Anda di halaman 1dari 12

1.

Pendahuluan Corruption combat in Indonesia has been done since the last four decades. However, ineffectiveness of law enforcement resulted in dissatisfied corruption climate in Indonesia. Therefore, new government strategies to combat corruption should be initiated by collective willingness of all related components and not to give tolerance at all to the corruption actors. Salah satu isu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan pemerintah Indonesia adalah masalah korupsi. Hal ini disebabkan semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin sulit untuk diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor pembangunan. Apalagi setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, disinyalir korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ke tingkat pemerintahan yang paling kecil di daerah. Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktekpraktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Di samping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan

Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Selain lembaga internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh

penyelenggara negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah Indonesian Corruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI). Gambar 1: Peringkat Korupsi Beberapa Negara Asia Tahun 2010

PERC SCORE 2010


10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0

Score

Sumber: Siaran Pers Transparency International-Indonesia terhadap Publikasi


Political and Economy Risk Consultancy

Dilihat dari upaya-upaya pemerintah dalam memberantas praktek korupsi di atas sepertinya sudah cukup memadai baik dilihat dari segi hukum dan peraturan perundangundangan, komisi-komisi, lembaga pemeriksa baik internal maupun eksternal, bahkan keterlibatan LSM. Namun, kenyataannya praktek korupsi bukannya berkurang malah meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan Indonesia kembali dinilai sebagai negara paling terkorup di Asia Pasifik pada tahun 2010 berdasarkan hasil survei dikalangan para pengusaha dan pebisnis oleh lembaga konsultan Political and Economic Risk Consultancy (PERC). Hasil survei Lembaga konsultan yang berbasis di Hong Kong ini menempatkan Indonesia di urutan pertama dengan nilai (9,27) dari 16 negara yang diteliti sepanjang 2010. Peringkat berikutnya ditempati Kamboja, Vietnam, Filipina, Thailand, India, Cina,

Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Macau, Jepang, Amerika Serikat, Hong Kong, dan Australia. Hanya Singapura yang tidak masuk kelompok paling korup di Asia-Pasifik. Survei ekonomi PERC melibatkan 2.174 responden dari berbagai kalangan eksekutif kelas menengah dan atas di Asia, Australia, dan Amerika Serikat. Dari hasil penelitian ini, skor yang diraih Indonesia tahun ini lebih tinggi dibanding tahun lalu, yakni (7,69). Hasil survei itu juga menunjukkan bahwa Indonesia menggeser posisi Kamboja, yang dinobatkan sebagai negara paling korup di Asia-Pasifik tahun lalu.Rentang skor dari nol sampai 10, di mana skor nol adalah mewakili posisi terbaik, sedangkan skor 10 merupakan posisi skor terburuk. Ini merupakan survei tahunan yang dilakukan oleh PERC untuk menilai kecenderungan korupsi di Asia dari tahun ke tahun. Dalam hal ini PERC bertanya kepada responden untuk menilai kondisi di mana mereka bekerja sekaligus juga untuk menilai kondisi negara asalnya masing-masing. Metode ini digunakan agar dapat menghasilkan data perbandingan antar negara (cross-country comparison), sehingga survei ini dapat dimanfaatkan untuk mengevaluasi bagaimana persepsi terhadap suatu negara berubah seiring waktu. Hasil survei lainnya memberikan hasil yang tidak menggembirakan, misalnya Indeks Pembangunan SDM Indonesia peringkat 111 dari 182 negara yang disurveypada tahun 2010. Indeks Integritas Sektor Publik tahun 2010 adalah (5,42) atau turun dibandingkan tahun sebelumnya (6,5). Indeks Persepsi Korupsi Kota Indonesia Tahun 2010, dari 50 kota disurvey, hanya 3 kota mendapat rentang skor 6, 22 kota rentang skor 5, 21 kota rentang skor 4 dan 3 kota rentang skor 3. Kasus korupsi yang menjadi sorotan adalah korupsi yang terjadi di tubuh birokrasi. Korupsi di tubuh birokrasi mempunyai dampak yang luas dan destruktif terhadap pembangunan ekonomi serta masyarakat secara umum. Korupsi dalam birokrasi pada umumnya berskala luas dengan jumlah (nominal) yang besar dan melibatkan pejabat negara, elit politik maupun pegawai negeri. Sedangkan, kasus-kasus korupsi pada sektor bisnis, pada umumnya berskala kecil dan hanya berdampak pada perusahaannya sendiri. Untuk kategori manipulasi uang negara, sektor yang paling korup ialah pengadaan barang dan jasa mencakup konstruksi, pekerjaan umum, perlengkapan militer, dan barang jasa pemerintah. Untuk kasus suap dan pemerasan, korupsi terbesar terjadi di kepolisian, sektor peradilan, pajak dan bea cukai, serta sektor perijinan. Korupsi juga terjadi di kalangan politisi (anggota DPR dan partai politik), serta pada

praktek kolusi dalam bisnis. Untuk kasus kolusi bisnis, korupsi terbesar terjadi di tubuh militer, kepolisian, dan pegawai pemerintah lewat koperasi dan yayasan. Dari segi aktornya, pelaku korupsi terbagi menjadi aparat pemerintah, pelaku sektor bisnis, dan warga masyarakat. Secara tradisional, pelaku korupsi biasanya hanya menyangkut pemerintah atau aparat birokrasi dengan warga. Namun demikian, kecenderungan saat ini menunjukkan adanya peningkatan kontribusi atas tingkatan korupsi dari pelaku di sektor bisnis. Secara garis besar, korupsi berdampak pada kehidupan ekonomi, sosial, demokrasi dan akhlak dan moral suatu bangsa. Korupsi bukanlah fenomena di negara berkembang seperti Indonesia saja, namun di negara maju pun masih dapat ditemukan praktek korupsi. Di negara berkembang, korupsi menjadi akut karena law enforcement sangat rendah good governance tidak berjalan, dan civil society sangat lemah. Oleh karena itu, memberantas korupsi tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. 2. Dampak Korupsi terhadap eksistensi bangsa dan negara 2.1 Dampak ekonomi 2.1.1 Lesunya Perekonomian Korupsi yang meningkat akan menurunkan minat berinvestasi dan akan memperlemah ekonomi. Dalam pemerintahan yang didominasi oleh korupsi, akan terjadi penurunan produktivitas yang dapat diukur melalui berbagai indikator fisik, contohnya rendahnya kualitas jalan raya. Rendahnya produktivitas akan mengurangi daya saing negara dalam menghadapi persaingan global, sehingga negara kita akan selalu tertinggal dari negara lain. Korupsi mengakibatkan terjadinya penurunan tingkat investasi modal sehingga pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pemasukan negara. Investor banyak yang tidak tertarik menanamkan modalnya di negara yang angka korupsinya tinggi. Korupsi menyebabkan ketidakpastian berusaha yang secara diametral bertentangan dengan prinsip bisnis yang menginginkan kepastian di dalam berusaha. Hal tersebut akan berdampak langsung

pada pertumbuhan ekonomi akan stagnan dan kemiskinan menjadi kian absolut serta meluas. Jika dijabarkan lebih jauh, maka salah satu efek negatif dari korupsi adalah merintangi akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan yang berkualitas. Padahal jaminan terhadap pendidikan dan kesehatan yang baik merupakan hal mutlak yang harus dimiliki suatu bangsa yang ingin menjadi bangsa yang maju. Selain dampak terhadap ekonomi seperti di atas, dapat dijelaskan lebih lanjut akibat korupsi adalah sebagai berikut: a. Korupsi mengurangi kemampuan pemerintah untuk melakukan perbaikan dalam bentuk peraturan dan kontrol akibat kegagalan pasar (market failure). Ketika kebijakan dilakukan dalam pengaruh korupsi yang kuat maka pengenaan peraturan dan kebijakan, misalnya, pada perbankan, pendidikan, distribusi makanan dan sebagainya, malah akan mendorong terjadinya inefisiensi. b. Korupsi mendistorsi insentif seseorang, dari yang seharusnya melakukan kegiatan yang produktif menjadi keinginan untuk merealisasikan peluang korupsi dan pada akhimya

menyumbangkan negatif value added. c. Korupsi menjadi bagian dari welfare cost memperbesar biaya produksi, dan selanjutnya memperbesar biaya yang harus dibayar oleh konsumen dan masyarakat (dalam kasus pajak), sehingga secara keseluruhan berakibat pada kesejahteraan masyarakat yang turun. d. Korupsi mereduksi peran fundamental pemerintah (misalnya pada penerapan dan pembuatan kontrak, proteksi, pemberian property rights dan sebagainya). Pada akhirnya hal ini akan memberikan pengaruh negatif pada pertumbuhan ekonomi yang dicapai. e. Korupsi mengurangi legitimasi dari peran pasar pada

perekonomian, dan juga proses demokrasi. Kasus seperti ini sangat terlihat pada negara yang sedang mengalami masa transisi, baik dari tipe perekonomian yang sentralistik ke perekonomian

yang lebih terbuka atau pemerintahan otoriter ke pemerintahan yang lebih demokratis, sebagaimana terjadi dalam kasus Indonesia.

2.1.2

Meningkatnya kemiskinan Korupsi memiliki efek menghancurkan yang hebat terhadap orang miskin dengan dua dampak. Pertama, dampak langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Misalnya, semakin mahalnya harga jasa pelayanan publik (sekolah, rumah sakit, dll), rendahnya kualitas pelayanan, dan terjadinya pembatasan akses terhadap berbagai pelayanan vital seperti air bersih, kesehatan, dan pendidikan. Kedua, dampak tidak langsung. Misalnya pengalihan sumber daya milik publik untuk kepentingan pribadi dan kelompok sehingga sebagian besar uang hanya berputar pada segelintir elite ekonomi dan politik. Hal ini akan berdampak pada matinya ekonomi kerakyatan. Menjadi miskin bukanlah suatu keinginan. Setiap orang pasti ingin hidup berkecukupan. Tetapi dalam sistem perekonomian yang didominasi orang-orang yang korup, terdapat kecenderungan masyarakat yang miskin tetap miskin. Hal ini disebabkan kurangnya kebijakan dari pemerintah yang bertujuan mengurangi kemiskinan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidakefisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya

mempertahankan

perusahaan-perusahaan

yang

tidak

efisien.

Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah. Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Indonesia, adalah korupsi yang berbentuk uang pelicin. Dimana untuk memuluskan setiap pekerjaan di butuhkan uang pelicin yang diberikan kepada birokrat. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dalam investasi yang pada akhirnya akan menyebabkan larinya pemodal asing. Larinya pemodal asing akan menghambat pertimbuhan lapangan pekerjaan yang akan menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran.

2.2

Dampak sosial Dalam konteks sosial, dampak korupsi menimbulkan

problematik yang sangat besar. Yang jelas, korupsi berdampak pada merosotnya investasi pada human capital dan bahkan korupsi menghancurkannya. Ketiadaan pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan pelayanan pendidikan dan kesehatan menyebabkan masyarakat rentan terhadap berbagai penyakit dan rendah

kompetensinya sehingga masyarakat menjadi tidak profesional dan tidak mampu berkompetisi secara dinamis dengan berbagai sumber daya manusia dari negara lain. Masyarakat juga menjadi kian permisif pada tindak korupsi. Korupsi dianggap sebagai suatu kelaziman dan bahkan menjadi pelumas bagi proses-proses ekonomi dan politik. Sikap dan perilaku

kolusif dan koruptif itu pada akhirnya akan meniadakan etos kompetisi secara sehat, makin memperkuat hubungan patron-client, siapa yang berkuasa dan mempunyai uang bisa mengatur segalanya, kesenjangan antarkelompok sosial kian melebar dan melembaga sehingga menciptakan kerawanan sosial. Selain itu, sebagian besar masyarakat tidak lagi menghiraukan aspek profesionalisme dan kejujuran karena menganggap bahwa segala sesuatu dapat

diselesaikan dengan uang sogokan/suap. Budaya korupsi akan mendidik masyarakat untuk menggunakan cara-cara tidak bermoral dan melawan hukum dalam memenuhi segala keinginannya. Rusaknya mutu infrastruktur transportasi dan komunikasi tidak hanya menyebabkan mobilitas penduduk menjadi merosot, tetapi juga potensial menyebabkan kerawanan sosial lainnya. Salah satu dampak sosial yang timbul dari maraknya korupsi adalah tingginya angka kriminalitas. Melalui praktek korupsi, sindikat kejahatan atau penjahat perseorangan dapat leluasa melanggar hukum, menyusupi berbagai organisasi negara, dan menduduki jabatan penting di pemerintahan. Begitu juga dengan angka kemiskinan yang kian meningkat karena macetnya pertumbuhan ekonomi akan berpengaruh luas pada stabilitas sosial dan politik. Menurut Transparency International, terdapat pertalian erat antara jumlah korupsi dan jumlah kejahatan. Rasionalnya, ketika angka korupsi meningkat, maka angka kejahatan yang terjadi juga meningkat. Sebaliknya, ketika angka korupsi bisa ditekan, maka kepercayaan masyarkat terhadap penegakan hukum juga meningkat. Kepercayaan yang membaik dan dukungan masyarakat membuat penegakan hukum akan menjadi efektif. Penegakan hukum yang yang efektif dapat mengurangi jumlah kejahatan yang terjadi.

2.3

Dampak demokrasi 2.3.1 Terganggunya Sistem Politik dan Fungsi Pemerintahan

Pemerintahan yang korupsi akan menciptakan berbagai dampak negatif terhadap kinerja suatu sistem politik atau pemerintahan. Sebagai contoh terjadinya distorsi kepentingan pada lembaga politik tempat proses legislasi berlangsung karena para wakil rakyat yang dipilih melalui proses pemilu yang tidak sepenuhnya jujur, adil dan sikap koruptif menjadi bagian tak terpisahkan di dalamnya. Sehingga, elit dan lembaga politik punya kecenderungan mengabaikan aspirasi rakyat dan konstituennya. Dalam konteks ini, menarik untuk memperhatikan sinyalemen yang diajukan ICW, kini, tengah terjadi, korupsi oligarki ke korupsi multipartai dan situasi ini menjadi faktor penghambat utama proses reformasi untuk keluar dari krisis multidemensi. Fakta di atas membuat lembaga legislatif menjadi tidak kredibel dan rakyat menjadi distrust. Karena itu, tidaklah

mengherankan bila ada banyak kasus yang sulit dibantah, ada dugaan terjadinya politik uang pada berbagai pemilihan kepala daerah. Berbagai kasus tersebut menunjukan beberapa hal lain yang selalu menyertai isu korupsi, yaitu: adanya proses tarik-menarik kepentingan antara elit partai di pusat dan kepentingan elit partai di daerah, proses pembelajaran politik di dalam mengelola konsolidasi partai, tiadanya kewenangan yang tidak jelas antara pusat dan daerah serta sejauhmana mekanisme kontrol terhadap penggunaan

kewenangan bisa dilakukan. Dari sisi inilah, argumen Klitgaard untuk mengatur otoritas, diskresi dan akuntabilitas secara jelas dan tegas menjadi relevan. Dalam perspektif politik, korupsi mendistorsi proses-proses politik, menggantikan kebijakan yang berfokus pada persaingan politik dengan hubungan pelindung-klien. Dampak utama lain dari proses tersebut, berbagai kebijakan yang dihasilkan lembaga politik akan kehilangan moralitasnya, tidak berpihak pada daulat rakyat dan rakyat kian tidak percaya pada proses politik. Pada titik ini, kisruh dan rusuh

akan kian meningkat, distabilitas makin meluas dan kekuasaan tinggal menunggu saat untuk dilengserkan. Pertama, korupsi mengganggu kinerja sistem politik yang berlaku. Contohnya kasus korupsi Ginanjar Kartasasmita yang pada saat itu memangku jabatan sebagai pimpinan Dewan Pimpinan Daerah. Dalam pengambilan keputusan di Dewan Pimpinan Daerah akan terjadi fraksionalisasi karena hilangnya kepercayaan terhadap pribadi Ginanjar Kartasasmita. Kedua, Kasus korupsi yang menimpa seorang aparat negara akan menurunkan kepercayaan publik terhadap kinerja lembaga tempat bernaung aparat tersebut (contohnya kasus Gayus Tambunan yang menurunkan kepercayaan publik terhadap DJP). Sementara itu, dampak korupsi yang menghambat berjalannya fungsi pemerintahan, sebagai pengampu kebijakan negara antara lain penentuan tender tidak berdasarkan aturan yang berlaku, promosi yang tidak berdasarkan prestasi, dan tidak maksimalnya pemanfaatan sumber daya yang dimiliki negara.

2.3.2

Hilangnya Demokrasi Korupsi akan menghancurkan kepercayaan warga terhadap pemerintahan yang ada, yang berakibat pada delegitimasi dari pemerintahan yang sedang berkuasa. Ketika hal ini terjadi, masyarakat akan mengupayakan alternatif terhadap demokrasi yang gagal melalui dukungan terhadap kembalinya rezim militer atau figur populer namun anti demokratis.

2.3.3

Menguatnya Plutokrasi Ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintahan dan tidak berjalannya demokrasi akan memperkuat tumbuhnya plutokrasi, yaitu suatu sistem di mana kekuasaan hanya bergilir dari satu orang kaya ke orang kaya lainnya. Rakyat hanya dijadikan obyek untuk

melanggengkan kekuasaan golongan mereka dan dijadikan sapi

perahan untuk bisa dipunguti pajaknya, dibayar dengan upah yang murah, dan sebagainya. Kaum plutokrat ini juga berusaha menipu rakyat dengan melakukan propaganda jika sistem demokrasi telah benar-benar berjalan di atas rel yang ada, telah sesuai dengan kaidah-kaidah yang benar, dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Mereka ini mendekati rakyat hanya pada saat suara rakyat diperlukan, dan segera melupakan rakyatsekaligus melupakan janji-janjinya setelah berkuasa kembali. Jika ada sebagian rakyat yang berani menggugat mereka, maka dengan kekuatan modal yang mereka miliki, yang ditanamkan di berbagai media massa dan juga ditanamkan di berbagai oknum pejabat yang menguasai lembaga-lembaga negarasipil maupun militer, maka dengan mudah para plutokrat ini menuding rakyat yang berani itu sebagai kelompok subversif, dituding mengganggu stabilitas nasional, diharamkan keberadaannya lewat stempel tokoh atau lembaga religius yang loyal pada Istana, dan sebagainya. Penghilangan nyawa merupakan opsi terakhir bagi mereka untuk membungkam rakyat yang berani menggugat status-quonya.

2.4

Dampak Akhlak dan Moral Korupsi yang menjangkiti kalangan elit bukan saja akan menurunkan nilai-nilai yang dilihat oleh masyarakat, tetapi juga memaksa masyarakat menganut berbagai praktek di bawah meja demi mempertahankan diri. Mereka pun terpaksa melakukan korupsi agar dapat memenuhi keinginan kalangan elit. Hal ini seperti efek domino, dimana kalangan teratas meminta bagian dari kalangan di bawahnya. Kalangan di bawahnya akan meminta bagian dari kalangan dibawahnya lagi untuk di setorkan kepada kalangan di atasnya, begitu seterusnya. Selain meningkatkan ketamakan dan kerakusan terhadap penguasaan aset dan kekayaan korupsi juga akan menyebabkan

hilangnya sensitivitas dan kepedulian terhadap sesama. Rasa saling percaya yang merupakan salah satu modal sosial yang utama akan hilang. Akibatnya, muncul fenomena distrust society, yaitu

masyarakat yang kehilangan rasa percaya, baik antar sesama individu, maupun terhadap institusi negara. Perasaan aman akan berganti dengan perasaan tidak aman (insecurity feeling). Inilah yang dalam bahasa Al-Quran dikatakan sebagai libaasul khauf (pakaian

ketakutan).

Anda mungkin juga menyukai