Anda di halaman 1dari 12

TUGAS AKHIR FILSAFAT PANCASILA

ANALISIS TERHADAP KASUS YANG TERJADI DI MASYARAKAT Dosen Pengampu : Musleh Harry, SH.,M.Hum

Oleh : Kholid Abdillah P. (10650051)

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG JUNI 2013

ANALISIS TERHADAP KASUS YANG TERJADI DI MASYARAKAT

1. IDEOLOGI PANCASILA : Contoh Kasus : Perbandingan Kasus Gayus Tambunan dan Anak SMK yang diduga Mencuri Sandal Polisi Tudingan adanya praktek mafia hukum di tubuh Polri dalam penanganan kasus money laundring oknum pegawai pajak bernama Gayus Halomoan Tambunan semakin melebar. Tak hanya Polri dan para penyidiknya, Kejaksaan Agung dan tim jaksa peneliti pun turut gerah dengan tudingan Susno Duadji yang mulai merembet ke mereka. Mereka (tim jaksa peneliti) pun bersuara mengungkap kronologis penanganan kasus Gayus, berikut adalah kronologis versi tim peneliti kejaksaan agung. Kasus bermula dari kecurigaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap rekening milik Gayus di Bank Panin. Polri, diungkapkan Cirrus Sinaga, seorang dari empat tim jaksa peneliti, lantas melakukan penyelidikan terhadap kasus ini. Tanggal 7 Oktober 2009 penyidik Bareskrim Mabes Polri menetapkan Gayus sebagai tersangka dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Dalam berkas yang dikirimkan penyidik Polri, Gayus dijerat dengan tiga pasal berlapis yakni pasal korupsi, pencucian uang, dan penggelapan. Karena Gayus seorang pegawai negeri dan memiliki dana Rp. 25 miliar di Bank Panin. Seiring hasil penelitian jaksa, hanya terdapat satu pasal yang terbukti terindikasi kejahatan dan dapat dilimpahkan ke Pengadilan, yaitu penggelapannya. Itu pun tidak terkait dengan uang senilai Rp.25 milliar yang diributkan PPATK dan Polri itu. Untuk korupsinya, terkait dana Rp.25 milliar itu tidak dapat dibuktikan sebab dalam penelitian ternyata uang sebesar itu merupakan produk perjanjian Gayus dengan Andi Kosasih. Pengusaha garmen asal Batam ini mengaku pemilik uang senilai hampir Rp.25 miliar di rekening Bank Panin milik Gayus. Pada tanggal 7 April 2010, Komisi III DPR mengendus, seorang jenderal bintang tiga di Kepolisian diduga terlibat dalam kasus Gayus P Tambunan dan seseorang bernama Syahrial Johan ikut terlibat dalam kasus penggelapan pajak yang melibatkan Gayus Tambunan, dari Rp24 milliar yang digelapkan Gayus, Rp11 milliar mengalir ke pejabat kepolisian, Rp5 milliar ke pejabat kejaksaan dan Rp4 milliar di lingkungan kehakiman, sedangkan sisanya mengalir ke para pengacara.. Efek berantai kasus Gayus juga menyentuh istana. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Satgas Anti Mafia Hukum untuk mengungkap kembali kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). SBY menduga dalam kasus tersebut terdapat mafia hukum.

Kasus pembanding : Dituntut 5 Tahun, Selain Dituduh Mencuri Sandal Polisi, Diduga AAL Sempat Dianiaya Palu - Pelajar Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 3 Palu, di Jalan Tanjung Santigi, Palu Selatan, Sulawesi Tengah, AAL (15), kini duduk dikursi pesakitan. Sebab, polisi dan jaksa menuduhnya mencuri sandal seharga Rp30 ribu milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap. Kini bocah itu akan didampingi 15 pengacara selama proses persidangan. "Kami semua merasa terpanggil untuk mendampingi terdakwa lantaran dari sisi kemanusiaan kami merasa kasus ini dapat diselesaikan secara damai. Tidak semua hal ini hanya bisa diselesaikan di depan pengadilan," kata salah seorang pengacara AAL, Johanes Budiman Napat kepada wartawan di kantornya, Palu Selatan, Sulawesi Tengah, Rabu, (21/12/2011). Elvis S Katuvu, ketua Tim Penasehat Hukum yang mendampingi anak ini mengatakan sebelum ini mereka sudah melaporkan Briptu Ahmad Rusdi Harahap ke Divisi Profesi dan Pengamanan Polda Sulteng terkait penganiayaan yang dilakukan anggota Polri itu pada AAL. Rupanya pada Mei 2011, Ahmad Rusdi pernah memanggil AAL bersama temannya. "Saat itu AAL diduga sempat dipukuli oleh Ahmad Rusdi dan temannya sesama Polisi. Badannya memar. Bahkan diduga AAL dipukuli dengan kayu," ujar Elvis. Elvis pada persidangan Selasa, 20 Desember kemarin, Elvis sudah menanyakan hal itu pada saksi. Namun tidak dijawab oleh saksi. "Namun, meski kami sudah laporkan ke Propam, kasus ini belum kami ketahui bagaimana kelanjutannya," kata Elvis. Seperti diketahui, AAL duduk dikursi pesakitan karena dituduh mencuri sandal. Dalam paparan dakwaan Jaksa, kisah ini bermula pada November 2010 ketika AAL bersama temannya lewat di Jalan Zebra di depan kost Briptu Ahmad Rusdi Harahap. Saat itu AAL melihat ada sandal jepit dan kemudian mengambilnya. Jaksa dalam dakwaannya menyatakan AAL melakukan tindak pidana sebagaimana pasal 362 KUHP Pidana tentang pencurian dan diancam 5 tahun penjara. Analisis terhadap kasus diatas : Negara Pancasila adalah Negara yang ber-ketuhanan, ber-kemanusiaan, menjunjung tinggi persatuan, ber-kerakyatan dan ber-keadilan.

Pada kasus seperti ini, kita harus bisa menempatkan diri kita dalam memproses kasus-kasus ini, dan haruslah adil dalam menyikapi hal-hal seperti ini. Kasus Gayus, memang harus ditumpas habis dan harus dengan bersikap manusiawi dan adil. Bukan karena uangnya banyak, dan kita meloloskan dia dalam kasus korupsi. Sedangkan untuk sandal jepit kita harus bersikap adil juga, dengan menanyakan dan mengumpulkan bukti dulu, sebelum menuduhnya. Apalagi, yang dicuri sendalnya adalah pihak berwajib yang biasanya berhubungan langsung dengan masyarakat. Maka dalam menghadapi masalah-masalah ini, haruslah bersikap dengan seharusnya. Jadi, seharusnya yang dilakukan para pemberi keadilan terhadap kasus diatas adalah : 1. Harus berlaku adil dalam melakukan segala sesuatu, contohnya dalam menguntas kasus-kasus korupsi. 2. Melihat kata adil, berarti kita tidak boleh menimbang sebelah. Dan sebenarnya pada kasus sandal jepit, anak itu memang harus di hukum kalau memang betulbetul dia melakukan pencurian sandal. Namun, sebagai warga Negara yang baik, kita harus mendudukan persoalan dulu, sebelum kita mengambil keputusan. Sehingga tidak terjadi penyimpangan seperti pemukulan sampai bebak belur. 2. DEMOKRASI : Contoh Kasus : Pelaksanaan Pemilu Pilkada Aceh Pelaksanaan demokrasi di indonesia ternyata masih belum optimal,Masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi khususnya yang bersangkutan dengan prinsip-prinsip ideologi .Berikut ini adalah contoh kasus pelanggaran pemilu: Panitia Pengawas (Panwas) Pilkada Aceh menerima 57 laporan pelanggaran pilkada, Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu juga kasus kekerasan dan intimidasi selama berlangsungnya masa kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) Aceh sejak 22 Maret. Ketua Panwas Aceh, Nyak Arief Fadhillah Syah kepada wartawan dalam jumpa pers di Kantor Panwas Aceh, Senin (2/4), mengatakan, kasus itu umumnya terjadi karena pergesekan antar pendukung kandidat seusai menggelar kampanye. Ada yang dilempari batu, diketapel, juga ada yang menghalang-halangi masyarakat untuk datang ke lokasi kampanye kandidat tertentu, ujar Nyak Arief. Dia sebutkan,Money politik ,kekerasan dan intimidasi itu terjadi terutama akibat adanya pergesekan kubu pasangan kandidat Irwandi Yusuf/Muhyan Yunan dan Zaini

Abdullah/Muzakir Manaf. Kami harapkan kedua pasang mengendalikan pendukungnya di lapangan, kata Nyak Arief.

kandidat

dapat

Para kandidat diharapkan panwas dapat menertibkan pendukung dan tim pemenangannya di lapangan agar tidak melakukan tindakan anarkis yang dapat merusak komitmen damai yang telah dinyatakan para kandidat dalam Ikrar Pilkada Damai di Masjid Raya Baiturrahman, 14 Maret 2012. Kasus Pemilihan kepala daerah (Pilkada) Aceh ,menunjukan bagaimana pelaksanaan demokrasi di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Analisis terhadap kasus diatas: Dalam melaksanakan sesuatu pasti ada kendala yang harus dihadapi. Tetapi bagaimana kita dapat meminimalkan kendala kendala itu. Untuk itu diperlukan peranserta masyarakat karena ini tidak hanya tanggungjawab pemerintah saja. Untuk menggulangi permasalah yang timbul karena pemilu antara lain : 1. Seluruh pihak yang ada baik dari daerah sampai pusat, bersama sama menjaga ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pilkada ini. Tokoh tokoh masyarakat yang merupakan panutan dapat menjadi souri tauladan bagi masyarakatnya. Dengan ini maka dapat menghindari munculnya konflik. 2. Semua warga saling menghargai pendapat. Dalam berdemokrasi wajar jika muncul perbedaan pendapat. Hal ini diharapkan tidak menimbulkan konflik. Dengan kesadaran menghargai pendapat orang lain, maka pelaksanaan pilkada dapat berjalan dengan lancar. 3. Sosialisasi kepada warga ditingkatkan. Dengan adanya sosialisasi ini diharapkan masyarakat dapat memperoleh informasi yang akurat. Sehingga menghindari kemungkinan fitnah terhadap calon yang lain. 4. Memilih dengan hati nurani. Dalam memilih calon kita harus memilih dengan hati nurani sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain. Sehingga prinsip prinsip dari pemilu dapat terlaksana dengan baik. 3. MASYARAKAT MADANI : Contoh Kasus : Kasus Ilegal Logging di Indonesia Dalam contoh kasus yang kami angkat adalah mengenai kasus ilegal logging di Indonesia yang semakin marak dieksploitasi oleh berbagai kalangan, baik dari kalangan dalam negeri maupun dari luar negeri. Sebenarnya kasus illegal lodging bukan kasus baru dalam sejarah kelam rusaknya lingkungan di negeri ini. Awal mula terjadinya kasus illegal lodging adalah ketika pada masa penjajahan kolonial dimana kayu dijadikan komoditas penting dalam mencukupi segala kebutuhan pihak-pihak tertentu yang terkait pada masa itu untuk menjadikan kayu sebagai salah satu produk pemenuh kebutuhan yang berharga. Melihat kondisi tersebut, beberapa kalangan yang

belum mempunyai kesadaran lingkungan yang tinggi kemudian mulai memanfaatkan keadaan atas kebutuhan akan tersedianya kayu untuk kepentingan pribadi maupun kelompok dengan cara-cara melakukan penebangan yang tidak terkendali dan tidak sesuai standar baku, diluar kemampuan sumberdaya hutan tersebut untuk tumbuh dan berkembang kembali. Inilah yang menjadi awal terjadinya kasus illegal lodging di Indonesia. Melihat sinyalemen semakin menipisnya pasokan sumberdaya hutan tersebut, membuat para ahli dan pejabat pemerintahan pada masa itu menetapkan regulasiregulasi yang mengatur pemafaatan, pengelolaan, distribusi dan pelestarian sumberdaya hutan khususnya kayu di Indonesia demi menjaga agar pasokan kayu tetap terkontrol dan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka akan sumberdaya hutan tersebut. Dengan diterapkanya sistem regulasi yang ketat pada masa tersebut, mengakibatkan jumlah penebangan hutan untuk diambil komoditas kayunya semakin terkontrol dan kasus illegal lodging cenderung menurun meskipun tetap terjadi kasus penebangan liar skala dalam kecil. Tetapi selepas masa penjajahan tersebut, pemanfaatan sumberdaya kayu hutan di Indonesia mulai berngsur-angsur naik kembali akibat tidak diterapkannya lagi regulasi-regulasi yang bersifat ketat warisan masa penjajahan tersebut, demi memenuhi kebutuhan dalam dan luar negeri serta permintaan akan kayu hutan dan produk-produk turunan. Hal tersebut dilakukan oleh pemerintah dalam usahanya menaikan devisa negara yang baru saja merdeka tersebut. Tetapi meskipun demikian, pemerintah pada masa itu (hingga saat ini) masih berupaya membuat dan menerapkan peraturan-peraturan pengganti yang sifatnya dirasakan oleh beberapa kalangan baik masyarakat, akademisi, para ahli dan pengamat kebijakan tidak tegas dan tidak mampu memberi efek jera bagi para pelaku kejahatan lingkungan tersebut. Dan pada akhirnya kasus yang sama kembali menimpa Bangsa ini. Permintaan akan kebutuhan kayu yang besar menimbulkan keinginan beberapa pihak memanfaatkan dan menggunakan cara-cara illegal yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam usaha mendapatkan keuntungan-keuntungan semata dan melupakan dampak ekologis yang terjadi akibat penebangan dan pemanfaatan hasil hutan khususnya kayu yang tidak terkendali dan tidak sesuai aturan yang berlaku. Analisis terhadap kasus diatas : Dari gambaran dan contoh kasus yang telah dipaparkan, terlihat betapa lemahnya mekanisme peraturan serta kesadaran semua pihak akan isu lingkungan hidup khususnya mengenai illegal lodging di Indonesia. Kasus-kasus yang terjadi seringkali bagaikan lingkaran setan yang saling berputar-putar dalam konteks keterkaitan yang saling berhubungan. Di satu sisi pemerintah sebagai pengambil kebijakan menginginkan terciptanya suatu kondisi lingkungan hutan yang lestari (sustainable forest), tetapi di lain sisi pemerintah harus memenuhi permintaan akan ketersediaan kayu dalam usaha menaikan pendapatan negara. Dan hal ini makin menjadi dilema ketika pemerintah kesulitan dalam mengawasi dan menerapkan

peraturan dan perundang-undangan yang tegas dalam rangka menciptakan suatu management hutan lestari (sustainable forest management) pada pihak-pihak yang terkait khususnya bagi para pelaku illegal lodging. Dan diluar komponen pemerintahan pun kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan pun juga masih rendah, yang memperparah kondisi bangsa ini. Dalam hal inilah peran Masyarakat Madani sangat dibutuhkan. Kita menyadari bahwa Masyarakat Madani identik dengan masyarakat yang sadar dan peduli akan suatu hal yang berkaitan dengan kepentingan bersama dan dalam cakupan antargenerasi, yang dalam hal ini difokuskan mengenai lingkungan hidup. Maka untuk itu, masyarakat yang mulai sadar akan pentingnya arti kelestarian lingkungan diharapkan mampu menjadi salah satu faktor penggerak dan turut berpartisipasi mewujudkan transformasi bangsa menuju masyarakat yang kita dambakan tersebut. Dan kita bisa melihat usaha-usaha menuju ke arah tersebut semakin terbuka lebar. Tapi itu semua harus dilandasi juga dengan kesadaran semua komponen bangsa, beberapa diantaranya adalah komitmen dalam menaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan tanpa pandang bulu, turut berperan aktif dalam mengkritisi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang dirasa perlu untuk dikritisi tanpa ada suatu niatan buruk, serta selalu mendorong berbagai pihak untuk turut berperan serta dalam menjaga dan melestarikan lingkungan demi masa depan kita semua. 4. HAK ASASI MANUSIA : Contoh Kasus: Kasus Marsinah Marsinah (10 April 1969 Mei 1993) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat. Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama. Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713. Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan,

namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250. Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo. 3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh. 4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan ont diterima, termasuk oleh buruh yang absen. Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993. Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim serta Den Intel Brawijaya. Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat control dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap

Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah. Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya. Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah direkayasa. Analisis tehadap kasus diatas : Didalam Posisi kasus yang sudah ada di atas, adapun kasus tersebut masuk dalam kategori pelanggaran ham Berat karena di dalam perincian mengenai posisi kasus diatas terdapat salah satu unsure yang memuat mengenai unsur-unsur pelanggaran HAM Berat yakni Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000 ( Unsur Kejahatan Kemanusiaan ), dan juga mengandung unsure pelanggaran hak asasi manusia mengenai hak hidup sebagaimana yang tercantumkan dalam ICCPR. Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000, dalam pasal ini menyebutkan bahwa: Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: a. b. c. d. e. Pembunuhan; Pemusnahan; Perbudakan; Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f. Penyiksaan;

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; i. Penghilangan orang secara paksa; j. Kejahatan apartheid. Adapun Mekanisme yang harus di ambil dalam penyelesaian kasus ini yakni mekanisme yang mengarah kepada departemen apa yang berhak untuk melakukan proses penyelesaian kasus ini. Departemennya yakni Komnas HAM dan jaksa agung sebagai departemen tertinggi dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat. Adapun peruses yang akan dilakukan oleh Komnas HAM dan juga jaksa agung sendiri yakni sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. Tahap Penyelidikan ( Komnas HAM ) Tahap Penyidikan ( Jaksa Agung ) Tahap Penuntutan ( Jaksa Agung ) Pemeriksaan Di Pengadilan HAM

5. OTONOMI DAERAH : Studi Kasus : Kasus Di Papua Tentang Freeport Dan Munculnya OPM (Organisasi Papua Merdeka) Beberapa kasus muncul di Papua sebagai akibat kesalahan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, antara lain kasus Freeport dan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kasus Freeport adalah kasus mengenai suatu perusahaan tambang yang sudah sekian lama mengeruk kekayaan alam Papua, namun tidak berimbas baik bagi penduduk pribumi Papau, justru kehadiran PT. Freeport merugikan penduduk pribumi. Sedangkan kasus Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah kasus yang menginginkan penduduk pribumi Papua untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan membentuk negara sendiri. Pada kasus freeport, pemerintah memberikan ijin kepada PT Freeport untuk melakukan kegiatan pertambangan di daerah Papua. Pemberian ijin dalam melakukan kegiatan pertambangan ini merupakan suatu bentuk kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, guna membangun daerahnya. Dalam pemberian ijin ini pemerintah pusat pun terlibat. Adanya suatu industri di suatu daerah harusnya memberikan kemajuan bagi masyarakat sekitar, entah itu industri yang dijalankan bangsa Indonesia itu sendiri maupun bangsa luar.

Sebagai akibat dari rasa ketidakpuasan atau kekecewaan mendapatkan perilaku yang tidak adil, beberapa penduduk Papua menghendaki adanya negara baru, Organisasi Papua Merdeka (OPM). Beberapa aksi gencar diluncurkan demi mewujudkan keinginan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aksi yang sering mereka lakukan dalam menyampaikan aspirasinya adalah melalui mengibarkan bendera bintang kejora di berbagai wilayah Papua. Namun pemerintah Indonesia tidak tinggal diam menanggapi permasalahan ini. Aparat keamanan dikerahkan untuk menjaga kesatuan negara Indonesia ini dan menindak tegas segala oknum yang ikut campur dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM). Analisis terhadap kasus diatas : Seharusnya, pemerintah sekarang berani menunjukkan taringnya, seperti Negara- Negara di Amerika Selatan yang mulai berani melepas dan tegas terhadap cengkraman asing. Dalam kasus ini seharusnya pemerintah berani menegosiasi ulang perjanjian dengan Freeport. Tentunya akibat Freeport, tanah Indonesia telah mengalami kerusakan dan sumber daya alam kita seperti dibawa oleh maling dan kita pun diam saja. Selain menegosiasikan ulang mengenai PT. Freeport ,ada hal yang sangat heroic dan apakah Indonesia bisa melakukan hal tersebut?. Langkah tersebut selanjutnya adalah menasionalisasikan PT. Freeport. Tetapi apakah pemerintah seberani itu?. Menjadi superhero bagi rakyatnya dan melepaskan cengkraman asing?. Hal tersebut perlu kita fikirkan bersama. Setelah itu, hal lain yang mengindikasikan bahwa pemerintah mendapatkan keuntungan adalah ketika ikatan sarjana geologi Indonesia dan PT. Pertamina sanggup mengelola pertambangan tersebut. Tapi pemerintah tetap tidak menggubris. Apalagi hal yang dapat menyebabkan sikap pemerintah seperti itu selain pemerintah Indonesia sendiri mendapatkan keuntungan dan takut terhadap kekuatan asing?. Sepertinya Indonesia hanya menjadi inlander bagi kekuatan- kekuatan asing. Jika kita lihat di bagian atas tadi, PT. Freeport habis masa kontraknya pada tahun 2041. Bisa diibaratkan seperti ini, ketika PT. Freeport sudah habis- habisan mengeruk Kekayaan alam kita dan lingkungan menjadi rusak tak ada lagi yang bisa di ambil dari tanah kita, angkatan- angkatan seperti SBY, Amien Rais, Megawati dll sudah tidak berkuasa. Dan kita para penerus bangsa? Hanya mendapatkan sisa- sisa kerusakan dan mungkin tidak tahu apa lagi yang harus diberdayakan dari Negeri Merah Putih ini. Rasanya pemerintah tidak sampai memikirkan mengenai bekal apa yang nanti akan diberikan pada penerus bangsa. Mereka hanya sibuk mendapatkan keuntungan dan sibuk untuk menjadi inlander pada kekuasaan asing. Mengenai terbentuknya OPM (Organisasi Papua Merdeka), penyebab terjadinya berbagai konflik di Papua menurut Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanuddin ada 4 faktor, yakni Pertama, masih adanya perbedaan persepsi masalah integrasi Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut dia, pemerintah menganggap masalah Papua telah final sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Kedua, adanya marjinalisasi terhadap penduduk asli Papua.Ketiga, masih adanya pelanggaran HAM yang terus terjadi kendati memasuki era reformasi.

Keempat, masalah otonomi khusus (Otsus) yang dianggap masyarakat Papua tak jalan.

Anda mungkin juga menyukai