dan lainnya. Mycophenolate mofetil merupakan modulator imun yang memiliki sifat selektif menghambat proliferasi limfosit T dan B. Pemberian obat ini setelah 2 bulan menunjukkan adanya peningkatan kekuatan otot yang sebelumnya mengalami kelumpuhan. Namun biasanya lebih sering digunakan kortikosteroid karena dengan dosis yang sama rendah, kortikosteroid memberikan efek yang lebih cepat dan lebih baik. Efek samping dari obat ini biasanya ringan, antara lain diare, sakit perut, dan mual.6icen 2.5.1.8 Prognosis Penatalaksanaan yang tepat akan mencegah Ocular Myastenia Gravis meningkat menjadi Generalized Myastenia Gravis. 4icen Sekitar 15-17% pasien tetap mengalami keluhan pada bagian mata setelah bertahun-tahun menjalani terapi.4icen

Dengan pemberian pengobatan yang baik dan terapi yang sesuai, sebagian besar pasien akan memiliki waktu hidup normal.5icen Angka kematian kurang dari 4%.5icen

2.5.1.9 Efek Samping Obat Simptomatik Myastenia Gravisfarmakoterapi page 55 Obat simtomatik MG adalah anti-asetilkolinesterase. Gejala keracunan yang timbul tergantung dari jenis obat yang digunakan. Umumnya gejala keracunan berupa efek muskarinik, nikotinik, dan efek di sentral. Beberapa efek samping yang timbul adalah: Mata hiperemis disertai miosis yang kuat Bronkokonstriksi dan laringospasme terutama bila zat terhirup Perangsangan selaput lendir hidung menyebabkan pengeluaran sekret yang mirip alergi, disertai bersin dan sekresi saliva berlebih Peristaltik usus meningkat disertai muntah dan diare Bila pajanan terjadi pada kulit, beberapa obat dapat menyebabkan produksi kringat bertambah Pada otot rangka dapat menyebabkan tremor, fibrilasi otot, dan kejang Pada keracunan yang berat dapat menimbulkan kelumpuhan Gejala yang meliputi efek pada saraf pusat berupa ataksia, hilang refleks, bingung, sukar bicara, konvulsi, koma, pernapasan Cheyne Stokes dan kelumpuhan napas Keracunan dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa minggu. Kematian dapat terjadi dalam waktu yang beragam, sehingga pengobatan terhadap keracunan harus diberikan segera. 2.5.2 Sindrom Myastenik Lambert-Eaton Sindrom Myastenik Lambert-Eaton merupakan penyakit taut neuromuskular yang berbeda dengan MG. Biasanya penyakit ini berkembang sebagai proses paraneoplastik, terutama bersama dengan karsinoma sel kecil paru-paru (60% kasus), meskipun dapat terjadi pada ketiadaan penyakit ganas yang mendasari. Pasien mengalami kelemahan otot proksimal dengan disfungsi otonom. Pada sindrom ini tidak terjadi perbaikan klinis yang efektif apabila diberikan substansi antikolinesterase, dan studi elektrofisiologi menunjukkan bukti adanya peningkatan neurotransmisi dengan stimulasi berulang. Keadaan-keadaan tersebut membedakan sindrom ini dengan MG. Antikolinesterase yang ditemukan pada vesikel sinaptik taut neuromuskular penderita sindrom myastenik lambert-eaton merupakan asetilkolinesterase yang normal dan membran postsinapsnya responsif terhadap substansi tersebut. Namun, dalam tiap potensial aksi presinaps, vesikel yang dilepaskan semakin

sedikit. Telah ditemukan bahwa sejumlah pasien memiliki antibodi yang mengenali kanal kalsium voltagegated tipe PQ presinaps.robins1345 Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa penyakit ini disebabkan oleh proses autoimun. 2.5.3 Sindrom Pasca Polio (dari price) Sindrom pascapolio (PPS) atau atrofi neuromuskular pascapoliomielitis, adalah kelemahan otot progresif yang biasanya dimulai pada awal usia 20 hingga 30 tahun setelah sembuh dari infeksi virus poliomyelitis yang menyerang sel kornu anterior medula spinalis serta nukleus nervus kranialis. Onset penyakit ini biasanya mendadak, dan kelemahan bisa menyebar pada bagian otot yang awalnya tidak terkena penyakit polio. Perkiraan insidensi keseluruhan sekitar 25% dari populasi yang tahan terhadap polio, dengan perkiraan terbaru dari The Easter Seal Society adalah 1.600.000 di Amerika Serikat (NNDS, 2000). Sindrom ini umumnya terjadi pada wanita1benny dan biasanya terjadi 25-30 tahun setelah penyakit awalnya (polio) sudah menunjukkan perbaikan.2 benny Gejala trias klasik mencakup kelelahan yang tidak biasa, kelemahan otot baru dengan atau tanpa atrofi otot, dan nyeri otot yang sering disertai oleh kejang otot (International Polio Network, 1999). Gejala lainnya adalah paresis atau paralisis neuron motorik bagian bawah yang khas: nyeri otot, fasikulasi, dan kelemahan otot yang dapat mencapai tingkatan yang tinggi atau berkembang menjadi atrofi otot. Ekstremitas paling sering terkena. Namun, otot pernapasan dapat juga terlibat, serta kepala dan otot leher yang dipersarafi oleh nervus kranial IX, X, dan XI (paralisis bulbar). Akibatnya dapat berupa gagal napas, apnea berat waktu tidur, kesulitan menelan, episode tersedak, atau aspirasi. Kriteria umum berikut ini harus ada untuk membuat suatu diagnosis: episode polio paralitik sebelumnya; periode kestabilan fungsional; kelemahan baru yang mendadak atau berangsur-angsur yang biasanya bersamaan dengan beberapa gejala yang sudah ada; dan keadaan di luar medis, ortopedik, dan neurologik yang dapat menyebabkan gejala. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis rinci, pemeriksaan neurologik, dan hasil laboratorium (termasuk MRI, studi elektrofisiologik, biopsi otot, dan analisis CSF). Penyebab PSS laten yang lama masih kontroversial namun biasanya dipercaya dalam melibatkan kelainan neuron motorik bagian bawah yang bertahan, bersamaan dengan suatu perkembangan disintegrasi perlahan dari akson saraf perifer. Postpolio syndrome ini diduga oleh karena disfungsi yang progresif dan hilangnya motor neuron yang mengkompensasi ketika terjadi infeksi originalnya (polio) dan bukan infeksi poliovirus yang persisten ataupun reaktivasi.1 menetap setelah serangan polio awal.
benny

Penjelasan tentang kelemahan yang paling dapat diterima

adalah disfungsi otot motorik dengan hilangnya saraf terminal yang bersangkutan dalam unit motorik yang

Pengobatan bersifat suportif dan ditujukan untuk mempertahankan fungsi pernapasan, meringankan gejala, dan mencegah komplikasi. Sekarang ini tidak ada pengobatan yang dapat mencegah atau mengobati PPS. Obat-obatan seperti piridostigmin dan selegilin yang bekerja pada taut neuromuskular telah cukup berhasil digunakan dalam terapi simtomatik. Prognosis umumnya baik; progresi untuk menjadi lebih buruk biasanya berjalan lambat, sekitar 1-10 tahun.

2.7 Pankuronium 2.7.1 Pelemas Otot Rangka Obatobat yang mempengaruhi otot rangka dibagi menjadi dua kelompok mayor, yaitu obat-obat yang menyebabkan paralisis (seperti: pemblokade neuromuskular), dan obat-obat yang mengurangi spastisitas pada berbagai kondisi neurologik (seperti: spasmolitik).[katzung]

2.7.2 Obat Pemblokade Neuromuskular Relaksasi otot rangka dan paralisis dapat terjadi akibat interupsi fungsi pada beberapa tempat yang berbeda, dari sistem saraf pusat, saraf somatik bermyelin, ujung saraf motorik tidak bermyelin, reseptor nikotinik asetilkolin, motor end plate, hingga membran otot.[katzung]

Gambar 1. Skematik neuromuscular junction (V, transmitter vesicle; M, mitokondria; ACh, asetilkolin; AChE, asetilkolinesterase; JF, junctional folds).[katzung]

Terdapat beberapa klasifikasi umum neuromuscular blocking agents. Berdasarkan durasi aksi obat, dibagi menjadi long-, intermediate-, dan short-acting. Pancuronium termasuk dalam kategori long-acting. Blokadenya terjadi dalam waktu yang cukup lama, karena itu biasanya hanya diperlukan dalam konsentrasi rendah. Pengaturan konsentrasi yang rendah ini juga dimaksudkan untuk memperlambat onsetnya.[Goodman gilman] Berdasarkan kelas kimianya pankuronium terdiri atas natural alkaloid, ammonio steroid, dan

benzylisoquinolines. Pankuronium (termasuk ammonio steroid) tidak menyebabkan pelepasan histamin, dapat memblokade reseptor muskarinik, dan bermanifestasi pada blokade vagal serta takikardia.[Goodman gillman] Berdasarkan mekanisme kerjanya terdapat 2 mekanisme dasar. Pertama, obat yang mencegah akses transmitter ke reseptornya dan mencegah depolarisasi. Nondepolarizing neuromuscular blocking drugs ini bersifat antagonis (contoh: atracurium, cisatracurium, doxacurium, gallamine, mivacurium, pancuronium, rapacuronium, rocuronium, tubocurarine, dan vecuronium). Kedua, obat-obat yang mencegah akses transmitter namun menyebabkan depolarisasi. Depolarizing neuromuscular blocking drugs ini bersifat agonis (contoh: suksinilkolin).[katzung]

Tabel 1. Klasifikasi Neuromuscular Blocking Agents [Goodman gillman]


AGENT CHEMICAL CLASS PHARMACOLOGICAL PROPERTIES TIME OF ONSET, min Succinylcholine (ANECTINE, others) D-Tubocurarine Natural alkaloid (cyclic benzylisoquinoline) Atracurium (TRACRIUM) Benzylisoquinoline Intermediate duration; competitive 2-4 30-60 Long duration; competitive 4-6 80-120 Renal elimination; liver clearance Hofmann degradation; hydrolysis by plasma esterases; renal elimination Doxacurium (NUROMAX) Mivacurium (MIVACRON) Pancuronium (PANCURONIUM BROMIDA) Ammonio steroid Long duration; competitive 4-6 120-180 Benzylisoquinoline Short duration; competitive 2-4 12-18 Hydrolysis by plasma cholinesterases Renal elimination Benzylisoquinoline Long duration; competitive 4-6 90-120 Renal elimination Dicholine ester Ultrashort duration; depolarizing 1-1.5 5-8 Hydrolysis by plasma cholinesterases CLINICAL DURATION, min MODE OF ELIMINATION

Pipecuronium (ARDUAN) Rocuronium (ZEMURON) Vecuronium (NORCURON)

Ammonio steroid

Long duration; competitive

2-4

80-100

Renal elimination; liver metabolism and clearance

Ammonio steroid

Intermediate duration; competitive

1-2

30-60

Liver metabolism

Ammonio steroid

Intermediate duration; competitive

2-4

60-90

Liver metabolism and clearance; renal eliminatio

2.7.3 Struktur Kimia Obat-obat pemblokade neuromuskular mengandung struktur yang mirip dengan asetilkolin.[katzung] Obatobat yang menyebabkan depolarisasi memiliki struktur asetilkolin yang tersusun linear.
[katzung]

Strukturnya lebih

fleksibel sehingga memungkinkan terjadinya rotasi ikatan bebas.[Goodman gillman] Obat-obat yang tidak menyebabkan depolarisasi (seperti: pankuronium) memiliki struktur asetilkolin yang tersusun dalam sistem cincin semi kaku dan besar.[katzung dan Goodman gillman] Selain itu, juga terdapat satu atau dua nitrogen kuarterner, yang menyebabkan mereka bersifat lipid-soluble yang lemah dan sulit menembus sistem saraf pusat.[katzung]

Gambar 2. Hubungan struktural antara suksinilkolin dan pankuronium dengan asetilkolin. [katzung]

2.7.4 Nondepolarizing Drugs Tempat kerja D-tubocurarine dan agen blokade kompetitif lainnya terdapat di motor end plate. Antagonis kompetitif bergabung dengan reseptor asetilkolin nikotinik pada end plate sehingga memblokade pengikatan asetilkolin secara kompetitif. Hal ini menyebabkan sel otot menjadi tidak sensitif terhadap impuls dari saraf motorik. Meskipun demikian, daerah end plate dan sisa membran serat otot yang ada tetap memiliki

sensitifitas yang normal terhadap depolarisasi K+, dan serat otot tetap berespon secara langsung terhadap stimulasi elektrik.[Goodman gillman] Peningkatan konsentrasi antagonis kompetitif tubokurare secara progresif menurunkan amplitudo eksitasi postjunctional end plate potensial. Amplitudo ini dapat turun di bawah 70% dari nilai inisiasinya, sehingga tidak cukup menginisiasi propagasi dari potensial aksi pada otot. Tubokurare (antagonis kompetitif) menurunkan frekuensi pembukaan kanal tetapi tidak mempengaruhi konduktansi atau durasi pembukaan tiap kanalnya. Pada konsentrasi yang lebih tinggi, kurare dan antagonis kompetitif lainnya memblokade kanal secara langsung dengan cara non kompetitif dengan agonis dan bergantung pada membran potensial.[Goodman gillman] Jika terdapat obat antikolinesterase, potensial end plate diperpanjang mencapai 25-30 milisecond, yang mengindikasikan adanya pengikatan kembali transmitter ke reseptor di sebelahnya sebelum tejadi difusi dari sinaps. Meskipun 2 antagonis kompetitif dapat berikatan dengan tiap molekul reseptor di tempat milik agonis, pengikatan 1 molekul antagonis pada tiap reseptor cukup membuatnya menjadi tidak berfungsi.[Goodman gillman] Tubokurare dan neuromuscular blocking agents kuarterner lainnya, yang disuntikan secara intravena bahkan dalam dosis yang besar tidak memiliki efek signifikan terhadap sistem saraf pusat seperti stimulan, depresan, atau efek analgesik karena mereka tidak dapat menembus sawar darah otak. Oleh karena itu, kerja obat-obat ini hanya berefek pada kelumpuhan perifer di otot rangka.[Goodman gillman]

Tabel 2. Perbandingan nondepolarizing (D-Tubocurarine) dengan depolarizing (Decamethonium) blocking agents [Goodman gillman] D-TUBOCURARINE Effect of D-tubocurarine administered previously Effect of decamethonium administered previously Effect of antikolinesterase agents on block Effect on motor end plate Elevated threshold to acetylcholine; no depolarization Initial excitatory effect on striated muscle None Transient fasciculations Partial, persisting depolarization Reversal of block No effect, or antagonistic Some tachyphylaxis; but may be additive No reversal Additive DECAMETHONIUM Antagonistic

Character of muscle response to indirect tetanic stimulation during partial block

Poorly sustained contraction

Well-sustained contraction

SOURCE: Based on data in Paton and Zaimis, 1952; Zaimis, 1976.

2.7.5 Karakteristik Kelumpuhan Ketika agen pemblokade kompetitif disuntikan secara intravena pada manusia dengan dosis yang tepat, terjadi kelemahan otot yang makin lama berkembang menjadi kelumpuhan total. [goodman gillman] Secara umum, otototot besar (seperti: abdominal, diafragma) lebih resisten terhadap blokade dibanding otot-otot yang lebih kecil (seperti: wajah, kaki, tangan).[katzung] Otot-otot kecil dan yang bergerak cepat seperti mata, rahang, dan laring akan berelaksasi terlebih dahulu sebelum ekstremitas. Pemulihan otot biasanya terjadi dengan urutan sebaliknya, sehingga diafragma menjadi otot pertama yang pulih fungsinya.[Goodman gillman]

2.7.6 Farmakokinetik Pankuronium Absorpsi: sangat sedikit diserap dari saluran gastrointesinal. Absorpsi obat ini cukup baik pada intramuskular. Onset yang cepat bisa didapat dari pemberian intravena.[Goodman gillman] Ikatan protein: sangat rendah Biotransformasi: Hepatik (dalam jumlah kecil) Goodman gillman Waktu paruh distribusi: 1013 menit Waktu paruh eliminasi: 89161 menit Eliminasi primer: Renal Eliminasi sekunder: bilier Waktu untuk pulih (didapati 90% respon kejang): <60 menit Berat molekul: 732.68 Onset: Intravena 0,04 mg/kg dalam 0,75 menit Intravena 0,08 mg/kg dalam 0,5 menit

Disimpan dalam suhu 2-8C

2.8 Piracetam Nama IUPAC Rumus kimia Berat molekul Penampakan Bioavalabilitas Rute administrasi Waktu paruh eliminasi Ekskresi 2-oxo-1-pyrrolidineacetamide C6H10N2O2 142.16 g mol-1 Bubuk kristal putih halus ~100% Oral dan parenteral 4-5 jam Urin

Piracetam (nama dagang: Nootropil, Qropi, Myocalm, Dinagen, Synaptine) merupakan suatu substansi nootropik. Nama kimianya adalah 2-oxo-1-pyrrolidineacetamide, dengan struktur basa oxo-pyrrolidone-nya serupa dengan 2-oxo-pyrrolidine carboxylyc acid (piroglutamat). Piracetam merupakan derivat siklik dari gamma-aminobutyric acid (GABA) dan merupakan salah satu racetam. Racetam merupakan kelas obat nootropik yang memiliki inti pyrrolidine. Piracetam merupakan racetam yang larut air dan merupakan racetam pertama yang dikembangkan. Piracetam biasa diresepkan dokter untuk beberapa kondisi, terutama mioklonus,
1piracetam

yaitu gejala berupa kedutan involunter dari otot atau kelompok otot.

a.

b.

Gambar. a. Struktur kimia pyrrolidine; b. Struktur kimia piracetam

2.8.1 Sejarah Piracetam, dengan nama kimia 2-oxo-pyrrolidone, dikembangkan di pertengahan 1960 oleh perusahaan farmasi UCB di Belgia. Obat ini awalnya digunakan untuk mengatasi motion sickness.1ias Antara 1968-1972, terdapat ledakan riset mengenai Piracetam yang membuka kemampuannya dalam memfasilitasi pembelajaran, mencegah amnesia yang diinduksi oleh hipoksia dan electroshock, serta mengakselerasikan EEG (electroencephalograph) kembali ke normal pada hewan yang mengalami hipoksia. 1ias Pada 1972, C.E. Giurgea,

koordinator

peneliti

sekaligus

peneliti

utama

Piracetam,

memformulasikan

kategori

obat

dalam

mendeskripsikan Piracetam sebagai obat nootropik.2ias Menurut Giurgea, obat-obat nootropik memiliki karakteristik berikut: 1. Meningkatkan pembelajaran dan memori 2. Meningkatkan pertahanan kelaluan yang dipelajari / memori terhadap kondisi yang mengganggu (misalnya, syok elektrokonvulsif, hipoksia) 3. Melindungi otak terhadap luka fisik atau kimiawi (misalnya, barbiturat, skopalamin) 4. Meningkatkan efisiensi mekanisme kontrol korteks ataupun subkorteks 5. Tidak menimbulkan efek psikotropik (misalnya, sedasi, stimulasi motorik) dan memiliki sedikit efek samping serta mempunyai toksisitas yang rendah.3ias 2.8.2 Nootropik Nootropik merupakan golongan obat yang memperbaiki kemampuan kognitif manusia, baik fungsi maupun kapasitasnya, pada keadaan yang mengalami kerusakan.1nootropik Istilah nootropik diberikan oleh Dr. Corneliu E. Giurgea, yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu noos (pikiran) dan tropein (berbalik). Obat-obatan nootropik bekerja dengan mempengaruhi availabilitas suplai otak terhadap neurokemikal (neurotransmiter, enzim, dan hormon), memperbaiki suplai oksigen otak, atau dengan menstimulasi pertumbuhan saraf. Nootropik digunakan untuk pasien-pasien dengan kesulitan pembelajaran kognitif, degradasi neural (penyakit Alzheimers atau Parkinsons), dan untuk kasus-kasus defisit oksigen untuk mencegah hipoksia. Terdapat beberapa jenis obat nootropik, antara lain: 1. Obat-obat untuk mengembalikan dan meningkatkan neurotransmiter, yang terdiri atas: a. Substansi kolinergik, terdiri atas prekursor dan kofaktor asetilkolin, serta inhibitor asetilkolinesterase. Contohnya adalah piracetam, aniracetam, donepezil, dan lain-lain. b. Substansi dopaminergik, terdiri atas prekursor dan kofaktor dopamin, serta inhibitor ambilan dopamin. c. Substansi serotonergik, terdiri atas prekursor dan kofaktor serotonin, serta inhibitor ambilan serotonin. 2. Obat-obat anti-depresi, adaptogenik (antistres), dan stabilisasi emosi 3. Obat-obat untuk memperbaiki fungsi otak dan suplai oksigen

4. Obat-obat untuk kesadaran, konsentrasi, stamina, dan fokus 5. Obat-obat peningkatan memori dan perbaikan pembelajaran 6. Obat-obat stimulasi pertumbuhan saraf dan proteksi sel otak 7. Obat-obat rekreasi dengan efek nootropik 8. Nootropik diet 9. Nootropik lainnya

2.8.3 Mekanisme Kerja Piracetam Mekanisme kerja piracetam tidak diketahui. Namun, diduga bahwa piracetam bekerja pada kanal ion atau pembawa ion, yang menyebabkan peningkatan non-spesifik eksitabilitas saraf. Piracetam memiliki toksisitas yang rendah dan telah diketahui bahwa piracetam meningkatkan aliran darah serta konsumsi oksigen di otak, tetapi ini mungkin saja merupakan efek samping dari peningkatan aktivitas otak dan bukan karena efek dari obat.11piracetam Piracetam meningkatkan fungsi neurotransmitter asetilkolin melalui reseptor muskarinik kolinergik yang berimplikasi pada proses memori.12piracetam Lebih jauh lagi, piracetam memiliki efek pada reseptor NMDA glutamat yang terlibat dalam proses pembelajaran dan memori. Piracetam meningkatkan permeabilitas membran sel12,13piracetam dan menimbulkan efek pada neurotransmisi otak melalui modulasi kanal ion, yaitu kanal ion Ca2+ dan K+.10 piracetam Piracetam juga meningkatkan konsumsi oksigen di otak. Hal tersebut berhubungan dengan metabolisme ATP. Piracetam juga meningkatkan aktivitas adenilat kinase pada otak tikus. 14,15piracetam Piracetam juga meningkatkan sintesis sitokrom b5,16piracetam yang merupakan bagian dari mekanisme transpor elektron pada mitokondria. Piracetam juga meningkatkan permeabilitas mitokondria terhadap beberapa senyawa intermediet dari siklus Krebs.17piracetam 2.8.4 Efek dan Manfaat Terdapat sejumlah studi terhadap piracetam membuktikan beberapa efek dan manfaat piracetam, yaitu antara lain: 1. Meningkatkan kerja dari sejumlah kegiatan kognitif pada anak-anak disleksia, yaitu meningkatkan komprehensi, kecepatan, dan keakuratan dalam membaca, menulis, dan mengeja, serta meningkatkan memori dan pembelajaran verbal.8,12,13,14ias

2. Hasil positif dalam penatalaksanaan afasia post-strok, epilepsi, penurunan kognitif yang post operasi otak, demensia, dan mioklonus. 5,6piracetam,8ias 3. Meningkatkan komunikasi antara kedua hemisfer otak dan meningkatkan aktivitas corpus callosum.
7,8,9piracetam

4. Merawat alkoholisme dan alcohol withdrawal syndrome pada hewan dan manusia.4,5,19ias 5. Memperbaiki atau memperlambat kerusakan, pada demensia dan penyakit Alzheimers.6,7ias 6. Mengembalikan sejumlah fungsi, seperti penggunaan ekstremitas, berbicara, EEC, dan kesadaran, pada orang-orang yang mengalami iskemi serebral akut dan kronik.9,10ias 7. Meningkatkan kesadaran, kooperasi, sosialisasi, dan IQ pada pasien-pasien psikiatrik lanjut usia yang mengalami mild diffuse cerebral impairment.11ias 8. Memaksimalkan aktivitas antikonvulsan dari obat-obatan antiepilepsi pada hewan dan manusia, serta mengeliminasikan defisit kognitif yang diinduksi oleh obat-obat tersebut.15,16ias 9. Meningkatkan performa mental pada orang-orang yang telah mengalami proses penuaan alami yang menderita middle-aged forgetfulness.17ias Pasien-pasien gangguan memori karena aging yang diberikan piracetam menunjukkan peningkatan konsolidasi dan recall memori yang bermakna.8ias Piracetam membalikkan perlambatan EEC yang berhubungan dengan penuaan normal dan patologis, meningkatkan aktivitas EEG (electroencephalograph) alfa dan beta, yang merupakan tipe EEG aktivitas cepat, dan mengurangi aktivitas EEG lambat, yaitu delta dan theta sehingga secara simultan meningkatkan atensi, memori, dan kesadaran.17Aias 10. Mengurangi keparahan dan terjadinya gejala utama dari sindrom post-gegar otak, seperti nyeri kepala, vertigo, kelelahan, dan berkurangnya kesadaran, serta meningkatkan kesadaran pada pasien-pasien koma karena cedera kepala.18,19ias 11. Merawat motion sickness dan vertigo.1ias 12. Merawat myoclonus (spasma otot parah) yang berasal dari kortikal.20ias 13. Merawat sindrom Raynauld (vasospasma parah pada tangan dan/atau kaki), dengan perbaikan yang cepat dan bermakna. Efisiensi piracetam tetap terjaga setelah 2-3 tahun terapi.21ias 14. Menghambat anemia bulan sabit, baik secara klinik maupun eksperimental.11ias 15. Memperbaiki penyakit Parkinsons dan secara sinergis bekerja dengan perawatan standar L-dopa.1ias 16. Merupakan salah satu obat teraman yang pernah digunakan. Piracetam telah diteliti pada berbagai spesies, yaitu ikan mas, tikus, mencit, babi guinea, kelinci, kucing, marmot , kera, dan manusia.1,19ias Pada penelitian toksisitas akut yang ditujukan untuk menentukan LD50 piracetam (dosis letal yang membunuh 50% hewan coba), piracetam gagal mencapai LD50 ketika diberikan IV pada tikus dengan dosis 8g/kgBB. 1ias Serupa dengan penelitian tersebut, studi LD50 secara oral pada mencit, tikus, dan anjing yang diberikan 10g/kgBB juga tidak menghasilkan LD50.1ias Hal ini ekuivalen dengan memberikan 700 g piracetam kepada manusia dengan berat 70 kg. Tidak ditemukan efek toksik pada tikus yang diberikan piracetam 100-1000 mg/kg

secara oral selama enam bulan dan pada anjing yang diberikan sebanyak 10g/kg secara oral selama satu tahun. Tidak ditemukan efek teratogenik ataupun perubahan tingkah laku.22ias 17. Paula-Barbosa dan kolega menemukan bahwa pemberian alkohol selama 12 bulan pada tikus secara signifikan meningkatkan pembentukan lipofuscin (pigmen yang berhubungan dengan pertambahan usia) pada sel-sel otak. Setelah diberikan piracetam dosis tinggi pada tikus-tikus tersebut, level lipofuscin berkurang secara bermakna di bawah kelompok kontrol dan kelompok tanpa piracetam.4ias 18. Merupakan antagonis terhadap blokade neuromuskular yang letal (karena menghentikan pernapasan) pada mencit oleh hemicholinium-3 (HC-3) intravena.23ias Piracetam juga menghambat blokade neuromuskular pada kucing oleh d-tubokurarin.1ias Piracetam mengurangi defisit memori dan pembelajaran pada mencit yang disebabkan oleh substansi antikolinergik HC-3.23ias Ketika mencit diberikan oksidipentonilim, agen curare-like yang bekerja dalam jangka waktu pendek, pada dosis yang mampu membunuh 90% dari salah satu kelompok dan 100% dari kelompok lainnya, kedua kelompok mencit yang diberikan piracetam memiliki angka survival 90% dan 100%.19ias

2.9 Kerangka Teori dan Kerangka Konsep Taut Neuromuskular Kelainan neuromuskular

Kanal kalsium

Antibodi AChR

Disfungsi progresif motor neuron

Lambert-Eaton

Myastenia Gravis Pascapolio Pengobatan farmakologi Neuroterapi

Obat antiAChE Kerugian

Obat herbal Ekstrak akar Acalypha indica

Efek samping tinggi Uji in vivo pada Rana pipiens Kontrol Positif Piracetam Negatif

Obat pelumpuh Pankuronium bromida

Rebusan Akar Tanaman Akar Kucing (RATAK)

Air

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 DESAIN PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain studi eksperimental pada katak Rana pipiens untuk membuktikan bahwa ekstrak Acalypha indica dapat mengurangi kelumpuhan otot akibat penyuntikan Pankuronium Bromida subkutan secara in vivo. 3.2 TEMPAT DAN WAKTU PELAKSANAAN PENELITIAN Pelaksanaan penelitian bertempat di laboratorium Departemen Ilmu Farmasi Kedokteran dan laboratorium Departemen Ilmu Faal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan mulai dilaksanakan pada 24 September 2007 sampai 21 Maret 2008. 3.3 PENGUMPULAN DAN IDENTIFIKASI TANAMAN Bahan penelitian yang digunakan adalah akar dari tanaman Acalypha indica, Linn. yang dikumpulkan dari daerah Depok, Jawa Barat, dan telah dideterminasi oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor. 3.4 ALAT DAN BAHAN Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Kertas saring 2. Gelas ukur 500 cc 3. Batang pengaduk 4. Panci 5. Penangas air 6. Neraca 7. Termometer kimia 8. Gunting 9. Alumunium foil 10. Kaca parafilm 11. Buchi Rotavapor 12. Neraca listrik Mettler AE-200 Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini, antara lain: 1. Akar tanaman Acalypha indica, Linn. 13. Labu Erlenmeyer 14. Lemari es 15. Spuit 1 cc 16. Spuit 3 cc 17. Sonde 18. Botol kaca 19. Mortir dan stamper 20. Kertas obat 21. Stopwatch 22. Timbangan faal 23. Sarung tangan

2. Akuabides 3. Pankuronium bromida 0,2% 4. Piracetam 5. Akuades 3.5 CARA KERJA 3.5.1 PERSIAPAN BAHAN DAN SAMPEL

3.5.1.1 Persiapan ekstrak 1. Pengambilan tanaman Bahan penelitian yang digunakan adalah akar dari tanaman Acalypha indica, Linn. yang dikumpulkan dari daerah Depok, Jawa Barat. 2. Determinasi tanaman Tanaman Acalypha indica, Linn. yang digunakan telah dideterminasi oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor. 3. Pengeringan dan pencucian simplisia Bagian akar dipisahkan dari tanaman kemudian dicuci bersih dan dikeringkan di udara terbuka terlindung dari sinar matahari langsung. Pengeringan ini berlangsung selama 8 hari. Setelah itu dilakukan pemotongan sebesar 1 cm. 4. Ekstraksi simplisia Akar yang telah dilakukan pemotongan dikelompokkan dengan masing-masing kelompok 100 gram. Tiap-tiap kelompok dicuci dan disaring, lalu dimasukkan ke dalam panci, kemudian ditambahkan akuades sebanyak 900 ml. Rebus selama 30 menit pada suhu 96 oC. Aduk rebusan dengan batang pengaduk tiap 10 menit. Kain saring dibasahi untuk kemudian digunakan untuk menyaring air rebusan. Ulang kembali perebusan untuk mendapatkan air rebusan akar kucing (rebusan kedua). Hasil rebusan I dan II dikeringkan dengan rotavapor dengan angka rotasi 2-3, suhu waterbath 60oC, dan diberikan tekanan 200 mbar yang diturunkan perlahan-lahan hingga 50 mbar. 5. Konversi dosis ratak Tabel konversi yang digunakan adalah 20 kali dengan perhitungan sebagai berikut. Dosis in vivo 10 mg 15 mg 20 mg Perhitungan Dosis in vivo 6 mg 9 mg 12 mg

25 mg 3.5.1.2 Persiapan sampel 1. Determinasi katak

15 mg

Sampel penelitian yang digunakan adalah katak dengan spesies Rana pipiens yang dideterminasi oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor. 2. Pemilihan katak Katak yang dipilih adalah katak yang sesuai dengan kriteria inklusi yang akan dijelaskan kemudian. 3.5.1.3 Persiapan Piracetam Dosis piracetam untuk orang dewasa = 50 mg/kgBB Konversi ke hewan percobaan = 20x Berat badan katak = 30 gram Dosis piracetam untuk katak =

Tablet piracetam 800 mg digerus dengan mortir dan stamper. Kemudian ditimbang dengan neraca listrik Mettler AE-200 sejumlah 30 mg dan dibungkus dalam kertas obat. 3.5.1.4 Persiapan Pancuronium Bromida 1 ampul = 2 ml Kadar Pankuronium Bromida yang digunakan adalah 0,2% = Pengenceran yang dilakukan adalah pengenceran dengan rasio 1:20, yang berarti dalam 20 mL larutan terdapat 1 mL Pankuronium Bromida atau 2 mg Pancuronium Bromida. Dosis tersebut didapatkan berdasarkan preliminary yang telah dilakukan sebelum eksperimen yaitu bahwa katak mengalami kematian saat diinjeksi Pankuronium Bromida secara subkutan pada dosis 1:1 hingga 1:15. 3.5.1.5 Pembuatan Larutan Ekstrak Tiap-tiap dosis in vivo ratak, yaitu 6 mg, 9 mg, 12 mg, dan 15 mg, dilarutkan dalam 1 ml akuades, sehingga didapatkan larutan ekstrak akar tanaman akar kucing sebanyak 1 ml.

3.5.2

EKSPERIMEN didapat enam kelompok sebagai berikut: o Kelompok ratak 6 mg o Kelompok ratak 9 mg o Kelompok ratak 12 mg o Kelompok ratak 15 mg o Kelompok kontrol positif
o

1. Pada obyek yang telah terpilih dan memenuhi kriteria inklusi dilakukan randomisasi blok sehingga Kelompok intervensi

Kelompok kontrol

Kelompok kontrol negatif

2. Katak yang akan digunakan sebagai sampel pada tiap kelompok disuntikkan larutan Pankuronium Bromida yang telah diencerkan dengan rasio 1:20 secara sub-kutan pada kantung limfe illiaca bagian dorsal, yaitu di sebelah urostil, yang setara dengan os.coccygis pada manusia. 3. Dilakukan pembalikan pada katak tiap satu menit dan diamati sampai katak menunjukkan gejala kelumpuhan dan dilakukan pencatatan saat mulai timbul kelumpuhan pada katak. 4. Katak yang telah menunjukkan gejala kelumpuhan diberikan perlakuan sesuai kelompok yang telah ditentukan, yaitu sebagai berikut: Kelompok kontrol positif diberikan piracetam 30 mg . Piracetam diberikan pada katak dengan cara langsung dimasukkan ke dalam mulut katak. Kelompok kontrol negatif diberikan akuades 1 ml. Kelompok ratak 6 mg diberikan larutan ratak 6 mg sebanyak 1 ml. Kelompok ratak 9 mg diberikan larutan ratak 9 mg sebanyak 1 ml. Kelompok ratak 12 mg diberikan larutan ratak 12 mg sebanyak 1 ml. Kelompok ratak 15 mg diberikan larutan ratak 15 mg sebanyak 1 ml.

5. Setelah diberikan perlakuan nomor 4, katak pada tiap-tiap kelompok dikembalikan pada posisi telentang dan catat waktu yang diperlukan katak untuk kembali ke posisi semula. 6. Kembali dilakukan pembalikan terhadap katak 1 menit setelah katak berhasil kembali ke posisi semula dan catat waktu yang diperlukan katak untuk kembali ke posisi semula. 7. Lakukan langkah nomor 6 dengan interval 1 menit dan terus diobservasi sampai katak kembali pulih dari kelumpuhan. 3.6 Besar Sampel

Untuk menghitung besar sampel, digunakan rumus Federer, sebagai berikut: (n-1)(t-1) 15 n = jumlah sampel tiap kelompok perlakuan t = jumlah kelompok perlakuan Dari rumus di atas dapat dilakukan perhitungan besar sampel sebagai berikut: t = 6, maka didapatkan (n-1) (6-1) 15 (n-1) 5 15 (n-1) 3 n4 Dari hasil perhitungan di atas, maka besar sampel pada penelitian ini adalah lebih atau sama dengan 4 sampel per kelompok. 3.7 Kriteria Inklusi dan Drop Out 3.7.1 Kriteria Inklusi Karakteristik umum yang harus dipenuhi obyek penelitian ini adalah: 1. Katak spesies Rana pipiens 2. Berat 25-30 mg 3. Sehat (akan dijelaskan lebih lanjut) 3.7.2 Kriteria Drop Out Obyek yang digunakan dalam penelitian dapat dinyatakan drop out atau tidak dapat digunakan lebih lanjut dalam penelitian apabila: 1. Mati selama eksperimen karena pemberian pavulon 2. Tidak menunjukkan gejala kelumpuhan 25 menit setelah penyuntikan Pankuronium Bromida. 3.8 IDENTIFIKASI VARIABEL Penelitian ini bersifat eksperimental yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara dua variabel yang dapat digolongkan menjadi variabel bebas (independent variable) dan variabel tergantung (dependent variable), yaitu: Independent variable Dependent variable 1. Perlakuan 2. Lama collapse : : Perlakuan (kontrol positif, kontrol negatif, dan berbagai dosis ratak). Lama collapse. : Skala kategorikal (diberikan atau tidak skala ordinal). : Skala numerik (menit)

Sedangkan, skala pengukuran tiap-tiap variabel di atas dapat dirangkumkan menjadi:

3.9 DEFINISI OPERASIONAL Dalam penelitian ini peneliti menggunakan istilah-istilah sebagai berikut: 1. Ratak adalah ekstrak rebusan akar tanaman akar kucing (Acalypha indica, Linn.) 2. Katak sehat adalah katak yang dapat membalikkan badan ke posisi semula dalam waktu 0,3 0,5 detik setelah dilakukan pembalikan sebelum diinjeksikan Pancuronium Bromida subkutan. 3. Katak yang mengalami gejala kelumpuhan adalah katak yang tidak mampu membalikkan badan ke posisi semula selama lebih dari 4 menit setelah dilakukan pembalikan. 4. Katak yang pulih dari kelumpuhan adalah katak yang mampu membalikkan badan ke posisi semula selama kurang dari 1 detik tiga kali pembalikan berturut-turut.

3.10

RENCANA PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

Data yang akan didapat pada akhir penelitian ini meliputi: 1. Lama collapse katak pada kelompok yang diberikan perlakuan berupa akuades 1 ml per oral setelah katak mengalami gejala kelumpuhan, atau disebut juga sebagai kelompok kontrol negatif, beserta ratarata pada kelompok tersebut. 2. Lama collapse katak pada kelompok yang diberikan perlakuan berupa piracetam 30 mg per oral setelah katak mengalami gejala kelumpuhan, atau disebut juga sebagai kelompok kontrol positif, beserta ratarata pada kelompok tersebut. 3. Lama collapse katak pada kelompok yang diberikan perlakuan berupa ratak 6 mg per oral setelah katak mengalami gejala kelumpuhan, atau disebut juga sebagai kelompok ratak 6 mg, beserta rata-rata pada kelompok tersebut. 4. Lama collapse katak pada kelompok yang diberikan perlakuan berupa ratak 9 mg per oral setelah katak mengalami gejala kelumpuhan, atau disebut juga sebagai kelompok ratak 9 mg, beserta rata-rata pada kelompok tersebut. 5. Lama collapse katak pada kelompok yang diberikan perlakuan berupa ratak 12 mg per oral setelah katak mengalami gejala kelumpuhan, atau disebut juga sebagai kelompok ratak 12 mg, beserta rata-rata pada kelompok tersebut. Selanjutnya data-data tersebut akan dimasukkan ke dalam tabel berikut: Tabel Hasil Eksperimen Ratak Sebagai Neuroterapi In Vivo pada Katak Perlakuan Setelah Collapse 4 menit (per oral) Lama 1 Aquadest 1 mL Piracetam Ratak 6 30 mg mg Ratak 6 mg Ratak 6 mg Ratak 6 mg

2 3 4 Collapse 5 6 7 Rata-Rata Sesuai dengan karakteristik data, peneliti akan menggunakan uji hipotesis komparatif variabel numerik berdistribusi normal lebih dari dua kelompok tidak berpasangan untuk menguji kebenaran hipotesis, yaitu uji one way anova.bkstatistikstl . Data tersebut akan diolah menggunakan program SPSS 14.0 for Windows. Proses yang akan dilakukan pada uji hipotesis tersebut adalah sebagai berikut: 1. Memeriksa syarat anova untuk > 2 kelompok tidak berpasangan, yaitu: a. Sebaran data harus normal b. Varians data harus sama Apabila nilai p > 0,05 dapat diambil kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan varians antara kelompok data yang dibandingkan atau dengan kata lain varians data adalah sama. 2. Jika memenuhi syarat, maka dilakukan uji one way anova. 3. Jika tidak memenuhi syarat, maka diupayakan untuk melakukan transformasi data supaya sebaran menjadi normal dan varians menjadi sama. 4. Jika variabel hasil transformasi tidak berdistribusi normal atau varians tetap tidak sama, maka dipilih uji Kruskal-Wallis 5. Jika pada uji anova atau Kruskal-Wallis menghasilkan nilai p < 0,05, dapat disimpulkan bahwa setidaknya terdapat dua kelompok yang mempunyai varians data yang berbeda secara bermakna. Untuk mengetahui kelompok yang mengalami perbedaan bermakna, dilakukan analisis post-hoc.

Anda mungkin juga menyukai