Anda di halaman 1dari 8

Benarkah Putusan Susno Tidak Bisa Dieksekusi?

OPINI | 24 April 2013 | 22:07 Dibaca: 798 Komentar: 4 2

Saya tidak memiliki putusan MA kasus P. Susno. Apa yang saya ketahui didapat dari media cetak dan elektronik. Polemik mengenai eksekusi atas P. Susno ini muncul ke permukaan, disebabkan P. Susno membangkang untuk melaksanakan putusan MA terhadap dirinya, dan kelihatan secara terang benderang peristiwa gagalnya Kejaksaan Agung hari ini untuk mengeksekusi secara paksa. Secara amat singkat, hal dan keadaan putusan pengadilan itu sebagai berikut. Putusan PN Jaksel bernomor 1260/pid.B/2010PN.Jkt.Sel pada 24 Maret 2011, amarnya menyatakan Susno terbukti melakukan tindak pidana korupsi, dan oleh karena itu dijatuhkan pidana penjara selama 3 tahun 6 bulan dan denda Rp 200 juta subsider kurungan penjara 6 bulan. Susno pun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pengadilan Tinggi dalam amar putusannyatanggal 9 Nopember 2011 menolak permohonan banding dan menguatkan putusan PN Jakarta Selatan. Artinya Susno tetap dijatuhi pidana penjara 3 tahun 6 bulan. P. Susno kemudian mengajukan permintaan pemeriksaan di tingkat kasasi ke Mahkamah Agung. Jaksa juga tidak mau kalah, juga ikut-ikutan mengajukan permohonan kasasi. Pada putusan kasasi MA, pada pokoknya Menolak Permohonan Kasasi.

Dengan ditolaknya permohonan kasasi, maka demi hukum putusan itu kembali pada putusan semula yang dilawan dengan kasasi yang in casu putusan Pengadilan Tinggi yang in casu putusan PN Jakarta Selatan, yang in casu amarnya menghukum P. Susno dengan pidana penjara 3 tahun 6 bulan. Persoalan, oleh karena pihak P Susno membangkang eksekusi, dengan alasan bahwa putusan P. Susno itu batal demi hukum, karena tidak memenuhi syarat formil dari suatu putusan pengadilan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k jo ayat (2) KUHAP. Pasal 197 ayat (1) huruf k bunyi lengkapnya adalah (Surat putusan pemidanaan memuat) perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Sementara ayat (2) menyatakan Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a,b,c,d,e,h, k dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Oleh sebab amar putusan kasasi MA tadi tidak memuat perintah sebagaimana termuat dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k perihal keharusan menybut/perintah apakah tetap ditahan, atau perintah segera ditahan, atau dibebaskan. Menurut pihak P. Susno putusan MA tersebut batal demi hukum karena tidak memuat salah satu perintah dari ayat (1) huruf k tersebut. Pertanyaannya, benarkah demikian? Jawabnya adalah tergantung dari pertanyaan apakah dalam putusan kasasi MA yang amarnya menolak permohonan kasasi atas putusan yang semula menghukum, masih diperlukan perintah seperti yang tertulis di Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut? Disinilah timbul dua penafsiran.

Penafsiran yang pertama, ialah penafsiran yang digunakan oleh pihak Susno, yang mengatakan bahwa putusan kasasi yang menolak permohonan kasasi atas putusan yang semula menghukum, tetap harus tunduk pada norma Pasal 197 ayat (1) huruf k, yang artinya harus memuat salah satu perintah dari 3 perintah dalam ketentuan tersebut. Sebaliknya pihak Kejaksaan sebagai Instansi eksekutor, pada putusan kasasi MA yang menolak permintaan kasasi terhadap putusan semula yang menghukum, tidak perlu lagi menyebut salah satu perintah dari 3 perintah yang tertulis dalam pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut. Persoalannya, mana pendapat yang sebaik-baiknya diantara dua pendapat tersebut? Menurut hemat penulis, pendapat Kejkasaan Agunglah yang merupakan pendapat yang sebaik-baiknya. Alasannya adalah sbb.: Amar putusan yang dimaksud Pasal 197 ayat (1) huruf k itu adalah merupakan amar putusan pertama kali yang menghukum. Dan ini tentu terjadi pada putusan pengadilan tingkat pertama (PN), karena pengadilan tingkat pertama membebaskan atau lepas dari tuntutan hukum, tentu Jaksa tidak bisa melakukan upaya banding, yang bisa (karena praktik, bukan karena hukum) jaksa mengajukan kasasi. Berarti kalau putusan tingkat pertama amar menghkum, maka dalam amar putusan wajib menentukan salah satu diantara 3 perintah Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut. Bagaimana ketika banding? Hal ini bergantung dari beberapa kemungkinan, ialah:

a. Kemungkinan pertama, kalau ditingkat banding tidak ada amar memeriksa kembali, maka amar berikutnya hanya tinggal menguatkan (kalau semula sudah menghukum), atau membatalkan, dengan memeriksa dan memutus sendiri. Ketika amar putusan banding itu (tidak membatalkan) melainkan menguatkan putusan semula, maka demi hukum putusan yang berlaku dan bisa dieksekusi adalah putusan yang menghukum pertama yang dilawan banding tadi. Persis seperti putusan P Susno. b. Kemungkina kedua, jika pengadilan banding menyatakan membatalkan putusan semula yang dibanding dan menyatakan memeriksa dan memutus sendiri, maka putusan tingkat pertama tidak mempunyai arti lagi. Karena yang berlaku adalah putusan banding, yang misalnya tetap menghukum dengan lebih berat atau lebih ringan atas pasal yang sama atau berbeda. Persoalannya lagi adalah, bagaimana dengan putusan kasasi MA? Kalau putusan kasasi membatlkan dan memeriksa dan memutus sendiri, maka demi hukum putusan semula yang dilawan dengan kasai tidak mengikat lagi, yang berlaku adalah putusan kasasi tersebut, yang amarnya bisa tetap menghukum dengan merubah lamanya pidana penjara dan/atau merubah jenisnya pidana. Jika hal ini terjadi, maka putusan kasasi ini jika amarnya menghukum maka harus tunduk pada Pasal 197 ayat (1) huruf k tadi. Bagaimana jika putusan kasasi itu menolak permohonan kasasi? Dalam hal ini, maka demi hukum putusan yang berlaku adalah putusan semula yang dilawan dengan kasasi. Dalam putusan kasasi yang menolak permohonan kasasi atas putusan yang semula menghukum, memang tidak diperlukan pernyataan perintah

segera ditahan, atau dibebaskan dari tahanan, atau tetap ditahan seperti perintah Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut. Apa dasar pertimbangan hukumnya? Adalah putusan kasasi adalah putusan yang terakhir, yang tidak bisa dilawan lagi dengan upaya hukum biasa apapun. Jadi meskipun tidak ada perintah segera ditahan, toh demi hukum putusan kasasi itu sejak diputusnya dan diberitahukannya pada pihak kejaksaan dan terhukum, ketika itu sudah mempunyai kekuatan eksekutorial, artinya dapat dieksekusi. Tanpa perintah dalam amar putusan kasasi itu, putusan semula yang menghukum demi hukum berlaku kembali oleh kekuatan putusan kasasi MA yang menolak permohoanan kasasi tadi. Adapun putusan MK tanggal 22 Nopember 2012 terhadap Pasal 197 ayat (1) huruf k apapun bunyinya tidaklah mempunyai pengaruh apapun terhadap putusan MA terhadap P Susno, karena putusan MK tersebut dikeluarkan setelah putusan P Susno. Tidak berlaku terhadap putusan P Susno yang sudah diputus lebih dulu, jadi putusan MK hanya berlaku ke depan dan tidak kebelakang (berlaku surut). KESIMPULAN. Putusan kasasi MA yang menolak permohonan kasasi merupakan putusan yang memberlakukan kembali putusan PT DKI jo putusan PN Jakarta Selatan. Putusan MA yang amarnya menolak kasasi atas putusan semula menghukum, dibenarkan tidak memuat salah satu perintah :segera ditahan, dibebaskan dari tahanan, atau tetap ditahan. Putusan menghukum PT DKI jo putusan PN Jaksel bisa dieksekusi. Semoga pendapat ini merupakan pendapat yang sebaik-baiknya.

(http://hukum.kompasiana.com/2013/04/24/benarkah-putusan-susno-tidak-bisadieksekusi-554598.html)

Penegakan Hukum Pidana: Eksekusi Susno Duadji!


OPINI | 09 May 2013 | 00:45 Dibaca: 230 Salam sejahtera bagi kita semua. Tulisan ini dibuat sebagai jawaban atas kegelisahan saya menyaksikan berbagai silang pendapat, pemahaman bahkan keangkuhan ilmu pengetahuan hukum yang dipertontonkan kepada khalayak ramai belakangan ini. Hal mana yang saya maksud adalah terkait dengan tarik ulur dapat tidaknya jaksa mengeksekusi terpidana Susno Duadji berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 899 K/PID.SUS/2012 tertanggal 22 November 2012. Kewenangan Jaksa selaku eksekutor dalam kasus-kasus yang berada dalam ranah pidana dinyatakan secara expresiss verbis di dalam: 1. Pasal 270 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menentukan: Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya. 2. Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan: Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa. 3. Pasal 30 ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yangmenentukan bahwa: Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang.. (b) melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Kembali kepada Putusan Mahkamah Agung (MA), bahwa menurut sebagian kalangan Putusan MA tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sekaligus mengikat dikarenakan Putusan MA tidak memuat Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP yang menentukan: perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Sehingga, implikasi yuridis terhadap tidak dipenuhinya klausul di atas, secara tegas diatur dalam Pasal 197 ayat 2 KUHAP yang menentukan:Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Komentar: 0 0

Pemahaman terhadap Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP dan Pasal 197 ayat 2 KUHAP di atas menghantarkan pemahaman bahwa jaksa tidak mempunyai kewenangan untuk mengeksekui Putusan MA tersebut. Menurut saya, pemahaman di atas adalah benar dan tepat sepanjang kita memahaminya sebelum dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69/PUU-X/2012 tertanggal 20 November 2012. Namun,setelah dikeluarkannya Putusan MK tersebut maka pemahan di atas secara mutatis mutandis tidak dapat dipertahankan lagi sebagai sebuah kebenaran absolut. Hal ini dikarenakan Putusan MK di atas dalam salah satu amar putusannya memutuskan bahwa: Pasal 197 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) selengkapnya menjadi, Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum. Jadi,argumen yang menyatakan bahwa setiap putusan pengadilan adalah batal demi hukum jika hakim lalai memuat klausul dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k adalah tidak dapat dijadikan alasan pembenar lagi sejak adanya Putusan MK di atas. Tentunya hal ini selain sebagai sebuah kepastian hukum juga sebagai sarana agar tidak menjadi celah bagi terpidana dan kuasa (pembelanya) untuk menghindari eksekusi oleh jaksa, juga sebagai sarana untuk menghindari para hakim yang berusaha untuk contempt of court dalam menjalankan tugasnya. Contempt of court dalam hal ini adalah untuk menghindari kerjasama antara hakim dan terpidana. Maksudnya adalah jika Putusan MK tersebut belum ada atau tidak ada maka dalam kasus konkrit, terhadap perkara yang sifatnya pemidanaan namun dengan berbagai cara hakim tidak mencantumkan Pasal197 ayat (1) huruf k, maka seketika itu pula putusan pengadilan tersebut batal demi hukum sehingga implikasi yuridisnya adalah jaksa tidak mempunyai kewenangan untuk mengeksekusi putusan tersebut. Ini juga sebagai koreksi bagi MA dan jajarannya ke bawah sampai ke PN bahwa semestinya ada aturan tegas ketika hakim melakukan kelalaian dalam menjatuhkan putusan pengadilan. Lebih lanjut lagi, sebagian kalangan mengatakan bahwa Putusan MK nonretroaktif terhadap Putusan MA di atas. Nonretroaktif adalah suatu asas yang dianut dalam hukum pidana secara universal yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang juga di dalamnya mengandung asas les temporis delicti (LTD), yang dapat ditafsirkan sebagai larangan berlakunya hukum/undangundang pidana secara surut. Artinya bahwa suatu ketentuan hukum tidak dapat diterapkan terhadap setiap peristiwa maupun perbuatan pidana yang dilakukan sebelum ketentuan hukum tersebut dibuat dan dinyatakan berlaku.

Dikaitkan dengan pendapat bahwa Putusan MK yang dinyatakan nonretroaktif terhadap Putusan MA, menurut saya pernyataan itu tidak tepat sebab Putusan MK sudah lebih dulu dibacakan sekaligus diputuskan jika dibandingkan dengan Putusan MA dimaksud. Putusan MK dibacakan dan diputuskan pada tanggal 20 November 2012 sedangkan Putusan MA baru dibacakan dan diputuskan pada tanggal 22 November 2012. Hal ini sesuai dengan Putusan MK itu sendiri yang bersifat self executing (berlaku dengan sendirinya) dan prospektif (final dan mengikat untuk ke depan). Sehingga, asas nonretroaktif tidak dapat dijadikan alasan untuk menghambat proses penegakan hukum dalam mengeksekusi Putusan MA oleh jaksa. Berdasarkan pendapat hukum yang saya bangun di atas dikaitkan dengan silang pendapat tentang eksekusi yang dilakukan oleh jaksa terhadap Putusan MA dalam kasus Terpidana Susno Duadji, maka menurut saya jaksa atas nama hukum dan penegakan hukum mempunyai kewenangan yang mutlak untuk mengeksekusi Susno Duadji! Tulisan ini bukanlah sesuatu yang teramat sempurna untuk tidak dapat dibantah, disanggah, ditolak dan diberikan masukan atau saran namun juga bukanlah sesuatu yang amat hina untuk disepelekan sebagai sebuah pembelajaran bersama. Tulisan ini tidak ditujukan untuk berpihak pada satu pihak dan mengasingkan pihak lainnya. Saya hanya menginginkan hukum pidana itu dijalankan sesuai dengan nalar dan nurani, bersatunya teori dan praktek, ya hanya itu dan tidak lebih! Semoga damai sejahtera beserta kita semua. Jefri Supratman Harefa (Alumni Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta / Pembelajar Hukum Pidana)

Laporkan Tanggapi
(http://hukum.kompasiana.com/2013/05/09/penegakan-hukum-pidanaeksekusi-susno-duadji-558622.html)

Anda mungkin juga menyukai