Anda di halaman 1dari 27

BAB I PENDAHULUAN Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat sistemik, yang dapat bermanifestasi pada

berbagai organ, terutama paru. Sifat sistemik ini disebabkan oleh penyebaran hematogen dan limfogen setelah terjadi infeksi Mycobacterium tuberculosis. Data insidens dan prevalens tuberkulosis anak tidak mudah. Dengan penelitian indeks tuberkulin dapat diperkirakan angka kejadian prevalens tuberkulosis anak. Kriteria masalah tuberkulosis di suatu negara adalah kasus BTA positif per satu juta penduduk. Jadi sampai saat ini belum ada satu negara pun yang bebas tuberkulosis.1 Setelah beberapa puluh tahun penurunan insidensi tuberculosis, angka kasus tuberculosis telah bertambah secara dramatis selama decade terakhir ini. Hampir 1,3 kasus dan 450.000 kematian terjadi pada anak-anak setiap tahunnya di seluruh dunia.6 Penyebaran penyakit tuberkulosis (TBC) di Indonesia dari tahun ke ke tahun mengalami kecenderungan naik 2 persen sampai 5 persen. Kenaikan terutama terjadi beberapa tahun belakangan ini, bersamaan dengan terjangan krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Setiap tahun diperkirakan terdapat 262 ribu penderita baru di Indonesia. Di Indonesia, penyakit TBC bahkan menjadi penyebab kematian akibat penyakit infeksi nomor tiga setelah stroke dan jantung. 7 Hasil penelitian yang dilakukan Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization), jumlah penderita TBC di Indonesia sekira 0,3 persen dari jumlah penduduk total setiap tahun. Meskipun dari persentase kecil, namun jumlah penderita TBC cukup tinggi apalagi setelah krisis ekonomi melanda negara Indonesia, yang ditandai dengan penurunan kualitas hidup masyarakat, angka penderita semakin naik. 6 Perlu ditekankan sejak awal adanya perbedaan antara infeksi TB dengan sakit TB. Infeksi TB relatif mudah diketahui, yaitu dengan berbagai perangkat diagnostik infeksi TB, misalnya uji tuberkulin, seseorang (dewasa atau anak) yang positif terinfeksi TB (uji tuberkulin positif) belum tentu sakit TB. Pasien sakit TB perlu mendapat terapi OAT, namun seseorang yang mengalami infeksi TB tanpa sakit TB, tidak perlu terapi OAT.1 Tujuan penulisan sari pustaka ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui definisi, etilogi, epidemiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang dan pengobatan tuberkulosis pada anak.

BAB II TUBERKULOSIS PARU 2.1 ETIOLOGI Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, merupakan suatu batang lengkung, gram positif lemah, pleomorfik, tidak bergerak, dan tidak membentuk spora. Basil tuberkel ini mempunyai panjang sekitar 2-4m. Bakteri ini merupakan aerob wajib (obligat) yang tumbuh pada media biakan yang tumbuh pada media sintetis yang mengandung gliserol sebagai sumber karbon dan garam ammonium sebagai sumber nitrogen. Mikobakteria ini tumbuh paling baik pada suhu 37-41. Dinding selnya kaya akan lipid sehingga menimbulkan resistensi terhadap daya bakterisid antibodi dan komplemen. 3 Tanda dari mikobakteria adalah ketahanan asamnya, dimana bakteri ini mempunyai kapasitas untuk membentuk kompleks mikolat stabil dengan pewarnaan arilmetan. Bila diwarnai maka bakteri ini akan melawan perubahan warna dengan etanol dan hidrokhlorida atau asam lain. 3 Mikobakteria tumbuh lambat dengan waktu pembentukannya 12-24 jam. Isolasi dari specimen klinis pada media sintetik padat biasanya memerlukan waktu 3-6 minggu, dan uji kerentanan obat memerlukan 4 minggu tambahan. Namun pertumbuhan dapat dideteksi dalam 13 minggu pada medium cairan selektif dengan menggunakan nutrient radiolabel (system radiometric BACTEC). 3 2.2 EPIDEMIOLOGI WHO memperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia, kurang lebih sejumlah 2 bilyun orang terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis. Angka infeksi tertinggi di Asia Tenggara, Cina, India dan Amerika Latin. 3 Tuberkulosis terutama menonjol di populasi yang mengalami stress nutrisi jelek, penuh sesak, perawatan kesehatan yang tidak memadai, dan perpindahan tempat. 3 Pada orang dewasa dua pertiga kasus terjadi pada laki-laki, tetapi ada sedikit dominasi tuberculosis pada wanita di masa anak-anak. Pada anak, kebanyakan terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis di rumahnya dari seseorang yang dekat padanya. Tetapi wabah tuberculosis anak juga terjadi pada sekolah-sekolah dasar dan tinggi, sekolah perawat, pusat perawatan anak, bis sekolah dan tim olahraga. Orang dewasa yang terinfeksi virus HIV dengan tuberculosis dapat menularkan Mycobacterium tuberculosis ke anak, beberapa darinya
2

berkembang penyakit tuberculosis, dan anak dengan infeksi HIV bertambah resiko berkembang tuberculosis sesudah infeksi. 3 2.2.1 Penularan Penularan Mycobacterium tuberculosis adalah dari orang ke orang melalui droplet lendir berinti yang dibawa udara. Penularan jarang terjadi dengan kontak langsung dengan kotoran cair terinfeksi atau barang-barang yang terkontaminasi. Peluang penularan bertambah bila penderita mempunyai ludah dengan basil pewarnaan tahan asam, infiltrate, dan kaverna lobus atas yang luas, produksi sputum encer banyak sekali, dan batuk berat serta kuat. 3 Faktor lingkungan terutama sirkulasi udara yang buruk memperbesar penularan. 3 Kebanyakan orang dewasa tidak menularkan organisme dalam beberapa hari sampai 2 minggu sesudah kemoterapi yang cukup, tetapi beberapa penderita tetap infeksius selama beberapa minggu. Anak-anak dengan tuberculosis jarang menginfeksi anak lain maupun orang dewasa. Basil tuberkel sedikit disekresi oleh endotracheal pada anak dengan tuberculosis paru, dan batuk sering tidak ada atau tidak ada dorongan batuk yang diperlukan untuk menerbangkan partikelpartikel infeksius dengan ukuran yang tepat. 3 2.3 PATOGENESIS Paru merupakan port d entree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil (<5 m), kuman TB dalam droplet nuklei yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi ditempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.2 Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi disaluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer.2
3

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung selama 212 minggu, biasanya selama 4-8 minggu.2 Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sebagian kecil kuman TB akan dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk kedalam alveoli akan segera dimusnakan oleh imunitas seluler spesifik ( cellular mediated immunity, CMI ).2 Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer dijaringan paru mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer dijaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.2 Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).2 Kelenjar limfe parahilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus akan terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil. Obstruksi total dapat menyebabkan ateletaksis kelenjar yang mengalami inflamsi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gangguan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.2 Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan

menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.2 Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult generalized hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian mencapai berbagai organ diseluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif, demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.2 Pada anak, 5 tahun pertama setelah terjadi infeksi (terutama 1 tahun pertama) biasanya sering terjadi komplikasi TB. Menurut Wallgren, ada tiga bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Tuberkulosis paru kronik adalah TB pascaprimer sebagai akibat reaktivasi kuman di dalam fokus yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering terjadi pada remaja dan dewasa muda.2 Tuberkulosis ekstrapulmonal, yang biasanya juga merupakan manifestasi TB pascaprimer, dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, paling banyak terjadi dalam 1 tahun, tetapi dapat juga 2-3 tahun setelah infeksi primer. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.2

5 Gambar 1. Patogenesis tuberkulosis


2

Kehamilan dan Neonatus


6

Tuberkulosis congenital jarang karena paling sering akibat tuberculosis saluran genital wanita adalah infertilitas. Penularan congenital terjadi paling sering dari lesi pada plasenta melalui vena umbilikalis. Infeksi primer pada ibu tepat sebelum atau selama kehamilan yang lebih mungkin menyebabkan infeksi congenital daripada reaktivasi infeksi sebelumnya. 7 Basili tuberkel mula-mula mencapai liver janin, dimana focus primer dengan keterlibatan limfonodi periportal dapat terjadi. Organisme melewati liver ke dalam sirkulasi janin utama dan menginfeksi banyak organ. Basil dalam paru-paru biasanya tetap tidak tumbuh sampai sesudah lahir, ketika oksigenasi dan sirkulasi pulmonal sangat bertambah. 7 Tuberkulosis congenital dapat juga disebabkan oleh aspirasi atau penelanan cairan amnion yang terinfeksi. Namun rute infeksi yang paling lazim untuk neonatus adalah penularan yang dibawa di udara pasca lahir dari orang dewasa dengan tuberculosis paru-paru infeksius. 7 Perjalanan alamiah Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender terjadinya TB di berbagai organ.2

Gambar 2 Kalender perjalanan penyakit TB primer2

Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.2
7

Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB. Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB. Tuberkulosis sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit TB terjadi pada 5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena TB terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB.2

2.4 MANIFESTASI KLINIS 2.4.1 Penyakit Paru Primer Kompleks primer paru meliputi focus parenkim dan limfonodi regional. Sekitar 70% focus paru-paru adalah subpleura dan sering terjadi pleuritis setempat. 2,5 Radang parenkim awal biasanya tidak dapat dilihat pada radiografi dada, tetapi infiltrate nonspesifik mungkin tampak sebelum timbulnya hipersensitivitas jaringan. 2,5 Tanda tuberculosis primer pada paru adalah limfadenitis regional yang relatif besar disbanding dengan focus baru awal yang relative kecil. Limfonodi hilus terus membesar pada beberapa anak, terutama bayi. 3,5 Gejala-gejala dan tanda-tanda fisik tuberculosis primer paru pada anak secara mengherankan sangat kurang mengingat tingkat perubahan radiograf yang ditemukan. Lebih dari 50% bayi dan anak dengan tuberculosis paru sedang sampai berat secara radiografis, tidak mempunyai tanda-tanda fisik dan ditemukan hanya dengan penelusuran kontak. Bayi lebih mungkin mengalami tanda-tanda dan gejala. Batuk non-produktif dan dyspnea ringan merupakan gejala yang paling lazim. Keluhan sistemik seperti demam, keringat malam, anoreksia dan aktivitas berkurang, jarang ditemukan. Beberapa bayi dan anak-anak mempunyai kesukaran penambahan berat badan atau berkembang menjadi sindrom gagal tumbuh. Beberapa bayi dan anak-anak dengan obstruksi bronchial mengalami mengi setempat dengan takipnea atau kadang-kadang distress respirasi. 3,5 2.4.2 Penyakit Paru Primer Kongestif Penyakit paru primer kongestif merupakan komplikasi infeksi tuberculosis yang serius, namun jarang terjadi pada anak-anak. Tanda-tanda atau gejala-gejala yang sering ada yaitu demam tinggi, batuk berat dengan produksi sputum, kehilangan berat badan dan keringat malam. Tanda-tanda fisik meliputi suara pernapasan yang melemah, ronchi, dan redup atau ekofoni pada kaverna. 2
8

2.4.3 Reaktivasi Tuberkulosis Bentuk tuberculosis ini jarang pada anak-anak. Anak dengan infeksi tuberculosis didapat yang menyembuh sebelum usia 2 tahun jarang berkembang menjadi reaktivasi penyakit paru kronik. Reaktivasi lebih sering terjadi pada anak yang mendapat infeksi awal sesudah umur 7 tahun. 2 2.4.4 Efusi Pleura Efusi yang lebih banyak dan secara klinis berarti terjadi beberapa bulan sampai beberapa tahun sesudah infeksi primer. Efusi pleura tuberculosis jarang terjadi pada anak dibawah umur 6 tahun. 2 2.4.5 Penyakit Perikardium Bentuk tuberculosis jantung ini jarang terjadi pada anak-anak. Hanya terdapat 0,5-4% kasus pada anak. 5 2.4.6 Penyakit Limfohematogen Basil tuberkel dapat tersebar ke tempat yang jauh, termasuk hati, limpa, kulit dan apeks paru, pada semua kasus infeksi tuberculosis. Sering ada keterlibatan banyak organ, menyebabkan splenomegali, limfadenitis pada limfonodi superficial atau dalam, dan tuberkulid papulonekrotik tampak pada kulit. Tulang dan sendi juga dapat terlibat. Meningitis merupakan akhir perjalanan penyakit, sering menyebabkan kematian pada masa pra kemoterapi. 3 Bentuk yang palng bermakna secara klinis tuberculosis yang tersebar adalah tuberculosis milier, bila banyak basil tuberkel yang dilepaskan ke dalam aliran darah, menimbulkan penyakit pada dua organ atau lebih. 3 Tuberkulosis milier biasanya mengkomplikasi infeksi primer, yang terjadi dalam 2-6 bulan infeksi awal. Bentuk penyakit ini paling sering ditemukan pada bayi namun dapat pula ditemukan pada remaja dan dewasa yang lebih tua, akibat pecahnya penyembuhan lesi paru primer sebelumnya. 3

2.4.7 Penyakit Limfonodi Tuberkulosis limfonodi superficial sering disebut sebagai scrofula, merupakan bentuk tuberculosis ekstrapulmonal yang paling sering pada anak. Secara historis scrofula biasanya disebabkan karena minum susu yang tidak dipasteurisasi dan mengandung Mycobacterium
9

bovis. Kebanyakan kasus sekarang terjadi dalam 6-9 bulan infeksi awal oleh Mycobacterium tuberculosis, walaupun beberapa kasus tampak bertahun-tahun kemudian. 3 2.4.8 Penyakit Sistem Saraf Sentral Tuberkulosis SSS merupakan komplikasi yang paling serius pada anak dan mematikan tanpa pengobatan yang efektif. Meningitis tuberkulosa biasanya berasal dari pembentukan lesi perkijuan metastatik di dalam korteks serebri atau meninges yang berkembang selama penyebaran limfohematogen infeksi primer. Lesi awal ini bertambah besarnya dan mengeluarkan sedikit basil tuberkel ke dalam ruang subarakhnoid. Hasilnya berupa eksudat gelatin yang dapat menginfiltrasi pembuluh darah kortikomeningeal, menimbulkan radang,obstruksi dan selanjutnya infark korteks serebri. 3 Meningitis tuberkulosa mengkomplikasi sekitar 0,3% infeksi primer yang tidak diobati pada anak antara umur 6 bulan sampai 4 tahun. Kadang-kadang meningitis tuberkulosa dapat terjadi beberapa tahun setelah infeksi primer, bila robekan satu atau lebih tuberkel subependimal mengeluarkan basil tuberkel ke dalam ruang subarakhnoid. 3 2.4.9 Penyakit Tulang dan Sendi Infeksi tulang dan send yang merupakan komplikasi tuberculosis yang cenderung menyerang vertebra. Manifestasi klinik spondilitis tuberkulosa berkembang menjadi penyakit Pott, dimana penghancuran korpus vertebra menyebabkan deformitas gibbus dan kifosis. 3 2.4.10 Penyakit Perut dan Saluran Cerna Tuberkulosis rongga mulut atau faring jarang terjadi pada anak-anak. Peritonitis tuberkulosa paling sering terjadi pada laki-laki muda, jarang ditemukan pada anak-anak. 3 2.4.11 Penyakit Genitourinaria Tuberkulosis ginjal jarang pada anak-anak karena masa inkubasinya beberapa tahun atau lebih lama. 3 Tuberkulosis saluran genital juga jarang terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan sebelum masa pubertas. 3 2.5 DIAGNOSIS 2.5.1 Gejala klinis

10

Karena patogenesis TB sangat kompleks, manifestasi klinis TB sangat bervariasi dan bergantung pada faktor kuman TB, penjamu serta interaksi diantara keduanya.Faktor kuman bergantung pada jumlah kuman dan virulensinya, sedangkan faktor penjamu bergantung pada usia dan kompetensi imun serta kerentanan penjamu pada awal terjadinya infeksi.2 Anak kecil sering tidak menunjukkan gejala selama beberapa waktu. Tanda dan gejala pada balita dan dewasa muda cenderung lebih signifikan sedangkan pada kelompok dengan rentang umur diantaranya menunjukkan clinically silent dissease.2 2.5.2. Gejala sistemik Manifestasi sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa manifestasi sistemik yang dapat dialami anak yaitu:2 1. Demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, yang dapat disertai keringat malam. Demam pada umumnya tidak tinggi. Temuan demam pada pasien TB berkisar antara 40-80% kasus. 2. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan penanganan gizi atau naik tetapi tidak sesuai dengan grafik pertumbuhan. 3. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik dengan adekuat (failure to thrive). 4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel. 5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan, tetapi pada anak bukan merupakan gejala utama. 6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare. 7. Malaise (letih, lesu, lemah, lelah). 2.5.3 Pemeriksaan penunjang 2.5.3.a Uji tuberkulin Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB, maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan. Uji tuberkulin cara mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD RT-23 2TU secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul. Jika tidak timbul indurasi sama sekali hasilnya dilaporkan sebagai negatif.2
11

Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi

10 mm dinyatakan positif

tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi BCG atau infeksi M. atipik. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10-14 cm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCG-nya, tapi bila ukuran indurasinya 15 mm sangat mungkin karena infeksi alamiah.

Apabila diameter indurasi 0-4 mm dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5-9 cm dinyatakan positif meragukan. Pada keadaan imunokompromais atau pada pemeriksaan foto thorak terdapat kelainan radiologis hasil positif yang digunakan 5mm.2

2.5.3.b Uji interferon Prinsip yang digunakan adalah merangsang limfosit T dengan antigen tertentu, diantaranya antigen dari kuman TB. Bila sebelumya limfosit T tersebut telah tersensitisasi dengan antigen TB maka limfosit T akan menghasilkan interferon gamma yang kemudian di kalkulasi. Akan tetapi, pemeriksaan ini hingga saat ini belum dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB.2

2.5.3.c Radiologi Gambaran foto Rontgen toraks pada TB tidak khas, kelainan-kelainan radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain.2 Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah: Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat Konsolidasi segmental/lobar Milier Kalsifikasi dengan infiltrat Atelektasis
12

Kavitas Efusi pleura Tuberkuloma

2.5.3.d Serologi Beberapa pemeriksaan serologis yang ada di antaranya adalah PAP TB, mycodot, Immuno Chromatographic Test (ICT), dan lain-lain. Akan tetapi, hingga saat ini belum ada satupun pemeriksaan serologis yang dapat membedakan antara infeksi TB dan sakit TB. Semua pemeriksaan tersebut umumnya masih dalam taraf penelitian untuk pemakaian klinis praktis.2

2.5.3.e Mikrobiologi Pemeriksaan mikrobiologi yang dilakukan terdiri dari pemeriksaan mikroskopik apusan langsung untuk menemukan BTA, pemeriksaan biakan kuman M. Tuberkulosis.2 Pada anak pemeriksaan mikroskopik langsung sulit dilakukan karena sulit mendapatkan sputum sehingga harus dilakukan bilas lambung (gastric lavage) 3 hari berturut-turut, minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada anak sebagian besar negatif, sedangkan hasil biakan M. Tuberculosis memerlukan waktu yang lama yaitu selama 6-8 minggu. Saat ini ada pemeriksaan biakan yang hasilnya diperoleh lebih cepat (1-3 minggu), yaitu pemeriksaan Bactec, tetapi biayanya mahal dan secara teknologi lebih rumit.2

2.5.3.f Patologi Anatomik Pemeriksaan PA dapat menunjukkan gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tresebut mempunyai karakteristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya ditemukannya sel datia langhans.2

13

Untuk memudahkan diagnosis TB paru pada anak, IDAI merekomendasiskan diagnosis TB anak dengan sistem skoring, yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.2 Parameter Kontak TB 0 Tidak jelas 1 2 Laporan keluarga (BTA negatif Uji Tuberkulin Negatif tidak jelas) atau Positif ( 10 mm atau 5 mm pada keadaan Berat badan / BB/TB < 90% atau BB/U < 80% Klinis buruk atau BB/TB < 70% atau BB/U < Demam tanpa 2 minggu 3 minggu 1 cm, jumlah > 1, tidak nyeri Ada pembengkakan 60% imunosupresi) gizi 3 BTA(+)

Status Gizi

sebab yang jelas Batuk Pembesaran kelenjar koli, aksila, inguinal Pembengkakan tulang panggul, falang Foto Thorak / sendi lutut,

Normal/kelainan Gambaran tidak jelas sugestif TB

Tabel 1. Diagnosis TB anak dengan sistem skoring Catatan2:

14

Diagnosis dengan sistem skor ditegakkan oleh dokter. Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis. Berat badan dinilai saat datang. Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku. Gambaran sugestif TB, berupa; pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat; khusus. konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena diperlakukan secara

Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan.

Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG ( 7 hari) harus dievaluasi dengan sistim skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat diagnostik.

Didiagnosis TB Anak ditegakkan bila jumlah skor 6, (skor maksimal 13). Jika ditemukan gambaran milier, kavitas atau efusi pleura pada foto toraks, dan/atau terdapat tanda-tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk dan penurunan kesadaran serta tanda kegawatan lain seperti sesak napas, pasien harus di rawat inap di RS.

2.6 PENATALKSANAAN 2.6.1 MEDIKAMENTOSA Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat lain (second line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.2 Isoniazid

15

Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat efektif saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif (kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.2,5 Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabi, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.2,5 Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala dan tanda klinis.2 Rifampisin Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan

16

dengan isoniazid , dosis rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari. Distribusinya sama dengan isoniazid.2,6 Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum, dan air mata, menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin diberikan bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari. Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin, siklosporin, digoksin, teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.2,6 Pirazinamid Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 g/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam., yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas, anoreksia, iritasi saluran cerna dan hiperurikemia, namun manifestasi hiperurikemia jarang pada anak-anak. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersamaan makanan.2 Etambutol
17

Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 g dalam waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.2 Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol tidak dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan buta warna merahhijau sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak, etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.2 Streptomisin Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler pada keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraseluler. Saat ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB tetapi penggunaannya penting penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDRTB. Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar puncak 40-50 g/ml dalam waktu 1-2 jam.2 Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik pada jaringan dan cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan pusing. Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.2
18

Nama Obat

Dosis harian (mg/kgBB/hari)

Dosis maksimal (mg/hari) 300 600

Efek Samping

Isoniazid Rifampisin**

5-15* 10-20

Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid Etambutol

15-30 15-20

2000 1250

Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang, buta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisin

15-40

1000

Ototoksis, nefrotoksik

Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari.

**

Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.
Gambar 3. Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya2

2.6.1.a Panduan Obat TB Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian panduan obat ini bertujuan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. Berbeda pada orang dewasa , OAT diberikan pada anak setiap hari, bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari. Saat ini panduan obat yang baku untuk sebagian besar kasus TB pada anak adalah panduan rifampisin, isoniazid dan pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan isoniazid.2 Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin). Pada fase lanjutan
19

diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 2-4 mg/kgBB/hari dibagi dalam tiga dosis, maksimal 60mg dalam satu hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off selama 2-4 minggu.2

2 Bulan

6 Bulan

9 Bulan

12 Bulan

Isoniazid Rifampisin Pirazinamid

Etambutol Streptomisin Prednison

Gambar 4. Paduan Obat Antituberkulosis2 2.6.1.b Evaluasi hasil pengobatan

Sebaiknya pasien kontrol tiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan berat badan, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan dan lain-lain. Apabila respon pengobatan baik, maka pengobatan dilanjutkan.2 Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin, kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto rontgen toraks perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto rontgen toraks dilakukan setelah 2 minggu. Laju endap darah dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi.2
20

Apabila respon setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut mengapa tidak terjadi perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Bila awalnya pasien ditangani di sarana kesehatan terbatas, maka pasien dirujuk ke sarana yang lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan minum obat, kemungkinan adanya penyakit penyulit/penyerta, serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan. Foto rontgen toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin.2 Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi persisten M. tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan lebih dari 6 bulan pada TB anak tanpa komplikasi menunjukkan angka kekambuhan yang tidak berbeda bermakna dengan pengobatan 6 bulan.2

2.6.1.c Evaluasi efek samping pengobatan OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi pada pemberian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, hepatotoksisitas, ruam dan gatal serta demam. Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksisitas.2 Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemberian dosis isoniazid yang tidak melebihi 10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dalam kombinasi. Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan Serum Glutamic-Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic-Piruvat Transaminase (SGPT) hingga 5 kali tanpa gejala atau 3 kali batas normal (40 U/I) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total lebih dari 1,5 mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan beberapa nilai beberapapun yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea dan muntah.2 Tatalaksana hepatotoksisitas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi. Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan terapi. Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi ( moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian terapi, sedangkan peningkatan 5 kali tanpa gejala, atau 3 kali batas normal disertai dengan gejala memerlukan penghentian rifampisin sementara atau penurunan dosis rifampisin. Akan tetapi mengingat pentingnya rifampisin dalam paduan pengobatan yang efektif, perlunya penghentian obat ini cukup
21

menimbulkan keraguan. Akhirnya, isoniazid dan rifampisin cukup aman digunakan jika diberikan dengan dosis yang dianjurkan dan dilakukan pemantauan hepatotoksisitas dengan tepat.2 Apabila peningkatan enzim transaminase 5 kali tanpa gejala atau 3 kali batas normal disertai dengan gejala, maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. OAT diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah normal. Tetapi berikutnya dilakukan dengan cara memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat. Hepatotoksisitas dapat timbul kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis diberikan langsung secara penuh (full-dose) dan pirazinamid digunakan dalam paduan pengobatan.2 2.6.1.d Putus obat Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama 2 minggu. Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien datang kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan dan berapa lama obat telah terputus. Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya.2 2.6.1.e Multi Drug Resistance (MDR) TB Multidrug resistance TB adalah isolate M. tuberculosis yang resisten terhadap dua atau lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin. Kecurigaan adanya MDRTB adalah apabila secara klinis tidak ada perbaikan dengan pengobatan. Manajemen TB semakin sulit dengan meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa dipakai. Ada beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu pemakaian obat tunggal, penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang tidak dilakukan secara benar dan kurangnya keteraturan menelan obat.2 Kejadian MDR-TB sulit ditentukan karena biakan sputum dan uji kepekaan obat tidak rutin dilaksanakan di tempat-tempat dengan prevalens TB tinggi. Akan tetapi diakui bahwa MDR-TB merupakan masalah besar yang terus meningkat. Diperkirakan MDR-TB akan tetap menjadi masalah di banyak wilayah di dunia. Data mengenai MDR-TB yang resmi di Indonesia belum ada. Menurut WHO, bila pengendalian TB tidak benar, prevalens MDR-TB mencapai 5,5 %, sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalens MDR-TB hanya 1,6% saja.2

22

2.6.2 Non Medikamentosa 2.6.2.a Pendekatan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) Keteraturan pasien untuk menelan obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan dalam menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed treatment). Directly observed treatment shortcours (DOTS) adalah strategi yang telah direkomendasikan oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1955. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi.2 Sesuai rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen yaitu sebagai berikut : 2 Komitmen politis dari para pengambil keputusan, temasuk dukungan dana. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh pengawas minum obat (PMO). Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB. 2.6.2.b Sumber penularan dan case finding Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu mencari anak lain di sekitasnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin.2 Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak disekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan
23

tersebut dilakukan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.2 2.6.2.c Aspek edukasi dan sosial ekonomi Pengobatan TB tidak lepas dari masalah sosial ekonomi. Karena pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan gizi yang baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrien. Tanpa penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan tercapai hasil yang optimal. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui mengenai TB. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB padak anak tidak menular kepada orang disekitarnya. Aktivitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat.2 2.7 Pencegahan 2.7.1 Imunisasi BCG Imunisasi BCG (Bacille Calmette-Gurin) diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan lebih mudah dan lemak subkutis lebuh tebal, ulkus tidak menggangu struktur otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin dan intensitas pemaparan infeksi.2 Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%. Imunisasi BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB dan spondilitis TB pada anak. Imunisasi ini memberikan perlindungan terhadap terjadinya TB milier, meningitis TB, TB sistem skletal, dan kavitas. Fakta di klinik sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG. Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara, tetapi umumnya tidak dianjurkan di banyak negara lain, temasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif aman, jarang timbul efek samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan insidens 0,1-1%. Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, BCG ditunda hingga bayi mencapai berat badan optimal.2

24

2.7.2 Kemoprofilaksis Terdapat dua jenis kemoprofilaksis, yaitu kemoprofilaksis primer dan kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif). Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif dan sumber penularan telah sembuh dan tidak menular lagi (BTA sputum negatif), maka INH profilaksis dihentikan. Jika terjadi konversi tuberkulin positif, evaluasi status TB pasien. Jika didapatkan uji tuberkulin negatif dan INH profilaksis telah dihentikan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin ulang 3 bulan kemudian untuk evaluasi lebih lanjut.2 Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam kelompok resiko tinggi untuk berkembang menjadi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita, menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konvensi uji tuberkulin dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12 bulan. Baik profilaksis primer, profilaksis sekunder dan terapi TB, tetap dievaluasi tiap bulan untuk menilai respon dan efek samping obat.2 2.8 Komplikasi Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang dilahirkan dari orang tua yang menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis. Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.2

25

BAB III KESIMPULAN

Penyakit tuberkulosis pada anak merupakan penyakit yang bersifat sistemik, yang dapat bermanifestasi pada berbagai organ, terutama paru. Sifat sistemik ini disebabkan oleh penyebaran hematogen dan limfogen setelah terjadi infeksi Mycobacterium tuberculosis. Pada anak, kebanyakan terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis di rumahnya dari seseorang yang dekat padanya. Tetapi wabah tuberculosis anak juga terjadi pada sekolah-sekolah dasar dan tinggi, sekolah perawat, pusat perawatan anak, bis sekolah dan tim olahraga. Penularan Mycobacterium tuberculosis adalah dari orang ke orang melalui droplet lendir berinti yang dibawa udara. Penularan jarang terjadi dengan kontak langsung dengan kotoran cair terinfeksi atau barang-barang yang terkontaminasi. Gejala sistemik adalah gejala yang bersifat umum dan tidak spesifik karena dapat disebabkan oleh berbagai penyakit atau keadaan lain. Beberapa gejala sistemik yang dapat dialami anak yaitu, demam lama (>2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas, berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan ,anoreksia dengan failure to thrive, pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multiple, batuk lama lebih dari 3 minggu, diare persisten serta malaise (letih, lesu, lemah, lelah). Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah uji tuberculin, interferon, radiologi, tes serologi, mikrobiologi dan pemeriksaan patologi anatomi. Untuk memudahkan diagnosis dapat digunakan sistem skoring TB Prinsip dasar pengobatan TB minimal tiga macam obat pada fase intensif dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Komplikasi yang dapat terjadi adalah Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. IDAI. Pedoman Pelayanan Medis Jilid I.Jakarta.Tahun 2010. Hal:323-9 2. Nastiti N Rahajoe, dkk. Buku Ajar Respirologi Ank. 2010. Jakarta : UKK Respirologi PP IDAI : 162-214 3. Behrman, Kliegman, Arvin: Ilmu Kesehatan Anak, Nelson Edisi 15, Vol.2,10281042, 1996. 4. Cantwell MF, Snider DE,Jr., Cauthen GM, et al: Epidemiology of Tuberculosis, 272300,1994. 5. American Academy of Pediatrics Committee on Infectious Disease:Chemotherapy for Tuberculosis in Infants and Children, Pediatrics, 89-161, 1992 6. Starke JR:Current Chemotherapy for tuberculosis in Children, 200-215, 1992. 7. Vallejo JG., Starke JR: Tuberculosis and Pregnancy,693-695, 1992.

27

Anda mungkin juga menyukai