Anda di halaman 1dari 9

TATANAN KEBANDARUDARAAN NASIONAL Keputusan Menteri Perhubungan No.

KM 44 Tahun 2002

Menteri Perhubungan, Menimbang: a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan telah diatur ketentuan-ketentuan mengenai Tatanan Kebardarudaraan Nasional; b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Tatanan Kebandarudaraan Nasional dengan Keputusan Menteri Perhubungan. Mengingat: 1. Undang undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3721); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4075); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4146); 5. Keputusan Presiden Nomor 102 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 2002; 6. Keputusan Presiden Nomor 109 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Departemen sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 2002; 7. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 24 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perhubungan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 45 Tahun 2002; 8. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara. MEMUTUSKAN :

Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG TATANAN KEBARDARUDARAAN NASIONAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan: 1. Bandar Udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat kargo dan/atau pos, serta dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan sebagai tempat perpindahan antar moda transportasi; 2. Kebandarudaraan adalah meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan Bandar udara dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi Bandar udara untuk menunjang kelancaran, keamanan dan ketertiban arus lalu lintas pesawat udara, penumpang, kargo dan/atau pos, keselamatan penerbangan, tempat perpindahan intra dan/atau antar moda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah; 3. Tatanan Kebandarudaraan Nasional adalah suatu sistem kebandarudaraan nasional yang memuat tentang hirarki, peran, fungsi, klasifikasi, jenis, penyelenggaraan, kegiatan, keterpaduan intra dan antar moda, serta keterpaduan dengan sektor lainnya; 4. Jaringan Penerbangan adalah kumpulan rute penerbangan yang membentu ksuatu sistem pelayanan angkutan udara; 5. Bandar Udara Umum adalah Bandar udara yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umum; 6. Bandar Udara Khusus adalah Bandar udara yang penggunaannya hanya untuk menunjang kegiatan tertentu dan tidak dipergunakan untuk umum; 7. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat; 8. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang penerbangan; 9. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perhubungan Udara. Pasal 2 Tatanan Kebandarudaraan Nasional merupakan dasar dalam perencanaan pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian Bandar udara-bandar udara di seluruh Indonesia, baik Bandar udara umum maupun Bandar udara khusus yang bertujuan:

a. terjalinnya suatu jaringan prasarana Bandar udara secara terpadu serasi dan harmonis agar bersinergi dan tidak saling mengganggu, yang bersifat dinamis; b. terjadinya efisiensi transportasi udara secara nasional; c. terwujudnya penyediaan jasa kebandarudaraan sesuai dengan tingkat kebutuhan; rangka menunjang pembangunan nasional dan daerah; Pasal 3 Penetapan Tatanan Kebandarudaraan Nasional sebagaimana dimaksud dlaam Pasal 2 dilakukan dengan memperhatikan: a. rencana tata ruang; b. pertumbuhan ekonomi; c. kelestarian lingkungan; d. keamanan dan keselamatan penerbangan; e. keterpaduan intra dan antar moda transportasi; dan f. keterpaduan dengan sektor pembangunan lainnya. Pasal 4 Tatanan Kebandarudaraan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 memuat fungsi Bandar udara, penggunaan Bandar udara, klasifikasi Bandar udara, status Bandar udara, penyelenggaraan Bandar udara dan kegiatan Bandar udara. Pasal 5 Fungsi Bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dibedakan dalam bentuk hirarki fungsi Bandar udara yang terdiri atas: a. Bandar udara pusat penyebaran; b. Bandar udara bukan pusat penyebaran. Pasal 6 (1) Hirarki fungsi Bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, ditetapkan berdasarkan penilaian atas kriteria sebagai berikut: a. Bandar udara terletak di kota yang merupakan pusat kegiatan ekonomi; b. Tingkat kepadatan lalu lintas angkutan udara; d. terwujudnya penyelenggaraan penerbangan yang handal dan berkemampuan tinggi dalam

c.

Berfungsi untuk menyebarkan penumpang ke Bandar udara lain.

(2) Ketentuan tentang Bandar udara terletak di kota yang merupakan pusat kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditunjukkan dengan variabel sebagai berikut: a. status kota dimana Bandar udara tersebut berada sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah nasional; b. penggunaan Bandar udara. (3) Ketentuan tentang tingkat kepadatan lalu lintas angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditunjukkan dengan variabel: a. jumlah penumpang datang dan berangkat; b. jumlah penumpang transit; c. jumlah frekuensi penerbangan. (4) Ketentuan tentang berfungsi untuk menyebarkan penumpang ke Bandar udara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditunjukkan dengan variabel: a. jumlah rute penerbangan dlaam negeri; b. jumlah rute penerbangan luar negeri; c. jumlah rute penerbangan dalam negeri yang menjadi cakupannya. (5) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan skor untuk masing-masing variabel sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan ini. Pasal 7 (1) Bandar udara menurut penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dibedakan atas: a. Bandar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri (internasional); b. Bandar udara yang tidak terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri (domestik). (2) Bandar udara yang ditetapkan terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan berdasarkan pertimbangan aspek: a. potensi permintaan penumpang angkutan udara; b. potensi kondisi geografis; c. potensi kondisi pariwisata; d. potensi kondisi ekonomi; e. aksesibilitas dengan Bandar udara internasional disekitarnya; dan f. keterkaitan intra dan antar moda. Pasal 8

(1) ketentuan tentang potensi permintaan penumpang angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, ditunjukkan dengan: a. potensi permintaan angkutan udara luar negeri; b. potensi permintaan angkutan udara dalam negeri. (2) Ketentuan tentang potensi kondisi geografis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b ditunjukkan dengan variabel: a. Lokasi Bandar udara dengan Bandar udara di negar alain yang terdekat; b. Lokasi Bandar udara dengan Bandar udara internasional yang telah ada. (3) Ketentuan tentang potensi kondisi pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c ditunjukkan dengan variabel: a. Bandar udara terletak di daerah tujuan wisata; b. Tersedianya infrastruktur pariwisata (hotel, restoran, tempat wisata). (4) Ketentuan tentang potensi kondisi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d ditunjukkan dengan: a. Pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto propinsi; b. Kontribusi sektor transportasi udara terhadap pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto Propinsi. (5) ketentuan tentang aksesibilitas dengan Bandar udraa internasional disekitarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e ditunjukkan dengan: a. jumlah kapasitas dan frekuensi penerbangan ke/dari bandar udara internasional disekitarnya; b. moda darat dan/atau laut ke/dari Bandar udara internasional disekitarnya. (6) ketentuan tentang keterkaitan intra dan antar moda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf f ditunjukkan dengan: a. keterkaitan dengan moda darat untuk aksesibilitas ke/dari Bandar udara ke/dari kota-kota lain; b. keterkaitan dengan moda laut untuk aksesibilitas ke/dari Bandar udara ke/dari kota-kota lain. Pasal 9 (1) Bandar udara menurut klasifikasinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dibedakan berdasarkan atas: a. fasilitas Bandar udara; b. kegiatan operasional Bandar udara; dan

c.

jenis pengendalian ruang udara diselitar Bandar udara (Tingkat Pelayanan Lalu Lintas Udara).

(2) klasifikasi Bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari: a. Bandar udara Kelompok A; b. Bandar udara Kelompok B; c. Bandar udara Kelompok C. (3) tata cara pengelompokan dan komponen fasilitas Bandar udara, kegiatan pengoperasian serta jenis pengendalian ruang udara di sekitar Bandar udara untuk masing-masing kelompok Bandar udara tercantum dalam Lampiran II. Pasal 10 (1) Bandar udara menurut statusnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, terdiri atas: a. Bandar udara umum; b. Bandar udara khusus. (2) Bandar udara umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan Bandar udara yang digunakan untuk melayani kepentingan umum. (3) Bandar udara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan bandar udara yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu. Pasal 11 Bandar udara menurut penyelenggaraannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dibedakan atas: a. Bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Badan Usaha Kebandarudaraan; b. Bandar udara khusus yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Badan Hukum Indonesia. Pasal 12 (1) Bandar udara menurut kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, terdiri dari Bandar udara yang melayani kegiatan: c. pendaratan dan lepas landas pesawat udara untuk melayani kegiatan angkutan udara; d. pendaratan dan lepas landas helikopter untuk melayani kegiatan angkutan udara.

(2) Bandar udara untuk pendaratan dan lepas landas helikopter untuk melayani kepentingan angkutan udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, disebut heliport, helipad dan helideck. Pasal 13 Tatanan Kebandarudaraan Nasional berdasarkan fungsi Bandar udara, penggunaan Bandar udara, klasifikasi Bandar udara, status Bandar udara, penyelenggaraan Bandar udara dan kegiatan Bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, sebagaimana tercantum dalam Lampiran IIIA dan IIIB, berlaku sampai dengan tahun 2007 dan akan dievaluasi sesuai dengan kebutuhan perkembangan. Pasal 14 (1) untuk mencapai Tatanan Kebandarudaraan Nasional sampai dengan tahun 2007 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, digunakan strategi pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian Bandar udara. (2) Strategi pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian Bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV Keputusan ini. Pasal 15 Strategi pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian Bandar udara dilaksanakan dengan memperhatikan: a. prinsip dasar pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian Bandar udara; b. kriteria indikasi awal pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian Bandar udara. Pasal 16 (1) Prinsip dasar pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a, meliputi: a. Bandar udara harus terletak pada lokasi yang dapat menjamin keamanan dan keselamatan operasi penerbangan serta dapat dikembangkan dan dipelihara sesuai standar yang berlaku b. Bandar udara harus mempertimbangkan kemudahan pencapaian bagi pengguna;

c.

Bandar udara harus mudah dikembangkan, untuk memenuhi peningkatan permintaan akan jasa transportasi udara;

d. Banda udara harus menjamin pengoperasian dalam jangka panjang; e. Bandar udara harus berwawasan lingkungan; f. Bandar udara harus terjangkau secara ekonomis bagi pengguna dan penyelenggara Bandar udara. (2) Terjangkau secara ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, merupakan biaya untuk pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian Bandar udara diupayakan diperoleh dari penerimaan Bandar udara dan sedikit mungkin menggantungkan pada anggaran pemerintah serta memperhatikan aspek publik, keamanan dan keselamatan penerbangan. Pasal 17 (1) Kriteria indikasi awal Pembangunan, pendayagunaan, pengembangan dan pengoperasian bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b, didasarkan atas tingkat utilisasi operasional; (2) Tingkat utilisasi operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Fasilitas sisi udara; b. Fasilitas sisi darat; (3) Tingkat utilisasi operasional Bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dihitung dengan menggunakan formula sebagaimana tercantum pada Lampiran V Keputusan ini. Pasal 18 Direktur Jenderal melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Keputusan ini. Pasal 19 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 7 Agustus 2002 MENTERI PERHUBUNGAN ttd AGU M GUMELAR, M.Sc.

SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada: 1. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan; 2. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; 3. Menteri Keuangan; 4. Menteri Dalam Negeri; 5. Menteri Kehakiman dan HAM; 6. Menteri Perindustrian dan Perdagangan; 7. Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah; 8. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara; 9. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS; 10. Para Gubernur; 11. Para Bupati/Walikota; 12. Sekretaris Jenderal, Inspektur Jenderal, para Direktur Jenderal dan para Kepala Badan di lingkungan Departemen Perhubungan; 13. Direksi PT (Persero) Angkasa Pura I; 14. Direksi PT (Persero) Angkasa Pura II; 15. DPP INACA

Anda mungkin juga menyukai