Anda di halaman 1dari 3

ESENSI KASUS YANG TERABAIKAN Menjelang krisis ekonomi, terjadi aksi besar-besaran di seluruh Indonesia.

Pada tanggal 12 mei 1998 laskar pemuda universitas trisakti mengadakan aksi damai menuntut perubahan pemerintahan yang demokratis dan reformasi total. Aksi damai yang di gelar berakhir dengan penembakan empat orang mahasiswa dan tindakan penganiayaan oleh aparat yang bertugas saat itu. Hal tersebut memicu semangat kemanusiaan seluruh rakyat Indonesia sehingga kecauan besar tidak terelakan yang berujung pada pengunduran diri presiden soeharto pada tanggal 21 mei 2011. ( Tragedi Trisakti).Demonstrasi kembali terjadi pada tanggal 4 sampai 8 November 1998, mahasiswa meminta presiden untuk menangani krisis ekonomi serta menolak sidang istimewa yang dianggap inskonstitusional, aparat kembali merespon dengan penembakan peluru tajam yang berakibat meninggalnya 18 orang dan 109 orang terluka.(Semanggi I). Pada September 1999 pemerintah berencana memberlakukan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya pengganti UU Subversif yang bersifat otoriter. Isinya yang tidak jauh berbeda, dianggap tidak membawa perubahan apapun seperti yang diharapkan yaitu kebebasan dari pemerintahan yang otoriter. Aksi ketiga yang dilayangkan mahasiswa ini, kembali menjadi aksi berdarah di bilangan Semanggi Jakarta dengan 11 orang orang meninggal akibat tembakan aparat dan 217 orang luka-luka.(Semanggi II). Berita yang tersebar menyebutkan bahwa ada oknum yang memicu meledaknya bentrok antar aparat dan mahasiswa. Netralisme penjaga keamanan nasional ini patut dipertanyakan, bagaimana mungkin hanya dipicu hal kecil seperti gerakan mahasiswa yang ingin menerobos blokade memancing bentrok besar mengingat dalam hal ini mahasiswa tidak bersenjata. Pada peristiwa semanggi, setelah melepaskan tembakan gas air mata aparat masih melancarkan tembakannya, penembakan di lapangna ini bukan hanya sekali dan dilakukan bersamaan oleh beberapa aparat, kemudian mengenai formasi dua baris jongkok dan berdiri yang dilancarkan ketika mahasiswa telah berada dalam kampus.Bukankah hal-hal seperti itu cenderung dilakukan jika ada komando langsung dilapangan. Proses hukum yang berlaku saat itu juga hanya pengadilan militer terhadap aparat yang di lapangan, lalu yang bertanggung jawab atas peristiwa ini bebas di luar. Laporan Departemen pertahanan yang dibuat pada massa itu mengatakan bahwa pada poin kronologi peristiwa ketika berusaha mendesak mahasiswa mundur aparat telah

mengendalikan massa sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku, mungkinkah hukum yang berlaku saat itu mengizinkan penembakan ketika massa telah berusaha mundur bahkan yang lebih kejam adalah membentuk formasi dua baris yaitu jongkok dan berdiri menembaki mahasiswa yang telah berada di dalam kampus. Hukum seperti itukah yang melindungi

bangsa ini pada masa itu. Peristiwa trisakti yang memicu aksi di seluruh Indonesia ternyata tidak cukup untuk menyentak ketakutan akan pelanggaran HAM yang terjadi, masih harus disusul dengan semanggi I dan II. Sejauh ini telah dilakukan tiga sidang militer yang berhasil menjatuhkan putusan kepada 6 orang perwira pertama Polri untuk kasus trisakti dan sidang kedua kepada 9 orang anggota Gegana/Resimen II Korps Brimob Polri untuk kasus semanggi I, sementara sidang ketiga untuk kasus semanggi II tidak jelas hasilnya. Terlihat bahwa hanya perwira bawah yang tersentuh oleh hukum, sedangkan penggungjawab atas kasus tersebut terbebas. Keluarga korban dan orang yang turut memperjuangkan pengusutan kasus tersebut semakin terpojok ketika pansus yang dibentuk DPR menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat dalam ketiga kasus tersebut , kemudian penolakan TNI atas panggilan sejumlah petinggi militer untuk dimintai keterangan dan ditambah lagi berkas penyelidikan yang berulang kali dikembalikan oleh kejagung yang terkesan semakin mempersulit kasus tersebut. Meskipun ketika Kejagung diganti oleh orang baru penyelidikan tetap terhalang karena DPR yang tidak mau memeberikan rekomendasi kepada presiden. Bagaimanapun juga kasus ini hanya bisa tuntas jika para pihak-pihak yang bersangkutan mau bekerjasama. Tampaknya itu sulit untuk tercapai, mengingat banyak kepentingan politik di dalam penuntasan kasus ini.Kemudian perbedaan persepsi mengenai pelanggaran HAM berat, kenapa justru kasusnya yang dipermasalahkan sehingga esensi dari kasusnya terabaikan. Sebagai orang yang awan akan hukum, harapan masyarakat luas hanyalah ingin keadilan ditegakkan. Hingga kini kasus tersebut masih buram, karena di duga penyebab tersendatnya kasus tersebut adalah DPR (Dewan perwakilan Rakyat) yang seharusnya menampung aspirasi rakyat, berarti pendapat DPR seharusnya adalah cerminan pendapat rakyat. Jika seluruh rakyat Indonesia mau bersatu menyatukan suara dan persepsi maka tidak ada alasan untuk para wakil rakyat tersebut berebeda pendapat lagi. Hal seperti ini akan terus terjadi, terbukti dari masih maraknya kaus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang kemungkinan besar adalah karena lemahnya hukum di Indonesia yang merupakan cerminan lemahnya karakter pendiri hukum . Sebagai generasi penerus bangsa karakter yang kokoh akan mengokohkan pondasi hukum di Indonesia, jika hukum telah dapat berdiri tegak tanpa pandang bulu lagi kasus-kasus seperti ini pasti tidak akan terjadi lagi.

Anda mungkin juga menyukai