Anda di halaman 1dari 21

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Pemahaman mengenai sensasi nyeri serta usaha untuk mengontrol atau mereduksi level nyeri, selalu menjadi salah satu aspek penting dari terapi medis. Dalam praktek, nyeri adalah masalah medis yang sering ditemui. Bahkan tidak jarang menjadi keluhan utama yang membuat pasien datang menemui dokter. Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala, yang fungsinya adalah melindungi dan memberikan tanda bahaya tentang adanya gangguan-gangguan di dalam tubuh, seperti peradangan (rematik, encok), infeksi-infeksi kuman atau kejang-kejang otot. Penyebab rasa nyeri adalah rangsangan-rangsangan mekanis, fisik, atau kimiawi yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang disebut mediator-mediator nyeri yang letaknya pada ujung-ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir, atau jaringan-jaringan (organ-organ) lain. Dari tempat ini rangsangan dialirkan melalui sarafsaraf sensoris ke Sistem Saraf Pusat (SSP) melalui sumsum tulang belakang ke thalamus dan kemudian ke pusat nyeri di dalam otak besar, dimana rangsangan dirasakan sebagai nyeri. Rasa nyeri dapat diatasi dengan obat yang berfungsi sebagai analgetik. Obat analgetik atau biasa disebut obat penghilang atau setidaknya mengurangi rasa nyeri yang hebat pada tubuh seperti patah tulang dan penyakit kanker kronis. Obat analgesik adalah obat yang mempunyai efek menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran atau fungsi sensorik lainnya. Obat analgesik bekerja dengan meningkatkan ambang nyeri, mempengaruhi emosi (sehingga mempengaruhi persepsi nyeri), menimbulkan sedasi atau sopor (sehingga nilai ambang nyeri naik) atau mengubah persepsi modalitas nyeri.

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 1

Sebuah kejang otot atau kram merupakan kontraksi otot yang tidak disengaja. Kejang otot terjadi tiba-tiba, biasanya menyelesaikan dengan cepat, dan sering menyakitkan. Kejang dapat terjadi ketika otot digunakan secara berlebihan dan lelah, terutama jika kewalahan atau jika telah diadakan di posisi yang sama untuk jangka waktu lama. Akibatnya, sel otot kehabisan energi dan cairan dan menjadi hyperexcitable dan kemudian mengembangkan kontraksi kuat. Kejang ini mungkin melibatkan bagian dari otot, otot keseluruhan, atau bahkan otot-otot yang berdekatan. Kejang otot dapat diatasi dengan pelemas otot. Obat relaksan otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot rangka atau untuk melumpuhkan otot. Biasanya digunakan sebelum operasi untuk mempermudah suatu operasi atau memasukan suatu alat ke dalam tubuh.

1.2

Tujuan Percobaan Mengetahui efek analgetik dengan metode Woolfe-Mac Donald Mengetahui efek obat Pelemas Otot Mengetafui obat-obat yang bekerja pada Syaraf otonom Mengetahui cara kerja obat-obat syaraf otonom

1.3

Hipotesis Mencit yang disuntikan larutan asetosal menyebabkan mencit mencapai efek analgetik setelah 60 menit Penyuntikan diazepa pada mencit, mengakibatkan mencit menjadi lemas dan pasif tetapi tidak mempengaruhi kesadaran Penyuntikan Strignin setelah 30 menit penyuntikan diazepam menyebabkan mencit aktif kembali dan menimbulkan sedikit kejang

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hewan Coba Hewan coba atau sering disebut dengan hewan laboratorium adalah hewan yang khusus diternakkan untuk keperluan penelitian farmakologi. Hewan laboratorium tersebut digunakan sebagai model untuk penelitian pengaruh bahan kimia atau obat pada manusia. Syarat hewan yang digunakan untuk penelitian farmakologi adalah harus jelas fisiologinya, bebas dari penyakit, didapat breeding centre yang baik atau biakkan sendiri. Beberapa jenis hewan dari yang ukurannya terkecil dan sederhana sampai ukuran yang lebih besar dan lebih kompleks digunakaan untuk keperluan penelitian yaitu mencit,tikus,kelinci dan kera. Mencit (Mus musculus) , sifat-sifat : mudah marah, penakut, fotofobik, mudah bersembunyi, berkumpul, aktif pada malam hari, mudah terganggu oleh manusia (Syamsudin,2011) Hewan mencit atau Mus musculus adalah tikus rumah biasa termasuk ke dalam ordo rodentia dan family Muridae. Mencit dewasa biasa memiliki berat antara 25-40 gram dan mempunyai berbagai macam warna. Mayoritas mencit laboratorium adalah strain albino yang mempunyai warna bulu putih dan mata merah muda (Hrapkiewicz et al, 1998). Mencit merupakan hewan yang tidak mempunyai kelenjar keringat, jantung terdiri dari empat ruang dengan dinding atrium yang tipis dan dinding ventrikel yang lebih tebal.

2.2. Analgetika Nyeri merupakan suatu keadaan yang tidak nyaman dan menyiksa bagi penderitanya, namun terkadang nyeri dapat digunakan sebagai tanda adanya kerusakan jaringan. Inflamasi merupakan manifestasi dari terjadinya kerusakan jaringan, dimana nyeri merupakan salah satu

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 3

gejalanya karena dipandang merugikan maka inflamasi memerlukan obat untuk mengendalikannya. Nyeri merupakan suatu perasaan subjektif pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan, yakni pada 44-45oC (Tjay, 2007). Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat ( level) pada mana nyeri dirasakan untuk pertama kalinya. Dengan kata lain, intensitas rangsangan yang terendah saat orang merasakan nyeri. Untuk setiap orang ambang nyerinya adalah konstan (Tjay, 2007). Penyebab rasa nyeri adalah rangsangan-rangsangan mekanis, fisik, atau kimiawi yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang disebut mediator-mediator nyeri yang letaknya pada ujung-ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir, atau jaringan-jaringan (organ-organ) lain. Nocireseptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ tubuh, kecuali di SSP. Dari tempat ini rangsangan dialirkan melalui saraf-saraf sensoris ke Sistem Saraf Pusat (SSP) melalui sumsum tulang belakang ke thalamus dan kemudian ke pusat nyeri di dalam otak besar, dimana rangsangan dirasakan sebagai nyeri. Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah histamine, serotonin, plasmakinin-plasmakinin, dan prostaglandin-prostagladin, serta ion-ion kalium. Berdasarkan proses terjadinya nyeri, maka rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara, yaitu a) Merintangi pembentukan rangsangan dalam reseptor-reseptor nyeri perifer, oleh analgetika perifer atau anestetika lokal. b) Merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf-saraf sensoris, misalnya dengan anestetika local. c) Blokade dari pusat nyeri dalam Sistem Saraf Pusat dengan analgetika sentral (narkotika) atau anestetika umum. Pada pengobatan rasa nyeri dengan analgetika, faktor-faktor psikis turut berperan, misalnya kesabaran individu dan daya menerima nyeri dari si pasien. Terkadang, nyeri dapat berarti perasaan emosional yang tidak nyaman dan berkaitan dengan ancaman seperti kerusakan pada jaringan

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 4

karena pada dasarnya rasa nyeri merupakan suatu gejala, serta isyarat bahaya tentang adanya gangguan pada tubuh umumnya dan jaringan khususnya. Analgetika merupakan suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri (diakibatkan oleh berbagai rangsangan pada tubuh misalnya rangsangan mekanis, kimiawi dan fisis sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan yang memicu pelepasan mediator nyeri seperti brodikinin dan prostaglandin yang akhirnya mengaktivasi reseptor nyeri di saraf perifer dan diteruskan ke otak) yang secara umum dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetika non narkotik (seperti: asetosal, parasetamol) dan analgetika narkotik (seperti : morfin). Meskipun terbilang ampuh, jenis obat ini umumnya dapat menimbulkan ketergantungan pada pemakai untuk mengurangi atau meredakan rasa sakit atau nyeri tersebut maka banyak digunakan obat-obat analgetik (seperti parasetamol, asam mefenamat dan antalgin) yang bekerja dengan memblokir pelepasan mediator nyeri sehingga reseptor nyeri tidak menerima rangsang nyeri. Terdapat perbedaan mencolok antara analgetika dengan anastetika umum yaitu meskipun sama-sama berfungsi sebagai zat-zat yang mengurangi atau menghalau rasa nyeri. Namun, analgetika bekerja tanpa menghilangkan kesadaraan. Nyeri sendiri terjadi akibat rangsangan mekanis, kimiawi, atau fisis yang memicu pelepasan mediator nyeri. Intensitas rangsangan terendah saat seseorang merasakan nyeri dinamakan ambang nyeri (Tjay, 2002). Analgetika yang bekerja perifer atau kecil memiliki kerja antipiretik dan juga komponen kerja antiflogistika dengan pengecualian turunan asetilanilida (Anonim, 2005). Nyeri ringan dapat ditangani dengan obat perifer (parasetamol, asetosal, mefenamat atau aminofenazon). Untuk nyeri sedang dapat ditambahkan kofein dan kodein. Nyeri yang disertai pembengkakan sebaiknya diobati dengan suatu analgetikum antiradang (aminofenazon,

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 5

mefenaminat dan nifluminat). Nyeri yang hebat perlu ditanggulangi dengan morfin. Obat terakhir yang disebut dapat menimbulkan ketagihan dan menimbulkan efek samping sentral yang merugikan (Tjay, 2002). Kombinasi dari 2 analgetik sangat sering digunakan karena terjadi efek potensial misalnya kofein dan kodein khususnya dalam sediaan parasetamol dan asetosal. Secara umum analgetika dibagi dalam dua golongan, yaitu analgeti non-narkotinik atau analgesik non-opioid atau integumental analgesic (misalnya asetosal dan parasetamol) dan analgetika narkotik atau analgesik opioid atau visceral analgesic (misalnya morfin). 1. Obat Analgetik Narkotik Obat Analgetik Narkotik merupakan kelompok obat yang memiliki sifat opium atau morfin. Analgetika narkotik, khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada fractura dan kanker. Meskipun memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain, golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri yang hebat. Meskipun terbilang ampuh, jenis obat ini umumnya dapat menimbulkan ketergantungan pada pemakai. Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifatsifat seperti opium atau morfin. Golongan obat ini terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri. Tetap semua analgesic opioid menimbulkan adiksi/ketergantungan, maka usaha untuk

mendapatkan suatu analgesic yang ideal masih tetap diteruskan dengan tujuan mendapatkan analgesic yang sama kuat dengan morfin tanpa bahaya adiksi. Ada 3 golongan obat ini yaitu : - Obat yang berasal dari opium-morfin, - Senyawa semisintetik morfin, dan - Senyawa sintetik yang berefek seperti morfin. Mekanisme kerja: menduduki reseptor opioid (agonis opioid), bertindak seperti opioid endogen. Yang termasuk opioid endongen adalah: endorfin dan enkephalin. Efek dari opioid:

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 6

- Respiratory paralisis: hati-hati dalam penggunaan karena dapat menyebabkan kematian karena respirasi dapat tertekan. - Menginduksi pusat muntah (emesis). - Supresi pusat batuk (antitusif): kodein - Menurunkan motilitas GI tract: sebagai obat antidiare, yaitu loperamid. - Meningkatkan efek miosis pada mata . - Menimbulkan reaksi alergi: urtikaria (jarang terjadi). - Mempengaruhi mood. Menimbulkan ketergantungan: karena reseptor dapat

berkembang. Hal penting dari opioid: - Dapat diberikan berbagai rute obat: oral, injeksi, inhalasi, dermal. - Antagonis morfin (misalnya nalokson dan naltrekson): digunakan apabila terjadi keracunan morfin. - Rawan penyalahgunaan, sehingga regulatory obat diatur. Obat selain morfin: Meperidin dan petidin: struktur berbeda dengan morfin, diperoleh dari sintetik. Methadon: potensi analgesik mirip dengan morfin, tetapi sedikit menginduksi euforia. Fentanil: struktur mirip meperidin, efek analgesik 100x morfin, diberikan jika memerlukan anastesi kerja cepat, dan digunakan secara parenteral. Heroin: merupakan turunan morfin, diperoleh dari proses diasetilasi morfin, potensi 3x morfin, bukan merupakan obat, sering terjadi penyalahgunaan. Kodein: efek analgesik ringan, berfungsi sebagai antitusif. Oksikodon, propoksiten. Buprenorfin: parsial agonis, mempunyai efek seperti morfin tetapi efek ketergantungannya kurang, sering digunakan untuk penderita kecanduan morfin.

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 7

Tramadol: analgesik sentral dan efek depresi pernapasan kurang.

2. Obat Analgetik Non-Narkotik Obat Analgesik Non-Nakotik dalam Ilmu Farmakologi juga sering dikenal dengan istilah Analgetik/Analgetika/Analgesik Perifer. Analgetika perifer (non-narkotik), yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Penggunaan Obat Analgetik NonNarkotik atau Obat Analgesik Perifer ini cenderung mampu

menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf pusat atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik Non-Narkotik / Obat Analgesik Perifer ini juga tidak mengakibatkan efek ketagihan pada pengguna (berbeda halnya dengan penggunaan Obat Analgetika jenis Analgetik Narkotik). Penggunaan analgetika perifer mampu meringankan atau

menghilangkan rasa nyeri, tanpa mempengaruhi SSP atau menurunkan kesadaran, juga tidak menimbulkan ketagihan. Kombinasi dari dua atau lebih analgetika sering kali digunakan, karena terjadi efek potensiasi (Tjay, 2002). Aspirin atau asam asetil salisilat (asetosal) adalah sejenis obat turunan dari salisilat yang sering digunakan sebagai senyawa

analgesik (penahan rasa sakit atau nyeri minor) , antipiretik (terhadap demam ), dan anti-inflamasi (peradangan). Analgetik diberikan kepada penderita untuk mengurangi rasa nyeri yang dapat ditimbulkan oleh berbagai rangsang mekanis, kimia, dan fisis yang melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri). Rasa nyeri tersebut terjadi akibat terlepasnya mediator-mediator nyeri (misalnya bradikinin, prostaglandin) dari jaringan yang rusak yang kemudian merangsang reseptor nyeri di ujung saraf perifer ataupun ditempat lain. Dari tempat-tempat ini selanjutnya rangsang nyeri diteruskan ke pusat nyeri di korteks serebri oleh saraf sensoris melalui sumsum tulang belakang dan thalamus.

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 8

2.3. Pelemas Otot dan Obat-obat pada Syaraf Otonom Obat-obat otonom yaitu obat yang bekerja pada berbagai bagian susunan syaraf otonom, mulai dari sel syaraf sampai ke efektor. Banyak obat dapat mempengaruhi organ otonom, tetapi obat otonom mempengaruhinya secara spesifik dan bekerja pada dosis kecil. Cara kerja obat otonom terdapat beberapa kemungkinan pengaruh obat pada transmisi system kolinergik maupun adrenergik, yaitu: 1. Hambatan pada sintesis atau pelepasan transmitor - Kolinergik Hemikolinium menghaambat ambilan kolin ke dalam ujung syaraf dan dengan demikian mengurangi sintesis Ach. Toksin botulinus menghambat pelepasan Ach di semua saraf kolinergik sehingga dapat menyebabkan kematian akibat paralysis pernapasan perifer. Toksin tersebut memblok secara ireversibel pelepasan Ach dari gelembung syaraf di ujung akson dan merupakan salah satu toksin paling poten yang dikenal orang. Toksin tetanus mempunyai mekanisme keraja yang serupa. - Adrenergik Metiltirosin memblok sintesis NE. Sebaliknya metildopa,

penghambat dopadekarboksilase, seperti dopa sendiri didekarboksilasi dan dihidroksilasi menjadi a-metil NE. Guanetidin dan bretilium juga mengganggu pelepasan dan penyimpanan NE. 2. Menyebabkan pelepasan transmitor - Kolinergik Racun laba-laba Black window menyebabkan pelepasan Ach (eksositosis) yang berlebihan, disusul dengan blokade pelepasan ini. - Adrenergik Banyak obat dapat meningkakan pelepasan NE. Tergantung dari kecepatan dan lamanya pelepasan, efek yang terlihat dapat berlawanan. Tiramin, efedrin, amfetamin dan obat sejenisnya menyebabkan pelepasan NE yang relatif cepat dan singkat sehingga mengahasilkan efek simpatomimetik. Sebaliknya reser pin, dengan memblok transportaktif NE ke dalam vesikel menyebabkan pelepasan NE secara lambat dari

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 9

dalam vesikelke aksoplasma sehingga NE dipecah oleh MAO. Akibatnya terjadi blokade adrenergik akibat pengosongan depot NE di ujung syaraf. 3. Ikatan dengan reseptor Obat yang menduduki reseptor dan dapat menimbulkan efek yang mirip dengan efek transmitor disebut agonis. Obat yang hanya menduduki reseptor tanpa enimbulkan efek langsung, tetapui efek akibat hilangnya efek transmitor (karena tergeser transmitor darireseptor) disebut antagonis atau bloker. Contoh obat kolinergik: hemikolinium, toksin botolinus, atropine, pirenzepin, trimetafan, dll. Contoh obat adrenergik: guanetidin, tiramin, amfetamin, imipiramin, klonidin, salbutamol, doxazosin, dll. 4. Hambatan destruktif transmitor - Kolinergik Antikolinesterase merupakan kelompok besar yang menghambat destruksi Ach karena menghambat AchE, dengan akibat perangsangan berlebihan di reseptor muskarinik oleh Ach dan terjadinya perangsangan disusul blokade di reseptor nikotinik. - Adrenergik Ambilan kembali NE setelah pelepasannya di ujung syaraf merupakan mekanisme utama penghentian transmisi adrenergik.

Hambatan proses ini oleh kokain dan impiramin mendasari peningkatan respon terhadap perangsangan simpatis oleh obat tersebut. Strikinin merupakan alkaloid utama dalam nux vomica, biji tanaman Strychnos nux vomica. Striknin tidak bermanfaat untuk terapi, tetapi untuk menjelaskan fisiologi dan farmakologi susunan syaraf. Obat ini menduduki tempat utama diantara obat yang bekerja secara sentral (Sunaryo, 1995). Menurut Utama (1995), Mekanisme kerja striknin yaitu: Merangsang semua bagian SSP, aksi ini dimulai pada medula spinalis, kemudian dengan meningkatnya konsentrasi striknin dalam otak (melewati batas kritis) maka impuls akan berpencar keseluruh SSP. Menimbulkan kejang tonik tanpa adanya fase klonik. Kejang ini pada otot ekstensor yang simetris. Dengan dosis suprakonvulsi, bahan ini

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 10

menimbulkan atau memperlihatkan efek curariform pada neuromusculary junction. Pada kesadaran dimana terjadi konvulsi akan terjadi perubahan tekanan darah. Oleh karena rasanya pahit, maka berguna sebagai stomathicum untuk merangsang ujung syaraf pengecap untuk menambah nafsu makan, dan secara reflextoir merangsang sekresi HCl lambung. Menghilangkan tahanan postsynaps medulla spinalis dengan cara menghambat aksi Ach pada inhibitory cells (Utama, 1995). Aksi farmakologik striknin Susunan Syaraf Pusat: - Eksitasi pada semua bagian Sususnan Saraf Pusat. - Menaikkan eksitabilitas neuronal dengan memblok mekanisme inhibisinya. - Pada hewan: konvulsi tonik, fleksi semua anggota. - Tidak spesifik stimulasi medulla oblongata, oleh karena itu tidak dapat dipakai untuk memacu respirasi. Kardiovaskuler: Tensi berubah karena efek pada pusat vasomotor, termasuk medulla spinalis. Gastrointestinal: - Stimulasi dipakai pada atonik konstipasi. - Rasa pahit menimbulkan stimulasi nafsu makan, stimulasi sekresi pada lambung. Otot skelet: - Tonus naik - Pada dosis suprakonvulsive menyebabkan aksi kurariform pada

neuromuscular junction (Samekto Wibowo dan Abdul Gofir, 2001). Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmitor penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pasca sinaps. Striknin menyebabkan perangsangan pada semua bagian SSP. Obat ini merupakan konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada hewan coba konvulsi ini berupa ekstensi tonik dari badan dan semua anggota gerak. Gambaran konvulsi oleh striknin ini berbeda dengan konvulsi oleh obat yang merangsang langsung neuron pusat. Sifat khas lainnya darikejang striknin

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 11

ialah kontraksi ekstensor yang simetris yang diperkuat oleh rangsangan sensorik yaitu pendengaran, penglihatan dan perabaan. Konvulsi seperti ini juga terjadi pada hewan yang hanya mempunyai medula spinalis. Striknin ternyata juga merangsang medula spinalis secara langsung. Atas dasar ini efek striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut konvulsi spinal (Sunaryo,1995). Striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan, segera meninggalkan sirkulasi masuk ke jaringan. Kadar striknin di SSP tidak lebih tinggi daripada di jaringan lain. Striknin segera di metabolisme terutama oleh enzim mikrosom sel hati dan diekskresi melalui urin. Pengobatan keracunan striknin ialah mencegah terjadinya kejang dan membantu pernapasan (sakemto wibowo dan abdul gofir, 2001). Gejala keracunan striknin yang mula-mula timbul ialah kaku otot muka dan leher. Setiap rangsangan sensorik dapat menimbulkan gerakan motorik hebat. Pada stadium awal terjadi gerakan ekstensi yang masih terkoordinasi, akhirnya terjadi konvulsi tetanik. Episode kejang ini terjadi berulang, frekuensi dan hebatnya kejang bertambah dengan adanya perangsangan sensorik. Kontraksi otot ini menimbulkan nyeri hebat, dan penderita takut mati dalam serangan berikutnya (Sunaryo,1995). Obat yang paling bermanfaat untuk mengatasi hal ini adalah diazepam 10 mg IV, sebab diazepam dapat melawan kejang tanpa menimbulkan potensiasi terhadap depresi postictal, seperti yang umum terjadi pada penggunaan barbiturat atau depresan non selektif lainnya (Sunaryo,1995). Pada hakikatnya semua senyawa benzodiazepin memiliki daya kerja sebagai sedatif-hipnotis, antikonvulsif, dan daya relaksasi otot . Setiap efek ini dapat berbeda-beda kekuatannya pada tiap derifat, yang juga memperlihatkan perbedaan jelas mengenai kecepatan resorpsi dan eliminasinya.

Penggunaanaya, zat-zat yang sifat sedatif-hipnotisnya relatif lebih kuat dari sifat-sifat lainnya, terutama digunakan sebagai obat tidur. Penggunaan lainnya adalah sebagai spasmolitikum (zat pelepas kejang), misalnya pada tetanus (khususnya klonazepam dan diazepam). Beberapa zat dengan daya

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 12

antikinvulsif kuat digunakan pada epilepsi, khusunya klonazepam, juga diazepam dan nitrazepam (Tjay, 2007). Keuntungan obat-obat ini dibandingkan dengan barbital dan obat tidur lainnya adalah tidak atau hampir tidak merintangi tidur-REM. Dahulu obat ini diduga tidak menimbulkan toleransi, tetapi ternyata bahwa efek hipnotisnya semakin berkurang setelah pemakaian 1-2 minggu, seperti cepatnya menidurkan, serta memperpanjang dan memperdalam tidur (Tjay, 2007).

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 13

BAB III METODE KERJA

3.1

Alat dan Bahan Alat yang digunakan : 1. Jarum suntik 2. Timbangan hewan coba 3. Pelat Panas 55C 4. Stopwatch

Bahan yang digunakan : 1. 2 ekor mencit 2. Asetosal 0,02%, 0,52 mg/kg BB 3. Diazepam 5 mg/kg BB 4. Strignin 0,75 mg/kg BB

3.2

Cara Kerja Evaluasi Efek Analgesik a. Setiap kelompok mahasiswa mendapatkan 1 ekor mencit b. Diamati keadaan biologi dari hewan coba meliputi : bobot badan, frekuensi jantung, lajun nafas, reflex, tunos otot, kesadaran, rasa nyeri dan gejala lainnya bila ada. c. Hitung dosis yang akan diberikan kepada hewan coba d. Disuntikkan zat aktif yaitu Asetosal 0,52 mg/kg BB, 0,02% secara intraperitoneal e. Diamati waktu analgesik (waktu reaksi) pada 10,20,30,40,50 dan 60 menit setelah perlakuan Waktu analgesik adalah waktu saat mencit diletakkan diatas pelat panas dengan suhu 55C sampai tepat memberi respon pada kaki (kaki diangkat)

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 14

Pelemas Otot dan Obat-obat pada Saraf Otonom a. Setiap kelompok mahasiswa mendapatkan 1 ekor mencit. b. Diamati keadaan biologi dari hewan coba meliputi : bobot badan, frekuensi jantung, lajun nafas, reflex, tunos otot, kesadaran, rasa nyeri dan gejala lainnya bila ada. c. Disuntikkan secara intraperitoneal larutan diazepam campuran 0,05% dalam etanol absolut dan NaCl fisiologis, perbandingan 1:20 dengan dosis 5 mg/kg BB d. 30 menit kemudian disuntikkan Strignin 0,75 mg/kg BB,0,01% e. Diamati gejala yang terjadi selang 10 menit f. Ditentukan onset dan durasinya

Perhitungan dosis Evaluasi Efek Analgesik : 13 gr : 0,52 mg/kg BB : 0,02 %

Berat badan Dosis Konsentrasi zat

1000 gr X = 0,00052 gr x 13 gr X= X = 0,00000676 gr

0,02% b/v = 0,02 gr dalam 100 ml

X= X = 0,0338 ml 0,034 ml

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 15

Pelemas Otot dan Obat-obat pada Saraf Otonom

Diazepam Berat badan Dosis Diazepam Konsentrasi zat : 18,6 gr : 5 mg/kg BB : 0,05 %

1000 gr X = 0,005 gr x 18,6 gr X= X = 0,000093 gr

0,05% b/v = 0,05 gr dalam 100 ml

X= X = 0,186 ml Strignin Berat badan Dosis Diazepam Konsentrasi zat : 18,6 gr : 0,75 mg/kg BB : 0,01 %

1000 gr X = 0,00075 gr x 18,6 gr X= X = 0,00001395 gr

0,01% b/v = 0,01 gr dalam 100 ml

X=

= 0,1395 m

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 16

4.2.

Pembahasan A. Evaluasi Efek Analgesik Analgesik adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi rasa nyeri. Efek nyeri ini dapat dicapai dengan berbagai cara seperti menekan kepekaan reseptor nyeri terhadap rangsangan mekanik,termik,listrik atau kimiawi dipusat atau perifer atau dengan cara menghambat pembentukan prostaglandin sebagai mediator sensasi nyeri. Dalam percobaan ini digunakan rangsangan panas atau termik dengan metode Woolfe-Mac Donald. Metode ini menggunakan lempeng panas dari seng. Mencit kemudian diletakkan diatas lempeng tersebut pada suhu tertentu (50C-60C) dalam silinder kaca, silinder kaca dimaksudkan agar hewan tetap berada diatas lempeng panas. Reaksi sakit ditunjukkan dengan gerakan-gerakan kaki belakang,depan atau keduanya yang menyatakan rasa nyeri setempat. Rasa nyeri timbul karena produksi prostaglandin meningkat bila sel megalami kerusakan. Zat aktif yang berperan sebagai analgesik pada percobaan ini digunakan asetosal. Asetosal atau asam asetil salisilat atau yang lebih dikenal sebagai aspirin merupakan analgesik,antipiretik dan antinflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Asetosal merupakan derivat asam salisilat yang termasuk kedalam obat anti inflamasi non steroid. Mekanisme kerja obat ini berhubungan dengan sistem biosintesis prostaglandin dengan menghambat reseptor enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin (PGG2) terganggu. Prostaglandin dihasilkan oleh jaringan yang terluka atau sakit yang disintesis dari asam lemak tak jenuh rantai panjang yaitu asam arakidonat. Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform yang disebut COX-1, inhibisi COX-1 bertanggung jawab untuk toksisitas gastrointestinal dan COX-2, inhibisi COX-2 bertanggung jawab untuk efek analgesik. Dalam hal ini aspirin mengasetilasi enzim (pada serin 530) sebagai inhibitor COX-2 yang dapat masuk dan memblok kanal COX-2 sehingga efek analgesik dapat dicapai, namun tidak mempersempit kanal COX-1. Dari percobaan ini didapatkan hasil efek analgesik dari asetosal

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 17

pada mencit normal adalah 29 detik 9/s, setelah 10 menit efek analgesik 23 detik 9/s, pada 20 menit efek analgesik 19 detik 8/s, pada 30 menit efek analgesik 21 detik 4/sec, pada menit ke 40 efek analgesik 16 detik 7/s,pada menit ke 50 efek analgesik 26 detik 3/s dan pada menit ke 60 efek analgesik 38 detik 5/s sehingga didapatkan kurva sebagai berikut :

50 waktu analgesik 40 30 20 10 0 0 10 20 30 40 50 60 70

menit keGambar 1. Kurva Waktu Analgesik

Dari kurva tersebut terjadi kenaikan dan penurunan pada waktu analgesik pada menit tertentu. Waktu analgesik tertinggi terjadi pada menit ke 60 yang menandakan efek analgesik telah tercapai yang berarti menunjukkan lamanya waktu yang dibutuhkan mencit untuk merasakn sensasi nyeri. Penurunan dan kenaikan waktu analgesik dikarenakan absorpsi,distribusi,metabolisme dan ekskresi.

B. Pelemas Otot dan Obat-obat pada Syaraf Pusat Obat-obat pelemas otot bekerja selektif di sistem saraf pusat dan terutama digunakan untuk mengurangi spasme otot atau spastisitas yang terjadi pada gangguan muskoskeletal dan neuromuskular. Pelemas otot dalam percobaan kali ini adalah Diazepam. Diazepam merupakan obat dari golongan Benzodiazepine. Diazepam memberikan efek ansiolitik,

hipnotik, relaksan otot, antikonvulsan dan amnesik. Target dari kerja benzodiazepine adalah reseptor GABA (asam gama aminobutirat). Reseptor ini terdiri dari subunit , , dan dimana berkombinasi dengan lima atau lebih dari membrane postsinaptik. Benzodiazepine

meningkatkan efek GABA dengan berikatan ke tempat yang spesifik dan

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 18

afinitas tinggi. Reseptor ionotropik ini, suatu protein heteroligometrik transmembran yang berfungsi sebagai kanal ion klorida, yang diaktivasi oleh neurotransmitter GABA inhibitorik. Benzodiazepin meningkatkan frekuensi pembukaan kanal oleh GABA. Pemasukan ion klorida tersebut menyebabkan hyperpolarisasi kecil yang menggerakkan potensial

postsinaps menjauh dari threshold sehingga menghambat kejadian potensial aksi. Obat-obat pada saraf pusat menyebabkan efek utama yaitu

perangsangan SSP dan biasanya disebut sebagai analeptik atau konvulsan. Perangsangan SSP oleh obat pada umumnya melalui dua mekanisme yaitu,mengadakan blokade sistem penghambatan dan meninggikan perangsangan sinaps. Striknin merupakan obat yang mengadakan blokade selektif terhadap sistem penghambatan pascasinaps. Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmitter penghambatan yaitu glisin di daerah penghambatan pascasinaps. Striknin merupakan konvulsan yang kuat dengan sifat kejang yang khas. Pada percobaan kali ini, mencit yang disuntikkan diazepam mengalami pelemasan otot dan terlihat tenang tanpa hilangnya kesadaran, tonus otot, refleks ,kesadaran dan rasa nyeri berkurang pada menit ke 10 dan 20. Pada waktu ini obat berikatan dengan reseptor sehingga memberikan efek agonis sebagai muscle relaxan. Pada menit ke 30, efek muscle relaxan mulai berkurang dikarenakan dosis obat mulai menurun. Pada menit yang sama disuntikkan striknin. Setelah pemberian striknin, mencit terlihat mulai aktif, tonus otot, refleks, kesadaran dan rasa nyeri meningkat dengan onset 35 menit 38 detik. Pada waktu ini, kedua obat saling beradu untuk memunculkan efeknya pada reseptor yang berbeda. Diazepam memunculkan efek penenang pada GABA sedangkan Striknin menstimulasi SSP pada glisin. Efek obat ini disebut antagonis fungsional, beradu untuk memunculkan efek yang berbeda dengan reseptor yang berbeda pula. Setelah pemberian striknin, mencit mengalami kejang yang khas yaitu simetris, aspontan dan tetanik. Mencit kembali pada keadaan normal pada durasi 54 menit 35 detik.

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 19

BAB V KESIMPULAN

Analgesik adalah kelompok obat yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi rasa nyeri tanpa memghilangkan kesadaran berbeda sekali dengan anestetik. Asetosal merupakan obat yang memberikan efek analgesik. Efek analgesik dikatakan sudah tercapai jika dalam menerima sensasi nyeri memerlukan waktu yang lama. Diazepam merupakan obat yang memberikan efek muscle relaxan yang mengikat reseptor GABA. Sedangkan striknin merupakan obat yang berperan sebagai perangsang SSP yang menghambat glisin.

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 20

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi dan Terapi. 2009. Farmakologi dan Terapi. UI press : Jakarta (Minggu, 9 Juni 2013, 10.15) Neal,M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga Medical Series (Senin,10 Juni 2013,22.30) Syamsudin,Darmono.2011.Farmakologi Eksperimental.UI Press: Jakarta (Senin,10 Juni 2013, 20:20) Syarif, Amir, et al.. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru. (Jumat, 7 Juni 2013, 21:20) Tan Hoan Tjay dan Kirana Raharja. 2005. Obat-Obat Penting. Jakarta: PT. Gramedia.

Evaluasi Efek Analgesik dan Obat-Obat Pelemas Otot serta Saraf Otonom| 21

Anda mungkin juga menyukai