Anda di halaman 1dari 24

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Juling (strabismus) adalah suatu nama yang diberikan untuk ketidaksejajaran mata yang biasanya persisten atau regular. Penderita strabismus tidak hanya terlihat penampilannya yang jelek, gangguan visual yang berhubungan dengan juling kadangkadang menjadi beban yang sangat besar. Juling tidak hanya suatu cacat, tapi sering suatu gangguan visual yang berat.(1) Esotropia merupakan juling ke dalam atau strabismus konvergen manifes dimana sumbu penglihatan mengarah ke arah nasal. Esotropia akuisita dapat terjadi pada usia 1-8 tahun dan tidak selalu respons dengan penggunaan kacamata jauh. Esotropia akuisita biasanya muncul usia 2-5 tahun dan sering dihubungkan dengan penyakit penyebabnya.(2,3) Esotropia akuisita terjadi 10,4% Dari seluruh esotropia di dunia. Adanya kelainan organik sering menimbulkan strabismus. Hasil penelitian akhir-akhir ini menyatakan 11,52% pasien dengan strabismus ada kelainan di segmen posterior matanya. Diagnosis yang banyak adalah Toxoplasma khorioretinitis, morning glory anomaly, Toxocara retinopati, retinopati premature, dan Coats disease.(3) Esotropia diterapi dengan non bedah dan bedah. Pengobatan non bedah hanya untuk memperbaiki kelainan refraksi dan mengatasi ambliopianya. Pembedahan dilakukan apabila dengan pengobatan non bedah ambliopia masih tersisa deviasi yang cukup besar.(4)

1.2 Batasan Masalah Permasalahan dalam referat ini dibatasi pada diagnosis dan penatalaksanaan esotropia. 1.3 Tujuan Penulisan Penulisan referat ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang esotropia. 1.4 Metode Penulisan Referat ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang merujuk pada berbagai literatur dan dilengkapi ilustrasi kasus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi otot ekstra okular

Ada 7 otot ekstraokular: 4 otot rektus, 2 otot oblik, dan l otot evator palpebra superior. Nervus kranial VI (abducens) yang mensyarafi otot rektus lateral, nervus IV (trochlear) mensyarafi otot oblik superior, dan nervus III (oculomotor) mensarafi otot levetor palpebrae, rektus superior, rektus medial, rektus inferior. dan otot oblik inferior.Nervus III terdiri menjadi divisi atas dan bawah: divisi atas mensuplai otot levator palpebrae dan rectus superior; divisi bawah mensuplai rektus medial, rektus inferior. dan otot oblik inferior. persarafan parasimpatis dari spingter pupil dan otot siliary berjalan bersama dengan cabang dari divisi bawah dari nervus III yang mensuplai otot oblik inferior. (5)

Ketika mata diarahkan lurus ke depan dan kepala juga lurus, mata dikatakan dalam posisi primer. Fungsi primer dari otot dalah efek pada posisi mata ketika kontraksi otot saat mata dalam posisi primer. Aksi sekunder dan tersier dari otot adalah efek tambahan pada posisi mata primer. Bola mata biasanya dapat digerakkan sekitar 50 ke setiap arah dari posisi primer. Dalam keadaan melihat normal biasa mata bergerak hanya sekitar 15 -20 dari posisi primer sebelum gerakan kepala terjadi. (5)

Otot rektus horizontal

Otot-otot rektus horizontal adalah otot rektus medial dan lateral. Keduanya muncul dari anulus Zinn. Otot rektus medial melintang sepanjang dinding medial orbital. Kedekatan dari otot rektus medial ke dinding orbital medial berakibat rektus medial dapat terluka selama operasi 3

sinus ethmoid. Otot rektus lateral melintang sepanjang dinding orbital lateral. Dalam posisi primer, rektus medial adalah adduktor, dan rektus lateral merupakan abduktor. Otot rektus Medial adalah satu-satunya otot rektus yang tidak bersinggungan dengan otot oblik . Hal ini membuat operasi pada rektus medial kurang rumit. Tapi tidak berarti bahwa tidak ada kemungkinan ahli bedah menjadi bingung atau titik pelekatan otot hilang. (5)

Otot rektus Vertikal

Otot-otot rektus vertikal adalah otot rektus superior dan inferior. otot rektus Superior berasal dari anulus Zinn dan memanjang ke anterior hingga ke bagian atas bola mata, dan kesamping, membentuk sudut 23 dengan sumbu visual dari mata dalam posisi primer . Dalam posisi primer, fungsi utama otot ini adalah elevasi, fungsi sekunder adalah intorsion

(incycloduction), dan tindakan tersier adalah adduksi. otot rektus Inferior juga muncul dari anulus Zinn, dan kemudian memanjang ke anterior, bawah, dan lateral di sepanjang lantai orbit, membentuk sudut 23 dengan sumbu visual dari mata dalam posisi primer. Dalam posisi primer, tindakan utama otot rektus inferior adalah depresi, fungsi sekunder ekstorsi (excycloduction), dan fungsi tersier adalah adduksi. (5)

Gambar otot ekstra okular dari mata kanan dilihat dari atas

Otot oblik

Otot oblik superior berasal dari apeks orbital di atas anulus Zinn menuju anterior atas sepanjang dinding superomedial orbit. Otot menjadi tendon sebelum melewati troklea, sadel tulang rawan melekat pada tulang frontal di orbit hidung unggul. Sebuah bursa seperti celah memisahkan troklea dari fibrovascular selubung longgar sekitar tendon. Serat diskrit tendon teleskop ketika mereka bergerak melalui troklea, serat tengah bergerak lebih jauh dari yang perifer . Fungsi troklea adalah untuk mengarahkan tendon inferior, posterior, dan lateral, membentuk sudut 51 dengan sumbu visual dari mata dalam posisi primer. Tendon menembus kapsul Tenon 2 mm kearah nasal dan 5 mm ke posterior terhadap insersi nasal dari otot rektus superior. Lewat di bawah otot rektus superior. Insersi tendon di kuadran posterosuperior bola mata, hampir atau seluruhnya lateral dari midvertical atau pusat rotasi. Dalam posisi primer, fungsi utama dari otot oblik superior adalah intorsi (incycloduction). fungsi sekunder adalah depresi. dan fungsi tersier adalah abduksi. (5)

Gambar komponen troklea

Otot oblik inferior berasal dari periosteum dari tulang rahang, posterior dari pinggir orbital dan lateral dari orifisium fossa lakrimal. Melewati daerah lateral, superior. dan posterior, berjalan dibawah otot rektus inferior dan berinsersi dibawah otot rektus lateral yang di bagian posterolateral bola mata. di daerah makula. otot oblik inferior Membentuk sudut 51 dengan sumbu visual dari mata dalam posisi primer . Dalam posisi primer, fungsi utama otot ini adalah ekstorsi (excycloduction), fungsi sekunder adalah elevasi, dan fungsi tersier adalah abduksi. (5)

Otot Levator Palpebrae superior

Otot levator palpebra superior muncul dari puncak orbita dari sayap kecil dari tulang sphenoid tepat diatas anulus Zinn. Asal otot berupa gabungan bagian bawah otot rektus superior dengan bagian medial otot oblik superior. Levator palpebrae superior menuju anterior, berada tepat di atas otot rektus superior, selubung fasia dari 2 otot ini saling terhubung. Otot levator palpebra superior menjadi aponeurosis di wilayah forniks superior. Otot ini memiliki insersi ke kulit dan tarsus. (5)

2.2 Fungsi Otot Penggerak Bola Mata

Normalnya mata mempunyai penglihatan binokuler yaitu setiap saat terbentuk bayangan tunggal dari kedua bayangan yang diterima oleh kedua mata sehingga terjadi fusi dipusat penglihatan. Hal tersebut dapat terjadi karena dipertahankan oleh otot penggerak bola mata agar selalu bergerak secara teratur, gerakan otot yang satu akan mendapatkan keseimbangan gerak dari otot yang lainnya sehingga bayangan benda yang jadi perhatian selalu jatuh tepat dikedua fovea sentralis.7 Syarat terjadi penglihatan binokuler normal:

1. Tajam penglihatan pada kedua mata sesudah dikoreksi refraksi anomalinya tidak terlalu berbeda dan tidak terdapat aniseikonia. 2. Otot-otot penggerak kedua bola mata seluruhnya dapat bekerja sama dengan baik, yakni dapat menggulirkan kedua bola mata sehingga kedua sumbu penglihatan menuju pada benda yang menjadi pusat perhatiannya. 3. Susunan saraf pusatnya baik, yakni sanggup menfusi dua bayangan yang datang dari kedua retina menjadi satu bayangan tunggal. Bayi yang baru lahir, faal penglihatan belum normal, visus hanya dapat membedakan terang dan gelap saja. Adanya perkembangan umur, visus juga ikut berkembang. Pada usia 5-6 tahun, visus mencapai maksimal. Perkembangan yang pesat mulai saat kelahiran sampai tahuntahun pertama. Bila tidak ada anomali refraksi/kekeruhan media/kelainan retina maka visus tetap sampai hari tua. Tajam penglihatan normal berarti fiksasi dan proyeksi normal sehingga mampu membedakan: 1. bentuk benda 2. warna 3. intensitas cahaya Bersamaan dengan perkembangan visus, berkembang pula penglihatan binokularitasnya. Bila perkembangan visus berjalan dengan baik dan fungsi ke 6 pasang otot penggerak bola mata juga baik, serta susunan saraf pusatnya sanggup menfusi dua gambar yang diterima oleh retina mata kanan dan kiri maka ada kesempatan untuk membangun penglihatan binokular tunggal stereoskopik. (5)

Gangguan gerakan bola mata terjadi bila terdapat satu atau lebih otot mata yang tidak dapat mengimbangi gerakan otot mata lainnya maka akan terjadi gangguan keseimbangan gerakan mata sumbu penglihatan akan menyilang mata menjadi strabismus. (5)

2.3 Definisi

Strabismus atau juling merupakan keadaan tidak sejajarnya kedudukan kedua bola mata karena tidak normal penglihatan binokuler atau anomali kontrol neuromuskuler gerakan okuler. Strabismus dapat horizontal, vertikal, torsional, atau kombinasi Dari ketiganya.(6) Esotropia adalah suatu penyimpangan sumbu penglihatan yang nyata dimana salah satu sumbu penglihatan menuju titik fiksasi sedangkan sumbu penglihatan lainnya menyimpang pada bidang horizontal ke arah medial.(6) Esotropia adalah jenis strabismus yang paling sering ditemukan. Strabismus ini dibagi menjadi dua tipe : paretik (akibat paresis atau paralysis satu atau lebih otot ekstraokular) dan nonparetik (komitan). Esotropia nonparetik adalah tipe tersering pada bayi dan anak. Tipe ini dapat akomodatif, nonakomodatif, atau akomodatif parsial. Strabismus paretik jarang dijumpai pada anak tetapi merupakan penyebab tersering kasus baru strabismus pada orang dewasa. Esotropia akuisita pada orang dewasa umumnya paretik yang disebabkan oleh kelemahan otot rektus lateral akibat cedera saraf kranial keenam.(3) 2.4 Epidemiologi Esotropia akuisita dapat terjadi pada usia 1-8 tahun dan tidak selalu respons dengan penggunaan kacamata jauh. Esotropia akuisita biasanya muncul usia 2-5 tahun dan sering dihubungkan dengan penyakit penyebabnya.(3,4)

Esotropia akuisita terjadi 10,4% Dari seluruh esotropia di dunia. Adanya kelainan organik sering menimbulkan strabismus. Hasil penelitian akhir-akhir ini menyatakan 11,52% pasien dengan strabismus ada kelainan di segmen posterior matanya. Diagnosis yang banyak adalah Toxoplasma khorioretinitis, morning glory anomaly, Toxocara retinopati, retinopati premature, dan Coats disease.(4) 2.5 Etiologi Penyebab Esotropia adalah(3,6) : Faktor refleks dekat, akomodatif esotropia Hipertoni rektus medius konginetal Hipotoni rektus lateralis akuisita Penurunan fungsi penglihatan satu mata pada bayi dan anak

2.6 Klasifikasi 1. Esotropia nonakomodatif a. Esotropia infantilis (kongenital) "Bawaan" berarti dari lahir dan, menggunakan definisi yang ketat, sebagian besar bayi dilahirkan dengan mata yang tidak selaras saat lahir. Hanya 23% bayi dilahirkan dengan mata lurus. Pada kebanyakan kasus, satu mata atau yang lain benar-benar berubah ke luar selama periode neonatal. Dalam tiga bulan pertama mata secara bertahap datang ke penyelarasan konsisten lebih sebagai koordinasi dari dua mata bersama sebagai sebuah tim berkembang. Hampir separuh dari semua kasus esotropia termasuk dalam kelompok ini. Pada sebagian besar kasus, penyebabnya tidak jelas. Deviasi konvergen telah bermanifestasi pada usia 6 bulan. Deviasinya bersifat comitant, yakni sudut deviasi kira-kira sama dalam semua arahpandangan dan biasanya tidak dipengaruhi akomodasi. Dengan demikian, penyebab tidak berkaitan dengan 9

kesalahan refraksi atau bergantung pada paresis otot ekstraokular. Sebagian besar kasus mungkin disebabkan oleh gangguan kontrol persarafan, yang mengenai jalur supranukleus untuk konvergensi dan divergensi serta hubungan sarafnya ke fasikulus longitudinal medialis. Sebagian kecil kasus disebabkan oleh variasi anatomik misalanya anomali insersi otot-otot yang bekerja horizontal, ligamentum penahan abnormal atau berbagai kelainan fasia lainya(2). Juga terdapat banyak bukti bahwa strabismus dapat diturunkan secara genetis. Esoforia dan esotropia sering diwariskan sebagai sifat dominan autosom. Saudara kandung mungkin mengalami deviasi mata yang sama. Sering terdapat unsur akomodatif pada esotropia comitant, yakni koreksi kesalahan refraksi hiperopik berkurang tetapi tidak menghilangkan semua deviasi(2). Deviasi itu sendiri sering besar (40o) dan biasanya comitant. Abduksi mungkin terbatas, tetapi dapat terjadi. Setelah usia 18 bulan, dapat diamati ada deviasi vertikal. Yakni, kerja berlebihan otot-otot oblikus atau disosiasi deviasi vertikal. Mungkin dijumpai nistagmus, mansfestasi maupun laten. Kesalahan refraksi yang paling sering dijumpai adalah hipertropia sedang(2). Mata yang tampak lurus adalah mata yang digunakan untuk melakukan fiksasi. Hampir selalu, mata tersebut adalah mata yang memiliki penglihatan yang lebih baik atau kesalahan refraksi yang lebih rendah (atau keduanya). Apabila terdapat anisometropia, mungkin juga terdapat ambliopia. Apabila dalam waktu yang berlaianan mata yang digunakan untuk fiksasi berbeda-beda, pasien dikatakan memperlihatkan fiksasi berselang seling spontan; dalam hal ini, penglihatan kedua mata mungkin samaatau hampi sama. Pada sebagian kasus, preferensi mata ditentukan oleh arah pandangan. Misalnya, pada esotropia skala besar, terdapat kecenderungan

10

pasien menggunakan mata kanan sewaktu memandang ke kiri dan mata kiri untuk memandang ke kanan (fiksasi silang)(2) Esotropia infantilis diterapi secara bedah. Terapi awal non bedah dapat diindikasikan untuk memastikan hasil terbaik yang dapat dicapai. Perlu ditekankan bahwa amblioplia harus diterapi secara penuh sebelum dilakukan tindakan bedah. Pada kesalahan refraksi hipertropik 3 D atau lebih harus dicoba penggunaan kacamata untuk menentukan apakah penurunan

akomodasi menimbulkan efek positif terhadap deviasi. Sebagai alternatif untuk penggunaan kacamata, dapat digunakan miotika(2). Tindakan bedah biasanya diindikasikan setelah terapi medis dan terapi ambliopia dilakukan. Setelah dicapai perbaikan terukur, tindakan bedah harus segera dilakukan karena terdapat banyak bukti bahwa semakin cepat mata disejajarkan hasil sensorik yang diperoleh akan lebih baik. Banyak prosedur yang telah dianjurkan, tetapi 2 yang paling populer, yakni(2): 1. Pelemahan otot rektus medialis 2. Reseksi otot rektus medialis dan reseksi otot lateralis mata yang sama 3. Esotropia nonakomodatif yang didapat Jenis esotropia ini timbul pada anak, biasanya setelah usia 2 tahun. Hanya sedikit atau tidak terdapat faktor akomodatif. Sudut strabismus sering lebih kecil daripada yang terdapat pada esotropia infantilis tetapi dapat meningkat seiring dengan waktu. Di luar hal itu, temuan klinis sama seperti yang terdapat pada esotropia konginetal. Terapi adalah tindakan bedah dan mengikuti petunjuk yang samaseperti untuk esotropia konginetal2. b. Esotropia akomodatif Esotropia akomodatif terjadi apabila terdapat mekanisme akomodasi fisiologik normal disertai respon konvergensi berlebihan tetapi divergensi fusional yang relatif inufisiensi untuk 11

menahan mata tetap lurus. Tetapi dua mekanisme patologik yang bekerja, bersama-sama atau tersendiri(2) : 1. Hiperopia yang cukup tinggi, yang memerlukan banyak akomodasi(dan dengan demikian konvergensi) untuk memperjelas bayangan sehingga timbul esotropia 2. Rasio KA/A yang tinggi, yang disertai hiperopia ringan samapi sedang

Esotropia akomodatif hiperopia Esotropia akomodatif akibat hiperopia biasanya mulai timbul pada usia 2-3 bulan tetapi dapat muncul lebih dini atau lambat. Sebelum terapi, deviasi bervariasi. Kacamata disertai refraksi sikloplegik penuh memungkinkan mata sejajar. Esotropia akomodatif akiabat rasio KA/A yang tinggi Pada esotropia akomodatif akibat rasio konvergensi akomodatif terhadap akomodasi (rasio KA/A) yang tinggi, deviasi lebih besar pada penglihatan dekat daripada penglihatan jauh. Kesalahan refraksinya adalah hiperopia. Terapi adalah kacamata dengan refraksi siklopegik penuh ditambah bifokal atau miotik untuk menghilangkan deviasi berlebihan pada penglihatan dekat(2). c. Esotropia Akomodasi Parsial Dapat terjadi suatu mekanisme campuran , sebagian ketidakseimbangan otot dan sebagian ketidakseimbangan akomodasi/konvergensi. Walaupun terapi akomodasi menurunkan sudut deviasi, namu esotropianya sendiri tidak menghilang. Tindakan bedah dilakukan untuk komponen nonakomodatif deviasi dengan pilihan posedur bedah seperti dijelaskan untuk esoropia infantilis(2).

12

d. Esotropia paretik (Incomitant) Kelumpuhan Abducens Pada strabismus incomitant, selalu terdapat satu atau lebih otot ekstraokular yang paretik. Pada kasus esotropia incomitant, paresis biasanya mengenai satu atau kedua otot rectus lateralis, biasanya akibat kelumpuhan saraf abducens. Kasus-kasus ini sering dijumpai pada orang dewasa yang mengidap hipertensi sistemik atau diabetes, tetapi kelumpuhan saraf abducens kadangkadangdapat merupakan tanda awal suatu tumor atau peradangan yang mengenai susunan saraf pusat. Karena itu, tanda-tanda neurologik terkait sangat penting diperhatikan. Trauma kepala adalah penyebab lain kelumpuhan abducens yang terjadi(2). Esotropia incomitan juga dijumpai pada bayi dan anak, tetapi jauh lebih jarang dibandingkan esotropia comitant. Kasus-kasus ini terjadi akibat cedera persalinan yang mengenai otot secara langsung, akibat cedera pada saraf, atau tang lebih jarang, akibat anomali konginetal otot rektus lateralis atau perlekatan fasianya(2) Apabila otot rektus lateralis mengalami paralisis total, mata tidak dapat berabduksi melewati garis tengah. Gambaran khas esotropia lebih besar pada jarak jauh daripada jarak dekat dan lebih besar pada sisi yang terkena. Paresis otot rektus lateralis kanan menyebabkan

esotropia yang menjadi lebih besar sewaktu memandang ke kanan dan, apabila paresisnya ringan sedikit atau tidak terjadi deviasi sewaktu memandang ke kiri(2). Apabila dalam 6-8 minggu setelah onset paresis tidak terdapat tanda-tanda perbaikan, dapat diberikan suntikan toksin botulinum tipe A ke dalam otot rektus medialis antagonis yang mungkin bermanfaat atau bahkan menyembuhkan pada kasus-kasus ringan. Pada kasus yang lebih parah, penyuntikan akan memperkecil kemungkinan kontraktur otot antagonis. Apabila tidak timbul perbaikan setelah 6 bulan, perlu dilakukan tindakan bedah. Apabila sedikit atau tidak terdapat kontraktur otot rektus medialis, diindikasikan tindakan rersesi otot tersebut disertai 13

reseksi besar otot rektus lateralis yang paresis. Untuk paralisis abduksi total, insersi otot rektus inferior dan superior dapat diubah ke insersi otot rektus lateralis, dan otot rektus medialis dapat diresesi atau dilumpuhkan sementara dengan toksin Bottulinum A. Penggunaan jahitan yang dapat disesuaikan memungkinkan bedah resesi otot dilakukan secara halus sehingga diperoleh daerah penglihatan binokular tunggal terluas. Abduksi otot yang paretik akan selalu terbatas(2).

2.7 Diagnosis A. Anamnesis Pertanyaan yang lengkap dan cermat tentang riwayat sakit sangat membantu dalam menentukan, diagnosis, prognosis dan pengobatan strabismus. Dalam hal ini perlu ditanyakan(5) : a. Riwayat keluarga : biasanya strabismus diturunkan secara autosomal dominan. b. Umur pada saat timbulnya strabismus : karena makin awal timbulnya strabismus makin jelek prognosisnya. c. Timbulnya strabismus : mendadak, bertahap, atau berhubungan dengan penyakit sistemik. d. Jenis deviasi : bagaimana pasien menyadari strabismusnya? Bagaimana penglihatan dekatnya? Kapan matanya terasa lelah? Apakah pasien menutup matanya jika terkena sinar matahari? Apakah matanya selalu dalam keadaan lurus setiap saat? Apakah derajat deviasinya tetap setiap saat? e. Fiksasi : apakah selalu berdeviasi satu mata atau bergantian?

14

B. Inspeksi Dengan inspeksi sudah dapat ditentukan apakah strabismusnya konstan atau hilang timbul (intermitten), berganti-ganti (alternan) atau menetap (nonalternan),dan berubah-ubah (variable) atau tetap (konstan). Harus diperhatikan pula ptosis terkait dan posisi kepala yang abnormal. Derajat fiksasi masing-masing secara terpisah atau bersama-sama. Adanya nistagmus menunjukkan bahwa fiksasinya buruk dan tajam penglihatannya menurun.(5) C. Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan Tajam penglihatannya harus diperiksa walaupun secara kasar untuk membandingkan tajam penglihatan kedua mata. Kedua mata diperiksa sendiri-sendiri, karena dengan uji binokular tidak akan bisa diketahui kekaburan pada satu mata. Untuk anak-anak yang masih sangat muda, yang bisa dilakukan kadang-kadang hanya berusaha agar mata bisa memfiksasi atau mengikuti sasaran (target). Sasaran dibuat sekecil mungkin disesuaikan dengan usia, perhatian, dan tingkat kecerdasannya. Jika dengan menutup satu mata anak tersebut melawan, sedang dengan menutup mata yang lain tidak melawan, maka mata yang penglihatannya jelek adalah yang ditutup tanpa perlawanan. Pada uji titik (dot test), anak yang diperiksa disuruh menaruhkan jari-jarinya pada sebuah titik yang ukurannya telah dikalibrasi. Ini adalah uji kuantitatif paling awal yang dikerjakan secara berkala (dimulai pada umur 2-2 tahun). Pada umur 2 - 3 tahun anak sudah mampu mengenali dan mengerjakan uji gambar-gambar kecil (kartu Allen). Umumnya anak umur 3 tahun sudah bisa melakukan permainan E (E-game) yaitu dengan kata snellen konvensional dengan huruf E yang kakinya ke segala arah dan sianak menunjukkan arah kaki huruf E tersebut dengan jari telunjuknya.(5) Tajam penglihatan dan kemampuan visual bayi lainnya dapat ditentukan dengan metode melihat apa yang disukai anak (preferential looking method), yang didasarkan pada kebiasaan bayi yang 15

lebih menyukai melihat lapangan yang telah dipola (diberi corak) atau melihat lapangan yang seragam. D. Pemeriksaan Kelainan Refraksi Memeriksa kelainan refraksi dengan retinoskop memakai sikloplegik adalah sangat penting. Obat baku yang digunakan agar sikloplegia sempurna adalah atropine. Bisa diberikan dalam bentuk tetes mata atau salep mata 0,5 % atau 1 % beberapa kali sehari selama beberapa hari. Pemberian atropine pada anak-anak usia sekolah sangat tidak disukai karena sikloplegianya berlangsung lama sampai 2 minggu sehingga mengganggu pelajaran sekolah. Pada semua umur bisa digunakan homatropin 5 % atau siklopentolat 1 atau 2 % dan hasilnya baik.(5,7) E. Menentukan Besar Sudut Deviasi 1. Uji Prisma dan Penutupan Uji penutupan (cover test) Uji membuka penutup (uncover test)

Gambar. Cover and Uncover Test

16

Uji penutup berselang seling (alternate cover test) Penutup ditaruh berselang seling didepan mata yang pertama dan kemudian mata yang lain. Uji ini memperlihatkan deviasi total (heterotropia dan heteroforia)

Uji penutupan plus prisma Untuk mengukur deviasi secara kuantitatif, diletakkan prisma dengan kekuatan yang semakin tinggi dengan kekuatan satu atau kedua mata sampai terjadi

netralisasi gerakan mata pada uji penutup berselang-seling. Misalnya untuk mengukur esodeviasi penuh, penutup dipindah-pindahkan sementara diletakkan prisma dengan kekuatan base out yang semakin tinggi didepan salah satu atau kedua mata sampai gerakan re-fiksasi horizontal dicapai oleh mata yang deviasi. 2. Uji Objektif Uji prisma dan uji tutup bersifat objektif, karena tidak diperlukan laporan laporan pengamatan sensorik Dari pasien. Namun diperlukan kerjasama dan tajam penglihatan yang utuh. Uji batang Maddox bersifat subjektif, Karena nilai akhir pelaporan berdasarkan laporan pengamatan sensorik pasien. Pada kasus dimana pasien dalam keadaan bingung atau tidak kooperatif, mungkin tidak respon terhadap uji ini. Cara-cara penentuan klinis posisi mata yang tidak memerlukan pengamatan sensorik pasien (uji objektif) jauh kurang akurat, walaupun kadang-kadang masih bermanfaat. Terdapat dua metode yang sering digunakan yang bergantung pada pengamatan posisi reflek cahaya oleh kornea, yakni :

17

a. Metode Hirschberg Pasien disuruh melihat sumber cahaya pada jarak 33 cm kemudian lihat pantulan cahaya pada kedua kornea mata. 1) Bila letaknya ditengah berarti tidak ada deviasi 2) Bila letaknya dipinggir pupil maka deviasinya 15 3) Bila letaknya dipertengahan antara pupil dan limbus maka deviasinya 30 4) Bila letaknya dilimbus maka deviasinya 45

Gambar. Tes Hirscberg b. Metode Refleksi Prisma (modifikasi uji krimsky) Penderita memfiksasi pada cahaya dengan jarak sembarangan. Prisma ditaruh didepan mata sedang deviasi. Kekuatan prisma yang diperlukan agar refleksi kornea pada mata yang juling berada ditengah-tengah pupil menunjukkan besarnya sudut deviasi.

18

Gambar. Tes Krimsky c. Duksi (rotasi monokular) Satu mata ditutup dan mata yang lain mengikuti cahaya yang digerakkan kesegala arah pandangan, sehingga adanya kelemahan rotasi dapat diketahui. Kelemahan seperti ini bisa karena paralisis otot atau karena kelainan mekanik anatomik. d. Versi (gerakan Konjugasi Okular) Uji untuk Versi dikerjakan dengan mata mengikuti gerakan cahaya pada jarak 33 cm dalam 9 posisi diagnosis primer lurus kedepan; sekunder kekanan, kekiri keatas dan kebawah; dan tersier keatas dan kekanan, kebawah dan kekanan, keatas dan kekiri, dan kebawah dan kekiri. Rotasi satu mata yang nyata dan relative terhadap mata yang lainnya dinyatakan sebagai kerja-lebih (overreaction) dan kerja kurang (underreaction). Konsensus : pada posisi tersier otot-otot obliq dianggap bekerja-lebih atau bekerja-kurang berkaitan dengan otot-otot rektus pasangannya. Fiksasi pada lapangan kerja otot paretik menyebabkan kerja-lebih otot pasangannya, karena diperlukan rangsangan yang lebih besar untuk berkontraksi.

19

Sebaliknya, fiksasi oleh mata yang normal akan menyebabkan kerja-kurang pada otot yang paretik. F. Pemeriksaan Sensorik 1. Uji stereopsis Digunakan kaca sasaran Polaroid untuk memilahkan rangsangan. Sasaran yang dipantau secara monokular hampir-hampir tidak bisa dilihat kedalamannya. Stereogram titik-titik acak (random stereogram) tidak memiliki petunjuk kedalaman bila dilihat monocular. Lapangan titik-titik secara acak (A field of random dots) terlihat oleh mata masing-masing tetapi hubungan titik ke titik yang sesuai antara 2 sasaran adalah sedemikian rupa sehingga bila ada stereopsis akan tampak suatu bentuk yang terlihat stereoskopis. 2. Uji supresi Adanya supresi bisa ditunjukkan dengan uji 4 titik Worth. Gagang pencoba dengan 4 lensa merah didepan satu mata dan lensa hijau didepan mata yang lain. Ditunjukkan senter dengan bulatan-bulatan merah, hijau dan putih. Bulatan-bulatan berwarna ini adalah tanda untuk persepsi mata masing-masing dan bulatan putih yang bisa dilihat kedua mata dapat menunjukkan adanya diplopia. Pemilahan bulatan-bulatan dan jaraknya Dari mata, menentukan luasnya retina yang diperiksa. Daerah fovea dan daerah perifer dapat diperiksa dengan jarak dekat atau jauh. 3. Uji kelainan Korespondensi retina

Kelainan korespondensi retina dapat ditentukan dengan dua cara : 1. Dengan menunjukkan bahwa salah satu fovea tidak tegak lurus didepannya

20

2. dengan menunjukkan bahwa titik retina perifer pada satu mata dan fovea mata lainnya mempunyai arah yang bersamaan. 4. Uji kaca beralur Bagolini Uji ini merupakan uji metode yang kedua. Kaca bening dengan alur-alur halus yang arahnya berbeda tiap-tiap mata ditempatkan didepan mata. Kondisi uji sedapat mungkin mendekati penglihatan normal. Terlihat sebuah titik sumber cahaya dan seberkas sinar tegak lurus pada arah alur. Jika unsur retina perifer mata yang berdeviasi menunjuk berkas cahaya melalui titik sumber cahaya maka berarti ada kelainan korespondensi retina.

2.8 Penatalaksanaan Esotropia Tujuan utama pengobatannya adalah mengembalikan efek sensorik yang hilang karena strabismus (ambliopia, supresi, dan hilangnya stereopsis), dan mempertahankan mata yang telah membaik dan telah diluruskan baik secara bedah maupun non bedah. Pada orang dewasa dengan strabismus akuisita, tujuannya adalah mengurangi deviasi dan memperbaiki penglihatan binokular tunggal. A. Pengobatan non-bedah a. Terapi oklusi : Mata yang sehat ditutup dan diharuskan melihat dengan mata ambliop b. Kacamata : Perangkat optik terpenting dalam pengobatan strabismus adalah kacamata yang tepat. Bayangan yang jelas di retina karena pemakaian kacamata memungkinkan mekanisme fusi bekerja sampai maksimal. Jika ada hipermetropia yang

21

tinggi dan esotropia, maka esotropianya mungkin karena hipermetropia tersebut (esotropia akomodatif refraktif). c. Obat farmakologik : Sikloplegik Sikloplegik melumpuhkan otot siliar dengan cara menghalangi kerja asetilkolin ditempat hubungan neuromuskular dan dengan demikian mencegah akomodasi. Sikloplegik yang digunakan adalah tetes mata atau salep mata atropin biasanya dengan konsentrasi 0,5% (anak) dan 1% (dewasa). Miotik Miotik digunakan untuk mengurangi konvergensi yang berlebihan pada esotropia dekat, yang dikenal sebagai rasio konvergensi akomodatif dan akomodasi (rasio KA/A) yang tinggi. Obat yang biasa digunakan adalah ekotiofat iodine (Phospholine iodide) atau isoflurat (Floropryl), yang keduanya membuat asetikolinesterase pada hubungan neuromuskular menjadi tidak aktif, dan karenanya meninggikan efek impuls saraf. Toksin Botulinum Suntikan toksin Botulinum A ke dalam otot ekstraokular menyebabkan paralisis otot tersebut yang kedalaman dan lamanya tergantung dosisnya. B. Pengobatan Bedah Memilih otot yang perlu dikoreksi : tergantung pengukuran deviasi pada berbagai arah pandangan. Biasanya yang diukur adalah jauh dan dekat pada posisi primer, arah pandangan sekunder untuk jauh, dan arah pandangan tersier untuk dekat, serta pandangan lateral ke kedua sisi untuk dekat. Reseksi dan resesi Cara yang paling sederhana adalah memperkuat dan

memperlemah. Memperkuat otot dilakukan dengan cara yang disebut reseksi. Otot dilepaskan dari mata, ditarik sepanjang ukuran tertentu dan kelebihan panjang otot dipotong dan ujungnya dijahit kembali pada bola mata, biasanya pada insersi asal. Resesi adalah cara melemahkan otot yang baku. Otot dilepaskan dari bola mata, dibebaskan dari 22

perlekatan-perlekatan fasial, dan dibiarkan menjadi retraksi. Kemudian dijahit kembali pada bola mata dibelakang insersi asal pada jarak yang telah ditentukan.(4)

23

DAFTAR PUSTAKA 1. Dharma S, Safwan. Juling dan hubungannya dengan berbagai macam gangguan penglihatan pada anak. Dalam : The 4th Sumatera Ophthalmology Meeting. Padang, 4-7 Januari 2006 2. Ilyas S. Strabismus. Dalam : Ilmu penyakit mata. Balai Penerbit FKUI. : 227-58 3. Pascotto A. Acquired esotropia. E-Medicine. Internet file : Jakarta, 2004

http://www.emedicine.com/OPH/topic 145.htm 4. Asbury T. Strabismus. Dalam : Oftalmologi umum. Edisi 14. Widya Medika, Jakarta. 2000 : 240-60 5. American Academy of Opthalmology. Pediatric Opthalmology and Strabismus, basic and clinical science course section 6. The foundation of AAO Sanfransisco, 2008: 89-98 6. Rusdianto. Diagnosis dan manajemen mikrostrabismus. The 4th Sumatera Ophthalmology Meeting. Padang, 4-7 Januari 2006

24

Anda mungkin juga menyukai