Anda di halaman 1dari 25

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Darah 2.1.

1 Pengertian Darah adalah jaringan tubuh yang berada dengan jaringan tubuh lain, berada dalam konsistensi cair, beredar dalam suatu system tertutup yang dimanakan sebagai pembuluh darah dan menjalankan fungsi transport berbagai bahan serta fungsi homeostasis (Haris, 1995). Darah berwarna merah disebabkan adanya senyawa berwarna merah pada sel darah merah. Dengan adanya senyawa dalam berbagai macam ukuran molekul yang terlarut ditambah dengan suspensi sel-sel darah, maka darah pun menjadi cair dengan masa jenis dan viskositas (kekentalan) lebih besar dari pada air. Massa jenis darah antara 1,054-1,060 sedangkan plasma darah/serum (cairan darah yang telah terpisah dari sel-sel darah) antara 1,024-1,028. Viskositas darah kira-kira 4,5kali viskositas air. Volume darah pada dewasa sehat ditentukan oleh jenis kelamin. Pada laki-laki dewasa 5 liter, sedangkan pada perempuan dewasa 4,5 liter. Darah merupakan gabungan dari cairan, sel-sel dan partikel yang menyerupai sel, yang mengalir dalam arteri, kapiler dan vena, yang mengirimkan oksigen dan zat-zat gizi ke jaringan dan membawa karbondioksida dan hasil limbah lainnya (Haris, 1995).

2.1.2 Komponen Bagan susunan darah


Bagian yang cair (plasma darah) Darah Bagian yang padat (sel sel darah) Sel darah merah Sel darah putih Keping darah Air dan mineral Serum darah Protein darah Fibrinogen Albumin Trombinogen

Berdasarkan bagan tersebut kamu dapat memahami bahwa bagian darah yang cair disebut plasma darah. Plasma darah Sel-sel darah 55% 45%

Darah mengandung 55% plasma darah dan 45% sel-sel darah. Sedangkan bagian yang padat atau sel-sel darah terdiri dari sel darah merah, sel darah putih atau keping darah. Komposisinya adalah plasma darah kira -kira 55% dan sel-sel darah 45% (Sutiretna, 2006).

2.1.2.1 Plasma Darah Plasma darah merupakan bagian penyusun darah yang terbesar. Dan bagian terbesar dari plasma darah adalah air. Kira- kira 90% dari plasma darah kita adalah air. Zat-zat lain yang terdapat dalam plasma antara lain zat makanan, hormon, anti bodi, dan zat sisa oksidasi. Zat-zat makanan antara lain glukosa, protein, asam lemak, dan garam-garam mineral. Zat-zat sisa oksidasi yang terpenting antara lain karbondioksida, urea, dan air (uap air) (Sutiretna, 2006). Zat protein dalam plasma darah antara lain fibrinogen, albumin, dan globulin. Mereka disebut juga protein darah. Fibrinogen berperan untuk membekukan darah, albumin untuk menjaga tekanan osmosis darah. Sedangkan globulin berfungsi untuk pembentukan anti bodi (Sutiretna, 2006). Adanya zat-zat tersebut dapat kamu maklumi karena plasma darah berfungsi menganarkan zat-zat makanan ke seluruh sel tubuh. Selain itu plasma darah juga mengankut zat-zat sisa sebagai sampah dari sel-sel tubuh dari alat-alat pengeluaran (sekresi). Dari sini zat-zat sisa itu dibuang keluar tubuh agar tidak meracuni tubuh (Sutiretna, 2006). Didalam plasma darah terdapat fibrinogen, yaitu zat yang berfungsi membentuk benangbenang fibrin. Zat ini sangat penting dalam proses pembekuan darah pada bagian tubuh yang terluka. Kelangkaan zat ini dapat menyebabkan darah sukar membeku (Sutiretna, 2006).

Plasma darah juga mengandung serum, yaitu plasma darah yag tidak mengandung fibrinogen dan selalu dalam keadaan cair. Serum ini berfungsi melawan kuman atau bibit panyakit yang masuk ke dalam tubuh (Sutiretna, 2006).

2.1.2.2 Sel-sel Darah Sel-sel darah terdiri dari 3 jenis : sel darah merah, sel darah putih, dan keping darah a. Sel darah merah Sel darah merah juga disebut eritrosit. Eritrosit berbentuk bundar, pipi, dan agak cekung pada kedua permukaannya, dan tidak berinti. Garis tengahnya hanya sekitar 7 mikron (7per juta meter). Mengapa sel darah merah berwarna merah karena terdapat hemoglobin yang mengandung unsur besi (Fe). Kat Hemoglobin dalam sel darah merah berfungsi untuk mengikat oksigen dari udara pernafasan dan karbondioksida sisa oksidasi dari sel-sel tubuh. Hemoglobin kira-kira menyusun sepertiga dari total berat darah (Sutiretna, 2006). Setiap 1 mm3 ( 1 mikroliter) darah kita mengandung sekitar 4-6 juta sel darah merah. Atau 25 milyar sel darah merah didalam darah orang dewasa. Bagian tubuh yang membentuk sel darah merah adalah hati, kelenjar limfe, sumsum merah dalam tulang (berbentuk) pipa. Umur sel darah merah kurang lebih 120 hari. Setelah itu, sel darah merah yang telah rusak dirombak didalam kelenjar limfe. Hemoglobin darah yang rusak dangkut ke dalam hati untuk dirombak menjadi zat warna empedu (bilirubin). Zat besi yang lepas dari hemoglobinnya dapat digunakan untuk membentuk sel darah merah yang baru. Proses demikian berjalan terus sampai alat pemrosesi tidak berfungsi. Darah yang baru dan banyak oksigennya berwarna merah segar. Sedangkan darah yang kotor dan kaya karbondioksida berwarna merah kebiruan atau keunguan (Sutiretna, 2006).

b. Sel darah putih Sel darah putih juga disebut leukosit. Leukosit berbentuk tidak tetap dan berinti. Ukuran leukosit jauh lebih besar dari pada eritrosit. Leukosit tidak berwarna, dibentuk dalam kelenjar kura dan sumsum tulang. Di dalam setiap 1mm3 darah terdapat sekitar 4-10 ribu sel darah putih. Sel darah putih lebih pendek umurnya daripada sel darah merah, yaitu hanya 12-13 hari (Sutiretna, 2006). Ada tiga tipe utama sel darah putih yaitu granulosit, monosit, dan limfosit. Masing-masing adalah 70%, 10% dan 20% dari semua sel darah putih. Dua yang pertama berasal dari sumsum tulang dan yang ketiga berasal dari kelenjar limfe (Sutiretna, 2006). Sel darah putih yang jumlahnya berlebihan dalam darah dapat memangsa sel darah merah. Akibatnya darah kita akan selalu kekeurangan sel darah merah. Ini terjadi jika ada kelainan dalam tubuh kita. Kekurangan darah merah karena dimangsa sel darah putih yang berjumlah berlebihan disebabkan oleh penyakit leukemia atau kanker darah. c. Keping darah Keping darah disebut juga trombosit. Trombosit berbentuk tidak teratur dan berukuran lebih kecil dari pada sel darah merah. Trombosit berfungsi dalam proses pembekuan darah pada bagian tubuh yang terluka. Trombosit akan menghentikan darah yang mengalir pada luka sehingga tidak keluar terus menerus. Dengan demikian, luka akan segera tertutup. Dalam 1mm3 darah terdapat 150.000 hingga 400.000 keping darah (Sutiretna, 2006).

2.1.3 Penggolongan Darah Golongan darah ditentukan oleh aglutinogen ( antigen dalam darah). Sehingga dengan demikian darah dapat digolongkan menjadi beberapa sistem yaitu:

2.1.3.1 Sistem OAB Dua antigen yang berhubungan adalah tipe A dan tipe B terdapat pada permukaan sel darah merah pada sebagian besar dalam populasi. Karena cara antigen-antigen ini diturunkan, orang dapat tidak mempunyai satu antigen saja, atau orang dapat mempunyai kedua antigen bersama-sama (Setiadi, 2007). Antibody yang kuat yang akan bereaksi secara spesifik dengan antigen tipe A atau tipe B hamper selalu terdapat dalam plasma orang-orang yan tidak memiliki antigen didalam sel darah merahnya. Antibodi ini akan berikatan dengan antigen sel darah merah menyebabkan aglutinasi dalam sel darah merah. Oleh karena itu antigen tipe A dan tipe B disebut Aglutinogen, dan antibody plasma yang menyebabkan aglutinasi disebut dengan Aglutinin. Berdasarkan ada atau tidaknya aglutinogen dalam sel darah merah, darah digolongkan untuk tujuan Tranfusi (Setiadi, 2007). Menurut Setiadi (2007), dalam tranfusi darah dari donor ke resipien secara normal digolongkan dalam empat golongan darah O-A-B utama. Bila tidak terdapat aglutinogen A dan B, darah digolongkan kedalam golongan darah O. Bila hanya terdapat aglutinogen tipe A, darah digolongkan kedalam golongan darah A. Bila hanya terdapat aglutinogen tipe B, darah digolongkan kedalam golongan darah B. Bila terdapat kedua aglutinogen A dan B, darah digolongkan kedalam golongan AB. Enam kemungkinan dari kombinasi dari gen-gen adalah OO, OA, OB, AA, BB, dan AB. Kombinasi gen yang berbeda-beda ini sering dikenal sebagai genotip dan setiap orang merupakan salah satu dari keenam genotip tersebut (Setiadi, 2007). Dapat dilihat dalam tabel di bawah, bahwa genotip OO tidak menghasilkan aglutinogen sama sekali, dan karena itu golongan darahnya adalah O. orang dengan salah satu genotip AA atau OA mempunyai aglutinogen tipe A dan oleh karena itu mempunyai golongan darah A. Genotip

OB dan BB menghasilkan golongan Darah B dan Genotip AB menghasilkan golongan darah AB (Setiadi, 2007). Genotip OO OA atau AA OB atau BB AB Golongan Darah O A B AB Aglutinogen A B A dan B Aglutinin Anti-A dan Anti-B Anti-B Anti-A -

Bila aglutinogen tipe A tidak terdapat dalam sel darah merah seseorang, dalam plasmanya akan terbentuk antibody yang dikenal sebagai aglutinin anti-A. begitu pula dengan tipe B. Golongan darah O meskipun tidak mengandung aglutinogen tetapi mengandung algutinin anti A dan aglutinin anti B. Sedangkan golongan darah A mengandung aglutinogen tipe A dan aglutinin anti B, dan golongan B mengandung aglutinogen tipe B dan aglutinin anti B. Akhirnya golongan darah AB mengandung kedua aglutinogen A dan B tetapi tidak mengandung aglutinin sama sekali (Setiadi, 2007). Asal mula aglutinin dalam plasma. Aglutinin adalah gama globulin seperti antibody yang lain dan aglutinin dihasilkan oleh sel-seel yang sama yang juga menghasilkan antibody terhadap setiap antigen yang lain kebanyakannya adalah molekul immunoglobulin IgM dan IgG (Setiadi, 2007). Proses aglutinasi pada reaksi transfusi. Bila darah yang tidak cocok di campur sehingga aglutinin anti A atau B di campur dengan sel darah merah yang mengandung aglutinogen A atau B terjadilah aglutinitasi sel darah merah sebagai berikut : aglutinin melekatkan dirinya pada sel darah merah. Karena aglutinin mempunyai 2 tempat pengikatan (tipe IgG) atau 10 tempat pengikatan (tipe IgM), maka satu aglutinin dapat mengikat 1 atau lebih sel darah merah yang berbeda-beda pada waktu yang sama, karena itu menyebabkan sel melekat satu sama lain. Keadan ini menyebabkan sel-sel menggumpal. Gumpalan ini akan menyumbat pembuluh darah kecil diseluruh system sirkulasi. Selang beberapa jam atau hari berikutnya, sel darah putih fagositik dan system retikulendotelial akan menghancurkan sel-sel yang

mengalami aglutinasi tersebut dan melepaskan Hb ke dalam plasma (Setiadi, 2007). Hemolysis pada reaksi tranfusi kadang-kadang, bila darah resipien dan donor yang tidak cocok dicampur, segera terjadi hemolysis sel darah merah dalam sirkulasi darah. Dalam hal ini hemolysis sel-sel darah merah dengan mengaktifkan system komplemen yang selanjutnya melepaskan enzim-enzim proteolitik yang akan memecahkan membran sel (Setiadi, 2007). Meskipun demikian, hemolysis intravaskuler lebih jarang terjadi dari pada karena agar terjadi hal ini tidak hanya diperlukan titer antibody yang sangat tinggi tapi juga diperlukan tipe antibody yang berbeda, terutama antibody IgM, antibody ini disebut hemolisin. Bagaimanapun pada akhirnya aglutinasi menjadi hemolysis karena sel-selnya mengalami aglutinasi dan beberapa jam setelah aglutinasi (Setiadi, 2007). Sebelum melakukan transfusi, perlu menentukan golongan darah resipien dan golongan darah donor sehingga dapat tepat sesuai. Ini disebut penggolongan darah dan dilakukan sebagai berikut: Mula-mula sel-sel darah merah diencerkan dengan saline. Kemudian satu bagian dicampur dengan aglutinin anti-A sedangkan bagian yang lain dicampur dengan aglutinin anti-B. Setelah beberapa menit, campuran tadi diperiksa di bawah sebuah mikroskop. Bila sel-sel darah telah menggumpal itu adalah aglutinin orang mengetahui bahwa telah terjadi reaksi antibody-antigen (Setiadi, 2007). Tabel 7-2 di bawah ini, melukiskan reaksi yang terjadi dengan masing-masing dari empat golongan darah yang berbeda. Golongan darah O sel darah merahnya tidak mempunyai aglutinogen, oleh karena itu, tidak bereaksi dengan salah satu serum anti-A atau anti-B. Golongan darah A mempunyai aglutinogen A dan karena itu beraglutinasi dengan aglutinin anti-A. Golongan darah B mempunyai aglutinogen B dan beraglutinasi dengan serum anti-B. Golongan darah AB mempunyai aglutinogen A dan B serta beraglutinasi dengan kedua jenis serum.

Tabel 7-2. Penggolongan Darah - Memperlihatkan Aglutinin 1 Sel-sel dari Berbagai Golongan Darah dengan Aglutinin Anti-A dan Anti-B Sel merah darah Anti-A Serum Anti-B

O A B AB

+ +

+ +

2.1.3.2 Golongan Darah Rh Selain system golongan darah O-A-B, terdapat beberapa sistem lain yang kadang-kadang penting dalam transfusi darah. Diantara sistem lain yang penting adalah sistem Rh. Salah satu perbedaan utama antara sistem O-A-B dan sistem Rh adalah sebagai berikut: Pada sistem A-O-B, aglutinin bertanggung jawab atas timbulnya reaksi transfusi yang terjadi secara spontan, sedangkan pada sistem Rh reaksi aglutinin hamper tidak pernah terjadi. Sebagai gantinya, orang mula-mula harus masif terkapar dengan antigen Rh, biasanya melalui transfusi darah, sebelum cukup aglutinin yang menyebabkan reaksi transfusi yang bermakna (Setiadi, 2007). Penggolongan untuk faktor Rh dilakukan dengan cara yang serupa yang dipakai untuk penggolongan aglutinogen A-B-O. Ini biasanya dicapai dengan memakai 4 sampai 6 serum anti-Rh yang berbeda. Meskipun demikian, antibody anti-Rh kemampuannya jauh kurang poten untuk menggumpalkan sel darah merah dari kemampuan antibody anti-A dan anti-B. Sehingga untuk menyebabkan aglutinasi akibat kehadiran antibody Rh, sejumlah kecil protein harus dicampurkan untuk campuran reaksi; protein ini mengadakan hubungan yang menyilang diantara antibody-antibodi sesudah mereka melekat pada selsel darah merah (Setiadi, 2007). Pembentukan aglutinin anti-Rh.

Bila sel darah merah yang mengandung factor Rh, atau protein sebagai hasil pemecah sel darah merah, disuntikkan ke dalam orang tanpa faktor di atas, yaitu ke dalam orang dengan Rh negatif akan terbentuk aglutinin anti-Rh dengan sangat lambat, konsentrasi maksimum aglutinin akan tercapai kirakira dua sampai empat bulan kemudian. Respon imun ini untuk sebagian besar terdapat pada orang-orang tertentu dari pada yang lain. Bila berkalikali terpapar dengan faktor Rh. Orang dengan Rh negative akhirnya menjadi sangat peka terhadap faktor Rh, yaitu mereka membentuk aglutinin antiRh dengan titer yang sangat tinggi (Setiadi, 2007). Karakteristik dari Rh pada Reaksi Transfusi. Bila orang dengan Rh negatif yang belum pernah terpapar dengan darah Rh positif, transfusi dengan darah Rh positif, tidak segera menyebabkan reaksi sama sekali. Meskipun demikian, pada beberapa orang, terbentuklah antibody anti-Rh dalam jumlah yang cukup selama dua sampai empat minggu berikutnya yang menimbulkan aglutinasi dari sel-sel yang ditransfusikan yang masih terdapat di dalam darah. Sel-sel ini kemudian di hemolisis oleh system makrofag. Jadi terdapatlah reaksi transfusi lambat, walaupun biasanya ringan. Tetapai, pada tranfusi berikutnya dengan darah Rh positif pada orang yang sama, dimana sekarang ia sudah terimunisasi terhadap factor Rh, reaksi transfusi menjadi sangat tinggi dana dapat menjadi berat seperti reaksi yang terjadi dengan darah golongan A dan B (Setiadi, 2007).

2.1.4 Fungsi Darah Menurut Pearce (2009) fungsi darah yaitu, 1. Transpotasi (sari makanan, oksigen, karbindioksida, sampah dan air) Sebagai alat pengangkut yaitu: a. Mengambil oksigen/zat pembakaran dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh. b. Mengangkut karbondioksida dari jaringan untuk dikeluarkan melalui paruparu.

c. Mengambil zat-zat makanan dari usus halus untuk diedarkan dan dibagikan ke seluruh jaringan/alat tubuh. d. Mengangkat/mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh untuk dikeluarkan melalui ginjal dan kulit. Zat-zat yang diangkut oleh darah diantaranya: a. Zat makanan seperti: Glukosa, asam lemak dan vitamin b. Hasil-hasil metabolisme c. Gas-gas pernafasan d. Hormon 2. Termoregulasi (pengatur suhu tubuh) Menyebarkan panas ke seluruh tubuh. 3. Imunologi (mengandung antibodi tubuh) Sebagai pertahanan tubuh terhadap serangan penyakit dan racun dalam tubuh dengan perantaraan leukosit dan anti bodi/ zat-zat anti racun. 4. Homeostasis (mengatur keseimbangan zat, pH regulator).

2.2 Sistem Imun (Pertahanan Tubuh) 2.2.1 Pertahanan tubuh Non spesifik Dikatakan tidak spesifik karena berlaku untuk semua organisme dan memberikan perlindungan secara umum terhadap berbagai jenis agens. Secara umum pertahnan tubuh non spesifik ini terbagi menjadi pertahanan fisik, mekanik, dan kimiawi (Setiadi, 20007). a. Pertahanan Fisik 1. Kulit Kulit yang utuh menjadi salah satu garis pertahan pertama karena sifatnya yang permeabel terhadap infeksi berbagai organisme.

2. Asam laktat Dalam keringat dan sekresi sebasea dalam mempertahankan PH Kulit tetap rendah, sehingga sebagian besar mikroorganisme tidak mampu bertahan hidup dalam kondisi ini.

3. Cilia Mikroorgsnime yang masuk saluran nafas diangkut ke luar oleh gerakan silia yang melekat pada sel epitel. 4. Mukus, membran mukosa mensekresi mukus untuk menjebak mikroba dan partikel asing lainnya serta menutup masuk jalurnya bakteri/virus. 5. Granulosit, mengenali mikro organisme sebagai musuh dan menelan serta menghancurkan mereka. 6. Proses inflamasi Invasi jaringan oleh mikro organisme merangsang respon inflamasi pada tubuh dengan tanda inflamasi sebagai berikut: Kemerahan Panas Pembengkakan Nyeri Hilangnya fungsi Granulosit dan mikro organismenosit keluar 7. Zat anti virus (interveron + sistem komplemen) - Adalah protein anti virus yang dapat disintetis sel hospes sebagai respon terhadap inveksi virus. - Fungsi menghalangi multiplikasi virus dan memegang peranan penting dalam memikroorganisme dulasi aktivitas imunologis. Sistem komplemen, adalah sekelompok protein plasma inaktif yang bersirkulasi dalam darah. Fungsi untuk menyerang dan menghancurkan mikroorganisme penyusup (Setiadi, 2007). b. Pertahanan Mekanik Menurut Setiadi (2007), pertahanan tubuh non spesifik dengan cara pertahanan mekanik antara lain: 1. Bersin, reaksi tubuh karena ada benda asing (bakteri, virus, benda, dan lainlain yang masuk hidung) reaksi tubuh untuk mengeluarkan dengan bersin. 2. Bilasan air mata, saat ada benda asing produksi air mata berlebih untuk mengeluarkan benda tersebut.

3. Bilasan saliva, kalau ada zat berbahaya produksi saliva berlebih untuk menetralkan. 4. Urine dan feses, jika berlebih maka respon tubuh untuk segera mengeluarkannya. c. Kimiawi Menurut Setiadi (2007), pertahanan tubuh non spesifik dengan cara kimiawi antara lain adalah: 1. Enzim dan asam dalam cairan pencernaan berfungsi sebagai pelindung bagi tubuh. 2. HCL lambung, membunuh bakteri yang tidak tahan asam. 3. Asiditas fagina, membunuh bakteri yang tidak tahan asam. 4. Cairan empedu, membunuh bakteri yang tidak tahan asam.

2.2.2 Pertahanan Tubuh Spesifik Dikatakan spesifik karena hanya terbatas pada satu mikro organisme dan tidak memberi proteksi terhadap mikroorganisme yang berkaitan (Setiadi, 2007). Pertahanan ini didapat melalui pejanan terhadap agen infeksius spesifik sehingga jaringan tubuh membentuk sistem imun (Setiadi, 2007). Komponen yang terlibat dalam sistem imun: Sel-sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah dan juga pada ciran limfe. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam jumlah yang besar pada organ limfoid dan dapat ditemukan pula dalam keadaan tersebar pada seluruh jaringan tubuh kecuali central nervous system (CNS). Kemampuan sel-sel tersebut untuk bersirkulasi dan mengadakan perpindahan antara darah, limfe dan jaringan merupakan hal yang sangat penting untuk terjadinya respon imun. Sistem imun harus mampu merespon antigen asing yang mempunyai keragaman molekul sangat besar (Setiadi, 2007). Sehubungan dengan tugas sistem imun sebagai alat pertahanan, menurut Setiadi (2007), sistem imun mempunyai mekanisme kerja yang sangat unik, meliputi;

1. Kerja sama dengan sel-sel lain untuk mengenal antigen dan untuk berkembang menjadi sel efektor. 2. Mampu keluar-masuk antara sirkulasi dan jaringan, mempunyai daya migrasi menuju jaringan terinfeksi dan menetap pada daerah yang terinfeksi itu. 3. Limfosit yang spesifik harus mampu menerima stimuli dan melakukan penggandaan klon terhadap antigen yang sesuai. 4. Limfosit menempati organ yang menguntungkan untuk terjadinya pertemuan dengan antigen dan juga mendukung perkembangan dan diferensiasinya. Jika terjadi infeksi, produksi leukosit akan meningkat, monosit yang ada dalam darah masuk ke jaringan penghubung melalui kapiler menuju tempat infeksi, kemudian monosit diubah menjadi makrofag (Setiadi, 2007). Bukti bahwa adanya respon imun dalam tubuh antara lain terjadinya pembengkakan kelenjar limfe di daerah pangkal paha jika adanya infeksi pada kaki, pembengkakan kelenjar limfe di daerah ketiak jika adanya infeksi pada tangan (Setiadi, 2007).

2.3 Penannganan terhadap perdarahan 2.3.1 Cara Menghentikan Perdarahan Menurut Supardiman (1997), cara menghentikan perdarahan adalah sebagai berikut; 1. Lakukan penekanan langsung di atas perdarahan/luka 2. Lakukan penekanan di atas tempat tertentu, kalau tindakan yang pertama tidak berhasil 3. Pasang tourniquet hanya pada lokasi tertentu (perdarahan arteri yang tidak teratasi dan massif) a) Gunakan manset atau bulatan segitiga yang besar yang dililitkan 6-8 kali b) Jangan melepas tourniquet c) Buat satu tanda pada pasien yang menjelaskan lokasi tourniquet dan lamanya pemasangan. Metode lain yang dapat digunakan untuk tindakan perdarahan adalah kita harus menetukan apakah perdarahan ini sirurgis, atau non sirurgis. Perdarahan

dapat berupa perdarahan non sirurgis maupun sirurgis, seperti luka laserasi, amputasi, patah tulang, perdarahan gastro instetinal dan lain-lain (Supardiman, 1997). Menurut Supardiman (1997) juga, jika sirurgis maka tindakan lanjut adalah menghentikan perdarahan dengan : 1) Menekan pada salah satu titik dari enam titik pada satu sisi badan 2) Penekanan langsung pada luka (dengan kain steril-bersih) 3) Balut tekan 4) Torniket, hanya pada amputasi atau sebagai life saving 5) Mengganti darah yang hilang Terapi Transfusi Pada Perdarahan Indikasi utama untuk transfusi darah lengkap adalah untuk

mengantisipasi perdarahan. Menentukan kehilangan darah secara pasti sulit. Petunjuk beratnya perdarahan mungkin diperoleh dari data perubahan tekanan darah, nadi dan kadar hemoglobin. Gejala akibat kehilangan darah terdiri dari pucat, berkeringat, rasa haus, rasa ringan di kepala, nafas dalam dan gelisah (Supardiman, 1997) Petunjuk terhadap adanya kehilangan darah pada perdarahan akut adalah tekanan darah sistolik. Apabila tekanan darah sisitolik kurang dari 100mmHg, volume darah kira-kira kurang dari 70% dari normal (pada orang dengan tekanan darah sistolik normal sebelum terjadi perdarahan). Kehilangan darah 1-1,5 L dapat dikompensasi dengan mekanisme vasokonstruksi sehingga orang tersebut tidak akan memberikan keluhan-keluhan akibat perdarahan pada posisi tidur. Akan tetapi apabila dia berdiri mungkin akan mengeluh pusing karena akan terjadi hipotensi. Perdarahan akut lebih dari 2 L akan menimbulkan shock hipovolemik. Denyut nadi bukan merupakan petunjuk yang dapat dipercaya dimana denyut nadi lebih dari 100/menit. Yang menetap mungkin menunjukkan bahwa volume darah kurang dari 80% dari normal (Supardiman, 1997).

2.3.2 Transfusi Darah 2.3.2.1 Definisi

Transfusi darah adalah pemindahan darah dari orang yang sehat kepada orang yang sakit yang memerlukan ( Syamsul, 1989 ). Tranfusi dikerjakan pertama kali kurang lebih 100 tahun yang lalu dimana pengetahuan dalam bidang fisiologi dan pengetahuan tentang srikulasi masih sempit sekali oleh karena itu banyak kegagalan yang dialami. Dengan berkembanganya ilmu pengetahuan berkembang pula pengetahuan, tentang tranfusi. Berkat ditemukannya penggolongan darah ABO, asam sitrat sebagai antikoagulan, berkuranglah ancaman kematian akibat transfusi ( Syamsul,1989 ).

2.3.2.2 Indikasi transfusi Mengingat tranfusi bukan pekerjaan yang ringan dan banyak efek sampingan maka pelaksanaannya harus dengan indikasi ( Syamsul, 1989 ). Penderita-penderita yang karena suatu hal mengalami gangguan srikulasi baik yang akut maupun kronik sehingga mengancam kehidupannya perlu menambah darah dari luar. Satu-satunya usaha yang paling tepat adalah mengerjakan tranfusi ( Syamsul, 1989 ). Kita tinjau pendarahan akut: a. Pendarahan sampai 10% (500cc), tidak memerlukan tranfusi b. Pendarahan 10-15% memerlukan infusi c. Pendarahan lebih dari 15% memerlukan tranfusi Pada pendarahan yang kronis dengan kadar Hb 5 gr% belum merupakn indikasi mutlak untuk tranfusi dalam hal ini kita perlu mengingat tujuan tranfusi (Syamsul, 1989 ) Dalam pemberian darah harus di perhatikan kondisi pasien, kemudian kecocokan darah melalui nama pasien, label darah, golongan darah, dan periksa warna darah (terjadi gumpalan atau tidak), homogenitas (bercampur rata atau tidak) (Hidayat, 2004 ).

2.3.2.3 Tujuan Transfusi Darah Menurut Hidayat (2004), tujuan transfusi darah adalah,

Meningkatkan volume darah sirkulasi (setelah pembedahan, trauma atau heragi). Meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk mempertahankan kadar hemoglobin pada klien anemia. Memberikan komponen seluler tertentu sebagai terapi sulih (misalnya: faktor pembekuan untuk membantu mengontrol perdarahan pada pasien hemofilia).

2.3.2.4 Alat dan Bahan Transfusi Darah Menurut Hidayat (2004), alat dan bahan yang diperlukan dalam transfusi darah adalah, - Standar Infus - Set Transfusi (Tranfusi Set) - Botol berisi NaCl 0,9% - Produk darah yang benar sesuai program medis - Pengalas - Torniket - Kapas alkohol - Plester - Gunting - Kassa steril - Betadine - Sarung tangan

2.3.2.5 Cara Transfusi Darah Cara transfusi darah dengan slang 'Y' : Tusuk kantong NaCl 0,9%, isi slang dengan NaCl 0,9%, buka klem pengatur pada slang 'Y', dan hubungkan ke kantong NaCl 0,9%, tutup/klem pada slang yang tidak di gunakan, tekan sisi balik dengan ibu jari dan jari

telunjuk (biarkan ruang filter terisi sebagian), buka klem pengatur bagian bawah dan biarkan slang terisi NaCl 0,9%, kantong darah perlahan di balikbalik 1 - 2 kali agar sel-selnya tercampur, kemudian tusuk kantong darah pada tempat penusukan yang tersedia dan buka klem pada slang dan filter terisi darah (Hidayat, 2004 ). Cara transfusi darah dengan slang tunggal : Tusuk kantong darah, tekan sisi balik dengan ibu jari dan jari telunjuk sehingga filter terisi sebagian, buka klem pengatur, biarkan slang infus terisi darah, hubungkan slang transfusi ke kateter IV dengan membuka klem pengatur bawah, setelah darah masuk, pantau tanda vital tiap 5 menit selama 15 menit pertama, dan tiap 15 menit selama 1 jam berikutnya, setelah darah di infuskan, bersihkan slang dengan NaCl 0,9%, catat type, jumlah dan komponen darah yang di berikan, cuci tangan setelah prosedur dilakukan (Hidayat, 2004 ).

2.3.2.6 Komponen Transfusi darah Darah trsusun dari komponen korpuskulr dan komponen cairan, sedangkan komponen cair yang juga disebut plasma,sebagian besar terdiri atas air dan sebagian kecil terdiri atas protein dan elektrolit. Protein plasma adalah albumin, fraksi-fraksi globulin dan factor-faktor pembekuan. Darah yang

mngundang semua komponen kospuskuler dan komponen cairan ini di kenal dengan darah lengkap (Gatot, 2002). Tranfusi darah dapat berupa tranfusi darah lengkap maupun tranfusi komponen darah. Darah yang di tranfusikan sesuai dngan yang di perlukan, dapt berupa sel darah merah, leukosit, trombosit, kriopresipitar, plasma segar beku, factor pembekuan dan lain-lain (Gatot, 2002). Apabila terjadi pengurangan darah yang cukup bermakna dari komponen darah korpuskuler maupun non kospuler yang tidak dapat diatasi oleh mekanisme homoeostasis tubuh dalam waktu singkat, tubuh akan mengalami ganguan sesuai dengan jenis komponen darah yang mngalami kekurangan tersebut. Manifestasi klinis dari ganguan trsebutdapat berupa ganguan oksigenasi, ganguan mekanisme pertahanan tubuh dan ganguan hemostatis.

Untuk menghindari atau mengatasi ganguan tersebut, diperlukan penggantian darah atau komponen yang mengalami kekurangan dengan cara melakukan transfuse darah atau komponen darah tersebut (Gatot, 2002). Untuk lebih memperdalam pengertian tentang transfusi darah dan komponen darah ini,selanjutnya akan kita bahas tentang tranfusi darah. 1. Tranfusi sel darah merah Sel darah merah merupakan kompnen darah yang paling sering di transfusikan pada bayi baru lahir. Sebagian besar BBL (bayi baru lahir) dengan berat badan kurang dari 1500 gram membutuhkan transfuse selama perawatannya dan kebutuhan transfuse tersebut lebih sering lagi pada BBl dengan berat badan kurang dari 1000 gram (Gatot, 2002). Tujuan utama dari Transfuse sel darah mrah adalah untuk menjamin oksigenasi jaringan yang adekuat terutama pada pasien yang sedang menjalani perawatan intensif dan meningkatkan konsentrasi hemoglobin pasien yang mengalami anemia simptomatik. Yang termasuk dalam anemia simptomatik yaitu penderita dengan kadar hemoglobin yang rendah yang mengalami pucat, sesak napas, takikardia, malas minum dan penurunan berat badan (Gatot, 2002). 2. Tranfusi trombosit

Jumlah trombosit pada BBL sama dengan anak atau orang dewasa, berkisar 150.000 400.000 per ml dan jumlah trombosit kurang dari 150.000/mL merupakan keadaan yang abnormal dan perlu di telusuri lebih lanjut. Jumlah trobosit kurang dari 100.000 dikenal dengan trombositopenia neonatal. Trombositopenia pada BBL merupakan factor risiko terjadinya perdarahan dan luaran perkembangan neurologi yang jelek serta dapat menyebabkan kematian (Gatot, 2002). 3. Tranfusi granulosit Pada saat ini manfaat transfuse granulosit pada pemberian antibiotic yang adekuat penderitaan sepsis masih kontroversi. Pemberian transfuse granulosit dipertimbangkan pada penderita-penderita. Granulosit harus diberikan paling lambat 12 jam setelahpembuatan. Pnyimpanan lebih dari 12 jam mengakibatkan kehilangan fungsi granulosit. Tranfusi granulosit dosisnya harus adekuat dan diberikan paling tidak 2 kali sehari. Dosis yang di berikan 1- 2 kali granulosit/kg berat badan setiap kali transfusi (Gatot, 2002). 4. Tranfusi plasma beku segar Plasma sebagai komponen cair dari darah lengkap dipisahkan, kemudian dibekukan dalam waktu 8 jam setelah pengambilan darah. Hingga sekarang komponen ini masih diberikan untuk definisi berbagai factor pembekuan. Pengunaan komponen ini sekarang semakin berkurang dengan tersedianya factor pembekuan yang spesifik (Gatot, 2002). Indikasi transfusi plasma segar beku pada bayi baru lahir. a. Transfusi tukar b. Defisiensi factor pembekuan dengan perdarahan atau sebelum tindakan invasive atau pembedahan. c. Defisiensi vitamin K yang mengakibatkan gangguan pembekuan dengan perdarahan atau tindakan invasive atau pembedahan. d. Thrombotic trobositopenia purpura. e. Bukti klinis ditemukan koagulopati dimana pemeriksaan laboratorium tertunda. Dosis yang diberikan 10 20 mL/kg berat badan. 5. Tranfusi kriopresipitat

Komponen ini di peroleh dengan cara mencairkanplasma segar beku pada suhu 40C dan kemudian bagian yang tak mencair dikumpulkan dan di bekukan kembali. Setiap kantong kriopresipitat mengandung antara 80 120 unit factor VIII koagulan 150-200 mg fibrinogen. Selain itu juga mengandung cukup banyak factor XIII dan factor von willibran (Gatot, 2002). Indikasi tranfusi Kriopresipitat : a. Pengobatan perdarahan, atau pada persiapan pembedahan penderita hemophilia A, penyakit von willibard dengan pndarahan. b. Hipofobrinogenmia atau disfibrinogenemia dengan perdarahan atau pembedahan c. Replacement theraphy pada definisi factor XIII. Pada koagulasi intravaskuler disseminate, kadang-kadang kriopresipitat ini diberikan Dosis yang dianjurkan secara empiris 40 50 unit/kg BB sebagai loading dose,yang di teruskan dengan 20 25 unit/kg BB setiap 12 jam, sampai perdarahan atau luka pembedahan telah sembuh.

2.3.3

Infus

2.3.3.1 Pengertian infus Infus cairan intravena (intravenous fluids infusion) adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan ari tubuh (Brouwer, 1995). Menurut Brouwer (1995) secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infus adalah: 1. Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah) 2. Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah) 3. Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha) (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah) 4. Serangan panas (heat stroke) (kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi)

5. Diare dan demam (mengakibatkan dehidrasi) 6. Luka bakar luas (kehilangan banyak cairan tubuh) 7. Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah)

2.3.3.2 Komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus 1. Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau tusukan berulang pada pembuluh darah. 2. Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah. 3. Tromboflebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar. 4. Emboli udara, yakni masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah.

2.3.3.3 Pembagian cairan infus berdasarkan kelompoknya Menurut Brouwer kelompoknya 1. Kristaloid ; bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan (volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat dan garam fisiologis. 2. Koloid ; ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan keluar dari membran kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah albumin dan steroid. (1995), pembagian cairan infus berdasarkan

2.3.3.4 Jenis cairan infus

Menurut Brouwer (1995),jenis-jenis cairan infus antaralain, Asering Indikasi : Dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi: gastroenteritis akut, demam berdarah dengue (DHF), luka bakar, syok hemoragik, dehidrasi berat, trauma. Komposisi: Setiap liter asering mengandung:

Na 130 mEq K 4 mEq Cl 109 mEq Ca 3 mEq Asetat (garam) 28 mEq

Keunggulan: 1. Asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir pada pasien yang mengalami gangguan hati. 2. Pada pemberian sebelum operasi sesar, RA mengatasi asidosis laktat lebih baik dibanding RL pada neonatus. 3. Pada kasus bedah, asetat dapat mempertahankan suhu tubuh sentral pada anestesi dengan isofluran. 4. Mempunyai efek vasodilator 5. Pada kasus stroke akut, penambahan MgSO4 20 % sebanyak 10 ml pada 1000 ml RA, dapat meningkatkan tonisitas larutan infus sehingga memperkecil risiko memperburuk edema serebral KE- EN 1B Indikasi: 1. Sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum diketahui, misal pada kasus emergensi (dehidrasi karena asupan oral tidak memadai, demam) 2. < 24 jam pasca operasi 3. Dosis lazim 500-1000 ml untuk sekali pemberian secara IV. Kecepatan sebaiknya 300-500 ml/jam (dewasa) dan 50-100 ml/jam pada anak-anak

4. Bayi prematur atau bayi baru lahir, sebaiknya tidak diberikan lebih dari 100 ml/jam KA-EN 3A & KA-EN 3B Indikasi: 1. Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas 2. Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam) 3. Mensuplai kalium sebesar 10 mEq/L untuk KA-EN 3A 4. Mensuplai kalium sebesar 20 mEq/L untuk KA-EN 3B KA-EN MG3 Indikasi : 1. Larutan rumatan nasional untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan kandungan kalium cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas 2. Rumatan untuk kasus pasca operasi (> 24-48 jam) 3. Mensuplai kalium 20 mEq/L 4. Rumatan untuk kasus dimana suplemen NPC dibutuhkan 400 kcal/L KA-EN 4A Indikasi : 1. Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak 2. Tanpa kandungan kalium, sehingga dapat diberikan pada pasien dengan berbagai kadar konsentrasi kalium serum normal 3. Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik Komposisi (per 1000 ml):

Na 30 mEq/L K 0 mEq/L Cl 20 mEq/L Laktat 10 mEq/L Glukosa 40 gr/L

KA-EN 4B

Indikasi: 1. Merupakan larutan infus rumatan untuk bayi dan anak usia kurang 3 tahun 2. Mensuplai 8 mEq/L kalium pada pasien sehingga meminimalkan risiko hipokalemia 3. Tepat digunakan untuk dehidrasi hipertonik Komposisi:
o o o o o

Na 30 mEq/L K 8 mEq/L Cl 28 mEq/L Laktat 10 mEq/L Glukosa 37,5 gr/L

Otsu-NS Indikasi: 1. Untuk resusitasi 2. Kehilangan Na > Cl, misal diare 3. Sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium (asidosis diabetikum, insufisiensi adrenokortikal, luka bakar) Otsu-RL Indikasi: 1. Resusitasi 2. Suplai ion bikarbonat 3. Asidosis metabolik

Martos-10 Indikasi: 1. Suplai air dan karbohidrat secara parenteral pada penderita diabetik 2. Keadaan kritis lain yang membutuhkan nutrisi eksogen seperti tumor, infeksi berat, stres berat dan defisiensi protein 3. Dosis: 0,3 gr/kg BB/jam 4. Mengandung 400 kcal/L

Amiparen Indikasi: 1. Stres metabolik berat 2. Luka bakar 3. Infeksi berat 4. Kwasiokor 5. Pasca operasi 6. Total Parenteral Nutrition 7. Dosis dewasa 100 ml selama 60 menit Aminovel-600 Indikasi: 1. Nutrisi tambahan pada gangguan saluran GI 2. Penderita GI yang dipuasakan 3. Kebutuhan metabolik yang meningkat (misal luka bakar, trauma dan pasca operasi) 4. Stres metabolik sedang 5. Dosis dewasa 500 ml selama 4-6 jam (20-30 tpm) Pan-Amin G Indikasi: 1. Suplai asam amino pada hiponatremia dan stres metabolik ringan 2. Nitrisi dini pasca operasi 3. Tifoid

Anda mungkin juga menyukai