Anda di halaman 1dari 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya, manusia dan seni adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Di mana ada manusia, disitulah ada seni. Seni senantiasa mengikuti manusia, begitu juga sebaliknya. Manusia sebagai pencipta karya seni, mengekspresikan ide-ide dan pengalamannya akan keindahan pada suatu karya seni. Sedangkan manusia sebagai penikmat seni, batinnya akan bergetar dan terharu jika berhadapan dengan suatu karya seni yang dihasilkan oleh pencipta seni dengan mengekspresikan ide-ide dan pengalamannya akan keindahan (Soedarso, 2006 : 41). Batin manusia sebagai penikmat seni dapat tersentuh karena karya seni yang dihasilkan adalah sebuah karya yang diciptakan oleh pribadi yang kreatif yang diwujudkan oleh pengungkapan yang harmonis, serta dapat berdiri sendiri sebagai suatu gagasan atau hasrat yang mengharukan (Tolstoy dalam Agus Sachari, 2006 : 2). Sejalan dengan seni, agama juga dapat menggetarkan batin manusia jika keberadaannya dapat menguasai pikiran, perilaku, dan perasaan. Akan tetapi disaat seni membebaskan pikiran manusia untuk mendapatkan ide-ide dan pengalaman estetiknya, disisi lain agama memiliki batasan yang bermacammacam serta kadangkala dapat bertentangan antara batasan satu dengan yang lain. Sumbangan penting dari pendapat Geertz tersebut adalah melalui batasan tersebut kita dapat memperoleh wujud empirik dari agama (http://www.javanologi.info /main.themes/images/pdf/Seni_dan_Agama_Lono.pdf). Salah satu agama yang menggunakan seni sebagai sarana penyampaian ajaran agamanya adalah Islam. Islam membawa kebudayaannya masuk ke wilayah nusantara secara bertahap sejak masa kerajaan Majapahit dan Kediri. Namun, kebudayaan ini baru berkembang bersamaan dengan berdirinya kerajaan Perlak, Samudra Pasai, dan Aceh pada abad ke-13, serta kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa pada abad ke-14. Diterimanya kebudayaan Islam terutama

Anda mungkin juga menyukai