Anda di halaman 1dari 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

A. Hipertensi Penyakit darah tinggi atau hipertensi adalah suatu keadaan di mana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang ditunjukkan oleh angka diastolic (bagian atas) dan angka bawah (diastolic) pada pemeriksaan tensi darah menggunakan alat pengukur tekanan darah baik yang berupa cuff air raksa (sphygmomanometer) ataupun alat digital lainnya. Nilai normal tekanan darah seseorang dengan ukuran tinggi badan, berat badan, tingkat aktifitas normal dan kesehatan secara umum adalah 120/80 mmHg. Dalam aktivitas sehari-hari, tekanan darah normalnya adalah dengan nilai angka kisaran stabil. Tetapi secara umum, angka pemeriksaan tekanan darah menurun saat tidur dan meningkat diwaktu beraktifitas atau berolahraga. Bila seseorang mengalami tekanan darah tinggi dan tidak mendapatkan pengobatan dan pengontrolan secara teratur (rutin), maka hal ini dapat membawa penderita kedalam kasus-kasus serius bahkan bisa menyebabkan kematian. Tekanan darah tinggi yang terus menerus menyebabkan jantung seseorang bekerja ekstra keras, akhirnya kondisi ini berakibat terjadinya kerusakan pada pembuluh darah jantung, ginjal, otak dan mata. Penyakit hipertensi ini merupakan penyebab umum terjadinya stroke dan serangan jantung Hipertensi merupakan pengukuran tekanan darah di atas skala normal (120/80 mmHg). Menurut JNC 7, tekanan darah dibagi dalam tiga klasifikasi yakni normal, prehipertensi, hipertensi stage 1, dan hipertensi stage 2 (tabel 1). Klasifikasi ini berdasarkan pada nilai rata-rata dari dua atau lebih pengukuran tekanan darah yang baik, yang pemeriksaannya dilakukan pada posisi duduk dalam setiap kunjungan berobat. Tabel 1. Klasifikasi Dan Penanganan Tekanan Darah Tinggi Pada Orang Dewasa* Klasifikasi TDS* TDD* Modifikasi Obat Awal

Tekanan Darah Normal PreHipertensi Hipertensi Stage 1

mmHg

mmHg Gaya Hidup Anjuran Ya Ya

Tanpa Indikasi Tidak menggunakan antihipertensi Untuk semua thiazide,

Dengan Indikasi PerluGunakan obat yang obatspesifik dengan indikasi (resiko). kasusGunakan obat yang dengan indikasi obat

< 120 < 80 120-139 80-89 140-159 90-99

gunakan diuretik jenisspesifik

pertimbangkan ACEi,(resiko).Kemudian ARB, BB, CCB, atautambahkan Hipertensi Stage 2 >160 >100 Ya kombinasikan antihipertensi Gunakan kombinasi 2(diretik, ACEi, ARB, obat (biasanya diuretikBB, CCB) seperti jenis thiazide danyang dibutuhkan ACEi/ARB/BB/CCB

Penilaian pasien dengan hipertensi memiliki tiga sasaran: (1) untuk mengetahui gaya hidup dan mengidentifikasi faktor resiko penyakit kardiovaskuler atau penyakit lainnya yang bersamaan yang dapat mempengaruhi prognosis dan pedoman penanganan; (2) untuk mengidentifikasi penyebab tingginya tekanan darah; dan (3) untuk mengetahui ada atau tidaknya kerusakan organ target dan penyakit kardiovakuler. Data yang dibutuhkan berupa anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan laboratorium, dan prosedur diagnostik lainnya. Pemeriksaan fisis termasuk pengukuran tekanan darah yang sesuai, dengan verifikasi pada kontralateral lengan; pemeriksaan pada fundus optik, kalkulasi indeks massa tubuh (IMT: dengan pemeriksaan lingkar pinggang juga cukup berguna); auskultasi bruit arteri karotid, abdominal, dan femoral; palpasi kelenjar tiroid; pemeriksaan teliti pada jantung dan paru-paru; pemeriksaan pada abdomen untuk pembesaran ginjal, massa dan pulsasi aorta abnormal; palpasi pada ekstremitas bawah untuk edema dan pulsasi, dan pemeriksaan neurologi. Pemeriksaan tanda vital didapatkan tekanan darah 160/110, dari hasil tersebut didapatkan pasien menderita hipertensi stage II tanpa adanya gangguan fungsi organ,

namun untuk lebih jelas nya untuk mengetahui ada tidak nya gangguan fusngsi organ perlu dilakukan pemerikaan laboratorium yang lebih lengkap seperti ureum creatinin untuk mengetahui fungsi ginjal. Hipertensi yang diderita oelh pasien dikarenakan factor gaya hidup dan adanya stressor yang ada pasien yaitu keluarga nya itu sendiri. Sasaran dari publikasi pengobatan antihipertensi adalah untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovakuler dan ginjal. Sejak sebagian besar orang dengan hipertensi, khususnya yang berumur > 50 tahun, fokus utama adalah pencapaian TDS target. Tekanan darah target adalah <140/90 mmHg yang berhubungan dengan penurunan komplikasi penyakit kardiovaskuler. Pada pasien dengan hipertensi dan diabetes atau panyakit ginjal, target tekanan darahnya adalah <130/80 mmHg. Untuk pencapaian tekanan darah target di atas, secara umum dapat dilakukan dengan dua cara sebagai berikut: Modifikasi gaya hidup yang sehat oleh semua pasien hipertensi merupakan suatu cara pencegahan tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang tidak terabaikan dalam penanganan pasien tersebut. Modifikasi gaya hidup memperlihatkan dapat menurunkan tekanan darah yang meliputi penurunan berat badan pada pasien dengan overweight atau obesitas. Berdasarkan pada DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension), perencanaan diet yang dilakukan berupa makanan yang tinggi kalium dan kalsium, rendah natrium, olahraga, dan mengurangi konsumsi alkohol. Modifikasi gaya hidup dapat menurunkan tekanan darah, mempertinggi khasiat obat antihipertensi, dan menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler. Contohnya, konsumsi1600 mg natrium memiliki efek yang sama dengan pengobatan tunggal. Kombinasi dua atau lebih modifikasi gaya hidup dapat memberikan hasil yang lebih baik. Berikut adalah uraian modifikasi gaya hidup dalam rangka penanganan hipertensi. Obat diuretik jenis tiazide harus digunakan sebagai pengobatan awal pada semua pasien dengan hipertensi, baik penggunaan secara tunggal maupun secara kombinasi dengan satu kelas antihipertensi lainnya (ACEI, ARB, BB, CCB) yang memperlihatkan manfaat penggunaannya pada hasil percobaan random terkontrol. Saat obat antihipertensi telah diberikan, pasien diharuskan kembali untuk follow

paling tidak dalam interval sebulan sekali sampai tekanan darah target tercapai. Kunjungan yang lebih sering dibutuhkan untuk pasien dengan kategori hipertensi stage 2 atau jika disertai dengan komplikasi penyakit penyerta.

B. Dispepsia Pada hasil anamnesis pasien didapatkan pasien mengeluhkan nyeri pada ulu hati. Nyeri yang dirasakan seperti menusuk. Keluhan dirasa sejak 4 hari yang lalu. Keluhan disertai rasa panas. Pasien tidak mengeluhkan adanya mual ataupun muntah. Dispepsia merupakan suatu sindroma (kumpulan gejala) yang mencerminkan gangguan saluran cerna. Kumpulan gejala tersebut adalah rasa tidak nyaman, mual, muntah, nyeri ulu hati, bloating (lambung merasa penuh/sebah), kembung, sendawa, cepat kenyang, perut keroncongan (borborgygmi) hingga kentut-kentut. Gejala itu bisa akut, berulang, dan bisa juga menjadi kronis. Disebut kronis jika gejala itu berlangsung lebih dari satu bulan terus-menerus. Penyebab dispepsia bervariasi dari psikis sampai kelainan serius seperti kanker lambung. Ada dua tipe dispepsia yakni organik dan fungsional. Dispepsia fungsional adalah dispepsia yang terjadi tanpa adanya kelainan organ lambung, baik dari pemeriksaan klinis, biokimiawi hingga pemeriksaan penunjang lainnya, seperti USG, Endoskopi, Rontgen hingga CT Scan. Dispepsia organik adalah dispepsia yang disebabkan adanya kelainan struktur organ percernaan(perlukaan, kanker) Dispepsia fungsional berhubungan dengan ketidaknormalan pergerakan

(motilitas) dari saluran pencernaan bagian atas (kerongkongan, lambung dan usus halus bagian atas). Selain itu, bisa juga dispepsia jenis itu terjadi akibat gangguan irama listrik dari lambung. Sebab lain bisa juga karena infeksi bakteri lambung Helicobacter pylori. Beberapa kebiasaan yang bisa menyebabkan dispepsia adalah menelan terlalu banyak udara, misalnya, mereka yang mempunyai kebiasaan mengunyah secara salah (dengan

mulut terbuka atau sambil berbicara). Atau mereka yang senang menelan makanan tanpa dikunyah (biasanya konsistensi makanannya cair). Keadaan itu bisa membuat lambung merasa penuh atau bersendawa terus. Kebiasaan lain yang bisa menyebabkan dispesia adalah merokok, konsumsi kafein (kopi), alkohol, atau minuman yang sudah dikarbonasi (softdrink), atau makanan yang menghasilkan gas ( tape, nangka, durian). Begitu juga dengan jenis obat-obatan tertentu, seperti suplemen besi/kalium, anti-nyeri tertentu, antibiotika tertentu, dan anti-radang. Obat-obatan itu sering dihubungkan dengan keadaan dispepsia. Paling sering dilupakan orang adalah faktor stres/tekanan psikologis yang berlebihan. Pada pasien diabetes pun dapat mengalami dispepsia karena gerakan lambungnya mengalami gangguan akibat kerusakan saraf. Penatalaksanaan pada pasien yang datang pertama kali dan belum dilakukan investigasi terhadap keluhan dispepsianya, terdapat 6 strategi yang terdiri atas Pastikan bahwa keluhan kemungkinan besar berasal dari saluran cerna bagian atas Singkirkan adanya alarm symptom seperti penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, muntah berulang, disfagia yang progresif, atau perdarahan Evaluasi penggunaan obat-obatan. Adakah konsumsi asam asetil salisilat atai OAINS Bila ada gejala regurgitasi yang khas, maka dapat didiagnosa awal sebagai GERD dan dapat langsung diterapi dengan PPI. Apabila keluhan EP atau PD tetap persisten meskipun terapi PPI sudah adekuat, maka diagnosa GERD menjadi patut dipertanyakan. Tes non-invasif untuk H.pylori, dilanjutkan dengan terapi eradikasi merupakan pendekatan yang cukup efektif, terutama untuk mengurangi biaya endoscopy. Strategi ini dapat digunakan bila tidak terdapat alarm symptom. Bila gejala menetap setelah terapi eradikasi, maka terapi PPI dapat diberikan. Strategi ini kurang efektif bila diterapkan pada daerah dengan prevalensi H.pylori rendah.

Pada dispepsia organik, terapi utama adalah dengan menyingkirkan penyebabnya. Pada dispepsia fungsional, karena patofisiologi yang beragam, penatalaksanaannya pun masih belum ada yang benar-benar terbukti. Beberapa percobaan klinis menunjukkan efek placebo masih cukup besar yaitu sekitar 20-60%. Terapi non-farmakologik seperti psikoterapi, makan dalam jumlah kecil tapi sering, penghentian kebiasaan merokok, minum alkohol, dan konsumsi obat-obatan OAINS yang tidak perlu memang disarankan tapi belum ada bukti yang cukup kuat untuk menunjukkan efikasinya. Beberapa obat yang disarankan adalah obat penghambat asam lambung seperti antagonis reseptor H2(H2B) dan penghambat pompa proton(PPI). Terapi eradikasi H.pylori diberikan dengan mempertimbangkan risiko dan manfaat bagi pasien. Obat-obatan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, dan cisaprid dikatakan memiliki manfaat bila dibandingkan dengan placebo, namun penelitian yang ada masih sedikit dan bias. Obatobatan anti-depresan seperti amitriptilin dosis kecil juga dikatakan memperbaiki gejala.

C. Gangguan Depresif Factor keluarga tersebut juga mengakibatkan saat ini pasien didiagnosa gangguan depresi ringan dengan ditandai adanya kehilangan minat dan berkurang nya energy ataupun cepat lelah lalu disertai dengan gangguan tidur dan nafsu makan yang berkurang. Depresi adalah gangguan mood (keadaan emosional internal yang meresap dari seseorang) dan sering terdapat dalam masyarakat, tidak memandang suku maupun ras. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Edisi ke-3 (PPDGJ III) di Indonesia mengklasifikasikan gangguan depresi atas episode depresif dan gangguan depresif berulang. Menurut PPDGJ III, depresi adalah gangguan yang memiliki karakteristik : a. Gejala utama Afek depresif Kehilangan minat dan kegembiraan

Berkurangnya energi yang menuju pada meningkatnya keadaan mudah lelah dan berkurangnya aktivitas

b. Gejala lainnya Konsentrasi dan perhatian berkurang Harga diri, dan kepercayaan diri berkurang Adanya perasaan bersalah dan tidak berguna Pandangan masa depan suram dan pesimis Perbuatan atau gagasan membahayakan diri atau bunuh diri Tidur terganggu Nafsu makan berkurang. Biasanya diperlukan waktu sekurang-kurangnya 2 minggu untuk menegakkan diagnosis. Salah satu mekanisme terjadinya depresi adalah mekanisme kolinergik. Berdasarkan hipotesis kolinergik terjadinya peningkatan asetilkolin otak berhubungan dengan depresi. Pada depresi terjadi peningkatan asetilkolin yang mengakibatkan hipersimpatotonik sistem gastrointestinal yang akan menimbulkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung yang dapat menyebabkan hiperasiditas lambung, kolik, vomitus dan sebagian besar menyebabkan gejala-gejala gastritis dan ulkus.

Anda mungkin juga menyukai