Anda di halaman 1dari 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Stroke adalah penyakit yang merupakan penyebab kematian tersring ke tiga di negara Amerika, merupakan penyakit yang paling sering menimbulkan kecacatan. Menurut WHO (1997) stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak lokal (atau global) dengan gejalagejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Sedangkan menurut American Heart Association, diperkirakan terjadi 3 juta penderita stroke pertahun, dan 500.000 penderita stroke yang baru terjadi pertahun. Sedangkan angka kematian penderita stroke di Amerika adalah 50-100/100.000 penderita pertahun. Angka kematian tersebut mulai menurun sejak awal tahun 1900, dimana angka kematian sesudah tahun 1969 menurun hingga 5% pertahun. Beberapa peneliti mengatakan bahwa hal tersebut akibat kejadian penyakit yang menurun yang disebabkan karena kontrol yang baik terhadap faktor resiko penyakit stroke.1 Stroke merupakan suatu penyakit yang lama dikenal dan dewasa ini banyak diderita oleh masyarakat Indonesia. Penyakit yang disebabkan oleh gangguan perederan darah otak ini manisfestasinya adalah hemiparese. Penyakit ini akan menimbulkan problem kapasitas fisik berupa kelemahan anggota gerak sesisis kanan atau kiri, gangguan sensorik, potensial ulkus tekan, potensial kontraktur juga mengakibatkan permasalahan kemampuan fungsional yaitu gangguan gerak fungsional yang meliputi miring ke kanan atau ke kiri, bangun ke duduk dan berdiri. Stroke adalah kehilangan kesadaran mendadak dan sering kali disertai kelumpuhan sebagian tubuh yang disebabkan karena terbendungnya pembuluh darah. Di Indonesia masih belum terdapat epidemiologi tentang insidensi dan prevalensi penderita stroke secara nasional. Dari beberapa data penelitia yang minim pada populasi masyarakat didapatkan angka prevalensi penyakit stroke pada daerah urban sekitar 0,5% dan angka insidensi penyakit stroke pada darah rural sekitar 50/100.000 penduduk. Sedangkan dari data survey Kesehatan Rumah

Tangga (1995) DepKes RI, menunjukkan bahwa penyakit vaskuler merupakan penyebab kematian pertama di Indonesia.1 Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa pencegahan dan pengobatan yang tepat pada penderita stroke merupakan hal yang sangat penting, dan pengetahuan tentang patofisiologi stroke sangat berguna untuk menentukan pencegahan dan pengobatan tersebut, agar dapat menurunkan angka kematian dan kecacatan.1

2.1. Stroke Iskemik 2.1.1. Definisi Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal atau global yang timbul akibat gangguan aliran darah di otak (bukan oleh karena tumor atau trauma kepala) dengan manifestasi hemidefisit motorik, dapat disertai dengan atau tanpa hemidefisit sensorik, kelumpuhan saraf otak, aphasia, dan penurunan kesadaran.2 Stroke juga dikenal sebagai serangan serebrovaskuler (CVA), yang terjadi ketika suplai darah ke bagian otak terhenti. Hal ini akan menyebabkan kematian sel dalam beberapa menit. Kerusakan otak akibat stroke bisa berlanjut hingga beberapa hari setelah serangan.2 Stroke iskemik didefinisikan sebagai sekumpulan tanda klinik yang berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini berlangsung 24 jam atau lebih; pada umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah ke otak, yang menyebabkan cacat atau kematian. Stroke jenis ini memiliki ciri khas onset defisit neurologis setempat yang tiba-tiba. Beberapa pasien mengalami perkembangan gejala yang bertahap. Defisit neurologis yang lazim ditemukan meliputi dysphasia, dysarthria, hemianopia, hemiparesis, ataxia, dan sensory loss. Gejala dan tandanya biasanya satu sisi (unilateral).

2.1.2. Epidemiologi Di Amerika Serikat frekuensi stroke pertama adalah lebih dari 400.000 per tahun. Jumlah ini akan meningkat menjadi satu juta per tahun pada tahun 2050. Namun, insiden stroke di seluruh dunia tidak diketahui.3

Stroke adalah penyebab kematian yang utama ketiga dan penyebab utama kecatatan di Amerika Serikat. setelah penyakit jantung dan kanker pada kelompok usia lanjut, sedangkan di Indonesia menduduki peringkat pertama.Usia harapan hidup bertambah akibat keberhasilan dan kemajuan di bidang sosial ekonomi, serta perbaikan di bidang pangan. Hal ini mempunyai dampak dengan meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut. 3,4 Penyakit serebrovaskuler adalah penyebab kematian kedua di seluruh dunia pada tahun 1990, yang membunuh lebih dari 4,3 juta orang. Penyakit ini juga penyebab kelima hilangnya produktivitas, sebagaimana diukur dengan disability-adjusted life years (DALYs). Pada tahun 1990, penyakit kardiovaskuler menyebabkan 38,5 juta DALY di seluruh dunia. 3 Resiko stroke lebih tinggi pada pria ketimbang wanita. Walaupun stroke sering dianggap penyakit yang dialami orang tua, 25% stroke terjadi pada orang yang berusia di bawah 65 tahun. 3

2.1.3. Klasifikasi 1. Stroke Iskemik Tipe Emboli Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, atau dari sirkulasi sisi-kanan (paradoxical emboli). Sumber-sumber emboli kardiogenik adalah trombus valvular (misalnya, pada stenosis mitral, endokarditis, prosthetic valve); trombus mural (misalnya, pada infark miokard fibrilasi atrium, kardiomiopati dilatasi); dan atrial myxoma. Infark miokard berbubungan dengan 2-3% insiden stroke emboli, yang terjadi 85% pada bulan pertama setelah infark miokard. 4 Infark lakunar bertanggung jawab atas 13-20% dari semua infark serebri dan biasanya melibatkan pembuluh darah kecil pada subkorteks serebri dan batang otak. Infark lakunar sering terjadi pada pasien dengan penyakit pembuluh darah kecil, seperti diabetes dan hipertensi. Emboli halus atau proses in situ yang disebut lipohyalinosis diduga menyebabkan infark lakunar. Sindrom lakunar yang paling sering adalah stroke motorik murni, sensoris murni, dan hemiparesis ataksik. 4

2. Stroke Iskemik Tipe Trombosis Tempat yang paling sering terjadi oklusi trombosis adalah titik-titik percabangan arteri serebri, khususnya pada distribusi arteri karotis interna. Stenosis arterial (yaitu, turbulensi aliran darah), atherosklerosis, dan perlengketan platelet menyebabkan pembentukan bekuan darah yang menyumbat arteri tersebut. Penyebab trombosis yang kurang sering adalah polisitemia, sickle cell anemia, defesiensi protein C, displasia fibromuskular pada arteri-arteri serebri, dan vasokonstriksi lama pada migren. Setiap proses yang menyebabkan diseksi arteri serebri juga dapat menyebabkan stroke trombosis (misalnya, trauma, diseksi aorta thorakal, arteritis). Kadangkala, hiperfusi distal ke arteri yang stenosis atau tersumbat atau hiperfusi pada regio yang rentan antara kedua batas arteri serebri dapat menyebabkan stroke iskemik.4

2.1.4. Patofisiologi Iskemia jaringan otak biasanya disebabkan oklusi mendadak pada arteri di daerah otak (biasanya arteri vertebrobasilar) bila ada ruptur plaque yang kemudian akan mengaktivasi sistem pembekuan. Interaksi antara ateroma dengan bekuan akan mengisi lumen arteri sehingga aliran darah mendadak tertutup. Aterosklerosis berhubungan erat dengan banyak faktor risiko, seperti hipertensi, obesitas, merokok, diabetes mellitus, usia dan kadar kolesterol yang tinggi. Adanya plak atherosklerosis pada percabangan arteri-arteri akan sangat membantu timbulnya trombosis dan oklusi pada tempat-tempat tersebut. Pada ondartertis luetika dinding arteri itu pula menebal berkat adanya radang leutik. Lumennya akan menyempit sehingga memudahkan timbulnya trombosis dan oklusi di daerah tersebut. 5 Stroke iskemik (stroke non-hemoragik, infark otak, penyumbatan) dapat terjadi berdasarkan 3 mekanisme yaitu trombosis serebri, emboli serebri dan pengurangan perfusi sistemik umum.

1. Stroke Akibat Trombosis Serebri Stroke trombotik yaitu stroke yang disebabkan karena adanya penyumbatan lumen pembuluh darah otak karena trombus yang makin lama makin menebal, sehingga aliran darah menjadi tidak lancar. Penurunan aliran darah ini menyebabkan iskemik. Trombosis serebri adalah obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih pembuluh darah lokal. Trombosis diawali dengan adanya kerusakan endotel, sehingga tampak jaringan kolagen di bawahnya. Proses trombosis terjadi akibat adanya interaksi antara trombosit dan dinding pembuluh darah, adanya kerusakan endotel pembuluh darah. Endotel pembuluh darah yang normal bersifat antitrombosis karena adanya glikoprotein dan proteoglikan yang melapisi sel endotel dan adanya prostasiklin (PGI ) pada endotel yang bersifat vasodilator dan inhibisi platelet
2

agregasi. Pada endotel yang mengalami kerusakan, darah akan berhubungan dengan serat-serat kolagen pembuluh darah, kemudian merangsang trombosit dan agregasi trombosit dan merangsang trombosit mengeluarkan zat-zat yang terdapat di dalam granula-granula di dalam trombosit dan zat-zat yang berasal dari makrofag yang mengandung lemak. Akibat adanya reseptor pada trombosit menyebabkan perlekatan trombosit dengan jaringan kolagen pembuluh darah.

2. Emboli Serebri Selain oklusi trombotik pada tempat aterosklerosis arteri serebral, infark iskemik dapat diakibatkan oleh emboli yang timbul dari lesi atheromatus yang terletak pada pembuluh darah yang lebih distal. Gumpalan-gumpalan kecil dapat terlepas dari trombus yang lebih besar dan dibawa ke tempattempat lain dalam aliran darah. Bila embolus mencapai arteri yang terlalu sempit untuk dilewati dan menjadi tersumbat, aliran darah fragmen distal akan berhenti, mengakibatkan infark jaringan otak distal karena kurangnya nutrisi dan oksigen. Emboli merupakan 32% dari penyebab stroke.

Stroke emboli dapat diakibatkan dari embolisasi dari arteri di sirkulasi pusat dari berbagai sumber. Selain gumpalan darah, agregasi trombosit, fibrin, dan potongan-potongan plak atheromatous, bahan-bahan emboli yang diketahui masuk ke sirkulasi pusat termasuk lemak, udara, tumor atau metastasis, bakteri, dan benda asing. Tempat yang paling sering terserang embolus serebri adalah arteri serebri media, terutama bagian atas. Emboli akan lisis, pecah atau tetap utuh dan menyumbat pembuluh darah sebelah distal, tergantung pada ukuran, komposisi, konsistensi, dan umur plak tersebut, dan juga tergantung pada pola dan kecepatan aliran darah. Sumbatan pada pembuluh darah tersebut (terutama pembuluh darah di otak) akan menyebabkan matinya jaringan otak, dimana kelainan ini tergantung pada adanya pembuluh darah yang adekuat.

3. Hipoperfusi Sistemik Pengurangan perfusi sistemik dapat mengakibatkan kondisi iskemik karena kegagalan pompa jantung atau proses perdarahan atau hipovolemik. Berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh karena adanya gangguan denyut jantung.

2.1.4. Faktor risiko stroke iskemik Stroke dapat dicegah dengan memanipulasi faktor-faktor risikonya. Faktor risiko stroke ada yang tidak dapat diubah, tetapi ada yang dapat dimodifikasi dengan perubahan gaya hidup atau secara medik. Menurut Sacco 1997, Goldstein 2001, faktor-faktor risiko pada stroke adalah : 1. Hipertensi Hipertensi merupakan faktor resiko mayor yang dapat diobati. Insidensi stroke bertambah dengan meningkatnya tekanan darah dan berkurang bila tekanan darah dapat dipertahankan di bawah 140/90 mmHg, baik pada stroke iskemik, perdarahan intrakranial maupun perdarahan subarachnoid.

2.

Penyakit jantung Meliputi penyakit jantung koroner, kongestif, hipertrofi ventrikel kiri, aritmia jantung dan atrium fibrilasi merupakan faktor risiko stroke.

3.

Diabetes mellitus Diabetes mellitus adalah faktor risiko stroke iskemik. Resiko pada wanita lebih besar daripada pria. Bila disertai hipertensi, risiko menjadi lebih besar.

4.

Viskositas darah Meningkatnya viskositas darah baik karena meningkatnya hematokrit maupun fibrinogen akan meningkatkan risiko stroke.

5.

Pernah stroke sebelumnya atau TIA (Trancient Ischemic Attack) 50% stroke terjadi pada penderita yang sebelumnya pernah stroke atau TIA. Beberapa laporan menyatakan bahwa 1/3 penderita TIA kemungkinan akan mengalami TIA ulang, 1/3 tanpa gejala lanjutan dan 1/3 akan mengalami stroke.

6.

Peningkatan kadar lemak darah Ada hubungan positif antara meningkatnya kadar lipid plasma dan lipoprotein dengan aterosklerosis serebrovaskular; ada hubungan positif antara kadar kolesterol total dan trigliserida dengan risiko stroke; dan ada hubungan negatif antara menigkatnya HDL dengan risiko stroke.

7.

Merokok Risiko stroke meningkat sebanding dengan banyaknya jumlah rokok yang dihisap per hari.

8.

Obesitas Sering berhubungan dengan hipertensi dan gangguan toleransi glukosa. Obesitas tanpa hipertensi dan DM bukan merupakan faktor risiko stroke yang bermakna.

9.

Kurangnya aktivitas fisik/olahraga Aktivitas fisik yang kurang memudahkan terjadinya penimbunan lemak. Timbunan lemak yang berlebihan akan menyebabkan resistensi insulin sehingga akan menjadi diabetes dan disfungsi endotel.

10. Usia tua Usia berpengaruh pada elastisitas pembuluh darah. Makin tua usia, pembuluh darah makin tidak elastis. Apabila pembuluh darah kehilangan elastisitasnya, akan lebih mudah mengalami aterosklerosis. 11. Jenis kelamin (pria > wanita) 12. Ras (kulit hitam > kulit putih)

2.1.5. Gambaran klinis stroke iskemik Stroke iskemik merupakan penyakit yang progresif dengan berbagai macam tampilan klinis, dari yang ringan hingga yang berat. Gambaran klinis stroke iskemik dapat berupa kelemahan anggota tubuh (jarang pada kedua sisi), hiperrefleksia anggota tubuh, kelemahan otot-otot wajah, dysarthria, dysfagia, peningkatan reflex muntah, diplopia, nystagmus, kelemahan otot mata, dan penurunan kesadaran. Trombosis suatu arteri tertentu akan memberikan gejala yang khas bagi penyumbatan arteri tersebut. 5 1. Trombosis A. Karotis interna Pada penderita muda yang memiliki sirkulus arteriosus Willisi yang baik,

tidak akan tampak suatu defisit neurologis. Pada orang yang telah lanjut umurnya dan memiliki sirkulus arteriosus Willisi yang tidak dapat lagi berfungsi dengan baik akan tampak gejala-gejala seperti berikut: 5 a. Hemiplegia di sisi kontraleteral b. Afasia, bila a. karotis interna yang tersebut ini memperdarahi hemisfer yang dominan c. Buta (amaurosis) pada mata di sisi ipsilateral. Ini timbul karena ikut sertanya tersumbat a. oftalmika di sisi ipsilateral.

2. Trombosis A. serebri anterior Gejala-gejala yang akan tampak: 5

a. Monoplegi tungkai di sisi kontralateral. (mungkin pula tampak suatu hemiparese dengan monoplegi pada tungkai dan monoparese pada tangan di sisi kontralateral) b. Hemianestesia atau gangguan sensibilitas yang terbatas pada kaki di sisi kontralateral

3. Trombosis A. serebri media Gejala-gejala yang akan tampak adalah: 5 a. Hemiparese kontralateral b. Hemianestesia kontralateral c. Afasia, bila yang tersumbat adalah a. serebri media di hemisfer yang dominan

4. Trombosis A. serebri posterior Gejala-gejala yang akan tampak adalah: 5 a. Transient hemiparesis di sisi kontralateral b. Transient hemianestesia di sisi kontralateral c. Hemianopsi homonim dengan bagian sentral yang bebas d. Afasia motorik, bila a. serebri posterior yang tersumbat adalah di hemisfer yang dominan

5. Trombosis A. serebellaris posterior inferior Trombosis a. serebellaris posterior inferior akan menimbulkan sindrom Wallenberg, dengan gejala-gejala: 5 a. Hemihipestesi alternans b. Parese N. IX dan N. X di sisi homolateral. c. Vertigo d. Ataksia (di sisi homolateral) e. Horner di sisi homolateral

6. Trombosis A. serebellaris superior Trombosis arteri ini akan memperlihatkan: 5 a. Ataksia hemiserebelaris ipsilateral b. Hemianestesia kontralateral

7. Trombosis A. basillaris Akan memperlihatkan: 5 a. Vertigo b. Anestesia di seluruh tubuh c. Tetraplegia d. Koma dengan pupil yang isokor dan kecil

8. Trombosis A. spinalis anterior Trombosis a. spinalis anterior akan menimbulkan mielomalasia dengan gejalagejala : 5 a. Paraplegia b. Gangguan sensibilitas (semua kualitas) setinggi lesi c. Gangguan miksi, defekasi, dan fungsi genitalia.

2.1.6. Diagnosis Stroke Iskemik Untuk mendiagnosis kasus stroke, idealnya dengan observasi klinis sindrom/kumpulan gejala dan perjalanan penyakit, serta karakteristik patofisiologi dan mekanisme penyakit yang dikonfirmasi dengan data-data patologis, laboratoris, elektrofisiologi, genetik, atau radiologis. 1. Pemeriksaan Radiologis a. CT-Scan Pada kasus stroke, CT-Scan dapat menentukan dan memisahkan antara jaringan otak yang infark dan daerah penumbra. Selain itu, alat ini bagus juga untuk menilai kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi terakhir, CT-Scan dapat mendeteksi lebih dari 90% kasus stroke iskemik, dan menjadi baku emas dalam diagnosis stroke.

b. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Secara umum lebih sensitif dibandingkan CT-Scan. MRI juga dapat digunakan pada kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli paru, udara bebas dalam peritoneum dan fraktur. Kelemahan lainnya adalah prosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali rumah sakit yang mempunyai, harga pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak dapat dipakai pada pasien yang memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu pendengaran.

2. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada stroke akut meliputi beberapa parameter yaitu hematologi lengkap, kadar gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin, profil lipid, enzim jantung, analisis gas darah, protrombin time (PT) dan activated thromboplastin time (aPTT), kadar fibrinogen serta Ddimer. Polisitemia vera dan trombositemia esensial merupakan kelainan darah yang dapat menyebabkan stroke. Polisitemia, nilai hematokrit yang tinggi menyebabkan hiperviskositas dan mempengaruhi darah otak. Trombositemia meningkatkan kemungkinan terjadinya agregasi dan terbentuknya trombus. Kadar glukosa darah untuk mendeteksi adanya hipoglikemia dan hiperglikemia dimana dapat dijumpai gejala neurologis. Pemeriksaan elektrolit bertujuan mendeteksi gangguan natrium, kalium, kalsium, fosfat dan magnesium yang semuanya dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat. Analisis gas darah perlu dilakukan untuk mendeteksi penyebab metabolik, hipoksia dan hiperkapnia. Profil lipid dan enzim jantung untuk menilai faktor resiko stroke. PT dan aPTT untuk menilai aktivitas koagulasi serta monitoring terapi. Sedangkan D-dimer diperiksa untuk mengetahui aktivitas fibrinolisis.

2.1.7. Tatalaksana Stroke Iskemik Manajemen stroke iskemik fase akut sama halnya seperti serangan stroke iskemik yang pertama yaitu dilakukan ABC sesuai dengan kedaruratan. 6 a. Airway and Breathing

Pembebasan jalan napas bagian atas merupakan prioritas yang pertama supaya bersih dan bebas hambatan, setelah itu dilakukan penilaian tingkat kesadaran, kemampuan bicara dan kontrol pernapasan dengan cepat hanya dengan menanyakan nama dan alamat penderita. Pemeriksaan orofaring dan mulut dilakukan untuk melihat sisa makanan, gigi palsu yang lepas dan benda asing di mulut. Perlu diperhatikan bahwa pemasangan gudel dapat merangsang gagreflek yang agak sulit ditoleransi penderita. b. Sirkulasi Stabilitasi sirkulasi penting untuk perfusi organ-organ tubuh yang adekuat. Termasuk komponen sirkulasi adalah denyut nadi, frekuensi detak jantung dan tekanan darah. Jadi pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan kedua sisi, jika terjadi perbedaan nyata maka kemungkinan terdapat diseksi aorta atau karotis. Keadaan ini seterusnya bermanifestasi terhadap kedaruratan neurologi. Prinsip perawatan dan pengobatan umum pada stroke akut adalah mempertahankan kondisi agar dapat menjaga tekanan perfusi dan oksigenasi serta makanan yang cukup agar metabolisme sistemik otak terjamin. Secara klinis, ini dilakukan:6 1. Stabilisasi fungsi kardiologis melalui ABC 2. Mencegah infeksi sekunder terutama pada traktus respiratorius dan urinarius 3. Menjamin nutrisi, cairan, dan elektrolit yang stabil dan optimal. 4. Mencegah dekubitus dengan trombosis vena dalam 5. Mencegah timbulnya stress ulcer dengan pemberian obat antasida/pump inhibitor/ 6. Menilai kemampuan menelan penderita, untuk menentukan apakah dapat diberikan makanan per oral atau dengan NGT. Karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka harus dilakukan evaluasi dan diagnosis klinik yang cepat, sistemik dan cermat, meliputi:7 1. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas saat serangan, gejala lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar,

kejang, cegukan, gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor- faktor resiko stroke (hipertensi, hiperkolesterol, diabetes, dll). 2. Pemeriksaan Fisik, meliputi penilaian ABC, nadi, oksimetri, dan suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misal cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda- tanda distensi vena jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan dada (jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas. 3. Pemeriksaan Neurologik dan Skala stroke, Pemeriksaan neurologik terutama pemeriksaan saraf kraniales, rangsang meningeal, sistem motorik, sikap dan cara jalan, refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS (NATIONAL Institutes of Health Stroke Scale). Terapi Trombolitik Satu-satunya obat yang diakui FDA sebagai standar ini adalah pemakaian r-TPA (recombinant-tissue plasminogen activator) yang diberikan pada penderita stroke akut dengan syarat-syarat tertentu baik I.V maupun intra arteri dalam waktu kurang dari 3 jam setelah onset stroke. Diharapkan dengan pengobatan ini, terapi penghancuran trombus dan reperfusi jaringan otak terjadi sebelum ada perubahan ireversibel pada otak yang terkena terutama penumbra. 9 Terapi reperfusi lainnya adalah pemberian antikoagulan pada stroke iskemik akut. Obat-obatan yang diberikan adalah heparin atau heparinoid. Obat ini diharapkan akan memperkecil trombus yang terjadi dan mencegah pembentukan trombus baru. Efek antikoagulan heparin adalah inhibisi terhadap faktor koagulasi dan mencegah/memperkecil pembentukan fibrin dan propagasi trombus. Binding heparin dengan AT III menginaktivasi enzim-enzim, sehingga koagulasi meningkat, yang bekerja terhadap thrombin (Iia), Faktor X a dan Faktor IX a. Pada saat ini para ahli belum merekomendasikan terapi antikoagulan pada stroke dan sepakat memberikan untuk mengobati trombus vena dalam yang merupakan komplikasi/penyulit stroke akut. 9

Gambar 1: Mekanisme Kerja r-TPA2 Terapi Antikoagulan Pada fase akut stroke iskemik, heparin merupakan antikoagulan yang serung dipakai. Alasan pemakaiannya adalah (1) heparin mengurangi frekuensi DVT dan emboli pulmonal, (2) mencegah dan memperkecil pembentukan trombosis intraarterial pada penderita stroke dengan demikian mencegah perburukan stroke (karena propagasi trombus). Dalam hal ini sampai sekarang, heparin belum terbukti mempengaruhi keluaran stroke iskemik (embolik) dan masih kontroversial. Pemberian heparin pada stroke kardio-embolik masih tetap diberikan di beberapa senter di Amerika dan dilakukan seperti direkomendasikan oleh Cerebral Embolism Study Group (1983). Perlu diingatkan bahwa bahwa perdarahan intraserebral yang cepat pada pemberian heparin terutama pada orang tua, hipertensi berat dan infark yang luas. Penggunaan heparin subkutan lebih disukai daripada intravena dan pemberian heparin dilakukan hanya untuk beberapa hari sambil menunggu efek oral antikoagulan yang lebih efisien tetapi efektivitasnya penuh setelah beberapa hari pemberian. Akhir-akhir ini dilaporkan oleh Kay menfaat yang lebih baik dari Fraxiparine, dervat heparin yang lebih stabil dengan efek samping yang lebih ringan. Pengobatan diberikan dengan pemberian subkutan dan meskipun belum dipakai secara luas, tetapi telah dicoba pada stroke embolik mendahului pemberian oral antikoagulan.

Pemberian heparin diberikan secara intravena dimulai dengan bolus 5000 Unit dan selanjutnya diberikan 10.000 15.00 Unit per hari dengan mempertahankan APTT 1 - 2 (satu setengah sampai dua setengah) kali normal selama 2-3 hari dan kemudian diberikan oral antikoagulan (warfarin) dengan target INR 2-3. Biasanya dalam 2-3 hari setelah optimalisasi dosis warfarin, pemeberian heparin dihentikan dan pengobatan diteruskan dengan oral antikoagulan.10

Tatalaksana Edema Serebri Tidak ada terapi medis spesifik yang direkomendasikan untuk penggunaan rutin yang pada pasien dengan stroke iskemik akut, kecuali aspirin.11 Osmotik diuretik, terutama manitol, adalah salah satu agen yang secara luas digunakan pada pengobatan edema serebri. Manitol bisa menurunkan tekanan intrakranial dengan menurunkan semua isi air dan volume cairan serebro spinal dan dengan menurunkan volume darah berhubungan dengan vasokonstriksi. Manitol juga meningkatkan perfusi serebral dengan menurunkan viskositas atau dengan mengubah reaksi sel darah merah. Sebagai agen pengusir radikal bebas, manitol berperan sebagai pelindung melawan jejas biokimia. 11 Manitol dilaporkan bisa menurunkan edema serebri, ukuran infark dan defisit neurologi pada beberapa contoh experimental dari stroke iskemik, walaupun pertama kali diberikan dalam waktu 6 jam setelah onset stroke. 11 Edema serebri pada manusia diterapi dengan manitol yang diketahui bisa menurunkan tekanan intrakranial beberapa penyakit dan diketahui bisa menurunkan case falality pada edema serebri berhubungan dengan gagal hepatik. Pada penelitian stroke arteri teritori serebri media, mordalitas terapi yang mencakup osmothy pada awalnya efektif tetapi kontrol tekanan intrakranial tetap dilakukan pada jumlah kecil pasien. 11 Komplikasi paling biasa dari terapi manitol ialah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, edema kardiopulmonal dan rebound edema serebri. Manitol juga bisa menyebabkan gagal ginjal pada dosis terapetik dan reaksi hipersensitivitas bisa terjadi. Walaupun ada beberapa laporan yang tidak dapat

membuktikan

efek

yang

menguntungkan

dari

manitol

pada

stroke

iskemik/hemoragik. American Heart Assosiation merekomendasikan penggunaan manitol secara luas digunakan pada stroke akut di seluruh dunia. Hampir 70% dari dokter di Cina menggunakan manitol atau gliserol secara rutin pada stroke akut dan manitol digunakan secara rutin pada stroke akut pada beberapa negara Eropa Teknik Pemberian Diuretik osmotik (Manitol 20%) Dosis : 0,5 -1 gr/kg BB diberikan dalam 30 Untuk mencegah rebound diberikan ulangan manitol setelah 6 jam dengan dosis 0,25-0,5 gr/kg BB dalam waktu 30 detik. Baik kelompok Mathew/Meyer di luar negeri maupun kelompok penulis di Jakarta, memperoleh hasil yang cepat dan sempurna dalam memulihkan fungsi serebral pada penderita dengan stroke iskhemik pada tahap dini. Bukti-bukti telah diperoleh bahwa terapi glycerol baik per oral (1,5 g/Kg/BB sehari), maupun per infus sebagai larutan glycerol dalam larutan garam fisiologik (500 cc sehari dalam 5-6 jam) memperbaiki CBF dan juga metabolisme serebral di kawasan yang iskhemik. Keuntungan yang didapatkan disertai perbaikan dan lonjakan pemakaian O2 sehingga meniadakan produksi asam laktat yang cepat mengakibatkan timbulnya edema serebri regional. Juga restorasi fosfat anorganik telah terbukti dipercepat oleh glycerol, sehingga terjadi sintesis fosfolipid di dalam kawasan iskhemia serebri. Pada penderita diabetes yang mengidap stroke, glycerol memberikan keuntungan lebih besar, oleh karena glycerol merupakan sumber karbohidrat yang menimbulkan hiperglikemia/glukosuria. Bagi penderita stroke yang hipertensif dan mempunyai gangguan ginjal, glycerol bertindak sebagai diuretikum. Manfaat glycerol tersebut di atas tidak atau jarang disertai efek samping yang berbahaya. Cara penggunaannya adalah sebagai berikut : 11 a. Penggunaan per oral : Dosis : 1,5 gram/kgBB sehari diberi dalam 3 atau 4 angsuran

Cara pemberian : 25-30 cc glyserol dilarutkan dalam 200 cc air dan diminum sekaligus atau dicicil asal habis dalam sampai 1 jam, tiga kali sehari, selama 10 hingga 15 menit. Catatan: gliserol adalah sama dengan glyserine. b. Penggunaan per infus: Dosis : 500 cc 10% glyserol (Biomedis, TNI, Jakarta) sehari. Cara pemberian : Infus tetes, 30 tetes per menit sehingga habis dalam 5-6 jam. Diberikan 500 cc setiap hari, selama 5 hari berturut-turut, kemudian pemberian infus dihentikan selama 2 hari dan selanjutnya dapat diteruskan selama 5 hari lagi secara berturut-turut. 11 Dengan pemberian glyserol per os tida dijumpai efek samping. Pemberian per infus, adakalanya menimbulkan hemoglobinuria. Cara mengatasinya ialah sebagai berikut: encerkan glyserol 10% itu dengan larutan garam fisiologik melalui penampung yang menerima tetesan baik dari botol glyserol 10% maupun dari botol larutan garam fisiologik tambahan. Perbaikan fungsi serebral dapat disaksikan setelah pemberian infus glycerol pertama. Jika setelah pemberian infus kelima sudah diperoleh perbaikan yang sempurna, maka orangsakit tidak diberikan infus lagi. Dalam hal ini orangsakit dapat dipulangkan setelah 5-7 hari rawatan rumah sakit. Jika perbaikan lebih lanjut masih diharapkan, maka infus glycerol diteruskan sampai orangsakit menerima 10 kali. Menurut pengalaman pemberian infus lebih dari 10 kali tidak efektif, oleh karena kalau dengan 10 kali infus glycerol tidak lagi didapati kemajuan, pemberian-pemberian berikutnya hanya berarti penghamburan uang. 11 Steroid dapat dicoba, steroid diharapkan dapat mengurangi edema vasogenik, steroid dapat meredakan edema serebri yang mengelilingi infark atau daerah dimana sel membran tidak sepenuhnya rusak. Efikasi steroid meragukan; peningkatan resiko perdarahan, infeksi dan eksaserbasi diabetes dilaporkan ketika steroid digunakan pada pasien stroke. Pada kasus-kasus tertentu seperti anak muda, ada edema yang sangat impressive melaporkan zona infarknya masih kecil. Pada kasus-kasus jarang seperti ini, steroid dapat menolong. 11

Dosis steroid yang diberikan adalah 8-10 mg IV, diikuti 4 mg/6 jam im untuk 10 hari. Tapperly off (penyusutan bertahap dosis sampai berhenti sama sekali) dilakukan sekitar 7 hari. 11 Terapi Antiplatelet Pengobatan dengan obat antiplatelet pada fase akut stroke, baru-baru ini sangat dianjurkan. Uji klinis aspirin pada IST (International Stroke Trial) dan CAST (Chinese Aspirin Stroke Trial) memberikan bahwa pemberian aspirin pada fase akut menurunkan frekuensi stroke berulang dan menurunkan mortalitas penderita stroke akut. 10 Analisis gabungan dari hasil IST dan CAST menunjukkan bahwa kematian dini, stroke rekuren, atau kematian lambat dapat dicegah pada 1 pasien dengan stroke akut dengan memberikan aspirin pada 100 pasien dengan stroke akut.10 Terapi Neuroprotektor Pengobatan spesifik stroke iskemik akut yang kedua adalah dengan obatobat neuroproteksi: yaitu obat-obat yang mencegah dan memblok proses yang menyebabkan kematian sel-sel terutama di daerah penumbra. Obat-obat ini berperan dalam menginhibisi dan mengibah reversibilitas neuronal yang menganggu akibat ischemic cascade. Termasuk dalam kaskade ini adalah kegagalan hemostasis kalsium, produksi berlebih radikal bebas, disfungsi neurotransmitter, edema serebri, reaksi inflamasi oleh leukosit, dan obstruksi mikrosirkulasi. Proses delayed neuronal injury ini berkembang penuh setelah 2472 jam dan dapat berlangsung sampai 10 hari. 10 Banyak obat-obat yang dianggap mempunyai efek neuroprotektor antara lain:
10

a. Ca-channel blocker, nimodipin: manfaat pada stroke iskemik kurang meyakinkan. b. Obat-obat antagonis pre sinaptik dari Excitatory Amino Acid (EAA) seperti phenytoin, lubeluzole, dan propentophiline kesemuanya ternyata juga kurang efektif pada uji klinik. Sedangkan obat antagonis post-sinaptik terhdap EAA seperti Cerestat, dizocilpime, dextorphan, dextrometorphan, selfotel dan

eliprodil telah ditinggalkan karena kurang efektif dan mempunyai potensi efek samping yang serius. c. Obat-obat yang mensupresi pelepasan asam arakhidonat dan membran sel seperti prostasiklin ternyata tidak bermanfaat sebagai vasodilator (efek hipotensif) maupun sebagai antiplatelet, pada stroke iskemik akut. d. Obat-obat anti radikal bebas seperti lazaroid seperti tyrilazad mesylat dan propentofyline, keduanya tidak dapat digunakan karena tidak efektif. Secara umum dapat dikatakan, saat ini belum ada obat-obat neuroprotektif yang dapat dipakai pada iskemik stroke akut meskipun pada binatang percobaan jelas mempengaruhi dan memperbaiki sel-sel penumbra.10 Di samping obat-obatan di atas, telah ada dilaporkan usaha pengobatan dengan tujuan memperbaiki aliran darah otak serta metabolisme regional di daerah iskemia otak.10 Obat-obat ini misalnya: Citicoline, Pentoxyfilline, Pirasetam. Penggunaan obat ini melalui beberapa percobaan klinis dianggap bermanfaat, dalam skala kecil. Seperti halnya dengan obat-obat lain pada stroke akut, variasi penderita dan sulitnya memperoleh sampel yang identik dan kecilnya jumlah penderita yang diselidiki menyebabkan hasil-hasil terapi yang kontroversial.10 Di masa yang akan datang diperlukan metode penelitian yang lebih seksama dan percobaan dalam skala besar, akan dapat membantu menentukan efek obat-obat ini secara lebih teliti. 10 2.1.8 Outcome Stroke Kehilangan fungsi yang terjadi setelah stroke sering digambarkan sebagai impairements, disabilitas dan handicaps. Oleh WHO membuat batasan sebagai berikut (Caplan, 2000): 1. Impairments: menggambarkan hilangnya fungsi fisiologis, psikologis dan anatomis yang disebabkan stroke. Tindakan psikoterapi, fisioterapi, terapi okupasional ditujukan untuk menetapkan kelainan ini. 2. Disabilitas: merupakan setiap hambatan, kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu yang seharusnya mampu dilakukan orang yang sehat.

3. Handicapas: merupakan halangan atau gangguan pada seseorang penderita stroke untuk berperan sebagai manusia normal akibat impairment dan disabilitas. Pada berbagai penelitian klinis, skala Barthel index dan Modified Rankin Scale umumnya digunakan untuk menilai outcome karena mudah digunakan. (Shulter dkk, 1999). Dalam uji klinik Barthel index (BI) dan Modified Rankin Scale merupakan skala yang sering digunakan untuk menilai outcome dan merupakan pengukuran yang dapat dipercaya yang memeberikan penilaian yang lebih objektif terhadap pemulihan fungsional setelah stroke (Shulter dkk, 1999). Barthel index telah dikembangkan sejak tahun 1965, dan kemudian dimodifikasi oleh Grager dkk sebagai suatu teknik yang menilai pengukuran performasi pasien dalam 10 aktifitas hidup sehari-hari yang dikelompokkan ke dalam 2 kategori yaitu (sulter dkk, 1999): 1. Kategori yang berhubungan dengan self care antara lain: makan, membersihkan diri, mandi, berpakaian, perawatan buang air besar dan buang air kecil, penggunaan toilet. 2. Kategori yang berhubungan dengan morbiditas antara lain: berjalan, berpindah dan menaiki tangga. Skor maksimum dari BI ini adalah 100, yang menunjukkan bahwa fungsi fisik pasien benar-benar tanpa bantuan, dan nilai terendah adalah 0 yang menunujukkan ketergantungan total (Masur dkk, 2003). Skala mRS lebih mengukur performasi aktiifitas spesifik, dalam hal ini mental demikian juga adaptasi fisik digabungkan dengan defisit neurologi. Skala ini terdiri dari 6 derajat, yaitu 0 yang berarti tidak ada gejala, 5 yang berarti cacat/ketidakmampuan yang berat dan 6 yang berarti kematian. Skala ini lebih sensitif untuk penilaian pada penderita dengan disabilitas ringan dan sedang (Masur dkk, 2003; Weimar dkk, 2002). National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) merupakan pengukuran kuantitatif defisit neurologis berkaitan dengan stroke yang dapat memprediksi outcome stroke jangka panjang, terdiri dari 12 item pertanyaan (tingkat kesadaran,

respon terhadap pertanyaan, respon terhadap perintah, gaze palsy, pemeriksaan lapangan pandang, facial palsy, motorik, ataksia, sensori, bahasa, disartria, dan ektensi/inattentian). Ada 3 rentang skor NIHSS yang secara signifikan berhubungan dengan perawatan pasien stroke yaitu; skor 5 pasien berarti pasien dapat keluar dari rumah sakit, skor 6-13; pasien memerlukan rehabilitasi dan > 13 memerlukan fasilitas perawatan yang lama (meyer dkk, 2002; Schelegel dkk, 2003). 2.1.9 Tatalaksana Rehabilitasi Medik Rehabilitasi menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan untuk mengurangi dampak disabilitas/handicap agar memungkinkan penyandang cacat dapat berintegrasi dengan masyarakat. Sedangkan rehabilitasi medik adalah proses pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan fungsional fisik dan psikologis dan kalau perlu mengembangkan mekanisme kompensasinya agar individu dapat berdikari. 13 Dalam penanganan penderita stroke sangat diperlukan pendekatan multidisiplin yang komprehensif melalui tim rehabilitasi yang terdiri dari dokter, fisioterapist, terapist okupasi, ortotik prostetik, psikolog, pekerja sosial medik, terapi wicara serta perawat rehabilitasi, penderita dan keluarga penderita. Ukuran keberhasilan penanganan adalah bukan berdasarkan banyaknya jiwa penderita yang tertolong tetapi berapa banyak penderita yang dapat kembali berfungsi lagi di masyarakat. 14,15 Urutan-urutan dari yang paling berhasil sampai yang paling buruk adalah sebagai berikut: 15 1. Dapat berdikari dalam merawat dirinya sendiri 2. Mampu mencari nafkah serta dapat berekreasi seperti sebelum sakit tanpa memerlukan alat bantu 3. Seperti nomor 2 tetapi memerlukan alat bantu 4. Dapat ambulasi dan merawat dirinya dengan atau tanpa alat bantu 5. Untuk ambulasi memerlukan kursi roda dan bantuan untuk merawat dirinya

6. Hanya bergantung di tempat tidur Secara umum penatalaksanaan rehabilitasi penderita stroke sudah bisa dimulai pada hari pertama atau hari kedua setelah serangan stroke dengan tujuan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut tetapi penatalaksanaan yang khusus dapat diberikan pada saat penderita telah stabil (tidak ada kelainan defisit neurologis yang progresif dalam 48 jam). Syarat rehabilitasi secara khusus adalah sebagai berikut: 1. Mempunyai derajat kesadaran yang baik 2. Mengerti perintah-perintah/petunjuk yang sederhana 3. Dapat mengingat dan menerangkan kembali apa yang telah dipelajari kemarin. Karakteristik program rehabilitasi penderita stroke menurut Goblerg (1986) adalah sebagai berikut: 16 1. Mencegah komplikasi 2. Mencegah kekambuhan stroke (progresifitas) 3. Mengidentifikasi defisit fungsional dan kemampuan 4. Memperbaiki fungsional fisik melalui conditioning exercise 5. Meningkatkan kemajuan fungsional melalui training yang ditujukan pada AKS (mobilisasi, perawatan dirim kognisi dan komunikasi) 6. Menilai kebutuhan yang diperlukan untuk mobilitas dan AKS serta memberikan persiapan ortosis dan alat bantu yang spesifik 7. Menilai dan memberikan dukungan terhadap penderita dan keluarga dalam proses sosialisasi 8. Mengidentifikasi dan menangani gangguan afektif dan memberikan konseling dan dukungan kepada penderita 9. Mencegah komplikasi melalui evaluasi dan penanganan terhadap seluruh kondisi medik yang berkaitan 10. Mengidentifikasi dan memberikan kemudahan dalam hal aktivitas rekreasional mencakup aktivitas waktu luang dan hobi 11. Mengembalikan penderita ke keadaan mandiri termasuk ke pekerjaan yang menguntungkan

Liss menyatakan bahwa dengan pelayanan rehabilitasi yang tepat maka 80% dari mereka yang tetap hidup dapat berjalan tanpa bantuan, 70% dapat melakukan aktivitas mengurus diri sendiri dan 30 % dapat kembali bekerja. 17 Penyembuhan atau hasil akhir penderita stroke (functional outcome) berhubungan dengan beberapa faktor antara lain: 16,17 1. Berat ringannya stroke 2. Tingkat kesadaran 3. Ada tidaknya penyakit penyerta (DM), penyakit jantung, dan lain lain 4. EKG abnormal 5. Usia tua 6. Lambat penanganan medik dan lambat penanganan rehabilitasi 7. Lesi bilateral 8. Stroke sebelumnya 9. Disabilitas fungsional sebelumnya 10. Keseimbangan duduk yang rendah 11. Afasia global 12. Neglek berat 13. Defisit sensori dan visual 14. Gangguan kognitif 15. Inkontinensia > 1-2 minggu 16. Depresi 17. Hubungan sosial yang rendah Latihan ambulasi Latihan ambulasi merupakan bagian yang penting dalam rehabilitasi stroke. 1/3 penderita dengan stroke akut belum dapat berjalan sempurna paling sedikit 3 bulan setelah masuk rumah sakit. Untuk memulihkan ambulasi penderita tersebut mungkin memerlukan teknik-teknik seperti fasilitasi dan reedukasi. Fisioterapist memegang peranan yang sangat penting dalam melatih ambulasi penderita yaitu dengan melatih keseimbangan, transfer berat badan dibantu dengan pemakaian paralel bar, brace dan tongkat. Kelemahan yang berat pada ekstremitas bawah tidak menghalangi untuk ambulasi. Dengan meningkatkan

tonus ekstensor dikombinasi dengan bracing yang minimal maka penderita akan dapat berjalan. Sebelum latihan ambulasi dimulai biasanya fisioterapist melakukan aktif streching, ROM exercise, strengthening exercise, postural control dan endurance exercise. Pada dasarnya dalam rehabilitasi penderita stroke adalah meliputi pelatihan tugas-tugas fungsional (seperti ambulasi) dengan menggunakan fungsi motoris yang masih ada. 14 Syarat-syarat ambulasi bagi penderita stroke adalah 18 1. Mampu mengikuti instruksi, walaupun pada penderita ada gangguan berat pada komprehensi instruksi verbal tetapi penderita dapat belajar dari instruksi non verbal seperti peragaan demonstrasi 2. Mampu mempertahankan keseimbangan berdiri yang dapat dievaluasi pada waktu penderita berpindah tempat (transfer) 3. Tidak adanya kontraktur pada fleksor panggul, lutut serta tumit 4. Mampu mengendalikan fungsi motoris volunteer (kekuatan) untuk stabilisasi panggul, lutut dan kaki pada sisi yang lumpuh 5. Sense of position yang utuh pada ekstremitas yang paresis. Syarat ini tidak mutlak diperlukan karena penderita dengan gangguan propriosepsi dapat belajar berjalan dengan ekstremitas bawah dengan fungsi sensoris yang masih baik Tahapan latihan berjalan 18 1. Penderita belajar keseimbangan dengan berpegangan pada paralel bar atau penunjang lain waktu berdiri 2. Penderita belajar memindahkan beban penuh pada ekstremitas yang paresis 3. Penderita mulai melakukan gerakan jalan dengan berdiri di tempat dan bergantian memindahkan berat badan pada kedua tungkai (gait drill standing) 4. Penderita mulai jalan maju di paralel bar untuk membantu pola resiprokal (koordinasi timbal balik) yang baik 5. Berjalan memakai tongkat (tongkat biasa, tripod) atau walker

6. Berjalan menaiki tangga (untuk naik menggunakan tungkai yang sehat terlebih dahulu dan untuk turun menggunakan tungkai yang lumpuh terlebih dahulu) Faktor-faktor yang mempengaruhi ambulasi 1. Paralisis dan kelemahan otot Terutama otot ekstensor panggul pada sisi tubuh yang lumpuh dan merupakan satu-satunya fungsi motorik yang diperlukan untuk berjalan. Kebanyakan penderita mencapai pemulihan kekuatan maksimal dalam 6 bulan walaupun pada beberapa penderita pengembalian motorik ini masih terus berlangsung sampai satu tahun. 18 2. Spastisitas dan fleksibilitas Beberapa faktor yang mempengaruhi spastisitas ini adalah nyeri, ketakutan, dan kecemasan. Gambaran utama kondisi spastisitas ini adalah meningkatnya refleks regang yang manifes sebagai hipertoni dan kerap kali menghambat mobilitas. 18 3. Problem postural dan keseimbangan (balance) Menurut Lee-Jones (1988) beberapa penyebab yang berhubungan dengan postur adalah a. Faktor genetik (jenis kelamin, bentuk badan, dll) b. Faktor lingkungan (nutrisi, pekerjaan, adaptasi fisik, dll) c. Faktor psikososial (harga diri, gaya hidup, dll) d. Faktor fisiologik (umur, kelelahan, berat badan, dll) e. Faktor idiopatik (paralisis, fungsi sistem vestibular, dll) Sedangkan keseimbangan sangat dipegaruhi oleh penglihatan, proprioseptik dan fungsi labirin. 19 4. Sensasi Hilangnya sensasi setelah stroke sangat berpengaruh pada proteksi sendi dan kulit, kontrol keseimbangan, koordinasi dan kontrol motorik. Ada dua sistem sensorik yang terlibat yaitu proprioseptik dan body image.
20

5. Komorbiditas medik

Beberapa penderita stroke yang akan mendapatkan program rehabilitasi dan latihan ambulasi sering dihubungkan dengan kondisi medik penderita (seperti penyakit kardiorespirasim artritis dan amputasi) yang dapat membatasi kemampuan penderita berpartisipasi dalam program latihan, menghambat penampilan skill fungsional dan mengurangi hasil akhir program rehabilitasi. 21

2.1.10 Prognosis Prognosis setelah terjadi stroke iskemik akut sangat beragam, tergantung pada keadaan premorbid, keparahan stroke, usia, dan komplikasi-komplikasi poststroke.
11

Angka kematian: pada penelitian stroke Framingham and Rochester,

angka kematian keseluruhan pada 30 hari setelah stroke adalah 28 persen. Angka kematian 30 hari setelah stroke iskemik adalah 19 persen. Angka harapan hidup 1 tahun pada pasien dengan stroke iskemik pada penelitian Framingham adalah 77%. 11 Morbiditas, pada orang yang selamat dari stroke pada Framingham Heart Study, 31 persen butuh bantuan untuk dirinya, 20 % butuh bantuan saat berjalan, dan 71 persen mengalami gangguan kemampuan vokasional pada follow-up jangka panjang. 11

2.2 Hemiparese Hemiparese adalah kelemahan otot-otot lengan dan tungkai pada suatu sisi. Pada hemiparese terjadi kelemahan sebagian anggota tubuh dan lebih ringan pada hemiplegi. Penyebab tersering hemiparesis pada orang dewasa yaitu stroke akibat infark serebral atau perdarahan. Hemiparese yang terjadi memberikan gambaran bahwa adanya kelainan atau lesi sepanjang traktus piramidalis. Lesi ini dapat disebabkan oleh berkurangnya suplai darah, kerusakan jaringan oleh trauma atau infeksi ataupun penekanan langsung dan tidak langsung oleh massa (hematoma, abses, tumor). Hal tersebut selanjutnya akan mengakibatkan adanya gangguan pada traktus kortikospinalis yang bertanggung jawab pada otot-otot anggota gerak atas atau bawah.

Lesi yang mengenai daerah kortek serebri, seperti pada tumor, infark, atau trauma menyebabkan kelemahan sebagian tubuh pada sisi kontralateral. Hemiparesis yang terlibat pada wajah dan tangan (hemiparese brakhiofasial) lebih sering terjadi dibandingkan di daerah lain karena bagian tubuh tersebut memiliki area representasi kortikal yang luas. Lesi setingkat pedinkulus serebri, seperti prosses vaskular, perdarahan atau tumor menimbulkan hemiparesis spastik kontralateral yang dapat disertai oleh elumpuhan nervus okulomotorius ipsilateral. Lesi pada pons yang melibatkan traktus piramidalis karena tumor, iskemia pada batang otak atau perdarahan dapat menyebabkan hemiparesis kontralateral atau mungkin bilateral. Lesi pada pyramid medulla biasanya karena tumor dapat merusak serabut-serabut traktus piramidalis secara terisolasi, karena serabut-serabut non piramidal terletak lebih ke dorsal pada tingkat ini. Akibatnya dapat terjadi hemiparesis flasid kontralateral. Kelemahan tidak bersifat total karena jaras desenden lain tidak terganggu.

2.2.1. Anatomi Fisiologi Susunan Saraf Pusat A. Otak Otak merupakan organ tubuh yang paling penting menyangkut fungsi seperti berfikir, bergerak, berbicara, melihat, mendengar dan merasa apabila mengalami kerusakan sedikit saja, akibatnya sungguh fatal. Kerusakan sel otak setempat yang hanya sedikit saja, akan berakibat gangguan fungsi tubuh yang lebih luas melebihi daerah yang sesungguhnya rusak, karena sel otak yang rusak tadi akan mengeluarkan toksikasi glutamat yang akan merusak fungsi sel otak sekitarnya secara berantai yang tadinya masih baik. Otak terletak di rongga tengkorak (cavum cranii) dan bertanggung jawab dalam mengurus organ dan jaringan untuk daerah kepala dan leher.

B.

Medulla Spinalis Medulla spinalis adalah massa jaringan saraf berbentuk silindris memanjang menempati 2/3 cranalis vertebralis kurang lebih 42-45 cm dari C1

s/d L1,2 ujung rostral diteruskan oleh medulla oblongata sedangkan ujung distal diteruskan oleh Conus Medullaris. Dari sana keluar serabut saraf berbentuk ekor kuda disebut cauda equine bersifat LMN .

Fisiologi Peredaran Darah Cerebral Aliran darah akan membawa O2, makanan dan substansi lain yang dibutuhkan ke otak. Kebutuhan otak sangat mendesak dan sangat vital, kekurangan O2 kurang lebih 6 menit saja di otak akan mengakibatkan kematian sel otak, sementara tidak ada sistem pembantu pengambilan fungsi dari area yang lain yang terdekat melalui mekanisme adaptasi tetapi tidaklah sempurna. Karena itu sirkulasi darah ke otak haruslah cukup dan konstan. Arteri carolis interna dan arteri vertebralis beranastomosis di circulus Willici di substansia Alba dan mendapat tambahan dari arteri Bacillaris. Metabolisme otak butuh kurang lebih 18% O2 dari total kebutuhan O2, tubuh untuk oksidasi glukosa dan metabolisme karbohidrat dalam otak merupakan sumber tenaga yang utama, sedangkan metabolisme lemak dan protein hanya sedikit.

2.2.2. Hemiparese Pasca Stroke Hemiparese yang terjadi akibat stroke disebabkan oleh: 1. 2. CVD : emboli,thrombus,macam-macam tumor dan infeksi CVA : Trauma perdarahan introcerebral dan subrachnoid sangat erat kaitanya dengan faktor resiko: a. b. c. d. e. f. Hipertensi Kolestrol tinggi dalam darah (salah diet) PJK dan sakit jantung lainya Atherosklerosis arteri kepala dan leher Kecenderungan kepala darah menggumpal Obesitas Hemiparase pada umumnya terjadi pada orang berusia 40 tahun keatas karena kualitas pembuluh darah mulai menurun (degenerasi)bersamaan dengan

bertambahnya usia,dalam hal ini tekanan intravusal cenderung meninggi sehingga pembuluh darah di otak suatu saat pecah maka terjadi hemiparese.Pada penyumbatan peredaran darah di batang otak (pons) menyebabkan kelumpuhan sekitar wajah sisi homolateral serta lengan dan tungakai sisi kontaralateral.

Gejala-gejala Hemiparese pasca Stroke 1. a. Fase akut (setelah stroke 2 minggu) Lumpuh lemah separuh badan,terutama lengan dan tungkai,sering disertai mulut merot sesisi atau bersebelahan dengan tubuh yang lumpu. b. c. Tonus otot yang lumpuh bahkan hilang Gangguan keseimbangan dan koordinasi dalam berbagai posisi

d. Gangguan ADL e. Gangguan mental dan intelegensi sangat dominan.

2. a.

Fase perbaikan (Recevory) (minggu ke 2-6 minggu) Ketegangan (tonus) otot berangsur-angsur mulai muncul pada annggota tubuh yang lumpuh b. Kseimbangan angkat pantat,duduk dan berdiri / berjalan berangsurangsur muncul c. Pelan-pelan mulai dapat bicara dan sedikit mengerti apa yang dikatakan orang lain,tetapi pada hemiplegic kanan, gangguan bicara tetap mundur (afasia) d. Emosi labil dan masuh pelupa

3. a. b. c.

Fase kronik (lebih dari 6 minggu) Keadaan seperti fase perbaikan tetapi kemajuan lebih nampak Ketegangan (tonus)otot sangat tinggi,dikenal dengan spastic Keseimbangan angkat pantat, berdiri dan bergerak nampak sedikit demi sedikit mengalami kemajuan d. Koordinasi melakukan aktivitas keseharian juga sedikit mengalami kemajuan.

e.

Aktivitas komunikasi bicara sedikit kemajuan, kecuali pada hemiparese kanan.

f.

Kontraktur otot,kaku sendi dan sakit sendi bahu muncul dominan sehingga sangat menghambat kemajuan aktivitas keseharian makan, minum, kamar mandi, pakaian dan memelihara diri.

g.

Emosi labil

Keadaan diatas sangat dipengaruhi oleh jenis,letak dan luas kerusakan diotak,dimana hemiparese akibat iskemik kemajuan kesehatan dan kebugaranya sangat nampak,bahkan dapat mencapai perbaikan sekitar 95%. Apabila penderita dirawat / dilatih debgan baik,tetapi sebaliknya apabila penangananya salah, bisa berakibat fatal yakni berubah menjadi hemoragic hemiparse yang kemajuan maksimalnya 60%. Hal tersebut dapat terjadi karena pecahnya penyumbatan pembuluh darah saja disebabkan antara lain oleh penanganan exercise yang salah.

BAB III ANALISIS KASUS

Seorang laki-laki berusian 58 tahun dengan keluhan kelemahan secara tibatiba yang pertama kali dirasakan 5 jam SMRS saat pasien sedang menyetir. Kelemahan pada lengan kiri dan tungkai kiri sama. 7 jam sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh nyeri kepala, muntah-muntah, dan bicara yang pelo yang berlangsung selama 1 jam kemudian menghilang namun pasien masih dapat mengerti pembicaraan orang lain dan berbicara seperti normal, sewaktu berbicara mulut dan bibir pasien berdeviasi ke arah kiri. Lalu pasien dirawat di bagian syaraf rumah sakit Moh husin. Dari hasil pemeriksaan neurologis didapatkan parese parese N.VII dan N XIII sentral dextra. Dari status motorik, terdapat kelemahan ekstremitas superior dan inferior sinistra. Lalu dirujuk untuk fisioterapi ke bagian rehabilitasi medik. Kelemahan ekstremitas superior dan inferior pasien dirasakan membaik dan pasien berangsur-angsur dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti memegang sendok dan mengancing baju sendiri, namun pasien masih belum dapat berdiri dan dan berjalan sendiri. Tidak ada riwayat penyakit terdahulu yang berhubungan dengan penyakit yang diderita pasien sekarang. Adapun rencana terapi pada pasien ini adalah terapi medikamentosa citicholine yang banyak diteliti untuk pasien stroke, terdapat tiga teori yang didapatkan mengenai bagaimana citicholine membantu pasien stroke yaitu : perbaikan membran sel syaraf melalui peningkatan sintesis

phosphatidylcholine. Perbaikan neuron kolinergik yang rusak melalui potensi dari produksi aseilkolin. Pengurangan dari penumpukan asam lemak bebas pada fokus kerusakan stroke. Dan fisioterapi berupa bed positioning, latihan lingkup gerak aktif, latihan penguatan otot untuk ekstremitas sinistra, latihan berdiri dan berjalan yang

berguna untuk membantu pasien untuk dapat kembali pulih dan dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari dan Infra red radiation pada ekstremitas superior dan inferior sinistra (lengan dan tungkai kiri) selama 3 kali seminggu yang mempunyai fungsi untuk mengaktifkan molekul air di dalam tubuh sehingga dapat meningkatkan oksigen dalam darah, meningkatkan sirkulasi mikro, bergetarnya molekul air dan pengaruh infra merah akan menghasilkan panas yang menyebabkan pembuluh kapiler membesar dan meningkatkan temperatur kulit dan memperbaiki sirkulasi darah. Terapi Okupasi Membantu pasien kembali berjalan dan bekerja seperti biasa, Membantu pasien mengembalikan kekuatan otot dan meningkatkan lingkup gerak sendi dengan aktifitas dan permainan supaya kondisi pasien kembali seperti biasa. Sosiomedik yaitu motivasi dan konseling keluarga pasien untuk selalu berusaha menjalankan home program maupun program di RS. Psikologi dengan memberikan motivasi kepada pasien agar selalu melaksanakan program rehabilitasi. Othotik Prostetik memberi alat bantu seperti Tripod untuk membantu pasien latihan berjalan seperti biasa. Dan Terapi Wicara dengan memberi latihan bicara sampai pasien dapat berkomunikasi dengan jelas.

DAFTAR PUSTAKA
1. Japardi, Patofisiologi stroke infark akibat tromboemboli. USU digital library. 2002. 2. Always, 2009. Stroke essentials for primary care, current clinical practice, Humana Press, USA. 3. Weiner, HL. Stroke, dalam Buku Saku Neurologi, Edisi 5, Penerbit EGC, Jakarta, 2001 4. Jauch, EC. Acute stroke management, dalam www.eMedicine.com, Updated MAY 24, 2005.Diakses pada 25 Mei 2011. 5. Mardjono, Mahar dan Sidharta Priguna, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 1997 6. Adams, Guidelines for the Early Management of Adults With Ischemic Stroke: A Guideline From the American Heart Association/ American Stroke Association Stroke Council, Clinical Cardiology Council, Cardiovascular Radiology and Intervention Council, and the Atherosclerotic Peripheral Vascular Disease and Quality of Care Outcomes in Research Interdisciplinary Working Groups: The American Academy of Neurology affirms the value of this guideline as an educational tool for neurologists. Stroke 2007;38;16551711. 7. American Stroke Association. Stroke, 2000. Dikutip dari stroke.

ahajournals.org. 8. Guidelines Stroke 2007, PERDOSSI. Diunduh dari

http://dc118.4shared.com/img/-DDtRwSP/preview.html 9. Gordon, NF. Apakah Stroke Itu? Dalam Stroke : Panduan Lengkap, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2000 10. Wibowo, S. Bofir A. Farmakoterapi dalam Neurologi. Penerbit Salemba Medika. 2001. 11. Sidharta, P. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Dian Rakyat 2004.

12. Ginsberg, Lionel. Lecture Notes Neurologi. 2007. Jakarta: EMS. Silbernagl, Stefan dan Florian Lang. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. 2007. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai