Anda di halaman 1dari 52

PENATALAKSANAAN PENGOBATAN

PEDOMAN PENGOBATAN DASAR DI PUSKESMAS


Departemen Kesehatan RI, 2011

1. ABORTUS Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A : 17; 1701

ICD X : O03

a. Definisi Terhentinya proses kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. Sebagai batasan digunakan kehamilan kurang dari 22 minggu atau berat janin kurang dari 500 g. b. Penyebab Sebagian besar disebabkan karena kelainan kromosom hasil konsepsi. Beberapa penyebab lain adalah trauma, kelainan alat kandungan dan sebab yang tidak diketahui. c. Gambaran Klinis Adanya gejala kehamilan (terlambat haid, mual/ muntah pada pagi hari) yang disertai perdarahan pervaginam (mulai bercak sampai bergumpal) dan/atau nyeri perut bagian bawah, mengarah ke diagnosis abortus. 1) Abortus Imminens (Ancaman Keguguran) Ditandai dengan perdarahan pervaginam sedikit, nyeri perut tidak ada atau sedikit. Belum ada pembukaan serviks. 2) Abortus Insipiens (Keguguran sedang berlangsung) Perdarahan pervaginam banyak (dapat sampai bergumpal-gumpal), nyeri perut hebat, terdapat pembukaan serviks. Kadang-kadang tampak jaringan hasil konsepsi di ostium serviks. 3) Abortus Inkompletus (Keguguran tidak lengkap) Perdarahan pervaginam banyak, nyeri perut sedang sampai hebat. Riwayat keluar jaringan hasil konsepsi sebagian, ostium serviks bisa masih terbuka atau mulai tertutup. 4) Abortus Kompletus (Keguguran lengkap) Perdarahan pervaginam mulai berkurangberhenti, tanpa nyeri perut, ostium serviks sudah tertutup. Riwayat keluar jaringan hasil konsepsi utuh, seluruhnya.

Milik: dr. Malisa Lukman

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

5) Missed Abortion (Keguguran yang tertahan) Abortus dengan hasil konsepsi tetap tertahan intra uterin selama 2 minggu atau lebih. Riwayat perdarahan pervaginam sedikit, tanpa nyeri perut, ostium serviks masih tertutup. Pembesaran uterus tidak sesuai (lebih kecil) dari usia gestasi yang seharusnya. d. Diagnosis 1) Terlambat haid (amenore) kurang dari 22 minggu. 2) Perdarahan pervaginam, mungkin disertai jaringan hasil konsepsi. 3) Rasa nyeri di daerah atas simpisis. 4) Pembukaan ostium serviks. e. Penatalaksanaan 1) Puskesmas non PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar): a) Abortus Imminens (1) Tirah baring sedikitnya 23 hari (sebaiknya rawat inap) (2) Pantang senggama (3) Setelah tirah baring 3 hari, evaluasi ulang diagnosis, bila masih abortus imminens tirah baring dilanjutkan (4) Mobilisasi bertahap (dudukberdiriberjalan) dimulai apabila diyakini tidak ada perdarahan pervaginam 24 jam b) Abortus tingkat selanjutnya (1) Bila mungkin lakukan stabilisasi keadaan umum dengan pembebasan jalan napas, pemberian oksigenasi (O2 2-4 liter/menit), pemasangan cairan intravena kristaloid (Ringer Laktat/Ringer Asetat/NaCl 0,9%) sesuai pedoman resusitasi. (2) Pasien dirujuk setelah tanda vital dalam batas normal ke Puskesmas PONED atau RS. f. 2) Pada puskesmas PONED a) Abortus Imminens Seperti pada Puskesmas non PONED. b) Abortus Insipiens (1) Antibiotik profilaksis: Amoksisilin 500 mg per oral sebelum tindakan kuretase.

(2) Perlu segera dilakukan pengeluaran hasil konsepsi dan pengosongan kavum uteri. Dapat dilakukan dengan abortus tang, sendok kuret, dan kuret hisap (3) Uterotonika: Oksitosin 10 UI i.m. (4) Disesuaikan dengan program PONED Ditjen BUK Dasar c) Abortus Inkompletus (1) Perlu segera dilakukan pengosongan kavum uteri. Dapat dilakukan dengan abortus tang, sendok kuret, dan kuret hisap (2) Segera atasi kegawatdaruratan: (a) Oksigenisasi 24 liter/menit (b) Pemberian cairan i.v. kristaloid (NaCl 0,9%, Ringer Laktat, Ringer Asetat) (c) Transfusi bila Hb kurang dari 8 g/dL. d) Abortus Kompletus (1) Evaluasi adakah komplikasi abortus (anemia dan infeksi) (2) Apabila dijumpai komplikasi, penatalaksanaan disesuaikan (3) Apabila tanpa komplikasi, tidak perlu penatalaksanaan khusus. e) Missed Abortion (1) Evaluasi hematologi rutin (hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit) dan uji hemostasis (fibrinogen, waktu perdarahan, waktu pembekuan). (2) Bila terjadi gangguan faal hemostasis dan hipofibrinogenemia, segera rujuk di rumah sakit yang mampu untuk transfusi trombosit/Buffy-Coat dan komponen darah lainnya. (3) Hasil konsepsi perlu dievakuasi dari kavum uteri. Dilaksanakan setelah dipastikan tidak terdapat gangguan faal hemostasis. KIE 1) Pemeriksaan kehamilan secara teratur 2) Pasca abortus dianjurkan untuk mengikuti program Keluarga Berencana 3) Tunda kehamilan berikutnya sampai kondisi pulih 4) Kenali faktor risiko terjadinya abortus 5) Apabila terjadi perdarahan pada saat kehamilan, segera hubungi puskesmas.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

4
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2. ABSES GIGI Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A dan 4 : 1503

ICD X : K04.7 f.

6) Pada pasien anak, setelah diagnosis dan penanganan sederhana, rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan lebih lanjut. 7) Bila ada dokter gigi dengan fasilitas memadai, maka dapat dilakukan tindakan lebih lanjut sesuai kompetensi dokter gigi. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan gejala, mencegah komplikasi 2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi minimal tiap pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair. 3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi. 4) Efek samping metronidazol: mual. Jika terjadi mual maka metronidazol bisa diberikan 250 mg tiap 4 jam (6x sehari). Atau untuk mengatasi mual dapat diberikan metoklopramid 3x10 mg (untuk dewasa) 1 jam sebelum makan.

a. Definisi Pengumpulan nanah yang telah menyebar dari sebuah gigi ke jaringan di sekitarnya, biasanya berasal dari suatu infeksi. Abses gigi yang dimaksud adalah abses pada pulpa dan periapikal. b. Penyebab Abses ini terjadi dari infeksi gigi yang berisi cairan (nanah) dialirkan ke gusi sehingga gusi yang berada di dekat gigi tersebut membengkak. c. Gambaran Klinis 1) Pada pemeriksaan tampak pembengkakan disekitar gigi yang sakit. Bila abses terdapat di gigi depan atas, pembengkakan dapat sampai ke kelopak mata, sedangkan abses gigi belakang atas menyebabkan bengkak sampai ke pipi. Abses gigi bawah menyebabkan bengkak sampai ke dagu atau telinga dan submaksilaris. 2) Pasien kadang demam, kadang tidak dapat membuka mulut lebar. 3) Gigi goyah dan sakit saat mengunyah. d. Diagnosis Pembengkakan gusi dengan tanda peradangan di sekitar gigi yang sakit. e. Penatalaksanaan 1) Pasien dianjurkan berkumur dengan air garam hangat. 2) Dewasa : Amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 7 hari Anak : Amoksisilin 10-15 mg/kgBB, tiap 6-8 jam 3) Simtomatik: Parasetamol Dewasa : 500 mg tiap 6-8 jam Anak : 10-15 mg/kgBB, tiap 6-8 jam 4) Abses meluas (abses membesar dan meliputi lebih dari satu gigi), dilakukan insisi (drainase) kemudian ditambahkan metronidazol 500 mg tiap 8 jam. 5) Bila terjadi kegagalan terapi tersebut diatas, maka pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan lebih lanjut untuk penanganan selanjutnya sesuai dengan indikasi. 5

6
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

3. ANEMIA DEFISIENSI Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 54 a. Definisi Anemia pada: - laki-laki: Hb <13 g/dL, - wanita: Hb <12 g/dL, - wanita hamil: Hb <11 g/dL, - anak usia sekolah: Hb < 12 g/dL, - balita: Hb <11 g/dL

ICD X : D50-51

b. Penyebab Penyebab paling sering adalah defisiensi besi terutama pada anak-anak. Defisiensi besi biasanya disebabkan oleh asupan yang kurang, kecacingan, perdarahan kronis. Defisiensi lain yang dapat menyebabkan anemia adalah vitamin B12 dan asam folat. Pada ibu hamil dapat terjadi anemia defisiensi karena kebutuhan makronutrien yang meningkat. c. Gambaran Klinis 1) Gejala anemia bervariasi dari asimtomatis sampai syok atau penurunan kesadaran tergantung dari kadar Hb, kecepatan penurunan Hb dan usia. 2) Gejala defisiensi besi yang spesifik pada anak diberi istilah pica (makan yang tidak semestinya dimakan, misalnya tanah, pensil, penghapus). 3) Anemia defisiensi ditandai dengan lemas, sering berdebar, lekas lelah dan sakit kepala. Papil lidah tampak atrofi. Jantung kadang membesar dan terdengar murmur sistolik. Di darah tepi tampak gambaran anemia hipokrom dan mikrositer, sementara kandungan besi serum rendah. 4) Defisiensi vitamin B12 maupun asam folat menyebabkan anemia megaloblastik yang mungkin disertai gejala neurologi. d. Diagnosis Anamnesis (pola asupan makan, pola menstruasi) dan pemeriksaan fisik sesuai dengan gejala dan tanda klinis dan ditunjang pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan kadar Hb dan darah tepi (kadar Hb lihat di definisi). Pemeriksaan feses untuk mengetahui adanya telur cacing.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan 1) Anemia defisiensi besi diatasi dengan makanan yang mengandung zat besi (misalnya bayam, daging), sulfas ferosus 10 mg/kgBB 3 x sehari (ekivalen dengan besi elementer 1mg/kgBB/hari) selama 6-8 minggu. 2) Anemia karena kecacingan diatasi memberikan obat cacing (lihat pokok bahasan Kecacingan). 3) Anemia megaloblastik diobati spesifik, oleh karena itu harus dibedakan penyebabnya, defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat. 4) Dosis vitamin B12 100 mcg/hari i.m. selama 510 hari sebagai terapi awal, diikuti dengan terapi rumat 100-200 mcg/bulan sampai dicapai remisi. 5) Dosis asam folat 0,51 mg/hari per oral selama 10 hari, dilanjutkan dengan 0,1 0,5 mg/hari. 6) Penggunaan vitamin B12 oral tidak ada gunanya pada anemia pernisiosa. Selain itu sediaan oral lebih mahal. f. KIE Pada anemia defisiensi: 1) Tujuan penatalaksanaan adalah menghilangkan gejala sesuai dengan penyebab anemia, menaikkan kadar Hb. 2) Pencegahan: a) diet makanan bergizi yang cukup mengandung zat besi, asam folat dan vitamin B12. Perlu disampaikan kepada ibu cara penyiapan makanan yang baik, misalnya tidak memberikan teh bersamaan dengan makanan karena dapat mengurangi absorpsi besi. b) menjaga higiene dan sanitasi. 3) Informasi pemberian sulfas ferosus pada pasien: paling baik diberikan saat perut kosong. 4) Efek samping: sulfas ferosus dapat menimbulkan mual, rasa tidak enak, konstipasi, feses berwarna kehitaman. 5) Alasan rujukan: anemia yang diobati selama 2 minggu tidak ada kenaikan Hb (anemia defisiensi besi diharapkan naik 2-4 g/dL dalam waktu 2 minggu setelah pemberian suplementasi besi). 6) Keberhasilan pengobatan anemia sangat tergantung pada kemampuan untuk menegakkan diagnosis etiologi. 7) Pada anak >2 tahun dan belum pernah mendapatkan mebendazol, berikan mebendazol 500 mg.

8
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

4. ANGINA PEKTORIS STABIL Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : 85

ICD X : I20.8

a. Definisi Suatu sindroma klinis berupa nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada (substernal), rahang, bahu, punggung, atau lengan yang timbul saat aktivitas atau stres emosional yang berkurang dengan istirahat atau pemberian nitrat. Walaupun jarang, nyeri dapat dirasakan di daerah epigastrium. b. Penyebab Iskemia ini terjadi karena suplai oksigen yang dibawa oleh aliran darah koroner tidak mencukupi kebutuhan oksigen miokardium. Hal ini terjadi bila kebutuhan oksigen miokardium meningkat (misalnya karena kerja fisik, emosi, tirotoksikosis, hipertensi), atau bila aliran darah koroner berkurang (misalnya pada spasme atau trombus koroner) atau bila terjadi keduanya. c. Gambaran Klinis 1) Pada anamnesis perlu ditanyakan: a) Rasa tidak nyaman di dada (biasanya substernal) b) Keluhan memberat pada saat aktivitas fisik atau stres emosional c) Keluhan berkurang dengan istirahat atau pemberian nitrat 2) Dikatakan: a) angina pektoris tipikal bila memenuhi 3 gejala, b) angina pektoris atipikal bila memenuhi 2 gejala, c) non anginal chest pain bila hanya memenuhi <1 gejala. 3) Sebagian besar pasien dengan angina pektoris tidak dijumpai kelainan dalam pemeriksaan fisik. 4) Pemeriksaan fisik abnormal akan dijumpai jika terdapat penyakit penyerta. 5) Perlu ditanyakan faktor risiko penyakit jantung koroner (PJK): a) diabetes melitus b) hipertensi c) merokok d) sejarah keluarga PJK e) dislipidemia. 9

d. Diagnosis Diagnosis angina pectoris stabil berdasarkan klasifikasi menurut Canadian Cardiovascular Society (CCS): 1) Kelas I: Angina tidak timbul pada saat aktivitas sehari-hari, seperti berjalan atau menaiki tangga. Angina timbul pada saat latihan berat, tergesa-gesa dan berkepanjangan. 2) Kelas II: Sedikit pembatasan aktivitas sehari-hari, seperti jalan atau naik tangga dengan cepat, jalan mendaki, aktivitas setelah makan, di hawa dingin atau melawan angin, atau dalam keadaan stres emosional, atau hanya timbul beberapa jam setelah bangun tidur. 3) Kelas III: Adanya tanda-tanda keterbatasan aktivitas sehari-hari, angina timbul jika berjalan rata satu atau dua blok (setara dengan jarak 100-200 meter) dan naik tangga satu tingkat pada kecepatan dan kondisi yang normal. 4) Kelas IV: Ketidakmampuan melakukan aktivitas fisik apapun tanpa keluhan rasa nyaman atau angina saat istirahat. Klasifikasi APS kelas III dan IV perlu dipikirkan suatu sindroma koroner akut (lihat Bab Sindroma Koroner Akut). e. Penatalaksanaan 1) Manajemen umum: a) Pengendalian faktor risiko (stop merokok, hipertensi, diabetes, hiperkolesterolemia). b) Pengendalian aktivitas fisik. c) Batasi penggunaan alkohol terutama pasien hipertensi dan gagal jantung. d) Mengontrol dampak psikologis pasien terhadap penyakitnya. 2) Medikamentosa: a) Rekomendasi terapi farmakologis untuk memperbaiki prognosis pasien angina stabil: (1) Asetosal 80 mg sehari pada semua pasien tanpa kontraindikasi spesifik (mis: perdarahan aktif traktus gastro intestinal, alergi asetosal atau riwayat intoleransi asetosal sebelumnya).

10
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(2) Simvastatin 10 mg pada semua pasien PJK dan diberi dosis tinggi pada pasien risiko tinggi yang terbukti menderita PJK tanpa melihat hasil kolesterol. (3) Kaptopril 6,25 mg tiap 8 jam (dapat dititrasi hingga 50 mg tiap 8 jam) pada semua pasien dengan hipertensi, gagal jantung, disfungsi ventrikel kiri, riwayat infark sebelumnya dengan disfungsi ventrikel kiri atau diabetes. (4) Beta blocker (atenolol) oral pada pasien pasca infark atau dengan gagal jantung. Obat-obat tersebut harus dikonsumsi seumur hidup. b) Rekomendasi terapi farmakologis untuk memperbaiki gejala dan/atau mengurangi iskemik pasien angina stabil: (1) Nitrogliserin (isosorbid dinitrat tablet 5 mg) sublingual untuk mengurangi gejala akut dan profilaksis situasional. (2) Beta bloker dititrasi sampai dosis penuh. (3) Jika intoleransi terhadap beta blocker atau kurang efikasi, dianjurkan monoterapi dengan Calcium channel blocker (CCB). (4) Jika efek monoterapi beta blocker tidak memadai tambahkan CCB golongan dihidropiridin (amlodipin 5 mg). (5) Jika kontraindikasi terhadap beta blocker (misal asma) maka bisa diberikan CCB golongan nondihidropiridin (diltiazem 30 mg tiap 8 jam, dosis dapat dititrasi). f. KIE: 1) Tujuan penatalaksanaan: a) Memperbaiki prognosis dengan mencegah infark miokard akut dan kematian. b) Mengurangi atau menghilangkan gejala. 2) Pencegahan: a) Pengendalian aktivitas fisik jika pasien belum menjalani prosedur revaskularisasi (PCI). b) Pengendalian faktor risiko (stop merokok, hipertensi, diabetes, hiperkolesterolemia). c) Batasi penggunaan alkohol terutama pasien hipertensi dan gagal jantung. d) Mengontrol dampak psikologis pasien terhadap penyakitnya. 11

3) Alasan rujukan: Pasien dianjurkan kontrol ke rumah sakit untuk mendapatkan tatalaksana lebih lanjut seperti treadmill test, ekokardiografi atau kateterisasi jantung.

12
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

5. ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL (SINDROM KORONER AKUT: STEMI DAN NON STEMI) Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : ICD X : 120.0 a. Definisi Angina Pektoris Tidak Stabil yaitu bila ditemukan salah satu gejala seperti: 1) angina saat istirahat yang berlangsung > 20 menit yang tidak/kurang responsif terhadap pemberian nitrat organik, 2) angina yang pertama kali muncul, 3) angina yang meningkat dalam hal frekuensinya, durasinya, atau intensitasnya (atau pencetus yang lebih ringan) dibandingkan episode sebelumnya. Angina pektoris tidak stabil dapat merupakan gejala dari Sindrom Koroner Akut (SKA), yaitu sindrom klinis yang disebabkan karena proses pengurangan pasokan oksigen akut atau subakut dari miokard yang dipicu oleh adanya denudasi (robekan) plak aterosklerotik dan berkaitan dengan adanya proses inflamasi, trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi distal. Terdapat dua subset klinis SKA yaitu ST elevation myocardial infarction (STEMI) dan Non ST elevation myocardial infarction/unstable angina pectoris (Non STEMI/UAP). b. Penyebab Pecahnya plak aterosklerosis di dalam pembuluh darah koroner. c. Gambaran Klinis Berupa nyeri dada atau chest discomfort yang berlangsung secara mendadak atau cepat yang bertambah berat saat istirahat, tidak hilang dengan pemberian nitrat, atau saat aktivitas tidak berkurang dengan istirahat. Gejala ini disebut dengan Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS). d. Diagnosis 1) Presentasi Klinis Secara klasik, presentasi klinis SKA STEMI dan Non STEMI meliputi : a) Nyeri dada iskemik berupa nyeri dada yang terus-menerus (>20 menit) saat istirahat. b) Angina berat (CCS III-IV) yang timbul pertama kali. c) Angina pasca infark miokard. d) Angina progresif (bertambah sering dalam 24 jam)
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2) Pemeriksaan Fisik Hampir selalu normal, termasuk pemeriksaan thoraks, auskultasi dan pengukuran laju jantung serta tekanan darah. Tujuan pemeriksaan fisik ini untuk menyingkirkan penyebab nyeri dada nonkardiak, penyakit kardiak non iskemik (perikarditis, penyakit valvular), penyebab ekstra kardiak yang mencetuskan nyeri dada serta mencari tanda-tanda ketidakstabilan hemodinamik dan disfungsi ventrikel kiri. 3) EKG saat istirahat (jika ada alat EKG) a) STEMI: Elevasi segmen ST >1 mm pada 2 sadapan prekordial (V1-V6) atau ekstremitas (I, II, III, aVL, aVF) yang berdekatan (contagious lead), atau LBBB yang dianggap baru. b) Non- STEMI: Depresi segmen ST 0.5 mm (0.05 mV) yang persisten maupun transient elevasi segmen ST 0.5 mm (< 20 menit) serta inversi gel T 0.2 mV pada 2 sadapan yang berdekatan atau lebih. e. Penatalaksanaan 1) Tata laksana awal pada pasien dugaan SKA: a) Pemberian Oksigen nasal 2-4 L/mnt b) Pemberian asetosal tablet kunyah 160 mg c) ISDN 5 mg di bawah lidah (jika TD sistolik > 100 mmHg), dapat di ulang tiap 5 menit sampai 3 kali pemberian d) Mendapatkan akses intra vena sebelum dirujuk e) Merekam dan menganalisis EKG (dalam 10 menit), segera tentukan apakah EKG 12 lead menunjukkan STEMI atau NonSTEMI. f) Setelah penanganan awal maka segera dirujuk. 2) Tatalaksana lanjutan untuk SKA dengan STEMI: Jika onset < 12 jam, harus segera dirujuk ke RS yang mampu melakukan terapi reperfusi (fibrinolitik atau PCI primer). Jika onset > 12 jam segera dirujuk ke RS. 3) Tatalaksana lanjutan untuk SKA dengan Non-STEMI: Segera dirujuk ke RS untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut di ICCU/ICU.

13

14
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

f.

KIE 1) Tujuan penatalaksanaan adalah mencegah terjadinya komplikasi dan kematian serta meningkatkan harapan hidup. 2) Pencegahan terjadi serangan berikutnya: sesuai pada Bab Angina Pektoris Stabil. 3) Alasan rujukan: untuk dilakukan tindakan reperfusi (fibrinolitik atau PCI), dan perawatan di ruang intensif kardiovaskuler.

6. ANTRAKS Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A : 0504

ICD X : A22

a. Definisi Antraks merupakan penyakit pada binatang buas, maupun hewan piaraan, yaitu hewan-hewan pemamah biak (herbivora), seperti sapi, kerbau, kambing, domba, babi dan kuda. Penyakit ini ditularkan kepada manusia terutama pada orang yang pekerjaannya selalu berhubungan dengan/berdekatan dengan ternak seperti peternak, gembala, dokter hewan, petugas laboratorium, pekerja pabrik barang-barang kulit dan tulang. b. Penyebab Kuman antraks (Bacillus anthracis). c. Cara Penularan Penyakit ini ditularkan kepada manusia biasanya oleh karena masuknya spora atau basil antraks ke dalam tubuh melalui berbagai cara, yaitu melalui kulit yang lecet atau luka yang menyebabkan antraks kulit, melaui mulut karena makan bahan makanan yang tercemar, menyebabkan antraks intestinal (pencernaan), inhalasi saluran napas menyebabkan antraks pulmonal. Antraks peradangan otak (meningitis) umumnya adalah bentuk kelanjutan antraks kulit, intestinal atau pulmonal. Antraks pulmonal dan meningitis sangat jarang dilaporkan di Indonesia. Penularan terjadi dengan cara kontak langsung dengan hewan yang terjangkit penyakit tersebut, misalnya kontak dengan darah yang keluar dari lubang-lubang kumlah hewan mati karena antraks atau bahan-bahan yang berasal dari hewan yang tercemar oleh spora antraks, misalnya daging, jeroan, kulit, tepung, wool, dan sebagainya. Disamping itu, sumber penularan lainnya yang potensial ialah lingkungan, antara lain tanah, tanaman (sayur-sayuran) dan air yang tercemar oleh spora antraks. d. Gambaran Klinis 1) Gambaran Klinis Antraks Kulit a) Masa inkubasi 7 hari (rata-rata 1-7 hari) b) Gatal ditempat lesi c) Papel d) Vesikel

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

15

16
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e) Ulkus (tukak) di tengahnya terdapat jaringan nekrotik berbentuk keropeng berwarna hitam (tanda patognomonik antraks) dan biasanya didapatkan eritema dan edema di sekitar tukak. Pada perabaan, edema tersebut tidak lunak dan tidak lekuk (non-pitting) bila ditekan. Disini tidak didapatkan pus kecuali bila diikuti infeksi sekunder. f) Dapat terjadi pembesaran kelenjar getah bening regional. g) Demam yang sedang, sakit kepala, malaise jarang ada. h) Predileksi antraks kulit biasanya pada tempat-tempat terbuka, seperti muka, leher, lengan, tangan, dan kaki. i) Antraks kulit yang tidak diobati akan berkembang lebih buruk dengan penjalaran ke kelenjar limfe dan berlanjut ke aliran darah, sehingga mengakibatkan septikemia dan kemungkinan kematian 520%. j) Pemeriksaan bakteriologis dari eksudat di tempat lesi kulit didapatkan adanya basil yang pada sediaan hapus dan kultur positif. 2) Gambaran Klinis Antraks Intestinal a) Masa inkubasi bervariasi antara 25 hari b) Gejala awal: mual, tidak nafsu makan dan suhu tubuh meningkat c) Muntah d) Sakit perut hebat e) Konstipasi f) Dapat juga terjadi gastro-enteritis akut yang kadang-kadang berdarah, hematemesis, kelemahan umum, demam dan ada riwayat pemaparan dengan produk hewan atau makanan. g) Pemeriksaan bakteriologis dari spesimen feses didapatkan adanya basil yang pada sediaan hapus dan kultur positif. e. Diagnosis 1) Tersangka antraks kulit Apabila adanya kasus atau ledakan antraks pada hewan atau riwayat pemaparan dengan hewan /bahan asal hewan dan lingkungan yang tercemar oleh spora/basil antraks serta ditemukan kelainan pada kulit berupa tukak dengan jaringan mati berbentuk keropeng berwarna hitam di tengahnya (eskar), di sekitar tukak kemerahan, sembab, pada perabaan daerah yang sembab tersebut tidak lunak dan tidak lekuk dan biasanya tidak didapatkan pus kecuali diikuti infeksi sekunder. 17

2) Pasien antraks kulit (diagnosis pasti) Apabila pada tersangka antraks kulit sudah dipastikan diagnosisnya dengan pemeriksaan bakteriologis. 3) Tersangka antraks intestinal Apabila adanya kasus atau ledakan antraks pada hewan atau riwayat pemaparan dengan produk hewan atau makanan serta ditemukan adanya panas disertai sakit perut dan muntah. 4) Pasien antraks intestinal (diagnosis pasti) Apabila pada tersangka antraks kulit sudah dipastikan diagnosisnya dengan pemeriksaan bakteriologis. f. Penatalaksanaan 1) Obat pilihan (drug of choice) untuk pasien antraks kulit adalah penisilin. Prokain penisilin dengan dosis 1,2 juta UI i.m. tiap 12 jam selama 5 7 hari atau benzilpenisilin dengan dosis 250.000 UI tiap 6 jam. Sebelum pemberian penisilin lakukan skin test. Pasien yang hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin dengan dosis 500 mg tiap 6 jam selama 57 hari. Sebaiknya tidak diberikan pada anak dibawah umur 6 tahun. Obat pilihan lain ialah kloramfenikol. 2) Pada antraks intestinal dapat diberikan penisilin G injeksi 1,82,4 juta UI i.v. per hari, dapat ditambahkan tetrasiklin 1 g i.v per hari. 3) Obat-obat simtomatis dan suportif jika diperlukan. 4) Rujuk ke rumah sakit bila diperlukan.

g. KIE 1) Hindari kontak dengan sumber penularan. 2) Masyarakat diminta melaporkan ke puskesmas setempat bila ada tersangka antraks dan melaporkan ke Dinas Peternakan bila ada hewan yang sakit dengan gejala antraks. 3) Hewan yang mati akibat antraks harus dimusnahkan. Tidak diperbolehkan mengkonsumsi daging hewan yang sakit antraks. 4) Tidak diperbolehkan membuat barang-barang yang berasal dari hewan seperti kerajinan dari tanduk, kulit, bulu, tulang yang berasal dari hewan sakit/mati karena penyakit antraks. 5) Puskesmas wajib melaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota apabila menjumpai pasien/tersangka antraks.

18
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

7. ARTRITIS Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A : 90

ICD X : M05

(karena efusi pada sendi), kadang-kadang disertai tanda-tanda peradangan, perubahan bentuk/deformitas sendi yang permanen, Heberdens node (nodul/osteofit pada sendi DIP), Bouchards node (nodul/osteofit pada PIP). 2) Artritis Reumatoid a) Anamnesis Gejala pada awal onset: gejala prodromal (lelah, anoreksia, seluruh tubuh terasa lemah) yg berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Gejala spesifik pada beberapa sendi (poliartrikular) secara simetris, terutama sendi PIP (proximal interphalangeal), sendi MCP (metacarpophalangeal), pergelangan tangan, lutut, dan kaki. Gejala sinovitis pada sendi yang terkena: bengkak, nyeri yang diperburuk dengan gerakan sehingga gerakan menjadi terbatas, kekakuan pada pagi hari > 1 jam. Gejala ekstraartikular: mata (episkleritis), saluran napas atas (nyeri tenggorok, nyeri menelan atau disfonia yang terasa lebih berat pada pagi hari), kardiovaskular (nyeri dada pada perikarditis), hematologi (anemia), dsb. b) Pemeriksaan Fisik (1) Manifestasi artikular: pada lebih dari 3 sendi (poliartritis) terutama di sendi tangan, simetris, immobilisasi sendi, pemendekan otot seperti pada vertebra servikalis, gambaran deformitas sendi tangan (swan neck, boutonniere). (2) Manifestasi ekstraartikular: kulit (nodul rheumatoid pada daerah yg banyak menerima penekanan, vaskulitis), soft tissue rheumatism (carpal tunnel syndrome, frozen shoulder), mata (kerato-konjungtivitis sicca yang merupakan manifestasi sindrom Sjorgen, episkleritis/skleritis), sistem respiratorik (radang sendi krikoaritenoid, pneumonitis interstitial, efusi pleura, fibrosis paru luas), sistem kardiovaskuler (perikarditis konstriktif, disfungsi katup, fenomena embolisasi, gangguan konduksi, aortritis, kardiomiopati), hematologi (anemia akibat penyakit kronik). (3) Keluhan lain yang mirip dengan artritis adalah reumatism yang sebenarnya berasal dari jaringan lunak di luar sendi. Yang di kenal awam sebagai encok sebagian besar adalah reumatism.

a. Definisi Artritis adalah istilah umum bagi peradangan (inflamasi) dan pembengkakan di daerah persendian. OA (Osteoartritis) merupakan penyakit degeneratif yang mengenai rawan sendi. Penyakit ini ditandai oleh kehilangan rawan sendi progresif dan terbentuknya tulang baru pada trabekula subkondral dan tepi tulang (osteofit). RA (Rheumatoid Arthritis) atau Artritis Reumatoid, merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetris yang terutama mengenai jaringan persendian, namun sering juga melibatkan organ tubuh lainnya. Lebih banyak pada wanita dibanding pria. Umumnya usia antara 35-50 tahun. Faktor genetik, hormon seks, infeksi berpengaruh kuat pada morbiditas RA. b. Penyebab Artritis dapat berupa osteoartritis (OA) atau artritis reumatoid (AR), tetapi yang paling banyak dijumpai adalah osteoartritis. Pada OA faktor penyebab utama adalah trauma atau pengausan sendi, sedangkan pada AR faktor imunologi yang berperan. c. Gambaran Klinis 1) Osteoartritis a) Anamnesis Faktor risiko: umur (sering di atas 50 tahun), jenis kelamin (di atas usia 50 tahun wanita lebih banyak), suku bangsa (suku Indian dan orang-orang kulit putih), genetik, kegemukan, cedera sendi, olahraga, pekerjaan berat, kelainan pertumbuhan, tingginya kepadatan tulang. Keluhan: nyeri sendi (bertambah dengan gerakan, berkurang dengan istirahat), hambatan gerakan sendi, kaku pagi < 30 menit, krepitasi dan perubahan gaya berjalan. b) Pemeriksaan Fisik Hambatan gerak sendi, pembesaran sendi, krepitasi, perubahan gaya berjalan, pembengkakan sendi yang seringkali asimetris
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

19

20
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(4) Sendi yang terserang biasanya bengkak, merah dan nyeri. (5) Serangan AR biasanya dimulai dengan gejala prodromal berupa badan lemah, hilang nafsu makan, nyeri dan kaku seluruh badan. Gejala pada sendi biasanya timbul bertahap setelah beberapa minggu atau bulan. (6) Nyeri sendi pada AR bersifat hilang timbul, ada masa remisi, bersifat simetris bilateral, dan berhubungan dengan udara dingin. (7) Serangan OA biasanya sesisi. Gejala utamanya adalah nyeri sendi yang berhubungan dengan gerak. Pasien juga merasakan kaku pada sendi yang terserang. (8) Pada pemeriksaaan radiologi OA biasanya memperlihatkan pelebaran sendi pada tahap awal, osteofit, sklerosis tulang dan penyempitan rongga antar sendi pada tahap lanjut. (9) Deformitas dapat terjadi pada OA maupun AR setelah terjadi destruksi sendi. d. Diagnosis 1) Osteoartritis Kriteria diagnosis (ACR) a) Osteoartritis sendi lutut: (1) Nyeri lutut, dan (2) Salah satu dari 3 kriteria berikut: - Usia > 50 tahun - Kaku sendi < 30 menit - Krepitasi + osteofit b) Osteoartritis sendi tangan: (1) Nyeri tangan atau kaku, dan (2) Tiga dari 4 kriteria berikut: - Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih dari 10 sendi tangan tertentu (distal interphalanx DIP II dan III ki&ka, proximal interphalangeal PIP II dan III ki&ka, carpometacarpal CMC I ki&ka) - Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih sendi DIP - Pembengkakan pada < 3 sendi MCP - Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan tertentu c) Osteoartritis sendi pinggul:
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(1) Nyeri pinggul, dan (2) Minimal 2 dari 3 kriteria berikut: - LED < 20 mm/jam - Radiologi: terdapat osteofit pada femur atau asetabulum. Terdapat penyempitan celah sendi (superior, aksial, dan/atau medial) 2) Artritis Reumatoid Kriteria diagnosis berdasarkan ACR tahun 1987 (Tabel 1): a) Kaku pagi, sekurangnya 1 jam b) Artritis pada sekurangnya 3 sendi c) Artritis pada sendi pergelangan tangan, metacarpophalanx (MCP) dan Proximal Interphalanx (PIP) d) Artritis yang simetris e) Nodul reumatoid f) Faktor reumatoid serum positif g) Gambaran radiologik yang spesifik Untuk diagnosis AR, diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut di atas. Kriteria 1-4 harus minimal diderita selama 6 minggu. Tabel 1. Sistem Penilaian Klasifikasi Kriteria AR (American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism, 2010)
Skor Populasi target (pasien mana yang harus di-tes?): Minimal 1 sendi dengan keadaan klinis pasti sinovitis (bengkak)1 Dengan sinovitis yang tidak dapat dijelaskan oleh penyakit lain2 Kriteria Klasifikasi untuk RA (algoritma berdasarkan skor: tambahkan skor dari kategori A-D; dari total skor 10, jika didapatkan jumlah skor 6 definisi pasti RA)3 A. Keterlibatan sendi4 1 sendi besar5 2-10 sendi besar 1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar)6 4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) >10 sendi (min.1 sendi kecil)7 B. Serologi (min.1 hasil tes yang dibutuhkan untuk klasifikasi)8 RF (-) dan ACPA (-)

0 1 2 3 5 0

21

22
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

RF (+) rendah dan ACPA (+) rendah 2 RF (+) tinggi dan ACPA (+) tinggi 3 C. Reaktan fase akut (min.1 hasil tes yang dibutuhkan untuk klasifikasi)9 CRP normal dan LED normal 0 CRP tidak normal dan LED tidak normal 1 D. Durasi dari gejala10 < 6 minggu 0 6 minggu 1

e. Penatalaksanaan Keluhan pada sendi atau jaringan lunak di sekitarnya dapat di atasi dengan analgesik biasa atau dengan anti inflamasi nonsteroid yang diberikan sesudah makan. 1) Osteoartritis a) Edukasi b) Proteksi sendi, terutama pada stadium akut c) Modifikasi faktor risiko : turunkan berat badan, weight bearing daily activity d) Non-weight bearing exercise e) Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu diberikan ortosis f) Analgesik: (1) Analgesik sederhana: asetaminofen 2-4 g/hari (2) Obat antiinflamasi non-steroid, seperti: natrium diklofenak 2-3 x 25-50 mg, piroksikam. (3) Opioid ringan: kodein g) Steroid oral jangka pendek untuk OA dengan inflamasi (efusi) 2) Artritis Reumatoid a) Penyuluhan. b) Proteksi sendi, terutama pada stadium akut. c) Obat anti inlamasi non-steroid, seperti: diklofenak 50-100 mg 2x/hari, atau golongan steroid, seperti: prednison atau metil prednisolon dosis rendah (sebagai bridging therapy) d) Fisioterapi, tatalaksana okupasi, bila perlu dapat diberikan ortosis. f. KIE 1) Tujuan terapi: mengurangi rasa nyeri hingga dapat ditoleransi, menghindari komplikasi, mengurangi kejadian episode akut, meningkatkan kualitas hidup 23

2) Mengistirahatkan sendi diperlukan dalam keadaan akut. Selanjutnya pada OA, mungkin pasien perlu memperbaiki sikap tubuh, mengurangi berat badan, atau melakukan fisioterapi. 3) Efek samping pengobatan dengan AINS: nyeri ulu hati, mual, perdarahan saluran cerna. Bila timbul efek samping, pengobatan: ranitidin 150-300 mg tiap 12 jam. Bila terjadi perdarahan saluran cerna dan anemia akibat AINS segera dirujuk. 4) Alasan rujukan: untuk operasi perbaikan deformitas, pengobatan lebih lanjut.

24
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

8. ASMA BRONKIAL Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 1403

ICD X : J45

a. Definisi Penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai dengan obstruksi jalan napas yang dapat hilang dengan atau tanpa pengobatan akibat hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang melibatkan selsel dan elemen seluler terutama mastosit, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil dan epitel. b. Penyebab Menurut The Lung Association, ada dua faktor yang menjadi pencetus asma: 1) Pemicu (trigger) yang mengakibatkan terganggunya saluran napas dan mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran napas (bronkokonstriksi) tetapi tidak menyebabkan peradangan, seperti: a) Perubahan cuaca dan suhu udara. b) Rangsang sesuatu yang bersifat alergen, misalnya asap rokok, serbuk sari, debu, bulu binatang, asap, udara dingin dan olahraga, insektisida, debu, polusi udara dan hewan piaraan. c) Infeksi saluran napas. d) Gangguan emosi. e) Kerja fisik atau olahraga yang berlebihan. 2) Penyebab (inducer) yaitu sel mast di sepanjang bronki melepaskan bahan seperti histamin dan leukotrien sebagai respon terhadap benda asing (alergen), seperti serbuk sari, debu halus yang terdapat di dalam rumah atau bulu binatang, yang menyebabkan terjadinya kontraksi otot polos, peningkatan pembentukan lendir dan perpindahan sel darah putih tertentu ke bronki, yang mengakibatkan peradangan (inflamasi) pada saluran napas dimana hal ini akan memperkecil diameter dari saluran udara (disebut bronkokonstriksi). Penyempitan ini menyebabkan pasien harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernapas. c. Gambaran Klinis 1) Sesak napas pada asma khas disertai suara mengi akibat kesulitan ekspirasi. 2) Pada auskultasi terdengar wheezing dan ekspirasi memanjang. 25

3) Keadaan sesak hebat yang ditandai dengan giatnya otot-otot bantu pernapasan dan sianosis dikenal dengan status asmatikus yang dapat berakibat fatal. 4) Dispnoe di pagi hari dan sepanjang malam, sesudah latihan fisik atau saat cuaca dingin, berhubungan dengan infeksi saluran napas atas, berhubungan dengan paparan terhadap alergen seperti pollen dan bulu binatang. 5) Batuk yang panjang di pagi hari dan larut malam, berhubungan dengan faktor iritatif, batuknya bisa kering, tapi sering terdapat mukus bening yang diekskresikan dari saluran napas. d. Diagnosis 1) Anamnesis Episode berulang dari sesak napas disertai dengan mengi, batuk (terutama memburuk saat malam hari), rasa tertekan di dada. Riwayat atopi, riwayat keluarga dengan asma, pekerjaan, pajanan faktor pencetus sebelumnya: bulu hewan, debu, udara, tungau, infeksi saluran napas, penggunaan obat (penyekat beta, aspirin). 2) Pemeriksaan fisik Takipneu (bisa disertai sianosis pada serangan berat), ekspirasi memanjang, wheezing, hiperinflasi dada 3) Pemeriksaan penunjang Eosinofilia, IgE serum meningkat, spirometri. Foto toraks (pada saat serangan). 4) Kriteria Diagnosis Berdasarkan Global Initiative for Asthma (GINA) 2010, adanya tanda dan gejala berikut ini meningkatkan kemungkinan diagnosis asma, antara lain: a) Wheezing (suara napas mengi) b) Riwayat salah satu dari hal berikut : batuk yang bertambah terutama malam hari, mengi berulang, kesulitan bernapas yang berulang, keluhan dada terasa berat yang berulang. c) Gejala timbul atau memburuk pada malam hari sehingga pasien terbangun dari tidur d) Gejala timbul atau memburuk pada musim-musim tertentu

26
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e) Pasien memiliki riwayat ekzema atau riwayat keluarga dengan asma atau dermatitis atopi f) Gejala timbul atau memburuk dengan adanya : hewan berbulu, kimia erosol, perubahan temperatur, obat (aspirin, penyekat beta), latihan atau olahraga, serbuk, infeksi (virus) saluran napas, asap atau stress emosi g) Gejala berkurang dengan pemberian terapi anti-asma Penggolongan asma dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Penggolongan Asma Controlled Partly controlled asthma asthma Tidak ada ( 2 >2 kali / minggu Gejala harian kali/ minggu) Tidak ada Ada Keterbatasan aktivitas Tidak ada Ada Gejala malam hari Kebutuhan obat pelega Tidak ada ( 2 >2 kali / minggu kali/ minggu) (reliever) <80% predicted Fungsi faal paru (PEF Normal atau FEV) Karakteristik 5) Diagnosis Banding PPOK, gagal jantung 6) Pemeriksaan Lanjutan a) Laboratorium: jumlah eosinofil sputum, b) Skin prick test, c) Uji bronkodilator atas indikasi [peningkatan forced expiratory volume 1 (FEV1) 12% dan 200 ml setelah pemberian bronkodilator, peningkatan peak expiratory flow (PEF) 20% setelah pemberian bronkodilator], d) Uji provokasi bronkus atas indikasi, e) AGD (analisis gas darah) atas indikasi (pada serangan asma berat hasil AGD dapat PaCO2 45, hipoksemia, asidosis respiratorik)

e. Penatalaksanaan 1) Untuk anak: a) Asma ringan: Obat pereda beta agonis yaitu salbutamol secara inhalasi 2,5 mg/kali nebulisasi bisa diberikan tiap 4 jam, kemudian dikurangi sampai tiap 6-8 jam bila kondisi anak membaik, atau salbutamol oral (sirup atau tablet) dosis 0,05-0,1 mg/kgBB/kali tiap 6-8 jam, atau adrenalin 1:1000 subkutan 0,1 mg/kgBB dengan dosis maksimal 0,3 mL/kali. b) Asma serangan sedang: Obat seperti diatas ditambah dengan oksigen, cairan intravena, kortikosteroid oral seperti deksametason 0,3 mg/kgbb/kali 3 x sehari selama 3-5 hari. c) Asma serangan berat: Obat seperti diatas ditambah aminofilin secara inisial. Dosis awal 6 mg/kg dalam dekstrosa/NaCl 20 mL dalam 20-30 menit. Dosis rumatan aminofilin 0,5-1 mg/kgBB/jam. Kortikosteroid dapat diberikan secara intravena. Bila terjadi perbaikan klinis nebulisasi dapat diberikan selama 6 jam. 2) Untuk dewasa: a) Serangan akut: (1) Oksigen. (2) Pasien umur <40 tahun: adrenalin 1:1000 0,2 0,3 mL s.k. yang dapat diulangi 2 kali dengan interval 1015 menit. Jika serangan tidak reda, dilanjutkan dengan aminofilin bolus 240 mg dalam 10 mL, disuntikkan dengan sangat perlahan. Bila serangan tidak reda, ditambahkan deksametason 5 mg i.v./i.m. Dapat diikuti dengan aminofilin drip 240 mg dalam 500 mL dekstrosa 5% dengan tetesan 12 tetes/menit. Bila dalam 4 jam serangan belum reda maka perlu dirujuk. (3) Pasien umur >40 tahun: aminofilin 5-6 mg/kgBB i.v. kombinasi dengan deksametason 5 mg i.v./i.m., diikuti dengan aminofilin drip 240 mg dengan tetesan 12 tetes/menit. Bila setelah 4 jam serangan belum reda maka perlu dirujuk dan dinyatakan sebagai status asmatikus.

Uncontrolled asthma 3 gejala pada partly controlled asthma

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

27

28
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(4) Prednison dapat ditambahkan bila aminofilin belum dapat mengatasi serangan secara optimal. Diberikan beberapa hari saja untuk mencegah status asmatikus. b) Bila sudah membaik, maka pengobatan lanjutan dapat digunakan: Lini 1: salbutamol 2-4 mg tiap 8 jam kombinasi dengan aminofilin 100-150 mg per oral tiap 8 jam. Lini 2: efedrin 10-15 mg tiap 8 jam. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: untuk mengatasi dan pencegahan serangan asma 2) Efek samping: a) adrenalin: berdebar-debar, pada orang tua bisa menimbulkan aritmia. b) aminofilin: menimbulkan hipotensi, mual, muntah, sakit kepala. c) salbutamol dan efedrin: efek samping mirip adrenalin dalam derajat yang lebih ringan. d) prednison: moonface, iritasi lambung. 3) Pasien diharapkan: a) mengenali faktor pencetus serangan dan menghindarinya b) mengenali tanda-tanda serangan c) bila terdapat tanda-tanda akan serangan, segera minum obat salbutamol dan aminofilin. 4) Bila pasien sudah dalam kondisi normal, obat tidak diperlukan lagi, namun perlu siap sedia obat salbutamol dan aminofilin. 5) Terapi yang tidak direkomendasikan untuk mengatasi serangan asma : a) Sedatif (harus dihindari) b) Obat mukolitik (dapat memperburuk batuk) c) Fisioterapi / chest physical therapy (dapat meningkatkan ketidaknyamanan pasien) d) Hidrasi dengan jumlah cairan yang terlalu banyak e) Antibiotik (tidak mengobati serangan namun diindikasikan pada pasien dengan pneumonia atau infeksi bakteri seperti sinusitis) 6) Komplikasi PPOK, gagal jantung, pada keadaan eksaserbasi akut dapat menyebabkan gagal napas dan pneumotoraks.

9. BATU SALURAN KEMIH Kompetensi : 2 Laporan Penyakit : 16

ICD X : N23

a. Definisi Batu di dalam saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan aliran kemih atau infeksi. b. Penyebab Banyak faktor yang berpengaruh untuk timbulnya batu dalam saluran kemih, seperti kurang minum, gangguan metabolisme. c. Gambaran Klinis 1) Batu ini bisa terbentuk di dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih). Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis (litiasis renalis, nefrolitiasis). 2) Batu, terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala. Batu di saluran kemih sebelah atas menimbulkan kolik, sedangkan yang di bawah menghambat buang air kecil. 3) Batu yang menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis bisa menyebabkan nyeri punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat di daerah antara tulang rusuk dan tulang pinggang, yang menjalar ke perut juga daerah kemaluan dan paha sebelah dalam). 4) Gejala lainnya adalah mual dan muntah, perut menggelembung, demam, menggigil dan darah di dalam urin. Pasien mungkin menjadi sering buang air kecil, terutama ketika batu melewati ureter. 5) Urin sering merah seperti air cucian daging dan pemeriksaan mikroskopis memperlihatkan banyak eritrosit dan kadang ada leukosit. 6) Batu bisa menyebabkan infeksi saluran kemih. Jika batu menyumbat aliran kemih, bakteri akan terperangkap di dalam urin yang terkumpul diatas penyumbatan, sehingga terjadilah infeksi. 7) Jika penyumbatan ini berlangsung lama, urin akan mengalir balik ke saluran di dalam ginjal, menyebabkan penekanan yang akan menggelembungkan ginjal (hidronefrosis) dan pada akhirnya bisa terjadi kerusakan ginjal.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

29

30
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis 1) Batu yang tidak menimbulkan gejala, mungkin akan diketahui secara tidak sengaja pada pemeriksaan analisa urin rutin (urinalisis). 2) Batu yang menyebabkan nyeri biasanya didiagnosis berdasarkan gejala kolik renalis, disertai dengan adanya nyeri tekan di punggung dan selangkangan atau nyeri di daerah kemaluan tanpa penyebab yang jelas. 3) Analisa urin mikroskopik bisa menunjukkan adanya darah, nanah atau kristal batu yang kecil. Biasanya tidak perlu dilakukan pemeriksaan lainnya, kecuali jika nyeri menetap lebih dari beberapa jam atau diagnosisnya belum pasti. 4) Pemeriksaan tambahan yang bisa membantu menegakkan diagnosis adalah pengumpulan urin 24 jam dan pengambilan contoh darah untuk menilai kadar kalsium, sistin, asam urat dan bahan lainnya yang bisa menyebabkan terjadinya batu. e. Penatalaksanaan 1) Kolik diatasi dengan natrium diklofenak. 2) Rujuk segera untuk diagnosis pasti dan penatalaksanaan selanjutnya. 3) Batu kecil yang tidak menyebabkan gejala penyumbatan atau infeksi, biasanya tidak perlu diobati. f. KIE Pasien yang sudah terdiagnosis batu saluran kemih dianjurkan minum banyak air putih (minimal 3 liter sehari) untuk meningkatkan pembentukan urin dan membantu membuang beberapa batu. Jika batu telah terbuang, maka tidak perlu lagi dilakukan pengobatan segera.

10. BRONKITIS AKUT Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 1402

ICD X : J20

a. Definisi Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paruparu). Bronkitis akut sebenarnya merupakan bronko pneumonia yang lebih ringan. b. Penyebab Penyebabnya dapat virus, mikoplasma atau bakteri. c. Gambaran Klinis 1) Batuk berdahak, sesak napas ketika melakukan olah raga atau aktivitas ringan, sering menderita infeksi pernapasan (misalnya flu), bengek, lelah, pembengkakan pergelangan kaki, kaki dan tungkai kiri dan kanan, wajah, telapak tangan atau selaput lendir yang berwarna kemerahan, pipi tampak kemerahan, sakit kepala, gangguan penglihatan. 2) Bronkitis infeksiosa seringkali dimulai dengan gejala seperti pilek, yaitu hidung berlendir, lelah, menggigil, sakit punggung, sakit otot, demam ringan dan nyeri tenggorokan. 3) Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya batuk tidak berdahak, tetapi 12 hari kemudian akan mengeluarkan dahak berwarna putih atau kuning. Selanjutnya dahak akan bertambah banyak, berwarna kuning atau hijau. 4) Pada bronkitis berat, setelah sebagian besar gejala lainnya membaik, kadang terjadi demam tinggi selama 35 hari dan batuk bisa menetap selama beberapa minggu. 5) Sesak napas terjadi jika saluran udara tersumbat. 6) Sering ditemukan bunyi napas mengi, terutama setelah batuk. 7) Bisa terjadi pneumonia. d. Diagnosis 1) Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala, terutama dari adanya lendir. 2) Pada pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop akan terdengar bunyi ronki atau bunyi pernapasan yang abnormal.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

31

32
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan 1) Untuk mengurangi demam dan rasa tidak enak badan, bisa diberikan parasetamol 2) Antibiotik hanya diberikan kepada pasien bila gejalanya menunjukkan bahwa penyebabnya adalah infeksi bakteri (dahaknya berwarna kuning atau hijau dan demamnya tetap tinggi) dan pasien yang sebelumnya memiliki penyakit paru-paru. 3) Kepada pasien dewasa diberikan antibiotik seperti: a) amoksisilin 500 mg tiap 8 jam diberikan selama 5 hari b) eritromisin 250500 mg tiap 6 jam diberikan selama 5 hari. 4) Kepada pasien anak-anak diberikan amoksisilin 2050 mg/kgBB/hari atau eritromisin 4050 mg/kgBB/hari walaupun dicurigai penyebabnya adalah Mycoplasma pneumoniae. 5) Pada awal pengobatan dapat diberikan Obat Batuk Hitam (OBH). 6) Bila ada komplikasi pada pasien segera rujuk. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: untuk memperpendek perjalanan klinis penyakit. 2) Dianjurkan untuk beristirahat dan minum banyak cairan, serta menghentikan kebiasaan merokok. 3) Dari data diketahui penyebab tersering bronkhitis pada anak < 2 tahun adalah infeksi virus, sehingga tidak diperlukan pemberian antibiotik. 4) Segera berobat kembali apabila gejala bertambah berat. 5) Sebaiknya tidak menggunakan obat penekan batuk (antitusif).

11. DEMAM BERDARAH DENGUE Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : 0405

ICD X : A91

a. Definisi Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang ditandai dengan: 1) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terusmenerus selama 27 hari; 2) Manifestasi perdarahan (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis, ekimosis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji Tourniquet (Rumple Leede) positif; 3) Trombositopeni (jumlah trombosit 100.000/l); 4) Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit 20%); 5) Disertai dengan atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali). b. Penyebab Virus dengue yang sampai sekarang dikenal 4 serotipe (Dengue-1, Dengue2, Dengue-3 dan Dengue-4), termasuk dalam group B Arthropod Borne Virus (Arbovirus). Keempat serotipe virus ini telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh Dengue-2, Dengue-1 dan Dengue-4. c. Cara Penularan Penularan DBD umumnya melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti meskipun dapat juga ditularkan oleh Aedes albopictus yang biasanya hidup di kebunkebun. Nyamuk penular DBD ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut. d. Gambaran Klinis 1) Masa inkubasi Biasanya berkisar antara 47 hari. 2) Demam Pada awal penyakit terdapat tanda-tanda demam mendadak, dimana dalam 12 jam mencapai puncak, ada gejala kelainan saluran cerna

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

33

34
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

bagian atas seperti kembung, mual dan nyeri, pada pemeriksaan terdapat konjungtiva inferior hiperemis (trias dengue fever). Demam berlangsung 27 hari. Panas dapat turun pada hari ke-3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 atau ke-7 panas mendadak turun. 3) Tanda-tanda perdarahan Perdarahan ini terjadi di semua organ. Bentuk perdarahan dapat hanya berupa uji Tourniquet (Rumple Leede) positif atau dalam bentuk satu atau lebih manifestasi perdarahan sebagai berikut: petekie, purpura, ekimosis, perdarahan konjungtiva, epistaksis, pendarahan gusi, hematemesis, melena dan hematuri. Petekie sering sulit dibedakan dengan bekas gigitan nyamuk. Untuk membedakannya regangkan kulit, jika hilang maka bukan petekie. Uji Tourniquet positif sebagai tanda perdarahan ringan, dapat dinilai sebagai presumptif test (dugaan keras) oleh karena uji Tourniquet positif pada hari-hari pertama demam terdapat pada sebagian besar pasien DBD. Namun uji Tourniquet positif dapat juga dijumpai pada penyakit virus lain (campak, demam chikungunya), infeksi bakteri (Typhus abdominalis) dan lain-lain. Uji Tourniquet dinyatakan positif, jika terdapat 10 atau lebih petekie pada seluas 1 inci persegi (2,5 x 2,5 cm) di lengan bawah bagian depan (volar) dekat lipat siku (fossa cubiti). 4) Pembesaran hati (hepatomegali) Sifat pembesaran hati: a) Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit. b) Pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. c) Nyeri tekan sering ditemukan tanpa disertai ikterus. 5) Renjatan (syok) Tanda-tanda renjatan: a) Kulit teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari tangan dan kaki. b) Pasien menjadi gelisah. c) Sianosis di sekitar mulut. d) Nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba. e) Tekanan nadi menurun, sistolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang. Sebab renjatan: karena perdarahan, atau karena kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler yang terganggu. 35

6) Trombositopeni a) Jumlah trombosit 100.000/l biasanya ditemukan diantara hari ke 37 sakit. b) Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun. c) Pemeriksaan dilakukan pada saat pasien diduga menderita DBD, bila normal maka diulang tiap`hari sampai suhu turun. 7) Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) Peningkatan nilai hematokrit (Ht) yang menggambarkan hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD. Hal ini merupakan indikator yang peka terjadinya perembesan plasma, sehingga dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada umumnya penurunan trombosit mendahului peningkatan hematokrit. Hemokonsentrasi dengan peningkatan hematokrit 20% (misalnya 35% menjadi 42%: 20/100x35=7, 35+7=42), mencerminkan peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma. Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi oleh penggantian cairan atau perdarahan. Penurunan nilai hematokrit 20% setelah pemberian cairan yang adekuat, nilai Ht diasumsikan sesuai nilai setelah pemberian cairan. 8) Gejala klinik lain a) Gejala klinik lain yang dapat menyertai pasien DBD ialah nyeri otot, anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare atau konstipasi, dan kejang. b) Pada beberapa kasus terjadi hiperpireksia disertai kejang dan penurunan kesadaran sehingga sering di diagnosis sebagai ensefalitis. c) Keluhan sakit perut yang hebat sering kali timbul mendahului perdarahan gastrointestinal dan renjatan. e. Diagnosis 1) Tersangka Demam Berdarah Dengue Dinyatakan Tersangka Demam Berdarah Dengue apabila demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 27 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji Tourniquet positif) dan/atau trombositopenia (jumlah trombosit 100.000/l). 2) Pasien Demam Berdarah Dengue derajat 1 dan 2

36
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan atau dinyatakan sebagai pasien DBD apabila demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 27 hari disertai manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji Tourniquet positif), trombositopenia, dan hemokonsentrasi (diagnosis klinis), atau hasil pemeriksaan serologis pada Tersangka DBD menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan HI test, atau terjadi peninggian (positif) IgG saja atau IgM dan IgG pada pemeriksaan dengue rapid test (diagnosis laboratoris). f. Penatalaksanaan Diberikan obat simtomatik parasetamol jika suhu tubuh >38,5oC. 1) Penatalaksanaan demam berdarah dengue (pada anak) Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu: a) Adakah tanda kedaruratan, yaitu tanda syok (gelisah, napas cepat, bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab), muntah terusmenerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, feses darah, maka pasien perlu dirawat/dirujuk. b) Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji Tourniquet dan hitung trombosit. (1) Bila uji Tourniquet positif dan jumlah trombosit 100.000/l, pasien dirawat/dirujuk. (2) Bila uji Tourniquet negatif dengan trombosit >100.000/l atau normal, pasien boleh pulang dengan pesan untuk datang kembali tiap hari sampai suhu turun. Pasien dianjurkan minum banyak, seperti: air teh, susu, sirup, oralit, jus buah dan lainlain. Berikan obat antipiretik golongan parasetamol, jangan golongan salisilat. Apabila selama di rumah demam tidak turun pada hari sakit ketiga, evaluasi tanda klinis adakah tanda-tanda syok, yaitu anak menjadi gelisah, ujung kaki/tangan dingin, sakit perut, feses hitam, kencing berkurang; bila perlu periksa Hb, Ht dan trombosit. Apabila terdapat tanda syok atau terdapat peningkatan Ht dan/atau penurunan trombosit, segera rujuk ke rumah sakit. 2) Penatalaksanaan demam berdarah dengue (pada dewasa) Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht dan trombosit dalam batas nomal dapat dipulangkan dengan anjuran kembali kontrol dalam waktu 24 jam berikutnya atau bila keadaan
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

pasien memburuk agar segera kembali ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya. Sedangkan pada kasus yang meragukan indikasi rawatnya, maka untuk sementara pasien tetap diobservasi dengan anjuran minum yang banyak, serta diberikan infus Ringer Laktat sebanyak 500 mL dalam 4 jam. Setelah itu dilakukan pemeriksaan ulang Hb, Ht dan trombosit. Pasien dirujuk ke rumah sakit apabila didapatkan hasil sebagai berikut. a) Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit <100.000/L atau b) Hb, Ht yang meningkat dengan jumlah trombosit <150.000/L. 3) Penatalaksanaan pasien demam berdarah dengue dengan syok (DSS) a) Segera beri infus Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, 1020 mL/kgBB secepatnya (diberikan dalam bolus selama 30 menit) dan oksigen 24 L/menit. Untuk DSS berat (DBD derajat IV, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur) diberikan Ringer Laktat 20 mL/kgBB bersama koloid. Bila syok mulai teratasi jumlah cairan dikurangi menjadi 10 mL/kgBB/jam. b) Untuk pemantauan dan penanganan lebih lanjut, sebaiknya pasien dirujuk ke rumah sakit terdekat. g. KIE 1) Tujuan pengobatan : mencegah terjadinya syok. 2) Perhatikan saat suhu tubuh turun pada hari ke-3, ke-4, dan ke-5 (deverfescens), sebagai periode kritis untuk masuk ke dalam fase DSS atau masuk ke arah perbaikan (demam dengue biasa) 3) Pemberian cairan tidak boleh ragu, tetapi harus diperhitungkan dengan seksama. Perhatikan jumlah urin, jika 1 mL/menit menunjukkan cairan sudah cukup. 4) Usahakan tidak memberikan obat yang tidak diperlukan seperti antasida, antiemetik, dan lain-lain untuk mengurangi beban detoksikasi dalam hati. 5) Jika ditemukan kasus positif DBD, dokter diharapkan melaporkan ke Dinas Kesehatan setempat 1 X 24 jam untuk ditindaklanjuti dengan penelitian epidemiologi, dalam rangka memutus rantai penularan di lapangan dan untuk mewaspadai akan adanya kemungkinan kejadian luar biasa (KLB).

37

38
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

6) Lakukan edukasi seksama program PSN-3M (Pemberantasan Sarang Nyamuk dengan Menguras, Menutup, Mengubur) di tempat-tempat penampungan air secara teratur 1 minggu sekali. 7) Selain itu ditambahkan cara lain dengan Program 3M Plus sesuai Pedoman Program Demam Berdarah.

12. DEMAM REMATIK Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : -

ICD X : I00-I02

a. Definisi Demam rematik merupakan sindrom klinik akibat infeksi akut tenggorok oleh suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat akut, subakut, kronik atau fulminan dan dapat terjadi setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A yang terjadi 15 minggu sebelumnya pada saluran napas bagian atas. Pada dasarnya penyakit ini merupakan respon imun yang menyebabkan kelainan menetap di jantung (penyakit jantung reumatik) dan kelainan berpulih (reversibel) di sendi, kulit dan organ lainnya. b. Penyebab Interaksi antigen-antibodi 1014 hari setelah infeksi Streptococcus pyogenes. c. Gambaran Klinis 1) Kriteria Mayor a) Karditis b) Poliartritis migrans (berpindah-pindah) c) Chorea secara khas ditandai oleh adanya gerakan tidak disadari dan tidak bertujuan yang berlangsung cepat dan umumnya bersifat bilateral, meskipun dapat juga hanya mengenai satu sisi tubuh dan tidak terkendali. d) Eritema marginatum (tanda mayor demam rematik ini hanya ditemukan pada kasus yang berat). e) Nodulus subkutan (tanda ini pada umumnya tidak akan ditemukan jika tidak terdapat karditis). 2) Kriteria Minor a) Demam b) Riwayat demam rematik c) Artralgia/nyeri sendi d) Peninggian LED e) Peningkatan CRP serum atau lekositosis f) Interval P-R yang memanjang pada EKG

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

39

40
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Selain itu, bukti adanya infeksi Streptococcus sebelumnya (peningkatan titer AST, kultur Streptococcus tenggorokan positif, baru saja menderita skarlatina). Ekokardiografi berguna dalam diagnosis perikarditis dan penyakit katup (tak perlu untuk Diagnosis primer). e. Penatalaksanaan 1) Lakukan pengobatan awal. 2) Eradikasi kuman secepatnya dilakukan segera setelah diagnosis demam rematik dapat ditegakkan. Obat pilihan pertama adalah: a) penisilin prokain 600.0001,2 juta UI i.m. atau penisilin V 500 mg tiap 8 jam selama 10 hari b) eritromisin 2 g/hari selama 10 hari bila pasien tidak tahan terhadap penisilin. c) Pada anak dosis penisilin prokain adalah 50.000 IU/kgBB/ hari, dan eritromisin 125250 mg tiap 6 jam. 3) Pemberian obat antiradang pada demam rematik dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3. Pemberian obat antiradang pada demam rematik Manifestasi Dosis Obat Pengobatan Artritis, dan/atau karditis tanpa kardiomegali Karditis dengan kardiomegali atau gagal jantung Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, kemudian diturunkan menjadi 75 mg/kgBB/hari selama 46 minggu. Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, kemudian diturunkan 1 mg/kgBB/hari sampai habis selama 2 minggu, ditambah dengan salisilat 75 mg/kgBB/hari mulai minggu ke-3 selama 6 minggu. f. 5) 6)

7)

8)

a) Pasien tanpa karditis dalam serangan pertama harus diberikan profilaksis minimum 5 tahun setelah serangan hingga minimum usia 18 tahun. b) Pasien dengan karditis pada serangan pertama, harus diberikan profilaksis hingga usia 25 tahun. c) Pasien yang menderita penyakit katup jantung rematik kronik, diberikan profilaksis jangka waktu lama hingga seumur hidup pada beberapa kasus. Profilaksis tetap diteruskan jika pasien hamil. Antibiotik profilaksis: a) Benzatin benzilpenisilin (1) Injeksi 1,44 g (=2,4 juta UI) (dalam 5 mL vial) (2) anak <30 kg : 600.000 UI i.m. tiap 34 minggu (3) anak dan dewasa >30 kg : 1,2 juta UI i.m tiap 34 minggu b) Fenoksimetilpenisilin (1) Tablet 250 mg (bentuk garam) (2) Suspensi oral 250 mg (bentuk garam, dalam tiap 5 ml) (3) Anak < 2 tahun: 125 mg per oral tiap 12 jam (4) Dewasa: 250 mg per oral tiap 12 jam Jika alergi terhadap penisilin dapat diberikan: Eritromisin a) Kapsul atau tablet 250 mg (stearat atau etil suksinat) b) Suspensi oral 125 mg (stearat atau etil suksinat) Semua pasien demam rematik harus dirujuk ke rumah sakit.

KIE 1) Tujuan pengobatan: mencegah demam rematik berlanjut menjadi penyakit jantung rematik. 2) Efek samping: a) adrenalin, deksametason: hati-hati terhadap syok anafilaktik dan mempersiapkan perangkat anti syok anafilaktik. b) Efek samping yang mungkin timbul akibat pengobatan prednison antara lain moonface, hipertensi, mudah terkena infeksi, hiperglikemia, striae, osteoporosis dan iritasi lambung.

4) Pasien yang pernah menderita demam rematik, dengan atau tanpa adanya penyakit jantung rematik, sangat dianjurkan diberikan antibiotik profilaksis (secondary prophylaxis) untuk mencegah infeksi ulang saluran napas oleh streptococcus group A.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

41

42
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

13. DERMATITIS Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 2002

ICD X : L20-L30

a. Definisi Dermatitis adalah peradangan kulit dengan gejala subjektif gatal dan ditandai dengan kelainan kulit polimorfik berbatas tidak tegas. Dermatitis Atopik adalah peradangan kulit kronik dan residif yang sering terjadi pada bayi dan anak, disertai gatal dan berhubungan dengan atopi. Atopi adalah istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat kepekaan dalam keluarganya, misalnya: asma bronkiale, rinitis alergi, dermatitis atopik dan konjungtivitis alergi. b. Penyebab Umumnya tidak diketahui. c. Gambaran Klinis 1) Pada wajah, kulit kepala, daerah yang tertutup popok, tangan, lengan, kaki atau tungkai bayi terbentuk ruam berkeropeng yang berwarna merah dan berair. 2) Dermatitis seringkali menghilang pada usia 34 tahun, meskipun biasanya akan muncul kembali. 3) Pada anak-anak dan dewasa, ruam seringkali muncul dan kambuh kembali hanya pada 1 atau beberapa daerah, terutama lengan atas, sikut bagian depan atau di belakang lutut. 4) Warna, intensitas dan lokasi dari ruam bervariasi, tetapi selalu menimbulkan gatal-gatal. d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala, hasil pemeriksaan fisik dan riwayat penyakit alergi pada keluarga pasien. e. Penatalaksanaan 1) Sistemik a) Antihistamin klasik sedatif (misalnya klorfeniramin maleat) untuk mengurangi gatal. b) Bila terdapat infeksi sekunder dapat ditambahkan antibiotik sistemik atau topikal.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2) Topikal a) Bila lesi akut/eksudatif: kompres 23 x sehari, 12 jam dengan larutan NaCl 0,9%. b) Krim kortikosteroid potensi sedang/rendah, 12 kali sehari sesudah mandi, sesuai dengan keadaan lesi. Bila sudah membaik dapat diganti dengan potensi yang lebih rendah. c) Kortikosteroid potensi rendah: hidrokortison krim 2,5%. d) Kortikosteroid potensi sedang: betametason krim 0,1%. e) Pada kulit kering dapat diberikan emolien/pelembab segera sesudah mandi. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: penanganan keluhan subyektif dan obyektif serta pencegahan rekurensi. 2) Penjelasan/penyuluhan kepada orang tua pasien: a) Penyakit bersifat kronik berulang dan penyembuhan sempurna jarang terjadi sehingga pengobatan ditujukan untuk mengurangi gatal dan mengatasi kelainan kulit. b) Selain obat perlu dilakukan usaha lain untuk mencegah kekambuhan: (1) Jaga kebersihan, gunakan sabun lunak misalnya sabun bayi (2) Pakaian sebaiknya tipis, ringan, mudah menyerap keringat (3) Udara dan lingkungan cukup berventilasi dan sejuk. (4) Hindari faktor-faktor pencetus, misalnya: iritan, debu, dan sebagainya.

43

44
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

14. DERMATOMIKOSIS Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 2001

ICD X : B36.9

a. Definisi Dermatomikosis merupakan penyakit jamur pada kulit yang secara medis disebut juga dengan mikosis superfisialis (bagian permukaan kulit). Sedangkan dari berbagai jenis dermatomikosis yang sering mengenai manusia, dikenal dengan kelompok dermatofitosis yang di Indonesia dikenal dengan kurap/kadas. Sedangkan panu masuk dalam kategori dermatomikosis yang nondermatofitosis. b. Penyebab Kontak langsung dengan sumber penularan. 1) Paparan terhadap jamur sering terjadi. 2) Faktor genetik memainkan peran dalam tingkat penularan mikosis kuku dan kaki. 3) Mikosis pada hewan (misal: sapi, marmut, kucing) menyebar dengan mudah pada manusia dan menyebabkan tinea pada ekstremitas, badan dan wajah. c. Gambaran Klinis 1) Tinea kutaneus biasanya mempunyai tepi berskuama, eritematus dan meninggi, berbentuk lingkaran (cincin) dan gatal. 2) Pada panu, muncul bercak bersisik halus yang berwarna putih hingga kecokelatan bisa pada daerah mana saja di badan termasuk leher dan lengan. Biasanya menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala yang berambut. 3) Infeksi jamur kulit ini biasanya juga menyerang kaum wanita; mengenai kulit dan vagina. Jamur dapat menginfeksi lebih dari satu kali. Dengan ditandai antara lain: adanya duh, putih, dadih seperti kotoran, peradangan pada kulit sekitar vagina, serta sakit selama buang air kecil atau sewaktu hubungan seksual. d. Diagnosis Gambaran spesifik infeksi jamur pada kulit. Dengan cara pemeriksaan mikroskopis dari bahan kerokan kulit yang terserang.

e. Penatalaksanaan 1) Tinea (dermatofitosis) biasanya diterapi dengan obat topikal. 2) Griseofulvin tablet hanya efektif pada dermatofit. 3) Nistatin hanya efektif pada kandida. 4) Mikonazol topikal efektif untuk dermatofita dan kandida. 5) Dermatofitosis a) Sistemik (diberikan bila lesi luas) Griseofulvin micronized 5001000 mg sehari selama 26 minggu b) Topikal Kombinasi asam salisilat 3% dengan asam benzoat 6%. f. KIE 1) Tujuan pengobatan adalah eradikasi dan pemutusan rantai penularan. 2) Efek samping griseofulvin: dapat menimbulkan sakit kepala dan fotosensitivitas. 3) Pencegahan: menjaga kebersihan dan menghindari sumber penularan.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

45

46
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

15. DIABETES MELITUS Kompetensi : 3A;4 Laporan Penyakit : 55-59

ICD X : E10-E14

2) Keluhan lainnya, berupa: kesemutan, gatal di daerah alat kelamin, keputihan, infeksi sulit sembuh, bisul yang hilang timbul, penglihatan kabur, cepat lelah dan mudah mengantuk. d. Diagnosis Berdasarkan gejala diabetes dengan 3P (polifagia, poliuria, polidipsia). Diagnosis dapat dipastikan dengan reduksi urin dan penentuan kadar gula darah. 1) Bila kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dL 2) Glukosa darah puasa >126 mg/dL 3) Pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) didapatkan hasil pemeriksaan kadar gula darah 2 jam >200 mg/dL sesudah pemberian glukosa 75 g. e. Penatalaksanaan Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus: 1) Edukasi a) Pengertian Diabetes Melitus b) Perencanaan makanan c) Bentuk aktivitas fisik yang dianjurkan d) Pemeliharaan kaki e) DM di bulan Ramadhan f) Obat untuk mengendalikan kadar gula darah g) Pemantauan gula darah h) Komplikasi DM 2) Terapi gizi medis Perencanaan Makanan: sebaiknya melakukan rujukan untuk mendapatkan perencanaan makan yang sesuai dengan kebutuhan pasien. a) Makanan dianjurkan seimbang dengan komposisi energi dari karbohidrat 45-65%, protein 10-15% dan lemak 20-25%. b) Prinsip: (1) Anjuran makan seimbang seperti makan sehat pada umumnya (2) Tidak ada makanan yang dilarang, hanya dibatasi sesuai kebutuhan kalori (tidak berlebih) (3) Menu sama dengan menu keluarga (4) Teratur dalam jadwal, jumlah dan jenis makanan.

a. Definisi Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit gangguan metabolik menahun yang ditandai oleh kadar gula darah yang melebihi nilai normal (hiperglikemia) karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan klasifikasi etiologis DM yaitu: 1) Diabetes Melitus tipe 1 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat destruksi (kerusakan) sel beta pankreas karena suatu sebab tertentu yang menyebabkan produksi insulin tidak ada sama sekali sehingga pasien sangat memerlukan tambahan insulin dari luar. 2) Diabetes Melitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau fungsi insulin (resistensi insulin). 3) Diabetes Melitus tipe lain adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah akibat defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM. 4) Diabetes Melitus tipe Gestasional adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula darah yang terjadi pada wanita hamil, biasanya terjadi pada usia 24 minggu masa kehamilan, dan setelah melahirkan kadar gula darah kembali normal. b. Penyebab Kekurangan hormon insulin, yang berfungsi memanfaatkan glukosa sebagai sumber energi dan mensintesa lemak. Insufisiensi fungsi insulin yang disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin. c. Gambaran Klinis 1) Keluhan Klasik, berupa: sering kencing, cepat lapar, sering haus dan berat badan menurun cepat tanpa penyebab yang jelas. 47
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

48
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Dapat dilihat dalam Pedoman Program Pengendalian Diabetes Mellitus dan Penyakit Metabolik. 3) Aktivitas fisik/latihan jasmani Aktivitas fisik seperti berjalan kaki ke pasar, berkebun, menggunakan tangga, dan lain-lain. Latihan jasmani seperti: bersepeda santai, berjalan kaki, jogging dan berenang. Dilakukan 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30-60 menit. Hal-hal yang perlu diperhatikan: a) Hal yang dapat memperburuk gangguan metabolik orang dengan diabetes: (1) Beratnya penyakit dan komplikasinya (penyakit jantung, koroner, hipertensi, gangguan penglihatan, gangguan fungsi ginjal dan hati, kelainan kaki). (2) Kadar gula darah >250 mg%, jangan lakukan latihan berat (misalnya: latihan beban, olah raga kontak tinju dan lain-lain, bulu tangkis, sepak bola, dan olah raga permainan yang lain). (3) Berlatih pada suhu terlalu panas/dingin. b) Gangguan pada kaki: (1) Kenakan sepatu yang sesuai (2) Kaki diusahakan agar selalu bersih dan kering (3) Periksa kedua kaki tiap sebelum dan sesudah latihan c) Cedera muskuloskeletal: (1) Pilih olah raga yang sesuai dan tepat (2) Tingkatkan intensitas latihan sedikit demi sedikit dan bertahap (3) Lakukan pemanasan dan pendinginan (4) Hindari olah raga berat dan berlebihan. d) Berlatihlah bersama keluarga, teman atau tetangga dalam suatu kelompok untuk menjaga agar dorongan untuk berolah raga selalu tinggi. 4) Pengobatan Apabila kadar gula darah belum mencapai sasaran, diberikan obat hipoglikemik oral (OHO), secara tunggal atau kombinasi. Pemberian OHO untuk pengobatan jangka pendek dan jangka panjang dapat dilakukan di Puskesmas. 49

a) Diabetes Melitus tipe 2: (1) Lini 1: Biguanid yaitu metformin, 500 mg tiap 8-24 jam bersama atau sesudah makan (2) Lini 2: Sulfonilurea yaitu glibenklamid, dimulai dengan dosis 2,5 mg tiap 12-24 jam sebelum makan. lalu dinaikkan secara bertahap, maksimal 10 mg/hari. (3) Lini 3: Kombinasi metformin dan glibenklamid, diberikan secara bertahap. (4) Lini 4: insulin b) Diabetes Melitus tipe 1: Selalu dengan insulin, tidak dianjurkan diberikan OHO. (1) Insulin kerja cepat (rapid) (2) Insullin kerja pendek (short acting) (3) Insulin kerja menengah (intermediate) (4) Insulin kerja panjang (long acting) f. Pengendalian DM Keberhasilan terapi DM dapat menggunakan kriteria kendali DM yang telah dikeluarkan oleh PERKENI (Tabel 4). Tabel 4. Pengendalian DM Baik
Glukosa darah puasa (mg/dL) Glukosa darah 2 jam (mg/dL) A1C (%) Kolesterol Total (mg/dL) Kolesterol LDL (mg/dL) Kolesterol HDL (mg/dL) Trigliserida (mg/dL) IMT (kg/m2) Tekanan darah (mmHg) 80<100 80-144 <6,5 <200 <100 Pria: >40 Wanita: >50 <150 18,5-<2,3 <140/80

Sedang
100-125 145-179 6,5-8 200-239 100-129

Buruk
>126 >180 >8 >240 >130

150-199 23-25 >130-140/ >80-90

>200 >25 >140/90

Keterangan: Angka diatas adalah hasil pemeriksaan plasma vena. Perlu konversi nilai kadar glukosa darah dari darah kapiler darah utuh ke plasma vena.

50
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

g. KIE Lihat pilar penatalaksanaan 1) Tujuan pengobatan: a) Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM dan tercapainya target pengendalian gula darah. b) Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM c) Selain itu perlu juga mengendalikan tekanan darah, berat badan dan profil lipid. 2) Memberikan informasi perilaku sehat bagi penyandang diabetes yaitu: a) Mengikuti pola makan sehat b) Meningkatkan kegiatan jasmani c) Menggunakan obat diabetes secara teratur d) Melakukan perawatan kaki secara berkala e) Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi kedaan sakit akut dengan tepat f) Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada 3) Efek samping obat: a) Glibenklamid: hipoglikemia, hati-hati pada pasien usia lanjut, berat badan naik; b) Metformin: mual, muntah (dyspepsia), diare; c) Insulin: berat badan naik, hipoglikemia. 4) Penanganan hipoglikemia: a) Jika ada tandatanda hipoglikemia berupa kaki dan tangan terasa dingin, sakit kepala, keringat dingin, gemetaran, segera diajarkan minum air gula atau makan kemudian laporkan pada dokter. Pada hipoglikemia berat dimana kesadaran menurun sampai koma: b) Hipoglikemi pada dewasa: segera berikan dekstrosa (glukosa) 40% i.v. 2550 mL, terus menerus sampai pasien sadar. Diikuti dengan infus glukosa 10% 500 mL dalam 6 jam, kemudian gula darah diperiksa tiap 1 jam sampai 2 X berturut-turut sampai kadar gula darah di atas 100 mg/dL. Atau setelah pasien sadar langsung dirujuk. c) Hipoglikemi pada anak : diberikan dekstrosa 10% sebanyak 2-5 mL/kgBB. Jika digunakan dekstrosa 20% maka diberikan dengan
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

dosis 1-2,5 mL/kgBB, kemudian gula darah diperiksa tiap 1 jam sampai 2x berturut-turut sampai kadar gula darah di atas 100 mg/dL. Atau setelah pasien sadar langsung dirujuk. 5) Pencegahan: a) Pencegahan Primer: mencegah timbulnya penyakit DM pada populasi berisiko dengan mengendalikan faktor risiko diabetes dengan melakukan gaya hidup sehat, dengan menekankan kepatuhan. b) Pencegahan Sekunder: mencegah dan menghambat progresivitas komplikasi dengan melakukan rujukan untuk melakukan : (1) Pemeriksaan A1C tiap 3-6 bulan (2) Pemeriksaan mikroalbuminuria, kreatinin, albumin/globulin dan ALT, kolesterol (total, LDL, HDL dan trigliserida), EKG, foto sinar-X dada, funduskopi tiap 1 (satu) tahun. (3) Pemeriksaan ankle brachial index, yaitu membandingkan tekanan darah sistolik pada arteri dorsalis atau arteri tibialis posterior terhadap tekanan darah sistolik pada arteri brachialis. Jika nilai <0,9 menunjukkan kecenderungan penyakit arteri perifer. 6) Deteksi dini pada kelompok masyarakat berisiko: a) usia >45 tahun b) ada riwayat keluarga DM c) riwayat pernah menderita diabetes gestasional d) riwayat berat badan lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2500 g. e) kegemukan (IMT >23 kg/m2) dan lingkar pinggang laki-laki 90 cm, perempuan 80cm f) kurangnya aktivitas fisik g) diet tidak sehat, dengan tinggi gula dan rendah serat h) hipertensi, tekanan darah diatas 140/90 mmHg i) riwayat dislipidemia, kadar lipid (Kolesterol HDL 35 mg/dL dan atau Trigliserida 250 mg/dL) j) memiliki riwayat penyakit kardiovaskular.

51

52
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

16. DIARE AKUT NON SPESIFIK Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 0102

ICD X : A09

a. Definisi Diare adalah keadaan buang-buang air dengan banyak cairan dan merupakan gejala dari penyakit-penyakit tertentu atau gangguan lain. Diare akut adalah buang air besar lembek/cair konsistensinya encer, lebih sering dari biasanya disertai berlendir, bau amis, berbusa bahkan dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya dan berlangsung kurang dari 7 hari. Diare nonspesifik adalah diare yang bukan disebabkan oleh kuman khusus maupun parasit. b. Penyebab Penyebabnya adalah virus, makanan yang merangsang atau yang tercemar toksin, gangguan pencernaan dan sebagainya. c. Gambaran Klinis 1) Demam yang sering menyertai penyakit ini memperberat dehidrasi. Gejala dehidrasi tidak akan terlihat sampai kehilangan cairan mencapai 45% berat badan. 2) Gejala dan tanda dehidrasi antara lain: a) rasa haus, mulut dan bibir kering b) menurunnya turgor kulit c) menurunnya berat badan, hipotensi, lemah otot d) sesak napas, gelisah e) mata cekung, air mata tidak ada f) ubun-ubun besar cekung pada bayi g) oliguria kemudian anuria h) menurunnya kesadaran, mengantuk. 3) Bila kekurangan cairan mencapai 10% atau lebih pasien jatuh ke dalam dehidrasi berat dan bila berlanjut dapat terjadi syok dan kematian. d. Diagnosis Ditentukan dari gejala buang air besar berulang kali lebih sering dari biasanya dengan konsistensinya yang lembek dan cair.

e. Penatalaksanaan WHO telah menetapkan 4 unsur utama dalam penanggulangan diare akut yaitu: 1) Pemberian cairan, berupa upaya rehidrasi oral (URO) untuk mencegah maupun mengobati dehidrasi. 2) Melanjutkan pemberian makanan seperti biasa, terutama ASI, selama diare dan dalam masa penyembuhan. 3) Tidak menggunakan antidiare, sementara antibiotik maupun antimikroba hanya untuk kasus tersangka kolera, disentri, atau terbukti giardiasis atau amubiasis. 4) Pemberian petunjuk yang efektif bagi ibu dan anak serta keluarganya tentang upaya rehidrasi oral di rumah, tanda-tanda untuk merujuk dan cara mencegah diare di masa yang akan datang. Dasar pengobatan diare akut adalah rehidrasi dan memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit. Oleh karena itu langkah pertama adalah tentukan derajat dehidrasi (Tabel 5). Tabel 5. Derajat dehidrasi
Gejala Derajat Dehidrasi Minimal (< 3% dari berat badan) Baik, sadar penuh Minum normal, mungkin menolak minum Normal Normal Normal Normal Ada Basah Baik Normal Hangat Normal menurun Ringan sampai sedang (3-9% dari berat badan) Normal, lemas, atau gelisah, iritabel Sangat haus, sangat ingin minum Normal sampai meningkat Normal sampai menurun Normal cepat Sedikit cekung Menurun Kering < 2 detik Memanjang Dingin Menurun Berat (> 9% dari berat badan) Apatis, letargi, tidak sadar Tidak dapat minum

Status mental Rasa haus

Denyut jantung Kualitas denyut nadi Pernapasan Mata Air mata Mulut dan lidah Turgor kulit Isian kapiler Ekstremitas Output urin

sampai

Takikardi, pada kasus berat bradikardi Lemah atau tidak teraba Dalam Sangat cekung Tidak ada Pecah-pecah > 2 detik Memanjang, minimal Dingin Minimal

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

53

54
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Menghitung kebutuhan cairan dengan skoring Daldiyono (1970) (Tabel 6): Tabel 6. Skor Penilaian Klinis Dehidrasi Klinis Rasa hasus/ muntah Tekanan Darah sistolik 60 -90 mmHg Tekanan darah sistolik <60 mmHg Frekuensi nadi > 120 x/menit Kesadaran apati Kesadaran somnolen, spoor atau koma Frekuensi napas > 30x/ menit Facies Cholerica Vox Cholerica Turgor kulit menurun Washer womans hand Ekstremitas dingin Sianosis Umur 50 60 tahun Umur > 60 tahun Skor 1 1 2 1 1 2 1 2 2 1 1 1 2 -1 -2

b) Jika anak muntah (karena pemberian cairan terlalu cepat), tunggu 5-10 menit lalu ulangi lagi, dengan pemberian lebih lambat (1 sendok tiap 2-3 menit). 3) Pada pasien diare dengan dehidrasi berat (Terapi C): a) Diberikan Ringer Laktat 100 mL yang terbagi dalam beberapa waktu. b) Tiap 1-2 jam pasien diperiksa ulang, jika hidrasi tidak membaik tetesan dipercepat. Setelah 6 jam (bayi) atau 3 jam (pasien lebih tua) pasien kembali di periksa (Tabel 7). Tabel 7. Pemberian Cairan Untuk Bayi Diare Dengan Dehidrasi Berat
Umur Bayi <12 bulan Bayi/anak > 12 bulan Pemberian pertama 30 mL/kg dalam 1 jam dalam 30 menit Pemberian kemudian 70 mL/kg dalam 5 jam 2,5 jam

Kebutuhan cairan = Skor X 10% X kgBB X 1 liter 15 Bila skor <3 dan tidak ada syok, atau dehidrasi ringan/sedang maka hanya diberikan cairan per oral. Bila skor >3 dan disertai syok atau dehidrasi sedang/ berat, diberikan cairan intravena. 1) Pada pasien diare tanpa dehidrasi (Terapi A): a) Berikan cairan (air tajin, larutan gula garam, oralit) sebanyak yang diinginkan hingga diare stop, sebagai petunjuk berikan tiap habis BAB: (1) Anak <1 thn : 50 100 mL (2) Anak 1 4 thn : 100200 mL. (3) Anak >5 tahun : 200300 mL (4) Dewasa : 300400 mL b) Meneruskan pemberian makanan atau ASI bagi bayi. 2) Pada pasien diare dengan dehidrasi ringansedang (Terapi B): a) Oralit diberikan 75 mL/kgBB dalam 3 jam, jangan dengan botol.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Sebagai terapi penunjang pada anak diberikan preparat Zinc (Zn) elementer: 1) Bayi <6 bulan: 10 mg sekali sehari selama 10 hari berturut-turut 2) Bayi/anak >6 bulan: 20 mg sekali sehari selama 10 hari berturut-turut. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: mengatasi dehidrasi dan mencegah dehidrasi berlanjut. 2) Pencegahan: kebersihan (higiene) lingkungan. 3) Alasan rujukan: dehidrasi berat atau bila pemberian asupan makanan tidak berhasil. 4) Peringatan/perhatian: pemberian Zn tidak dimaksudkan sebagai pengganti oralit.

55

56
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

17. DIFTERI Kompetensi Laporan Penyakit

: 3B : 0303

ICD X : A36

a. Definisi Difteri adalah suatu infeksi akut pada saluran napas bagian atas yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae. Lebih sering menyerang anak-anak. b. Penyebab Penyebabnya adalah bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini biasanya menyerang saluran napas, terutama laring, amandel dan tenggorokan. Tetapi tak jarang racun juga menyerang kulit dan bahkan menyebabkan kerusakan saraf dan jantung. c. Gambaran Klinis 1) Masa tunas 27 hari 2) Pasien mengeluh sakit menelan dan napasnya terdengar ngorok (stridor), pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. 3) Pasien tampak sesak napas dengan atau tanpa tanda obstruksi napas. 4) Demam tidak tinggi. 5) Pada pemeriksaan tenggorokan tampak selaput putih keabu-abuan yang mudah berdarah bila disentuh (pseudomembran). 6) Gejala ini tidak selalu ada: Sumbatan jalan napas sehingga pasien sianosis, napas bau atau perdarahan hidung. 7) Tampak pembesaran kelenjar limfe di leher (bullneck). 8) Inflamasi lokal dengan banyak sekali eksudat faring, eksudat yang lekat di mukosa berwarna kelabu atau gelap dan edema jaringan lunak. Pada anak, fase penyakit ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan napas. 9) Penyakit sistemik yang disebabkan oleh toksin bakteri dimulai 12 minggu sesudah gejala lokal. Toksin mempengaruhi jantung (miokarditis, aritmia terutama selama minggu kedua penyakit) dan sistem saraf (paralisis, neuritis 27 minggu sesudah onset penyakit). Bila pasien sembuh dari fase akut penyakit, biasanya sembuh tanpa kelainan penyerta. d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan klinis yang baik. 57
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan adanya stridor inspiratoir atau pseudomembran yang mudah berdarah. Diagnosis etiologi dikonfirmasi dengan biakan bakteri yang diambil dari eksudat usap tenggorok ke dalam tabung untuk sampel bakteri. Sampel harus dibiakkan pada media khusus, untuk itu perlu terlebih dahulu memberitahu laboratorium. Sediaan apus diambil 3 hari berturut-turut. e. Penatalaksanaan Tiap pasien yang diduga menderita difteri harus segera dirujuk untuk penanganan selanjutnya. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: mengatasi penyakit dan mencegah komplikasi. 2) Pencegahan: imunisasi dasar dan booster lengkap. 3) Alasan rujukan: tiap kasus bisa berpotensi membahayakan.

58
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

18. DISENTRI AMUBA Kompetensi : 04 Laporan Penyakit : 0103

ICD X : A06

a. Definisi Disentri amuba adalah suatu sindrom yang ditandai oleh diare berdarah, disertai lendir dan nyeri pada dubur pada saat buang air besar (tenesmus), selanjutnya disebut amubiasis. Amubiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa usus. Protozoa tersebut hidup di kolon, menyebabkan radang akut dan kronik yang disebut amubiasis intestinal. Bila tidak diobati amubiasis intestinal akan menjalar ke luar usus dan menyebabkan amubiasis ekstra-intestinal. b. Penyebab Entamoeba histolytica c. Gambaran Klinis 1) Masa inkubasi rata-rata 2-4 minggu. 2) Amubiasis kolon akut atau disentri amuba memberikan gejala sindroma disentri yang merupakan kumpulan gejala yang terdiri atas feses berlendir dan berdarah, tenesmus anus, nyeri perut dan kadang-kadang disertai demam. 3) Pada amubiasis kronik pasien mengeluh nyeri perut dan diare yang diselingi konstipasi. 4) Pada amubiasis ekstraintestinalis kadang ditemukan riwayat amubiasis usus. 5) Pasien amubiasis hati biasanya demam, hati membesar disertai nyeri tekan abdomen terutama di daerah kanan atas, berkeringat, tidak nafsu makan, berat badan turun dan ikterus. 6) Amubiasis kutis dan perinealis menyebabkan ulkus yang tepinya bergaung, sedangkan amubiasis vaginalis menimbulkan leukore dengan bercak darah dan lendir. d. Diagnosis Amubiasis kolon akut: menemukan E.histolytica bentuk histolitika dalam feses cair.

e. Penatalaksanaan 1) Metronidazol merupakan obat pilihan untuk amubiasis usus maupun amubiasis ekstraintestinalis. a) Dosis dewasa: 500750 mg tiap 8 jam selama 7 10 hari. b) Dosis anak 1 tahun: 7,5 mg/kgBB tiap 8 jam, selama 710 hari. 2) Amubiasis ekstraintestinalis memerlukan pengobatan yang lebih lama. Oleh karena itu perlu dirujuk. f. KIE 1) Tujuan terapi: membunuh parasit. 2) Efek samping terapi: metronidazol dapat menyebabkan mual. Jika timbul gejala tersebut maka pasien dapat menghubungi dokter Puskesmas untuk mendapatkan obat antimual. 3) Pencegahan: 4) Pencegahan meliputi perbaikan kesehatan lingkungan dan higiene perorangan, desinfeksi sayur dan buah-buahan yang diduga kurang bersih. 5) Pengidap kista tidak boleh bekerja di bidang penyiapan makanan dan minuman.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

59

60
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

19. DISPEPSIA Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A : 88

ICD X : K30

a. Definisi Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman atau nyeri ulu hati disertai mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa. b. Penyebab 1) Fungsional (dispepsia tipe non-ulkus): dispepsia tanpa ada bukti kelainan organik (misalnya karena psikosomatis), kombinasi hipersensitivitas visceral dengan motilitas abnormal lambung. 2) Organik (dispepsia tipe ulkus): GERD, ulkus peptikum, gastritis, lainnya (AINS, diabetic gastroparesis, batu kandung empedu dan lainlain). c. Gambaran Klinis Terdapatnya kumpulan gejala tersebut di atas, seperti nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa. Perlu diperhatikan adanya alarm symptoms seperti: 1) Disfagia 2) Odinofagia 3) Muntah-muntah 4) Berat badan menurun 5) Anemia 6) Fecal occult blood test (+) 7) Teraba massa atau adanya pembesaran kelenjar 8) Usia >55 tahun Pemeriksaan fisik: Berat badan, tanda-tanda vital, nyeri tekan epigastrium, cari tanda apakah ada perdarahan saluran cerna atas atau tidak (adakah tanda-tanda anemia, adakah darah pada pemeriksaan colok dubur) d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Diagnosis banding: kecacingan, kehamilan muda.

e. Penatalaksanaan 1) Suportif: menghindari makanan yang merangsang seperti pedas, asam, dan tinggi lemak. 2) Medikamentosa: a) Antasida (hanya mengurangi gejala), atau b) H2 blocker (misal ranitidin 150 mg tiap 12 jam sebelum makan), atau c) Proton Pump Inhibitor (PPI) (misal omeprazol 20 mg tiap 24 jam), atau d) Prokinetik (misal domperidon 3x10 mg) jika ada gejala dismotilitas. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan gejala. 2) Pencegahan: makan teratur, gizi seimbang. 3) Alasan rujukan: jika ditemukan tanda-tanda bahaya, dirujuk ke RS.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

61

62
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

20. EPILEPSI Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A : 0901

(3) Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi umum tonik klonik ICD X : G40 2) Bangkitan Umum a) Bangkitan Lena (absence) & atypical absence b) Bangkitan Mioklonik c) Bangkitan Klonik d) Bangkitan Tonik e) Bangkitan Tonik-klonik f) Bangkitan Atonik 3) Bangkitan yang tidak terklasifikasikan a) Serangan grand mal sering diawali dengan aura berupa rasa terbenam atau melayang. Penurunan kesadaran sementara, kepala berpaling ke satu sisi, gigi dikatupkan kuat-kuat dan hilangnya pengendalian kandung kemih, napas mendengkur, mulut berbusa dan dapat terjadi inkontinesia. Kemudian terjadi kejang tonik seluruh tubuh selama 2030 detik diikuti kejang klonik pada otot anggota, otot punggung, dan otot leher yang berlangsung 23 menit. Setelah kejang hilang pasien terbaring lemas atau tertidur 3 4 jam, kemudian kesadaran berangsur pulih. Setelah serangan sering pasien berada dalam keadaan bingung. b) Serangan petit mal, disebut juga serangan lena, diawali dengan hilang kesadaran selama 1030 detik. Selama fase lena (absence) kegiatan motorik terhenti dan pasien diam tak beraksi. Kadang tampak seperti tak ada serangan, tetapi ada kalanya timbul gerakan klonik pada mulut atau kelopak mata. c) Serangan mioklonik merupakan kontraksi singkat suatu otot atau kelompok otot. d) Serangan parsial sederhana motorik dapat bersifat kejang yang mulai di salah satu tangan dan menjalar sesisi, sedangkan serangan parsial sensorik dapat berupa serangan rasa baal atau kesemutan unilateral. e) Serangan parsial sederhana (psikomotor) kompleks, pasien hilang kontak dengan lingkungan sekitarnya selama 12 menit, menggerakkan lengan dan tungkainya dengan cara yang aneh dan tanpa tujuan, mengeluarkan suara-suara yang tak berarti, tidak mampu memahami apa yang orang lain katakan dan menolak

a. Definisi Epilepsi adalah suatu keadaan neurologik yang ditandai oleh bangkitan epilepsi yang berulang, yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan, bangkitan epilepsi sendiri adalah suatu manifestasi klinik yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang abnormal, berlebih dan sinkron, dari neuron yang (terutama) terletak pada korteks serebri. Aktivitas paroksismal abnormal ini umumnya timbul intermiten dan self-limited. Sindroma Epilepsi adalah penyakit epilepsi yang ditandai oleh sekumpulan gejala yang timbul bersamaan (termasuk tipe bangkitan, etiologi, anatomi, faktor presipitan usia saat awitan, beratnya penyakit, siklus harian dan prognosa). b. Penyebab Kelainan fungsional otak yang serangannya bersifat kambuhan. Kelainan organis di otak juga dapat menimbulkan epilepsi, sehingga kemungkinan ini perlu dipikirkan. c. Gambaran Klinis d. Klasifikasi Bangkitan Epilepsi (menurut ILAE tahun 1981): 1) Bangkitan Parsial ( fokal) a) Parsial sederhana (1) Disertai gejala motorik (2) Disertai gejala somato-sensorik (3) Disertai gejala psikis (4) Disertai gejala autonomik b) Parsial kompleks (1) Disertai dengan gangguan kesadaran sejak awitan dengan atau tanpa automatism (2) Parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran dengan atau tanpa automatism c) Parsial sederhana yang berkembang menjadi umum sekunder (1) Parsial sederhana menjadi umum tonik klonik (2) Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

63

64
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

bantuan. Kebingungan berlangsung selama beberapa menit dan diikuti dengan penyembuhan total. f) Pada epilepsi primer generalisata, pasien mengalami kejang sebagai reaksi tubuh terhadap muatan yang abnormal. Sesudahnya pasien bisa mengalami sakit kepala, linglung sementara dan merasa sangat lelah. Biasanya pasien tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama kejang. g) Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius, dimana kejang terjadi terus menerus, tidak berhenti. Kontraksi otot sangat kuat, tidak mampu bernapas sebagaimana mestinya dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas. Jika tidak segera ditangani, bisa terjadi kerusakan jantung dan otak yang menetap dan pasien bisa meninggal. e. Diagnosis 1) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala yang disampaikan oleh orang lain yang menyaksikan terjadinya serangan epilepsi pada pasien dan adanya riwayat penyakit sebelumnya. 2) Diagnosis banding a) Bangkitan Psychogenik b) Gerak Involunter (Tics, head nodding, paroxysmal choreoathethosis/ dystonia, benign sleep myoclonus, paroxysmal torticolis, startle response, jitterness, dan lain-lain.) c) Hilangnya tonus atau kesadaran (sinkop, drop attacks, TIA, TGA, narkolepsi, attention deficit) d) Gangguan respirasi (apnea, breath holding, hiperventilasi) e) Gangguan perilaku (night terrors, sleepwalking, nightmares, confusion, sindroma psikotik akut). f) Gangguan persepsi (vertigo, nyeri kepala, nyeri abdomen). g) Keadaan episodik dari penyakit tertentu (tetralogy speels, hydrocephalic spells, cardiac arrhythmia, hipoglikemi, hipokalsemi, periodic paralysis, migren, dan lain-lain). f. Penatalaksanaan 1) Medikamentosa a) Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk bangkitan dan sindroma epilepsi, selain itu juga perlu dipikirkan kemudahan pemakaiannya (Tabel 8). Penggunaan terapi tunggal 65

dan dosis tunggal menjadi pilihan utama. Kepatuhan pasien juga ditentukan oleh harga dan efek samping OAE yang timbul. b) Antikonvulsan Utama (1) Fenobarbital: 2-4 mg/kgBB/hari (2) Fenitoin: 5-8 mg/kgBB/hari (3) Karbamazepin: 20 mg/kgBB/hari (4) Valproat: 30-80 mg/kgBB/hari Tabel 8. Pemilihan OAE Berdasarkan Tipe Bangkitan Epilepsi Tipe Bangkitan OAE lini pertama Bangkitan parsial Fenitoin, karbamazepin (terutama untuk CPS), (sederhana atau asam valproat kompleks) Bangkitan sekunder umum Karbamazepin, fenitoin, asam valproat

Bangkitan umum tonik Karbamazepin, klonik fenobarbital Bangkitan lena Bangkitan mioklonik Asam valproat Asam valproat

fenitoin,

asam

valproat,

c) Penghentian OAE: dilakukan secara bertahap setelah 2-5 tahun pasien bebas kejang, tergantung dari bentuk bangkitan dan sindroma epilepsi yang diderita pasien (Dam,1997). Penghentian OAE dilakukan secara perlahan dalam beberapa bulan d) Langkah yang penting adalah menjaga agar pasien tidak terjatuh, melonggarkan pakaiannya (terutama di daerah leher) dan memasang bantal di bawah kepala pasien. e) Jika pasien tidak sadarkan diri sebaiknya posisinya dimiringkan agar lebih mudah bernapas dan tidak boleh ditinggalkan sendirian sampai benar-benar sadar dan bisa bergerak secara normal. f) obat anti-kejang untuk mencegah terjadinya kejang lanjutan, biasanya diberikan kepada pasien yang mengalami kejang kambuhan. Status epileptikus merupakan keadaan darurat, karena itu obat anti-kejang diberikan dalam dosis tinggi secara intravena.

66
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

g) Sedapat mungkin gunakan obat tunggal dan mulai dengan dosis rendah. h) Bila obat tunggal dosis maksimal tidak efektif gunakan dua jenis obat dengan dosis terendah. i) Bila serangan tak teratasi pikirkan kemungkinan ketidakpatuhan pasien, penyebab organik, pilihan dan dosis obat yang kurang tepat. j) Bila selama 23 tahun tidak timbul lagi serangan, obat dapat dihentikan bertahap. g. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: Prinsip umum terapi epilepsi idiopatik adalah mengurangi/mencegah serangan, sedangkan terapi epilepsi organik ditujukan terhadap penyebab. 2) Pencegahan: a) hindari faktor pencetus serangan, misalnya kelelahan, emosi atau putusnya makan obat, terlambat makan. b) Bila terjadi serangan kejang, upayakan menghindarkan cedera akibat kejang, misalnya tergigitnya lidah atau luka atau cedera lain. c) Selalu dalam pengawasan bila pasien di tempat yang berpotensi menimbulkan kecelakaan seperti saat berkendaraan dan berenang. 3) Alasan rujukan: bila frekuensi serangan tidak dapat diatasi dengan obat tersebut, atau terjadi status epileptikus dan didapatkan defisit neurologis fokal. 4) Efek samping pengobatan: penurunan fungsi kognitif, hiperplasia gusi, sindroma Steven-Johnson, migren.

21. ERISIPELAS Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 2001

ICD X : A46

a. Definisi Erisipelas adalah infeksi kulit. b. Penyebab Streptococcus beta-haemolyticus. c. Gambaran Klinis 1) Pasien biasanya demam sampai menggigil, disertai malaise. 2) Bagian kulit yang terinfeksi tampak merah, edematus dan berkilat dengan batas yang tegas serta nyeri tekan. 3) Pada kulit yang edematus itu sering tumbuh vesikel dan bula. 4) Kelenjar getah bening regional sering membesar dengan nyeri tekan. d. Diagnosis Tanda-tanda peradangan kulit. e. Penatalaksanaan 1) Eritromisin 250-500 mg tiap 6 jam, pada anak 20-50 mg/kgBB selama 57 hari. 2) Kasus yang berat sebaiknya dirujuk ke rumah sakit. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: eradikasi. 2) Efek samping eritromisin: diare, mual dan muntah. 3) Pencegahan: menjaga sanitasi lingkungan dan higiene perorangan. 4) Alasan rujukan: kasus yang berat.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

67

68
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

22. FARINGITIS AKUT Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 1302

ICD X : J02

a. Definisi Faringitis adalah inflamasi atau infeksi dari membran mukosa faring. Faringitis akut biasanya merupakan bagian dari infeksi akut orofaring yaitu tonsilo faringitis akut, atau bagian dari influenza (rinofaringitis). b. Penyebab Faringitis bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri. 1) Virus, yaitu rhinovirus, adenovirus, parainfluenza, coxsackievirus, EpsteinBarr virus, herpes virus 2) Bakteria, yaitu grup A -hemolytic Streptococcus (paling sering), Chlamydia, Corynebacterium diphtheriae, Hemophilus influenzae, Neisseria gonorrhoeae 3) Jamur, yaitu Candida; jarang kecuali pada pasien imunokompromis (misalnya pasien dengan HIV-AIDS). Iritasi makanan yang merangsang sering merupakan faktor pencetus atau yang memperberat. c. Gambaran Klinis Perjalanan penyakit bergantung pada adanya infeksi sekunder dan virulensi kumannya serta daya tahan tubuh pasien, tetapi biasanya faringitis sembuh sendiri dalam 35 hari. 1) Faringitis yang disebabkan bakteri: a) Demam atau menggigil b) Nyeri menelan c) Faring posterior merah dan bengkak d) Terdapat folikel bereksudat dan purulen di dinding faring e) Bisa disertai batuk f) Pembesaran kelenjar getah bening leher bagian anterior g) Tidak mau makan/menelan h) Onset mendadak dari nyeri tenggorokan i) Malaise j) Anoreksia 2) Faringitis yang disebabkan virus: a) Onset radang tenggorokannya lambat, progresif b) Demam
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

c) d) e) f) g)

Nyeri menelan Faring posterior merah dan bengkak Malaise ringan Batuk Kongesti nasal

d. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. e. Penatalaksanaan 1) Perawatan dan pengobatan tidak berbeda dengan influenza. 2) Untuk anak tidak ada anjuran obat khusus. 3) Untuk demam dan nyeri: a) Dewasa Parasetamol 250 atau 500 mg, 12 tablet per oral tiap 6-8 jam jika diperlukan, atau Ibuprofen, 200 mg 12 tablet tiap 6-8 jam sehari jika diperlukan. b) Anak Parasetamol diberikan tiap 8 jam jika demam (1) <1 tahun : 60 mg/kali (1/8 tablet) (2) 1-3 tahun : 60-120 mg/kali (1/4 tablet) (3) 3-6 tahun : 120-170 mg/kali (1/3 tablet) (4) 6-12 tahun : 170-300 mg/kali (1/2 tablet) 4) Antibiotik hanya diberikan pada pasien dengan minimal 3 dari 4 gejala (kriteria McIssac/kriteria Centor): a) demam menggigil >38,5oC, b) eksudat dan purulen di dinding faring, c) pembesaran kelenjar getah bening anterior d) pengobatan simtomatik tidak sembuh dalam 3 hari Dewasa: Amoksisilin 500 mg tiap 8 jam selama 5 hari, atau Eritromisin 500 mg tiap 8 jam selama 5 hari Anak: Amoksisilin 30-50mg/kgBB/hari selama 5 hari, atau Eritromisin 20-40 mg/kgBB/hari selama 5 hari f. KIE: 1) Tujuan pengobatan: mencegah terjadi penyakit jantung rematik, demam rematik akut, demam scarlett, streptococcus toxic shock syndrome, glomerulonefritis akut, pediatric autoimun neuropsychiatric disorder.

69

70
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

2) Pencegahan: pola hidup sehat, makanan bergizi, menjaga kebersihan mulut, menghindari rokok. 3) Alasan rujukan: jika dalam 5 hari tidak ada perbaikan klinis, segera dirujuk ke rumah sakit.

23. FLU BURUNG Kompetensi Laporan Penyakit

: 3B : 97

ICD X : J09

a. Definisi Flu burung (Avian influenza) adalah penyakit menular akut yang menular sistem pernapasan yang disebabkan oleh virus influenza A H5N1. Pada umumnya menyerang unggas dan dapat menular dari unggas ke manusia. Angka kematian penyakit ini masih cukup tinggi >80%. b. Penyebab Virus influenza tipe A sub-tipe H5N1. c. Cara Penularan Penularan penyakit ini kepada manusia dapat melalui: 1) Kontak langsung dengan unggas yang sakit atau produknya 2) Kontak dengan lingkungan (udara, air, tanah, lumpur, pupuk) yang tercemar virus H5N1. 3) Kontak dengan spesimen flu burung baik yang berasal dari unggas maupun manusia. 4) Konsumsi produk unggas yang tidak dimasak dengan sempurna mempunyai potensi penularan virus flu burung. 5) Kontak dengan pasien konfirmasi flu burung. d. Gambaran Klinis Masa inkubasi 17 hari (rata-rata 3-5 hari). Masa penularan pada manusia dewasa adalah 1 hari sebelum gejala awal timbul dan 35 hari setelah timbulnya gejala, sedangkan penularan pada anak dapat mencapai 21 hari. Gejala awal sama seperti flu biasa, ditandai dengan batuk, pilek, sakit tenggorokan. Dapat juga disertai dengan gejala lainnya seperti sakit kepala, malaise, muntah, diare dan nyeri otot. Yang membedakan Flu Burung dengan Flu biasa adalah perjalanan penyakit yang progresif dan biasanya menyebabkan gagal napas dalam waktu yang sangat singkat ( 5 hari). e. Diagnosis Kriteria diagnosis untuk kasus flu burung ada 4: 1) Seseorang dalam penyelidikan 2) Kasus tersangka flu burung
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

71

72
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

3) Kasus probable 4) Kasus konfirmasi Puskesmas berperan dalam terapi awal pada kasus tersangka flu burung, selanjutnya dirujuk. f. Tersangka Flu Burung Apabila demam (suhu 38oC) disertai satu atau lebih gejala sebagai berikut: batuk, sakit tenggorokan, pilek atau sesak napas; Disertai >1 pajanan di bawah ini dalam 7 hari sebelum timbulnya gejala: 1) Kontak erat (dalam jarak 1 meter), seperti merawat, berbicara, atau bersentuhan dengan pasien tersangka (suspek), mungkin (probable) atau kasus H5N1 yang sudah konfirmasi. 2) Terpajan (misalnya memegang, menyembelih, mencabuti bulu, memotong, mempersiapkan untuk konsumsi) dengan ternak ayam, unggas liar, bangkai unggas atau terhadap lingkungan yang tercemar oleh kotoran unggas itu dalam wilayah dimana infeksi dengan H5N1 pada hewan atau manusia telah dicurigai atau dikonfirmasi dalam 1 bulan terakhir. 3) Mengkonsumsi produk unggas mentah atau yang tidak dimasak dengan sempurna di wilayah yang dicurigai atau dipastikan terdapat hewan atau manusia yang terinfeksi H5N1 dalam 1 bulan terakhir. 4) Kontak erat dengan binatang lain (selain ternak unggas atau unggas lain), misalnya kucing atau babi yang telah dikonfirmasi terinfeksi H5N1. 5) Memegang/menangani sampel (hewan atau manusia) yang dicurigai mengandung virus H5N1 dalam suatu laboratorium atau tempat lainnya. 6) Ditemukan leukopenia (dibawah nilai normal: 500010.000). Konfirmasi dilakukan di rumah sakit rujukan.

4) Tiap pemberian oseltamivir harus berdasarkan resep dokter dan dicatat dan dilaporkan sesuai dengan format yang tersedia. 5) Oseltamivir tidak direkomendasikan untuk profilaksis dan hanya boleh diberikan oleh dokter. h. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: diagnosis dini, penanganan dini, kewaspadaan dan pelaporan. 2) Pencegahan: Upaya pencegahan penularan dilakukan dengan cara menghindari bahan yang terkontaminasi feses dan sekret unggas, dengan tindakan sebagai berikut: a) Tiap orang yang berhubungan dengan bahan yang berasal dari saluran cerna unggas harus menggunakan pelindung (masker, kacamata renang). b) Bahan yang berasal dari saluran cerna unggas seperti feses harus ditatalaksana dengan baik (ditanam/dibakar) agar tidak menjadi sumber penularan bagi orang sekitarnya. c) Alat-alat yang dipergunakan dalam perternakan harus dicuci dengan desinfektan. d) Kandang dan feses tidak boleh dikeluarkan dari lokasi peternakan e) Mengkonsumsi daging ayam yang telah dimasak paling kurang pada suhu 80oC selama 1 menit, sedangkan telur unggas perlu dipanaskan pada suhu 64oC selama 5 menit. f) Memelihara kebersihan lingkungan. g) Menjaga kebersihan diri. h) Bagi yang tidak berkepentingan, dilarang memasuki tempat peternakan. i) Apabila sedang terkena influenza dilarang memasuki tempat peternakan. j) Jika sedang bercocok tanam dengan menggunakan pupuk kandang diharuskan menggunakan sarung tangan dan masker. k) Tiap pekerja peternakan, pemotong unggas dan penjamah unggas yang terkena influenza segera ke Puskesmas atau pelayanan kesehatan lainnya. 3) Alasan rujukan: untuk penatalaksanaan lebih lanjut.

g. Penatalaksanaan 1) Tersangka flu burung diberikan terapi awal oseltamivir 75 mg tiap 12 jam kemudian segera dirujuk. Dosis anak sesuai dengan berat badan (usia >1 tahun : 2 mg/kgBB). 2) Pasien dengan demam dapat diberikan parasetamol. 3) Kewaspadaan universal diterapkan dengan memisahkan pasien minimal 1 meter dari pasien lainnya, menggunakan masker bedah 1 rangkap untuk pasien dan 2 rangkap untuk petugas kesehatan. 73

74
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

24. FRAMBUSIA Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 0701

ICD X : A66

a. Definisi Frambusia disebut juga patek atau puru, disebabkan oleh Treponema pertenue, dan hanya terdapat di daerah tropis yang tinggi kelembabannya serta pada masyarakat dengan sosio-ekonomi rendah. Penyakit ini menyerang kulit umumnya di tungkai bawah, bentuk destruktif menyerang juga tulang dan periosteum. b. Penyebab Treponema pertenue. c. Gambaran Klinis 1) Pada stadium awal ditemukan kelainan pada tungkai bawah berupa kumpulan papula dengan dasar eritem yang kemudian berkembang menjadi borok dengan dasar bergranulasi. Kelainan ini sering mengeluarkan serum bercampur darah yang banyak mengandung kuman. Stadium ini sembuh dalam beberapa bulan dengan parut atrofi. Atau, bersamaan dengan ini timbul papula bentuk butiran sampai bentuk kumparan yang tersusun menggerombol, berbentuk korimbiformis, atau melingkar di daerah lubang-lubang tubuh (anus, telinga, mulut, hidung), muka dan daerah lipatan. 2) Papul kemudian membasah, mengeropeng kekuningan. 3) Pada telapak kaki dapat ditemukan keratodermia. Keadaan ini berlangsung 3-12 bulan. 4) Bila penyakit berlanjut, periosteum, tulang, dan persendian akan terserang. Dalam keadaan ini dapat terjadi destruksi tulang yang terlihat dari luar sebagai gumma atau nodus. Destruksi tulang hidung menyebabkan pembengkakan akibat eksostosis yang disebut goundou. d. Diagnosis Papula yang kemudian membesar membentuk papiloma/ ulceropapilloma. e. Penatalaksanaan 1) Obat terpilih adalah penisilin prokain 2,4 juta UI dosis tunggal untuk dewasa. 75

2) Obat alternatif diberikan kepada pasien yang peka/alergi terhadap penisilin, walaupun menurut laporan di negara lain hanya menghasilkan 7080% kesembuhan. 3) Program pemberantasan penyakit frambusia memberikan obat alternatif seperti tercantum pada Tabel 9. Tabel 9. Pilihan Obat Untuk Terapi Frambusia
Umur Nama obat Dosis Cara Lama Pemberian Pemberian Dosis tunggal Dosis tunggal 15 hari PILIHAN UTAMA < 10 tahun Benzatin 600.000 UI i.m. penisilin > 10 tahun Benzatin 1.200.000 UI i.m. penisilin ALTERNATIF ( bagi pasien alergi terhadap penisilin ) <8 tahun Eritromisin 30 mg/ kgBB dibagi Oral dalam 4 dosis tiap 6 jam 8-15 tahun Tetrasiklin/ 250 mg, tiap 6 jam Oral Eritromisin < 8 tahun Doksisiklin 25 mg/ kgBB Oral dibagi dalam 4 dosis tiap 6 jam Dewasa Doksisiklin 100 mg tiap 12 jam Oral

15 hari 15 hari

15 hari

f.

KIE 1) Tujuan pengobatan: untuk mengobati dan menghindari penularan. 2) Pencegahan: higiene perorangan, hindari kontak dengan sumber penularan. 3) Alasan rujukan: bila tidak sembuh dengan pengobatan diatas. 4) Efek samping pengobatan: alergi. 5) Perhatian: tetrasiklin dan doksisiklin tidak diberikan pada ibu hamil, menyusui dan anak usia <12 tahun.

76
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

25. GAGAL JANTUNG AKUT (GJA) Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 86

ICD X : I50.0

a. Definisi Gagal jantung akut merupakan suatu sindroma timbulnya tanda dan gejala yang berlangsung cepat dan singkat (dalam jam atau hari) akibat disfungsi jantung. Keadaan ini dapat terjadi pada penderita dengan atau tanpa kelainan jantung sebelumnya, dan dapat mematikan bila tidak diatasi segera. Disfungsi jantung yang dimaksud meliputi disfungsi sistolik atau diastolik, irama jantung abnormal, atau terdapat ketidak sesuaian antara preload dan afterload (preload and afterload mismatch). b. Diagnosis Diagnosis gagal jantung akut berdasarkan anamnesis (gejala) dan pemeriksaan fisik (tanda). Tanda dan gejala GJA: 1) Sesak napas saat istirahat 2) Sesak saat aktivitas ringan (perburukan dari gagal jantung kronik) 3) Orthopnu (sesak memberat saat berbaring) 4) Ronki basah di basal paru atau seluruh lapang paru 5) Takikardi 6) Takipnoe 7) JVP meningkat c. Penatalaksanaan Tatalaksana awal Gagal jantung akut di Puskesmas: Penatalaksaaan resusitasi 1) Lakukan langkah-langkah airway, breathing, circulation (ABC). 2) Oksigen nasal 4-5 L/menit. 3) Posisi setengah duduk (semi fowler position). 4) Berikan diuretik furosemid 40 mg i.v. (jika TD >100 mmHg). 5) Berikan ISDN 5 mg s.l. jika TD >100 mmHg. 6) Jika TD sistolik <90 mmHg, maka dapat diberikan cairan fisiologis (NaCl 0.9%), 1-4 mL/kgBB dalam 10 menit. Jika setelah pemberian cairan tekanan darah tidak membaik maka segera dirujuk ke RS. 7) Jika TD sistolik >180 mmHg, dapat diberikan kaptopril 3x 12,5 mg (dapat di uptitrasi) dan atau ISDN sublingual 5 mg bisa diulang hingga 5 kali sampai mendapat pertolongan lebih lanjut. 8) Segera di Rujuk ke RS untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. KIE 1) Tujuan pengobatan: mencegah perburukan penyakit. 2) Pencegahan serangan selanjutnya: a) Membatasi aktivitas fisik b) Kendalikan faktor risiko c) Mengkonsumsi obat gagal jantung kronik secara rutin dan teratur (lihat bab gagal jantung kronik) d) Kontrol ke dokter spesialis untuk penatalaksanaan lebih lanjut 3) Alasan rujukan: untuk mendapat perawatan lebih lanjut.

77

78
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

26. GAGAL JANTUNG KRONIK (DEKOMPENSASIO KORDIS) Kompetensi : 3B Laporan Penyakit : 86 ICD X : I50 a. Definisi Gagal jantung merupakan sindrom klinis yang kompleks timbul karena oleh kelainan struktur dan fungsional jantung sehingga terjadi gangguan pada ejeksi dan pengisian. b. Penyebab 1) anemia 2) hipertensi 3) tirotoksikemia 4) penyakit jantung kronik 5) kelainan katup jantung c. Gambaran Klinis 1) Kriteria Gagal Jantung: a) Gejala gagal jantung pada saat istirahat ataupun saat aktivitas fisik. b) Terdapat bukti objektif disfungsi jantung saat istirahat. c) Respons terhadap terapi gagal jantung. d) Kriteria 1 dan 2 harus dipenuhi pada semua kasus gagal jantung. 2) Kriteria Framingham: a) Kriteria Mayor: (1) Paroxysmal nocturnal dyspnea (2) Distensi vena jugularis (3) Ronki basah halus (4) Rontgen : kardiomegali (5) Udem pulmonal akut (6) S3 gallop (7) Tekanan vena sentral >16 cm H2O (8) Waktu sirkulasi +25 detik (9) Hepatojugular refluks (10) Edema pulmonal, kongesti viseral, atau kardiomegali pada autopsi (11) Penurunan berat badan >4.5 kg dalam 5 hari yang respon terhadap terapi gagal jantung. 79

b) Kriteria Minor: (1) Edema kaki bilateral (2) Batuk nokturnal (3) Dyspnea pada aktivitas sehari-hari (4) Hepatomegali (5) Efusi pleura (6) Penurunan kapasitas vital lebih dari satu pertiga dari nilai maksimal (7) Takikardia ( nadi >120 kali/menit) d. Klasifikasi Klasifikasi digunakan untuk menentukan apakah penderita hanya memerlukan rawat jalan (kelas I dan II) atau harus rawat inap (kelas III dan IV), juga berguna dalam menentukan penatalaksanaan dan prognostik kelainan yang dialami (table 10). Tabel 10. Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart Association (NYHA) Kelas Kriteria 1 Tidak ada batasan: aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan capai, sesak napas, atau palpitasi. 2 Sedikit batasan pada aktivitas fisik: tidak ada gangguan pada saat istirahat tetapi aktivitas fisik biasa menyebabkan lelah, sesak napas, atau palpitasi. 3 Terdapat batasan yang jelas pada aktivitas fisik: tidak ada gangguan pada saat istirahat tetapi aktivitas fisik ringan menyebabkan capai, sesak napas, atau palpitasi. 4 Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa menimbulkan keluhan: gejala gagal jantung timbul meskipun dalam keadaan istirahat dengan keluhan yang semakin bertambah pada aktivitas fisik. e. Diagnosis 1) Anamnesis a) Sesak napas saat aktivitas, udema tungkai dan capai (kelelahan) merupakan gejala khas gagal jantung. b) Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, penyakit jantung koroner, kelainan katup, kelainan vaskular perifer, demam

80
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

rematik, radiasi dada, penggunaan bahan kardiotoksik, alkoholisme, penyakit tiroid. c) Riwayat keluarga: penyakit aterosklerosis, kardiomiopati, kematian mendadak, penyakit gangguan konduksi, miopati skeletal. d) Tidak ada hubungan antara gejala yang timbul dengan beratnya disfungsi jantung yang terjadi dan prognosis penyakit. 2) Pemeriksaan Fisik a) Tanda-tanda klinis gagal jantung harus dinilai dengan pemeriksaan fisik yang seksama meliputi inspeksi, palpasi, dan auskultasi. b) Tanda-tanda yang dapat ditemukan pada gagal jantung kanan dan/atau kiri antara lain: takikardia, takipneu, ronkhi basah, peningkatan tekanan vena jugular, bunyi jantung gallop, ascites, hepatomegali, dan edema tungkai. f. Penatalaksanaan 1) Tujuan Terapi: a) Pencegahan (1) Mencegah dan mengontrol kelainan yang menyebabkan gangguan fungsi jantung dan gagal jantung. (2) Mencegah progresivitas gangguan fungsi jantung menjadi gagal jantung akut. b) Morbiditas Menjaga dan memperbaiki kualitas hidup. c) Mortalitas Meningkatkan harapan hidup. 2) Terapi Farmakologi a) ACE inhibitor (kaptopril) (1) Direkomendasikan sebagai first-line therapy. (2) Dosis diberikan mulai dosis rendah (3 x 6,25 mg) dapat di uptitrasi hingga 3 x 50 mg. b) Digitalis (1) Merupakan obat pilihan pada keadaan fibrilasi atrial pada gagal jantung. (2) Kombinasi digoksin dan beta blocker lebih baik daripada hanya menggunakan salah satu jenis saja. (3) Dapat diberikan digoksin tab 1 x 0,25 mg jika terdapat fibrilasi atrial.
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

(4) Dalam keadaan irama sinus, digoksin direkomendasikan untuk memperbaiki status klinis pada keadaan gagal jantung persisten selain dengan terapi ACE inhibitor, beta blocker dan diuretik. (5) Bila NYHA II-IV dengan LVEF < 40% disertai tanda-tanda gagal jantung yang telah mendapat penghambat EKA dan penyekat beta. g. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: memperpanjang harapan hidup. 2) Pencegahan: a) Penyuluhan umum (1) Penyuluhan tentang gagal jantung kepada pasien dan kelurganya (2) Mengontrol berat badan (3) Pengaturan diet dan kebiasaan sehari-hari (a) Diet rendah garam (<2 g/hari) (b) Pembatasan intake cairan (<1,5-2 L/hr) (c) Hindari konsumsi alkohol (d) Berhenti merokok. (4) Pembatasan dan penyesuaian aktivitas fisik. (5) Obat yang perlu mendapat perhatian khusus. b) Rehabilitasi: Rehabilitasi dilakukan pada pasien yang stabil dengan kelas fungsional II-III

81

82
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

27. GANGGUAN NEUROTIK Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : 0802

ICD X : F40-F48

a. Definisi Suatu atau kumpulan gejala fisik yang dirasakan berlebihan disertai dengan sindrom ansietas tanpa bukti adanya penyakit fisik. b. Penyebab Psikologis dan keprbadian individu, stresor psikososial, penyakit organik seperti hipertiroid, pheocromamocytosis. c. Jenis-jenis Gangguan Neurotik Gangguan neurotik yang sering dijumpai adalah sebagi berikut 1) Gangguan ansietas fobik seperti agorafobia, fobia sosial, fobia spesifik 2) Gangguan Panik 3) Gangguan Ansietas Menyeluruh. 4) Gangguan Obsesif Kompulsif 5) Gangguan Stres Pasca Trauma 6) Gangguan Penyesuaian 7) Gangguan Somatisasi d. Gambaran Klinik Sesuai dengan gejala dari masing-masing jenis neurotik, untuk memudahkan sebagai target terapi maka secara klinik perlu mengenali sindrom ansietas sebagai berikut: 1) Adanya perasaan cemas atau kuatir yang tidak realistik terhadap dua atau lebih hal yang dipersepsikan sebagai ancaman. Perasaan ini menyebabkan individu tidak mampu istirahat dengan tenang (inability to relax) 2) Terdapat gejala-gejala berikut: a) Ketegangan motorik, seperti kedutan otot atau rasa gemetar, otot tegang/kaku/pegal, tidak bisa diam, atau mudah menjadi lelah b) Hiperaktivitas otonomik, seperti napas pendek/terasa berat, jantung berdebar-debar, telapak tangan basah dan dingin, mulut kering, kepala pusing/rasa melayang, mual, mencret, perut tak enak, muka panas/badan menggigil, buang air kecil atau sukar menelan/rasa tersumbat. 83

c) Kewaspadaan berlebihan dan daya tangkap berkurang, seperti perasaan jadi peka/mudah ngilu, mudah terkejut/kaget, sulit berkosentrasi/berpikir fokus, sukar tidur atau mudah tersinggung 3) Hendaya dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam gejala seperti penurunan kemampuan kerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin. e. Diagnosis Berdasarkan PPDGJIII, maka pedoman diagnosis sesuai jenisnya sebagai berikut : 1) Gangguan Ansietas Fobik a) Kecemasan dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang jelas, yang sebenarnya pada saat kejadian tidak membahayakan. b) Sebagai akibatnya, objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan rasa terancam c) Secara subyektif, fisiologik dan tampilan perilaku tidak jauh berbeda dengan jenis ansietas lainnya 2) Gangguan Ansietas Panik a) Ditemukan adanya beberapa kali serangan cemas berat dalam masa kira-kira 1 bulan b) Keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya c) Tidak terbatas pada situasi yang sudah diketahui atau yang dapat diduga sebelumnya 3) Gangguan Ansietas Menyeluruh a) Gambaran utama adalah adanya kecemasan yang menyeluruh dan menetap b) Kecemasan tentang masa depan (khawatir akan nasib buruk, sulit konsentrasi dll) c) Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, tidak dapat santai, gemetaran) d) Overaktivitas motorik (berkeringat dingin, berdebar-debar, pusing, mulut kering, nyeri ulu hati dll) e) Pada anak-anak terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan serta keluhan somatik yang berulang-ulang. 4) Gangguan Obsesif Kompulsif a) Ciri utama adalah adanya pikiran obsesif atau tindakan yang berulang, gejala obsesional atau tindakan kompulsif, atau keduaduanya, harus ada hamper tiap hari selama sedikitnya dua minggu berturut-turut

84
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

b) Harus disadari sebagai pikiran atau impuls dari diri sendiri c) Sedikitnya ada satu tindakan atau pikiran yang masih tidak bias dilawan d) Pikiran untuk melaksanakan tindakan tersebut bukan merupakan hal yang memberikan kepuasan atau kesenangan e) Pikiran, bayangan atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan 5) Gangguan Stres Pasca Trauma a) Keadaan ini timbul sebagai respons yang berkepanjangan dan/atau tertunda terhadap kejadian atau situasi yang menimbulkan stress (baik singkat maupun berkepanjangan) yang bersifat katastrofik atau menakutkan, yang dapat menyebabkan ketegangan bagi tiap orang (misalnya bencana alam atau bencana yang dibuat oleh manusia seperti perang atau konflik masyarakat, kecelakaan, terorisme, korban penyiksaan/perkosaan dll) b) Diagnosis ditegakkan jika gangguan ini timbul dalam kurun waktu 2 minggu sampai 6 bulan setelah kejadian traumatik, dapat lebih dari 6 bulan asal saja gejala-gejala khasnya nampak c) Selain adanya kejadian trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik itu kembali secara berulang-ulang (flashback) d) Berusaha menghindari suasana atau kejadian yang menimbulkan trauma atau sesuatu yang dapat diasosiasikan dengan kejadian traumatik sebelumnya (misalnya pada bencana tsunami atau banjir bandang, seseorang jika melihat langit mendung dan hujan deras akan timbul rasa takut seakan peristiwa itu akan terjadi lagi) e) Ganggaun otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tapi tidak khas 6) Gangguan Penyesuaian a) Adanya faktor kejadian atau situasi yang stressful atau krisis kehidupan ( seperti menderita penyakit yang mengancam jiwa, suasana pekerjaan yang baru dan tidak menyenangkan) b) Onset biasanya terjadi dalam 1 bulan setelah terjadinya kejadian yang stressful dan gejala biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan c) Gangguan bervariasi mencakup afek cemas, depresif, campuran cemas dan depresif, gangguan tingkah laku yang disertai dengan adanya ketidakmampuan dalam kegiatan rutin sehari-hari

7) Gangguan Somatisasi a) Adanya banyak keluhan-keluhan fisik yang bermacam-macam yang tidak dapat dijelaskan atas dasar adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung setidaknya 2 tahun b) Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan fisik yang dapat menjelaskan keluhankeluhannya. f. Penatalaksanaan 1) Untuk semua jenis gangguan neurotik dapat diberikan: Antiansietas : Diazepam 25 mg tiap 8-12 jam Antidepresan : Amitriptilin 12,5 mg tiap 12-24 jam Antipsikotik : Haloperidol 0,5 mg tiap 12-24 jam 2) Untuk Gangguan Panik sebaiknya diberikan Alprazolam 0,5 mg tiap 812 jam sehari jika obatnya tersedia. 3) Obat utama adalah Diazepam yang diberikan secara tunggal. 4) Penambahan dengan Amitriptilin 12,5 jika diserta gejala-gejala afek yang depresif dan atau haloperidol 0,5 mg jika gejala-gejalanya cukup berat yang disertai dengan banyaknya keluhan somatik dan atau pikiran-pikiran yang kurang rasional. 5) Segera rujuk ke psikiater jika gangguan neurotik dalam 1 minggu pengobatan tidak memberi efek yang baik.

g. KIE 1) Selain pemberian obat sebaiknya memberi konseling kepada pasien, dengan cara: bersikap empati, memberi dukungan kepada pasien untuk mampu mengatasi sendiri masalahnya, bantu pasien mengenali stressor psikososialnya, lebih banyak mendengarkan keluhan pasien dan membiarkan untuk mengeluarkan unek-uneknya (ventilasi), jangan terlalu banyak memberikan nasehat, tidak terlalu cepat untuk menilai keadaan pasien dan jangan menyalahkan atau menghakimi atas sikap dan perilakunya. 2) Memberi penjelasan tentang penyakit yang dideritanya termasuk dalam gangguan jiwa ringan yang bisa diobati 3) Memberi penjelasan tentang efek samping sedasi dari obat-obat tersebut, sehingga tidak menjalankan kendaraan waktu meminum obat, atau sebaiknya minum obat saat mau tidur 4) Memberi penjelasan untuk tidak meminum obat tanpa resep dokter atau dosis yang sesuai dengan anjuran dokter karena beberapa obat

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

85

86
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

antiansietas seperti diazepam dan alprazolam dapat menimbulkan ketergantungan 5) Menganjurkan pasien untuk berkonsultasi dengan psikiater untuk mendapatkan pelayanan pengobatan yang lebih baik dan penanganan psikoterapi.

28. GANGREN PULPA Kompetensi : 4 Laporan Penyakit : 1502

ICD X : K04

a. Definisi Kematian jaringan pulpa sebagian atau seluruhnya sebagai kelanjutan proses karies atau trauma. b. Penyebab Kematian jaringan pulpa dengan atau tanpa kehancuran jaringan pulpa. c. Gambaran Klinis 1) Tidak ada gejala sakit. 2) Tanda klinis yang sering ditemui adalah jaringan pulpa mati, lisis dan berbau busuk. 3) Gigi yang rusak berubah warna menjadi abu-abu kehitaman. d. Diagnosis Degenerasi pulpa. e. Penatalaksanaan 1) Gigi dibersihkan dengan semprit air, lalu dikeringkan dengan kapas. 2) Jika sudah peradangan periapikal (nyeri saat menggigit) dapat diberikan amoksisilin selama 5 hari. Dewasa : amoksisilin 500 mg tiap 8 jam. Anak : amoksisilin 10-15 mg/kgBB/hari tiap 6-8 jam. 3) Simtomatik: Dewasa : parasetamol 500 mg tiap 6-8 jam Anak : parasetamol 10-15 mg/kgBB, tiap 6-8 jam f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan gejala, mencegah komplikasi. 2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair. Bila ada karies gigi harus segera ditangani.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

87

88
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

29. GASTRITIS Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 88

ICD X : K29.7

30. GIGITAN ULAR Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : 1901

ICD X : S02-T02

a. Definisi Nyeri epigastrium yang hilang timbul/menetap dapat disertai dengan mual/muntah. b. Peyebab Penyebab utama gastritis adalah iritasi lambung misalnya oleh makanan yang merangsang asam lambung, alkohol atau obat. Pada keadaan ini terjadi gangguan keseimbangan antara produksi asam lambung dan daya tahan mukosa. Penyakit sistemik, kebiasaan merokok, infeksi kuman Helicobacter pilori juga berperan dalam penyakit ini. c. Gambaran Klinis Pasien biasanya mengeluh perih atau tidak enak di ulu hati. Gastritis erosif akibat obat sering disertai pendarahan. Nyeri epigastrium, perut kembung, mual, muntah tidak selalu ada. d. Diagnosis Nyeri ulu hati, mual/muntah, kembung dan lain-lain. e. Penatalaksanaan 1) Keluhan akan segera hilang dengan antasida (AlOH, Mg(OH)2) yang diberikan menjelang tidur, pagi hari, dan diantara waktu makan. 2) Bila muntah sampai mengganggu dapat diberikan tablet metoklopramid 10 mg, 1 jam sebelum makan (dewasa) atau domperidon (anak). 3) Bila nyeri hebat dapat dikombinasikan dengan ranitidin 150 mg 2x sehari 4) Pasien dengan tanda pendarahan seperti hematemesis atau melena perlu segera dirujuk ke rumah sakit karena kemungkinan terjadi pendarahan pada tukak lambung yang dapat menjadi perforasi. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: menghilangkan gejala, memastikan ada asupan makanan yang cukup. 2) Pencegahan: makan teratur dan menghindarkan makanan yang merangsang asam lambung. 3) Efek samping: metoklopramid tidak boleh pada anak <18 tahun karena efek samping ekstrapiramidal. 89

a. Definisi Suatu keadaan yang disebabkan oleh gigitan ular berbisa. b. Penyebab Secara garis besar ular berbisa dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok: 1) Colubridae (misalnya Mangroce cat snake, Boiga dendrophilia) 2) Elapidae (misalnya King cobra, Blue coral snake, Sumatran spitting cobra) 3) Viperidae (misalnya Borneo green pit viper, Sumatran pit viper). c. Gambaran Klinis 1) Umumnya gigitan ular tidak beracun, misalnya ular air, hanya memerlukan tata laksana sederhana. Namun bila jenis ular tidak diketahui, maka sebaiknya dilakukan upaya pencegahan dengan serum anti bisa ular polivalen. 2) Kemungkinan ini dicurigai bila ada riwayat digigit ular. 3) Pasien mungkin tampak kebiruan, pingsan, lumpuh atau sesak napas. 4) Untuk menduga jenis ular yang menggigit adalah ular berbisa atau ular tidak berbisa dapat dipakai rambu-rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut: a) Ciri-ciri ular berbisa: (1) Bentuk kepala segi empat panjang (2) Gigi taring kecil (3) Bekas gigitan: luka halus berbentuk lengkungan. b) Ciri-ciri ular tidak berbisa: (1) Kepala segi tiga (2) Dua gigi taring besar di rahang atas (3) Dua luka gigitan utama akibat gigi taring. 5) Efek yang ditimbulkan akibat gigitan ular dapat dibagi tiga: a) Efek lokal. Beberapa spesies seperti coral snakes, krait akan memberikan efek yang agak sulit dideteksi dan hanya bersifat minor tetapi beberapa spesies gigitannya dapat menghasilkan efek yang cukup besar seperti bengkak, melepuh, perdarahan, memar sampai dengan nekrosis. Yang harus diwaspadai adalah terjadinya syok

90
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

hipovolemik sekunder yang diakibatkan oleh berpindahnya cairan vaskuler ke jaringan akibat efek sistemik bisa ular tersebut. b) Efek sistemik Gigitan ular ini akan menghasilkan efek yang non-spesifik seperti: nyeri kepala, mual dan muntah, nyeri perut, diare sampai pasien menjadi kolaps. Gejala yang ditemukan seperti ini sebagai tanda bahaya bagi petugas kesehatan untuk memberi petolongan segera. c) Efek sistemik spesifik Efek sistemik spesifik dapat dibagi berdasarkan: (1) Koagulopati Beberapa spesies ular dapat menyebabkan terjadinya koagulopati. Tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan adalah keluarnya darah terus menerus dari tempat gigitan, venipuncture dari gusi dan bila berkembang akan menimbulkan hematuria, hematomesis, melena dan batuk darah. (2) Neurotoksik Gigitan ular ini dapat menyebabkan terjadinya flaccid paralysis. Ini biasanya berbahaya bila terjadi paralisis pada pernapasan. Biasanya tanda-tanda yang pertama kali dijumpai adalah pada saraf kranial seperti ptosis, oftalmoplegia progresif bila tidak mendapat anti venom akan terjadi kelemahan anggota tubuh dan paralisis pernapasan. Biasanya full paralysis akan memakan waktu + 12 jam, pada beberapa kasus biasanya menjadi lebih cepat, 3 jam setelah gigitan. (3) Miotoksisitas Miotoksisitas hanya akan ditemukan bila seseorang diserang atau digigit oleh ular laut. Ular yang berada di daratan biasanya tidak ada yang menyebabkan terjadinya miotoksisitas berat. Gejala dan tanda adalah: nyeri otot, tenderness, mioglobinuria dan berpotensi untuk terjadinya gagal ginjal, hiperkalemia dan kardiotoksisitas. d. Diagnosis Adanya riwayat gigitan disertai gejala/tanda gigitan ular berbisa baik berupa efek lokal (tempat gigitan) maupun efek sistemik dan efek sistemik spesifik. e. Penatalaksanaan Pertolongan pertama pada gigitan ular:
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

1) Bila yang digigit anggota badan, gunakan tali putar silang di sebelah atas luka. Putar tali sedemikian kencang sampai denyut nadi di ujung anggota hampir tidak teraba. Ikatan dikendorkan tiap 15 menit selama 1 menit. Menurut Schwartz (Depkes, 2001), gigitan ular dapat diklasifikasikan sesuai Tabel 11. Tabel 11. Klasifikasi Gigitan Ular Menurut Schwartz
Derajat 0 I II Venerasi 0 +/+ Luka + + + Nyeri +/+++ Edema/Eritema <3 cm/12 jam 3-12 jam/12 jam >12-25 cm/12 jam >25 cm/12 jam Sistemik 0 0 + Neurotoksik, mual, pusing, syok ++ Ptekhiae, syok, ekhimosis ++ Gagal ginjal akut, koma, perdarahan

III

+++

IV

+++

+++

>ekstremitas

2) Bila tersedia, suntikkan Serum Anti Bisa Ular (SABU) polivalen i.v menggunakan tatacara pengobatan sesuai Tabel 12. Tabel 12. Pedoman Terapi SABU Menurut Luck
Derajat Beratnya evenomasi Tidak ada Minimal Sedang Berat Berat Taring atau gigi + + + + + Ukuran zona edema/eritemato kulit (cm) <2 2-15 15-30 >30 <2 Gejala sistemik + ++ +++ Jumlah vial venom 0 5 10 15 15

0 I II III IV

3) Segera rujuk pasien ke rumah sakit. f. KIE: 1) Tujuan penatalaksanaan: a) menghalangi/memperlambat absorpsi bisa ular. b) menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah.

91

92
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

c) mengatasi efek lokal dan sistemik. 2) Pencegahan terhadap gigitan ular: a) Penduduk di daerah dimana ditemukan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai dengan kaki. b) Ketersediaan serum anti bisa ular (SABU) untuk daerah dimana sering terjadi kasus gigitan ular. c) Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan semak-semak. d) Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak pasien yang tergigit akibat kejadian semacam itu.

31. GINGIVITIS Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 1503

ICD X : K05-K06

a. Definisi Gingivitis adalah inflamasi gingiva marginal atau radang gusi. b. Penyebab Radang gusi ini dapat disebabkan oleh faktor lokal maupun faktor sistemik. Faktor lokal diantaranya karang gigi, bakteri, sisa makanan (plak), pemakaian sikat gigi yang salah, rokok, tambalan yang kurang baik. Faktor sistemik meliputi Diabetes Melitus (DM), ketidakseimbangan hormon (saat menstruasi, kehamilan, menopause, pemakaian kontrasepsi), keracunan logam, dan sebagainya. c. Gambaran Klinis 1) Pasien biasanya mengeluh mulut bau, gusi bengkak mudah berdarah, tanpa nyeri, hanya kadang terasa gatal. 2) Pada pemeriksaan gusi tampak bengkak, berwarna lebih merah dan mudah berdarah pada sondasi. Kebersihan mulut biasanya buruk. 3) Ginggivitis herpes biasanya disertai gejala herpes simpleks. Tanda di gusi tidak disertai bau mulut. 4) Salah satu bentuk radang gusi adalah perikoronitis yang gejalanya lebih berat: demam, sukar membuka mulut. d. Diagnosis Peradangan pada gusi. e. Penatalaksanaan 1) Pasien dianjurkan untuk memperbaiki kebersihan mulut dan berkumur dengan 1 gelas air hangat +1 sendok teh garam, atau bila ada dengan obat kumur iodium povidon tiap 8 jam selama 3 hari. 2) Bila kebersihan mulut sudah diperbaiki dan tidak sembuh, rujuk ke Rumah Sakit untuk perawatan selanjutnya. Perlu dipikirkan kemungkinan sebab sistemik. 3) Perikoronitis memerlukan antibiotik selama 5 hari: amoksisilin 500 mg tiap 8 jam. 4) Membersihkan karang gigi.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

93

94
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

f.

KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: menyembuhkan infeksi, menghilangkan gejala, mencegah komplikasi 2) Pencegahan: menjaga kebersihan gigi dan mulut, menggosok gigi tiap pagi setelah makan dan malam sebelum tidur, memeriksakan ke dokter gigi minimal 2x setahun, makan makanan yang berserat dan berair (sayur dan buah). 3) Jangan mengunyah hanya pada satu sisi gigi. 4) Alasan rujukan: bila kebersihan mulut sudah diperhatikan dan penyakit tidak sembuh, perlu dirujuk ke rumah sakit untuk perawatan selanjutnya.

32. GLAUKOMA Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A : 1001

ICD X : H40

a. Definisi Glaukoma adalah suatu gejala dari kumpulan penyakit yang menyebabkan suatu resultan yakni meningkatnya tekanan intra okuler yang cukup untuk menyebabkan degenerasi optik disk (atrofi nervus optikus) dan kelainan lapang pandang. b. Penyebab Meningkatnya tekanan intra okuler. Harus dibedakan dengan hipertensi okuler yaitu suatu keadaan dimana tekanan intraokuler meninggi tanpa kerusakan pada optik disk dan kelainan lapang pandang. c. Gambaran Klinis Glaukoma dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1) Glaukoma Primer a) Glaukoma primer sudut terbuka (open angle glaucoma, chronic glaucoma) adalah jenis glaukoma yang paling sering ditemukan. b) Glaukoma primer sudut tertutup (closed angle glaucoma, acute congestive glaucoma). 2) Glaukoma Kongenital a. Glaukoma kongenital primer atau infantil (Buftalmos) b. Glaukoma yang menyertai kelainan kongenital 3) Glaukoma Sekunder 4) Glaukoma Absolut Pada glaukoma akut kongestif (terjadinya serangan) harus diberi perawatan yang secepat-cepatnya karena terlambatnya perawatan dapat mempercepat memburuknya tajam penglihatan dan lapang pandang. Glaukoma akut kongestif sering diduga/didiagnosa sebagai konjungtivitis karena mata terlihat merah. Pada glaukoma akut akan terlihat adanya infeksi konjungtiva, infeksi silier, pupil melebar/mid dilatasi, reflek kurang. Pemeriksaan pengukuran tekanan bola mata dengan tonometri akan didapatkan nilai yang tinggi (normal 1020 mmHg).

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

95

96
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

d. Diagnosis Mata merah, pupil lebar, reflek kurang, kornea agak keruh, tanpa kotoran mata dengan keluhan nyeri kepala, mual, muntah, visus menurun dan biasanya mengenai satu mata adalah gejala glaukoma akut. Kelainan tersebut jangan didiagnosis sebagai konjungtivitis. Tanda konjungtivitis adalah mata merah (biasanya dua mata), terdapat kotoran mata, tidak nyeri kepala, visus tidak menurun, pupil tidak lebar dan tidak berakibat kebutaan. Glaukoma akut kongestif sangat berbahaya dan berakibat kebutaan total yang tidak dapat diobati. e. Penatalaksanaan Penatalaksanaan sesuai dengan kedaruratan mata (karena dapat menimbulkan kebutaan). Dengan keterbatasan ketenagaan dan peralatan, maka penanggulangan glaukoma yang mungkin dilakukan di Puskesmas adalah glaukoma akut kongestif, dengan pemberian steroid topikal untuk menekan reaksi peradangan, misalnya betametason tetes mata. Pengobatan simtomatik untuk gejala yang ada parasetamol untuk sakit kepala dan metoklopramid untuk muntah, dan segera rujuk ke spesialis mata untuk perawatan dan tindakan selanjutnya. f. KIE 1) Tujuan pengobatan: menurunkan tekanan bola mata secara cepat untuk mencegah kebutaan, melakukan deteksi dini dalam keluarga terhadap kemungkinan menderita glaukoma. 2) Alasan rujukan: untuk perawatan dan tindakan selanjutnya.

33. GLOMERULONEFRITIS AKUT (GNA) Kompetensi : 3A Laporan Penyakit : 16

ICD X : N00

a. Definisi Glomerulonefritis akut (GNA) atau glomerulonefritis pasca infeksi adalah suatu peradangan pada glomeruli yang menyebabkan hematuria (darah dalam urin), dengan gumpalan sel darah merah dan proteinuria (protein dalam urin) yang jumlahnya bervariasi. b. Penyebab Infeksi bakteri atau virus tertentu pada ginjal. Kuman yang paling sering dihubungkan dengan GNA adalah Streptococcus beta-haemolyticus grup A. c. Gambaran Klinik 1) Sekitar 50% pasien tidak menunjukkan gejala. Jika ada gejala, yang pertama kali muncul adalah penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edem), berkurangnya volume urin dan berwarna gelap karena mengandung darah. 2) Pada awalnya edem timbul sebagai pembengkakan di wajah dan kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai dan bisa menjadi hebat. 3) Tekanan darah tinggi dan pembengkakan otak bisa menimbulkan sakit kepala, gangguan penglihatan dan gangguan fungsi hati yang lebih serius. d. Diagnosis 1) Urinalisis menunjukkan jumlah protein yang bervariasi dan konsentrasi urea dan kreatinin di dalam darah seringkali tinggi. 2) Kadar antibodi untuk streptococcus di dalam darah bisa lebih tinggi daripada normal. 3) Kadang pembentukan urin terhenti sama sekali segera setelah terjadinya glomerulonefritis pasca streptococcus, volume darah meningkat secara tiba-tiba dan kadar kalium darah meningkat. Jika tidak segera menjalani dialisa, maka pasien akan meninggal. 4) Sindroma nefritik akut yang terjadi setelah infeksi selain Streptococcus biasanya lebih mudah terdiagnosis karena gejalanya seringkali timbul ketika infeksinya masih berlangsung. Tanda-tanda GNA: hematuria, edem, gangguan fungsi ginjal.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

97

98
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

e. Penatalaksanaan 1) Pemberian obat yang menekan sistem kekebalan dan kortikosteroid tidak efektif, kortikosteroid bahkan bisa memperburuk keadaaan. 2) Jika pada saat ditemukan sindroma nefritik akut infeksi bakteri masih berlangsung, maka segera diberikan antibiotik. 3) Jika penyebabnya adalah infeksi pada bagian tubuh buatan (misalnya katup jantung buatan), maka prognosisnya tetap baik, asalkan infeksinya bisa diatasi. 4) Pasien sebaiknya menjalani diet rendah protein dan garam sampai fungsi ginjal kembali membaik. 5) Bisa diberikan diuretik untuk membantu ginjal dalam membuang kelebihan garam dan air. 6) Untuk mengatasi tekanan darah tinggi diberikan obat anti hipertensi. 7) Jika diperlukan perlu dirujuk ke rumah sakit f. KIE 1) Tujuan pengobatan: menghilangkan infeksi dan menghambat progresifitas penyakit. 2) Pencegahan: pemantauan klinik yang teratur, kontrol tekanan darah, proteinuria dan kadar lemak darah, pengaturan asupan protein.

34. GONORE Kompetensi Laporan Penyakit

: 4 : 25 ICD X : A54

a. Definisi Gonore adalah infeksi bakteri tertentu di alat kelamin, dubur atau tenggorokan. b. Penyebab Disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae (gonococcus), suatu diplococcus gram negatif. Gonore dapat menular kalau seseorang melakukan hubungan seks vaginal, dubur atau mulut dengan seseorang yang sedang mengalami infeksi tersebut tanpa memakai kondom. Untuk laki-laki yang mengalami infeksi saluran kencing, gejala-gejalanya biasanya muncul dalam waktu 210 hari setelah terinfeksi. c. Gambaran Klinis 1) Setelah melakukan kontak seksual kelainan di awal dengan keluhan rasa tidak nyaman/panas di saluran kemih dan beberapa waktu kemudian dengan keluarnya cairan putih kekuningan (darah) dari lubang kencing. 2) Biasanya penyakit ini menunjukan gejala 2-10 hari. Umumnya penyakit ini ditandai dengan radang saluran urin dengan gejala nyeri sewaktu berkemih dan mengeluarkan cairan putih dari saluran kemihnya. Namum pengeluaran cairan putih, ataupun yang kuning, yang kental ataupun yang encer bisa disebabkan oleh kuman lain, sehingga sifat cairan ini tidak memastikan penyakit ini. 3) Pada wanita biasanya tidak ada keluhan keputihan dan kadang-kadang pendarahan yang tidak normal dari rahim serta rasa tak nyaman pada liang dubur. Namun semua gejala itu pun tidak khas bagi gonore, ia bisa juga disebabkan oleh penyakit lain sehingga perlu diperiksa dengan teliti. 4) Pada wanita infeksi gonore bisa berlanjut menjadi peradangan alat dalam panggul yang menjalar dari bibir rahim, ke dalam rahim, ke saluran telur dan ke seluruh alat dalam panggul, biasanya terjadi selama haid. Gejala penyakit ini meliputi demam dan nyeri perut bagian bawah. Mungkin juga terdapat pengeluaran cairan kekuningan dari dalam bibir rahim dan nyeri tekan pada rahim pada waktu pemeriksaan

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

99

100
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

dalam atas alat-alat panggul. Radang alat-alat panggul ini bisa menyebabkan strerilitas, kehamilan di luar kandungan dan nyeri panggul yang menahun. 5) Selain komplikasi setempat pada laki-laki dan wanita, bisa juga terjadi komplikasi di tempat lain, akibat penyebarannya kuman gonore melalui darah, dan kira-kira 2/3 pasiennya wanita. Bisa terjadi radang sendi dan kulit yang di tandai demam, nyeri sendi dan bengkak sendi, menggigil serta kelainan kulit berbentuk nanah dan gelembung. Radang sendi melibatkan beberapa sendi, sering melibatkan sendi pergelangan tangan, jari-jari, sendi lutut dan sendi pergelangan kaki. Manifestasi lazim lainnya meliputi radang selaput pembukus jantung (perikarditis), dan radang hati (hepatitis). Kadang-kadang terjadi radang lapisan dalam jantung dan selaput otak. d. Diagnosis Gonore dan klamidia dapat diketahui dengan sampel yang diseka dari saluran kemih, dubur atau tenggorokan. Penting agar pasien tidak buang air kecil selama paling tidaknya tiga jam sebelum menjalani tesnya. e. Penatalaksanaan 1) Eritromisin 4x500 mg/hari, per oral, 7 hari 2) Doksisiklin 2x100 mg/hari, per oral, 7 hari 3) Penisilin prokain 2,4 juta UI, diberikan i.m., sedang dosis untuk wanita 4,8 juta UI. 4) Siprofloksasin 500 mg tiap 12 jam selama 5-7 hari per oral. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: mengobati dan menghindari penularan. 2) Pencegahan: hindari perilaku berisiko atau perilaku seksual yang tidak aman, hindari kontak langsung dengan pasien. 3) Alasan rujukan: tidak sembuh dengan pengobatan tersebut diatas 4) Efek samping pengobatan: alergi obat. 5) Doksisiklin tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui, atau anak di bawah 12 tahun

35. GOUT Kompetensi Laporan Penyakit

: 3A : 90

ICD X : M10

a. Definisi Gout merupakan penyakit radang sendi yang terjadi akibat deposisi kristal mono sodium urat pada persendian dan jaringan lunak. Gout ditandai dengan serangan berulang dari arthritis (peradangan sendi) yang akut, kadang-kadang disertai dengan pembentukan kristal sodium urat yang besar (yang dinamakan tophus), deformitas (kerusakan) sendi secara kronik, dan adanya cedera pada ginjal. b. Penyebab Penumpukan asam urat didalam tubuh secara berlebihan, baik akibat produksi asam urat yang meningkat, pembuangannya melalui ginjal yang menurun, atau akibat peningkatan asupan makanan yang kaya akan purin. Gout terjadi ketika cairan tubuh sangat jenuh akan asam urat karena kadarnya yang tinggi. c. Gambaran Klinis 1) Gejala paling khas adalah nyeri dan kemerahan pada sendi metatarsofalangeal pertama, biasanya melibatkan satu sendi. Gejala bisa dieksaserbasi oleh paparan terhadap dingin dan sering memburuk pada malam hari. 2) Gout dapat menyerang lebih dari 1 sendi, tetapi umumnya asimetri (satu sisi tubuh saja). Sendi yang terlibat tampak bengkak, hangat, kemerahan, dengan kulit diatasnya yang teregang. 3) Selama serangan akut, pasien mungkin agak demam dan ada peningkatan jelas LED dan CRP serum. 4) Lebih dari sekali mengalami serangan artritis akut. 5) Terjadi peradangan secara maksimal dalam 1 hari. 6) Oligoartritis. 7) Kemerahan di sekitar sendi yang meradang. 8) Hiperurisemia (kadar asam urat dalam darah >7,5 mg/dL). 9) Pembengkakan sendi secara asimetris (satu sisi tubuh saja). d. Diagnosis Nyeri akut pada persendian kecil seperti ibu jari, terutama malam hari.

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

101

102
Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

Kadar urat serum biasanya >7,5 mg/dL. e. Penatalaksanaan 1) Pada serangan artritis akut, pasien biasanya diberikan terapi untuk mengurangi peradangan dengan memberikan obat analgesik atau kortikosteroid. Setelah serangan akut berakhir, terapi ditujukan untuk menurunkan kadar asam urat didalam tubuh. 2) Kondisi yang terkait dengan hiperurisemia adalah diet kaya purin, obesitas, serta konsumsi alkohol. Purin merupakan senyawa yang akan dirombak menjadi asam urat didalam tubuh. Alkohol merupakan salah satu sumber purin dan juga dapat menghambat pembuangan purin melalui ginjal sehingga disarankan untuk tidak sering mengonsumsi alkohol. Pasien juga disarankan untuk minum air dalam jumlah yang banyak (>2 L tiap harinya) karena akan membantu pembuangan asam urat dan meminimalkan pengendapan asam urat dalam saluran kemih. Ada beberapa jenis makanan yang diketahui kaya akan purin, antara lain jeroan (sapi, babi, kambing), makanan dari laut (seafood), melinjo, softdrink, minuman berfruktosa (termasuk jus kemasan). Makanan tersebut jangan dikonsumsi berlebihan. 3) Obat yang digunakan untuk terapi profilaksis adalah: a) Alopurinol, bila terdapat over produksi asam urat. Obat ini menghambat sintesa dan menurunkan kadar asam urat darah. Dosis pada hiperurikemia 100 mg tiap 8 jam sesudah makan, bila perlu dinaikkan tiap minggu dengan 100 mg hingga 10 mg/kgBB/hari. b) Natrium bikarbonat 2 tablet 3 x sehari, untuk membantu kelarutan asam urat. f. KIE 1) Tujuan penatalaksanaan: mengurangi peradangan, menurunkan kadar asam urat dalam tubuh. 2) Pencegahan: membatasi diet purin, tidak mengkonsumsi alkohol, minum air dalam jumlah banyak (> 2 L).

Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas 2011

103

Anda mungkin juga menyukai