Anda di halaman 1dari 39

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Kolom
Didalam peraturan tata cara perhitungan struktur beton bertulang berdasarkan
SNI 03-2847-2002 (Anonim 1, 2002) dijelaskan bahwa kolom merupakan
komponen struktur bangunan yang fungsi utamanya adalah memikul beban aksial
tekan vertikal dengan bagian tinggi yang tidak ditopang paling tidak tiga kali dimensi
lateral terkecil. Sedangkan komponen struktur yang menahan beban aksial vertikal
dengan rasio bagian tinggi dengan dimensi lateral terkecil kurang dari tiga
dinamakan pedestal.
Pada umumnya kolom dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis berdasarkan bentuk
dan komposisi material kolom beton bertulang, yaitu :
1. Kolom empat persegi dengan tulangan longitudinal dan tulangan pengikat
lateral / sengkang. Bentuk penampang kolom bisa berupa bujur sangkar atau
berupa empat persegi panjang. Kolom dengan bentuk empat persegi ini
merupakan bentuk yang paling banyak digunakan, mengingat pembuatannya
yang lebih mudah, perencanaannya yang relatif lebih sederhana serta
penggunaan tulangan longitudinal yang lebih efektif (jika ada beban momen
lentur) dari type lainnya.
2. Kolom bulat dengan tulangan longitudinal dan tulangan pengikat spiral atau
tulangan pengikat lateral. Kolom ini mempunyai bentuk yang lebih bagus
dibanding bentuk yang pertama di atas, namun pembuatannya lebih sulit dan
penggunaan tulangan longitudinalnya kurang efektif (jika ada beban momen
lentur) dibandingkan dari type yang pertama di atas.
7

3. Kolom komposit. Pada jenis kolom ini, digunakan profil baja sebagai
pemikul lentur pada kolom. Selain itu tulangan longitudinal dan tulangan
pengikat juga ditambahkan bila perlu. Bentuk ini biasanya digunakan, apabila
jika hanya menggunakan kolom bertulang biasa diperoleh ukuran yang sangat
besar karena bebannya yang cukup besar, dan disisi lain diharapkan ukuran
kolom tidak terlalu besar.

Pembahasan dalam tugas akhir ini dibatasi hanya untuk dua jenis pertama.
yaitu kolom dengan menggunakan pengikat lateral sengkang dan sepiral.
Didalam berbagai eksperimen menunjukkan bahwa kolombertulangan spiral
lebih kuat daripada kolom yang bertulangan sengkang. Pada umumnya kolom ini
berperilaku sama pada saat tercapainya titik luluh kolom, yaitu pada saat bagian tepi
terluar dari beton (selimut beton) mengalami kehancuran. Pada keadaan tersebut
kolom berpengikat sengkang rusak dengan ditandai betonnya hancur, lepas,
berongga, dan lebih lanjut tulangan-tulangan pokok memanjang cendrung tertekuk
(buckling) pada tempat diantara dua ikatan sengkang, atu persatu atau bahkan
bersamaan. Pada saat yang bersamaan terjadi pelimpahan beban keseluruhan kepada
beton bagian inti dan tulangan pokok dalam waktu yang sangat singkat hilangnya
kekakuan tulangan pokok memanjang ditandai dengan meluluh dan menekuk
kearah luar, mengakibatkan tegangan tambahan pada beton bagian inti. Apabila
beton inti sampai pada batas kekuatan runtuh, maka kolom akan runtuh secara
keseluruhan secara mendadak. Kondisi yang lebih baik terdapat pada kolom
berpengikat sepiral diaman pada bagian inti, yaitu daerah yang dikelilingi oleh
tulangan spiral yang berupa beton yang dililit dan terkurung, masi efektif bertahan
8

Kolom berpengikat
sengkang runtuh
secara tiba-tiba (kolom
persegi)
Kolom berpengikat
spiral hancur
(kolom bulat)
Titik luluh kolom
(kolom berpengikat spiral
mengelupas selimutnya)
Beban
Regangan
kearah lateraldan masi mampu melaksanakan tugasnya menahan beban aksial.
Kehancuran total terjadi apabila selanjutnya terjadi deformasi besar pada kolom
(bagian inti) dan kemudian di ikuti dengan meluluhnya tulangan spiral. Tulangan
spiral memberi kemampuan kolom untuk menyerap deformasi cukup besar sebelum
runtuh sehingga mampu mencegah terjadinya kehancuran seluruh struktur sebelum
proses redistribusi momen dan tegangan terwujud.










Gambar 2.1. Hubungan regangan dan pembebanan pada kolom persegi dan bulat
II.1.1. Ragam Kegagalan Material pada Kolom
Fungsi kolom dalam struktur sangat penting, oleh karena itu perencanaan
kolom harus diperhitungkan sebaik mungkin, karena kegagalan kolom akan
berakibat langsung pada runtuhnya komponen struktur lain yang berhubungan
denganya, atau bahkan merupakan batas runtuh total keseluruhan struktur bangunan..
Pada umumnya kegagalan atau keruntuhan komponen struktur tekan tidak
diawali dengan tanda peringatan yang jelas atau bersifat mendadak. Oleh karena itu
9

maka kegagalan struktur kolom sangat pernting untuk kita telaah baik dari segi
ekonomis maupun dari segi manusiawi. Dan untuk itu dalam merencanakan kolom
perlu kita memberikan kekuatan cadangan yang lebih tinggi daripada yang dilakukan
pada balok dan elemen struktural horizontal lainnya.
Dalam beberapa kasus keruntuhan kolom dapat terjadi karena tulangan
bajanya leleh karena tarik, atau terjadinya kehancuaran pada beton yang tertekan.
Selain itu dapat pula kolom mengalami keruntuhan apabila terjadi kehilangan
stabilitas lateral, yaitu terjadi tekuk.
Apabila kolom runtuh karena kegagalan material (yaitu lelehnya baja atau
hancurnya beton), kolom ini diklasifikasikan sebagai kolom pendek sedangkan
apabila kolom runtuh karena tekuk ini disebabkan karena adanya suatu transisi dari
kolom pendek (runtuh karena material) ke kolom panjang (runtuh karena tekuk).
Berdasarkan besarnya regangan pada tulangan baja yang tertarik penampang
kolom dapat dibagi menjadi dua kondisi awal keruntuhan yaitu :
1. Keruntuhan tarik, yang diawali lelehnya tulangan yang tertarik
2. Keruntuhan tekan, yang diawali hancurnya beton yang tertekan
Kondisi balanced terjadi apabila keruntuhan diawali dengan lelehnya
tulangan yang tertarik sekaligus juga hancurnya beton yang tertekan
Apabila Pn adalah adalah beban aksial pada kondisi balanced, maka :
Pn <Pnb kruntuhan tarik
Pn = Pnb keruntuhan balanced
Pn > Pnb keruntuhan tekan
Dalam segala hal keserasian regangan (strain compatibility) harus tetap
terpenuhi.
10

Pada kesempatan ini penulis mencoba mengenalisa keruntuhan kolom yang
disebakkan oleh beban gempa, dimana kolom mengalami kegagalan karena torsi
yang bekerja pada kolom tersebut.

II.1.2. Perencanaan Kekuatan Kolom
Pada umumnya perencanaa kolom dapat dievaluasi berdasarkan prinsip-
prinsip dasar sebagai berikut :
1. Distribusi regangan linier diseluruh tebal kolom
2. Tidak ada gelincir antara beton dengan tulangan baja dalam artian regangan
pada baja sama dengan regangan pada beton yang mengelilinginya.
3. Regangan beton maksimum yang diizinkan pada keadaan gagal adalah 0.003
4. Kekuatan tarik beton diabaikan dan tidak digunakan dalam perhitungan.
Untuk lebih jelasnya tinjaulah suatu kolom yang luas penampang brutonya A
g
dengan lebar b dan tinggi total h, denag luas tulangan total A
st
. maka luas bersih
penampang beton adalah A
g
- A
st
.
Pada gambar 9.5 dapat kita lihat bahwa pada saat regangan mencapai sekitar
0,002 0,003, beton mencapai kekuatan maksimum fc. Secara teoritis beban
maksimum yang dapat dipikul oleh kolom adalah beban yang menyebabkan
terjadinya tegangan fc pada beton. Penambahan beban lebih lanjut bisa saja terjadi
apabila strain hardening pada tulangan terjadi disekitar regangan 0,003. Dengan
demikian kapasitas beban sentris maksimum pada kolom dapat diproleh dengan
menambahkan kontribusi beton. Yaitu (A
g
- A
st
) 0,85 fc dan kontribusi tulangan
sebesar A
st
fy. Sehingga kondisi pembebanan tanpa eksentrisitas pada kolom dapat
dinyatakan sebagai
11

P
0
= 0.85 f
c
(A
g
A
st
) + f
y
A
st
(II.1)
Sedangkan peraturan memberikan ketentuan hubungan dasar antara beban
dengan kekuatan sebagai berikut :
P
u


P
n
(II.2)
Dimana : A
g
= luas penampang kotor penampang lintang kolom (mm
2
)
A
st
= luas total penampang penulangan memanjang (mm
2
)
P
0
= kuat beban aksial nominal atau teoritis tanpa eksentrisitas
P
n
= kuat beban aksial nominal atau teoritis dengan eksentrisitas
tertentu
P
u
= beban aksial terfaktor dengan eksentrisitas
Sedangkan untuk memperhitungkan eksentrisitas yang dapat menimbulkan
momen pada kolom yang disebakan oleh kekangan pada ujung yang monolit dengan
komponen lain, pelaksanaan pemasangan yang kurang sempurna, ataupun
penggunaan mutu bahan yang tidak merata. Maka untuk memperhitungkan
eksentrisitas minimum yang terjadi, dalam peraturan memberikan faktor reduksi
kekuatan untuk kolom. Untuk kolom dengan pengikat sengkang kukutanya direduksi
sebesar 20 % sedangkan untuk kolom berpengikat spiral direduksi sebesar 15%.
Sehingga ketentuan tersebut meberikan rumus kuat beban aksial maksimum sebgai
berikut :
Untuk kolom dengan penulangan spiral :
P
n(maks)
= [ ] (II.3)
Untuk kolom dengan penulangan sengkang :
P
n(maks)
= [ ] (II.4)

12

As

As
c
d
Ts
d
d
a
0.85 fc

c
Cs
Cc
N
A
s < y
d
Ts
Cs
Cc
a
0.85 fc
c

c
s > y
As
As








Gambar 2.2. Keadaan keseimbangan regangan penampang kolom persegi










Gambar 2.3. Keadaan keseimbangan regangan penampang kolom bulat




13

Namun dalam prakteknya kolom yang hanya memikul beban aksial hampir
tidak pernah kita jumpai. Namun demikian untuk memproleh dasar pengertian
perilaku kolom pada waktu menahan beban dan timbulnya momen pada kolom,
pertama-tama akan dibahas kolom dengn beban aksial tekan eksentris kecil. Apabila
beban P berimpit dengan sumbu memanjang kolom, berarti tanpa eksentrisitas,
perhitungan teoritis menghasilkan tegangan tekan merata pada permukaan
penampang lintangya. Sedangkan apabila gaya tekan tersebut bekerja di suatu tempat
berjarak e terhadap sumbu memanjang, kolom cendrung melentur seiring dengan
timbulnya momen M = P (e), jarak e dinamakan eksentrisitas gaya terhadap sumbu
kolom.











Gambar 2.4. Momen pada kolom akibat eksentrisitas `


P
M
Pusat
Berat
Pusat
Berat
e
P P
P
Pusat
Berat
e
P
14

II.2. Persyaratan /Ketentuan Struktur Bangunan Beton Tahan Gempa
Dalam perencanaan struktur bangunan beton yang berada pada zona gempa
harus memenuhi beberapa ketentuan yang telah dibuat dalam Tata Cara Perhitungan
Struktur Beton untuk Bangunan Gedung SNI 03-2847-2002 (Anonim 1, 2002) .
Ketentuan ini dimaksudkan untuk perencanaan pelaksanaan komponen struktur
bangunan beton termasuk sambungan dalam struktur dengan gaya yang bekerja
dihasilkan dari beban gempa yang telah ditentukan dengan memperhatikan disipasi
energi di dalam daerah respon nonlinier struktur bangunan tersebut.
Secara umum, suatu struktur atau komponen struktur dikatakan aman bila
persamaan berikut dapat terpenuhi.
Ru Rn (II.5)
Dimana: = faktor reduksi beban
Rn = kuat nominal struktur
Ru = pengaruh aksi terfaktor yaitu momen atau gaya yang
diakibatkan oleh suatu kombinasi pembebanan atau pengaruh aksi
perlu yaitu momen atau gaya yang diisyaratkan untuk struktur tahan
gempa.
Gaya geser dasar rencana total (V) pada suatu arah ditetapkan:

(II.6)
Dimana, V = gaya geser dasar rencana total, N
R = faktor modifikasi respon
Wt = berat total struktur
I = faktor kepentingan struktur
C = koefisien percepatan gempa
15

Struktur harus direncanakan kekuatannya terhadap beban berikut:
1. Beban Mati (Dead Load)
Beban mati adalah berat dari semua bagian bangunan yang bersifat tetap,
termasuk segala unsur tambahan, pekerjaan pelengkap (finishing), serta alat atau
mesin yang merupakan bagian tak terpisahkan dari rangka bangunannya. (Anonim 3,
1983)
2. Beban hidup (Live Load)
Beban hidup yang diperhitungkan adalah beban hidup selama masa layan.
Beban hidup selama masa konstruksi tidak diperhitungkan karena lebih kecil dari
pada beban hidup pada masa layan. Beban hidup yang direncanakan mengacu pada
standard pedoman pembebanan, yakni beban hidup pada lantai gedung sebesar 250
kg/m
3
dan beban hidup pada atap gedung sebesar 100kg/m
3
.
3. Beban gempa (Earthquqke Load)
Beban gempa adalah beban yang timbul akibat percepatan getaaran tanah
pada saat gempa terjadi. Untuk merencanakan struktur bangunan tahan gempa perlu
dikertahui percepatan yang terjadi pada batuan dasar.
Berdasarkan Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur
Bangunan Gedung SNI-1726-2002 (Anonim 2, 2002) Indonesia dibagi menjadi 6
wilayah gempa seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.5 Dimana wilayah gempa 1
adalah wilayah dengan kegempaan yang paling rendah dan wilayah gempa 6 adalah
wilayah dengan kegempaan paling tinggi. Pembagian wilayah gempa ini, didasarkan
atas percepatan puncak batuan dasar akibat pengaruh gempa rencana dengan periode
ulang 500 tahun, yang nilai rata-ratanya untuk setiap wilayah gempa ditetapkan
dalam tabel berikut.
16

Gambar 2.5. Wilayah gempa Indonesia dengan percepatan puncak batuan dasar dengan
perioda ulang 500 tahun (Anonim 2, 2002)

Tabel 2.1 Percepatan puncak batuan dasar dan percepatan puncak muka tanah untuk
masing-masing wilayah gempa Indonesia (Anonim 2, 2002)
Wilayah
Gempa
Percepatan Puncak
Batuan Dasar (g)
1 0,003
2 0,10
3 0,15
4 0,20
5 0,25
6 0,30

17

Untuk menentukan pengaruh gempa rencana pada struktur gedung, yaitu
berupa beban geser dasar nominal statik ekivalen pada struktur gedung beraturan
atau gaya geser dasar nominal sebagai respon dinamik ragam pertama pada struktur
gedung tidak beraturan, untuk masing-masing wilayah gempa ditetapkan respon
spektra gempa rencana.
Respon spektra adalah suatu diagram yang memberi hubungan antara
percepatan respon maksimum suatu sistem Satu Derajat Kebebasan (SDK) akibat
suatu gempa masukan tertentu, sebagai fungsi dari faktor redaman (dumping) dan
waktu getar alami sistem SDK tersebut (T).
Bentuk respon spektra yang sesungguhnya menunjukkan suatu fungsi acak
yang untuk waktu getar alami (T) meningkat menunjukkan nilai yang mula-mula
meningkat dulu sampai suatu nilai maksimum, kemudian turun lagi secara asimtotik
mendekati sumbu-T. Didalam peraturan respon spektra tersebut distandarkan
(diidealisasikan) sebagai berikut: untuk 0 T 0.2 detik, C meningkat secara linier
dari percepatan puncak muka tanah (A0) sampai Am; untuk 0.2 detik T Tc, C
bernilai tetap C=Am; untuk T > Tc, C mengikuti fungsi hiperbola C = AT/T. Dalam
hal ini Tc disebut waktu getar alami sudut. Berbagai hasil penelitian menunjukkan,
bahwa Am berkisar antara 2A0 dan 3A0, sehingga Am = 2,5 A0 merupakan nilai
rata-rata yang dianggap layak untuk perencanaan. Contoh gambar respon spektra
untuk wilayah gempa 3 dapat dilihat pada gambar berikut.
18


Gambar 2.6. Respon Spektra Wilayah Gempa 3 (Anonim 2, 2002)

Mengingat pada kisaran waktu getar alami pendek 0 T 0.2 detik terdapat
ketidak-pastian, baik dalam karakteristik gerakan tanah maupun dalam tingkat
daktilitas strukturnya, faktor respon gempa (C) dalam kisaran waktu getar alami
pendek tersebut nilainya tidak diambil kurang dari nilai maksimumnya untuk jenis
tanah yang bersangkutan.
Dengan mengacu pada kombinsai pembebanan Tata Cara Perhitungan
Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung SNI 03-2847-2002 (Anonin 2, 2002), maka
terdapat 6 standard kombinasi yakni sebagai berikut:
1. 1,4D
2. 1,2D + 1,6L + 0,5(La atau H)
3. 1,2D + 1,6 (La atau H) + (L L atau 0,8w)
4. 1,2D + 1,3W + L L + 0,5(LA + H)
5. 1,2D 1,0E + L L
19

6. 0,9D (1,3W atau 1,0E)
Keterangan:
D = adalah beban mati yang diakibatkan berat konstruksi permanen, termasuk
dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap, dan layanan tetap.
L = adalah beban hidup di atap yang ditimbulkan selama perawatan oleh
pekerja, peralatan dan material, atau selama penggunaan biasa oleh orang
atau benda bergerak
H = adalah beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan genangn air
W = adalah beban angin
E = adalah beban gempa
Dengan,
L = 0,5L < 5kPa, dan L = 1 bila L 5 kPa

II.3. Torsi
Torsi adalah gaya puntir yang terjadi pada batang lurus apabila batang
tersebut dibebani momen yang cendrung menghasilkan rotasi terhadap sumbu
longitudinal batang. Begitu juga halnya dalam komponen struktur suatu bangunan.
Jika diperhatikan lebih seksama, maka sebenarnya balok-balok pada banguna
mengalami torsi akibat beban yang bekerja dari pelat. Demikian juga halnya pada
kolom. Namun torsi pada kolom kebanyakan diakibatkan oleh gaya-gaya yang
arahnya horizontal seperti gaya angin maupun gaya gempa.
Torsi pada komponen struktur timbul karena adanya gaya-gaya yang
membentuk kopel yang cendrung memuntir komponen struktur terhadap sumbu
20

longitudinalnya. Seperti yang diketahui dari statika, momen kopel merupakan hasil
dari perkalian antara gaya dan jarak yang tegak lurus terhadap garis kerja gaya.
Momen yang menghasilkan puntir pada suatu batang disebut dengan momen
puntir atau momen torsi. Batang yang menyalurkan daya melalui rotasi disebut poros
atau as (shaft). Dalam tugas akhir ini, shaft yang akan dibahas adalah shaft yang
berbentuk bulat, bujur sangkar dan persegi panjang yang dalam hal ini akan
diaplikasikan pada komponen struktur kolom suatu bangunan.

II. 3.1. Perletakan Torsi
Berbagai perletakan torsi
Pada jenis perletakan tanpa torsi dikenal dengan rol Y=0 yang berarti pada
perletakan tidak diperbolehkan bergerak kearah sumbu y sedangkan kesumbu
x boleh.




Perletakan selanjutnya adalah sendi yang berlaku X=0 dan Z =0 yang
berarti pada perletakan tidak diperbolehkan bergerak ke arah sumbu x dan
sumbu y




21

Perletakan jepit berlaku X =0, Z=0 dan =0 yang berarti pada perletakan
tidak diperbolehkan bergerak kearah sumbu x dan sumbu y, demikian
juga perputaran sudut pada perletakan sama dengan nol.




Perletakan jepit pada torsi berlaku sudut puntir()=0



Perletakan bebas torsi yang berlaku X =0, Z =0, =0 dan =0



II.3.2. Penggambaran Bidang Torsi
Momen torsi dapat dituliskan dengan simbol seperti yang ada pada gambar
dibawah ini.




22







Gambar 2.7. Torsi terbagi rata dan torsi terpusat
Penggambaran bidang torsi dapat dilakukan seperti penggambaran bidang
lintang.






Gambar 2.8. Penggambaran bidang torsi
Penggambaran tanda bidang momen sama seperti menutup dan membuka
sekrup.Kalau arah momen torsi ke arah menutup maka digambarkan negatif dan
kalau ke arah membuka maka digambarkan positif.





23

O
C D
A
B
x
z
d
y
d
x
S
S
P
+

dx

x
z
O
II.3.3. Teori Analogi Membrane Elastic oleh Prandtl (Soap Film Analogy)
Dalam pembahasan analogi membrane ini, dilakukan suatu percobaan dengan
cara mengambil suatu potongan melintang dari elemen yang mengalami torsi untuk
diteliti. Bukaan ini dianggap ditutupi oleh membran elastis yang homogen seperti
selaput sabun, dan kerjakan suatu tekanan pada salah satu sisi membran.













Gambar 2.9. Analogi selaput sabun ( Soap Film Analogy)
Kemudian ditinjau suatu elemen membrane elastis ABCD dengan dimensi
dx, dy seperti ditunjuk pada gambar 2.9. dengan menggunakan z sebagai besaran
perpindahan lateral dari membran elastis, p adalah tekanan lateral dalam gaya
persatuan luas, dan S sebagai tegangan inisial dalam gaya per satuan panjang, maka
gaya vertikal murni yang diakibatkan oleh tegangan S yang bekerja sepanjang sisi
24

AD dan BC dari membran (dengan mengasumsikan perpindahan yang terjadi adalah
sangat kecil sehingga nilai sin tan ) berturut-turut adalah :
- S dy sin - S dy tan = -S dy


- S dy sin ( +

dx) S dy tan ( +

dx) = S dy

(z +

dx)
Dengan cara yang sama akan diperoleh gaya vertikal murni yang diakibatkan
oleh tegangan S yang bekerja sepanjang sisi AB dan DC berturut-turut adalah
-S dx


S dx

(z +

dy)
Jika keempat gaya vertikal diatas dijumlahkan maka akan diperoleh
persamaan membrane untuk elemen dx, dy adalah sebagai berikut
-S dy

+ S dy

(z +

dx) - S dx

+ S dx

(z +

dy) + p dx dy = 0
S dy

(z +

dx) + S dx

(z +

dy) = - p dx dy
S

dx dy + S

dx dy = - p dx dy

= -

(II.7)
Persamaan (II.7) ini dikenal sebagai persamaan Analogi Membran Prandtl.
Persamaan ini akan digunakan untuk menyelesaikan persamaan torsi untuk tampang
persegi.
25

dy
dz
P
C
B A
dx
O
y
z
x
II.4. Analisa Torsi pada Tampang Sembarang
II.4.1. Regangan
Regangan didefinisikan sebagai suatu perbandingan antara perubahan
dimensi suatu bahan dengan dimensi awalnya. Karena merupakan rasio antara dua
panjang, maka regangan ini merupakan besaran tak berdimensi, artinya regangan
tidak mempunyai satuan. Dengan demikian, regangan dinyatakan hanya dengan
suatu bilangan, tidak bergantung pada system satuan apapun. Harga numerik dari
regangan biasanya sangat kecil karena batang yang terbuat dari bahan structural
hanya mengalami perubahan panjang yang kecil apabila dibebani.
Dalam membahas prubahan bentuk benda elastic, selalu dianggap bahwa
benda terkekang sepenuhnya sehingga tidak bias bergerak sebagai benda kaku
sehingga tidak mungkin ada perpindahan partikel benda tanpa perubahan bentuk
benda tersebut.
Pada pembahasan ini yang ditinjau hanya perubahan bentuk yang kecil yang
biasa terjadi pada struktur teknik. Perpindahan kecil partikel yang berubah bentuk ini
diuraikan kedalam komponen u, v, w berturut-turut sejajar dengan sumbu koordinat.
Besar komponen ini dianggap sangat kecil dan bervariasi diseluruh volume benda.





Gambar 2.10. Elemen kecil berdimensi dx, dy, dan dz

26

u + () dy
v + ) dx
v
u
dy
dx
A
A
P
B
B
y
x
O
Tinjau elemen kecil dx, dy, dz dari sebuah benda elastik seperti terlihat pada
gambar 2.10 apabila benda mengalami perubahan bentuk dan u, v, w merupakan
komponen perpindahan titik P, perpindahan titik di dekatnya A, dalam arah x pada
sumbu x adalah orde pertama dalam dx, yaitu u + dx akibat pertambahan
fungsi u sebesar ( dx sesuai dengan pertambahan panjang elemen PA akibat
perubahan bentuk adalah ) dx. Sedangkan satuan perpanjangan pada titk P
dalam arah x adalah . Dengan cara yang sama, maka diproleh satuan
perpanjangan dalam arah y dan z adalah ) dan ).








Gambar 2.11. Perpindahan titik-titik P, A, dan B
Sekarang tinjaulah pelintingan sudut antara elemen PA dan PB dalam gambar
2.11. apabila u dan v adalah perpindahan titik P dalam arah x dan y, perpindahan titik
A dalam arah y dan titik B dalam arah x berturut-turut adalah v + ) dx dan u
+ () dy. Akibat perpindahan ini maka PA merupakan arah baru elemen PA
yang letaknya miring terhadap arah awal dengan sudut kecil yang ditunjukkan pada
gambar, yaitu sama dengan ). Dengan cara yang sama arah PB miring
terhadap PB dengan sudut kecil ). Dari sini dapat dilihat bahwa sudut awal
27

APB yaitu sudut antara kedua elemen PA dan PB berkurang sebesar ) +
). Sudut ini adalah regangan (shearing strain) antara bidang xz dan yz.
Regangan geser antara bidang xz dan xz dan bidang yx dan yz dapat siproleh dengan
cara yang sama.
Selanjutnya kita menggunakan huruf untuk satuan perpanjangan dan huruf
untuk regangan geser. Untuk menunjukkan arah regangan digunakan subskrip yang
sama terhadap huruf ini sama seperti untuk komponen tegangan. Kemudian diproleh
dari pembahasan diatas beberapa besaran berikut :

x
=


y
=


z
=



xy
=
yx
=


xy
=
yx
=


xy
=
yx
=

(II.8)
Keenam besaran ini disebut sebagai komponen regangan geser.

II.4.2. Metode Semi-Invers Saint-Venant
Anggap suatu batang atau bahan mengalami torsi dengan suatu potongan
melintang seragam dari tampang sembarang seperti terlihat pada gambar 2.12.
Tegangan yang didistribusukan pada ujung-ujung yaitu
zx
dan
zy
akan
menghasilkan torsi sebesar T.






28

x
z
y

P
P
y
x
T
Sebelum berubah bentuk
Setelah berubah bentuk
O








Gambar 2.12. Elemen torsi dengan tampang sebarang
Metode Saint-Venant dimulai dengan suatu perkiraan komponen perpindahan
akibat torsi. Perkiraan ini didasarkan kepada perubahan gometri yang terjadi pada
elemen torsi yang terdeformasi. Saint-Venant mengasumsikan tiap elemen torsi lurus
dengan tampang tetap selalu memiliki suatu sumbu putar yang tegak lurus terhadap
potongan melintangnya yang bertindak sebagai poros kaku pada pusatnya. Dalam hal
ini, poros diambil sejajar sumbu z.
Tinjau suatu titik P dengan koordinat (x,y,z) dari pusat O sebelum mengalami
deformasi. Setelah mengalami deformasi akibat torsi, P bergerak ke P. P akan
berpindah sejauh w sejajar sumbu z karena warping (distorsi kearah luar bidang) dari
potongan melintangdan perpindahan sejauh u dan v sejajar sumbu x dan sumbu y
karena rotasi dasar potongan melintang dimana P berasa dengan sudut puntir sebesar
ini bervariasi menurut jarak z dari poros. Dapat ditulisakan bahwa d /dz sebgi
suatu laju puntiran . Maka pada jarak z dari pusat O, sudut puntir adalah sebesar
= .

29










Gambar 2.13. Potongan melintang suatu elemen torsi
Dengan mengacu pada gambar 2.13, diproleh
u = x x = OP [ ]
u = OP[ ]
u = OP ( ) OP
u = x ( )
dan
v = y- y = OP [ ]
v = OP [ ]
v = OP + OP ( - 1)
v = x + y ( - 1)
untuk perpindahan yang sangat kecil, maka nilai dan , maka :
u = = v = =
sedangkan untuk komponen w diambil :

30

dimana adalah fungsi warping.
Setelah komponen perpindahan ini diproleh, maka kita akan mensubsitusikan
nilai-nilai u, v, dan w ke dalam persamaan (II.8) dan diproleh :

x
=

= 0

y
=

= 0

z
=

=
[]

= 0

xy
=
yx
=

= = 0

xz
=
zx
=

=
[]

= *

yz
=
zy
=

=
[]

= *

+ (II.9)
Tinjau kembali persamaan kesetimbangan. Untuk komponen yang mengalami
torsi murni
z
= 0,
y
= 0,
z
= 0,

, X = 0, Y = 0, Z = 0 sehingga dari
persamaan kesetimbangan didapatkan :

(II.10.a)

(II.10.b)

(II.10.c)
Persamaan (II.10.a) dan (II.10.b) menunjukkan bahwa

dan

tidak
tergantung pada z. dan komponen tegangan harus memenuhi persamaan (II.10.c)
oleh karena itu diambil persamaan tegangan geser ini menjadi :

(II.11)
31

Kemudian kedua persamaan diatas disubsitusikan ke persamaan (II.10.c)

)
Hasil dari ruas kiri dari persamaan ini juga memberikan nilai 0, hal ini
menunjukkan bahwa persamaan (II.11) yang diambil memenuhi persamaan (II.10.c)
Tinjaulah kembali persamaan (II.9). Jika masing-masing
zx
dan
zy
dideferensi parsialkan terhadap y dan x, maka akan diproleh :

= *

+ (II.12.a)

= *

+ (II.12.b)
Jika persamaan (II.12.a) dikurangakan dengan persamaan (II.12.b), maka akan
diproleh :

= (II.13)
Subsitusikan hubungan antara regangan geser dengan tegangan geser pada
persamaan (II.8) kedalam persamaan (II.13) maka akan diproleh :

(II.14)
Subsitusikan persamaan (II.11) ke dalam persamaan (II.14) untuk
mendapatkan suatu persamaan yang kemudian akan kita kenal sebagai persamaan
torsi :

= (II.15)
32

Karena permukaan elemen torsi ini bebas dari gaya lateral, maka resultan dari
gaya geser r pada potongan melintang dari elemen torsi pada keliling dari elemen
torsi pada keliling potongan ini harus berarah tegak lurus terhadap garis normalnya.
Kedua komponen tegangan geser

dan

yang bekerja pada potongan melintang


dengan sisi-sisi dx, dy dan ds dapat dinyatakan dengan:



















Gambar 2.14. Potongan melintang elemen torsi
33

Dengan mengacu pada gambar 2.14 maka

(II.16)
Karena komponen tegangan geser pada arah n pada gambar pada keliling
elemen harus bernilai nol, maka proyeksi

dan

dalam arah normal adalah :


= 0 (II.17)
Subsitusikan persamaan (II.11) dan (II.16) kedalam persamaan (II.17) :


Dari penyelesaian ini menunjukkan bahwa nilai konstan disepanjang
keliling S. Karena tegangan merupakan turunan parsial dari , maka nilai konstan
ini dianggap nol.
Distribusi

dan

pada potongan melintang yang dibahas harus


memenuhi ketiga persamaan berikut :

= 0 (II.18.a)

= = 0 (II.18.b)

T = (

) = (

) (II.18.c)

II.4.3. Hubungan Antara Momen Torsi dan Fungsi Torsi
Dengan menyelesaikan persamaan (II.18) maka akan diproleh hubungan
antara momen torsi dan fungsi torsi dengan fungsi torsi. Ambillah suatu komponen
integral dari persamaan (II.18). karena fungsi tegangan tidak bervariasi dalam arah y
untuk sebuah garis setebal dy seperti tampak pada gambar 2.15, turunan parsial dapat
digantikan dengan suatu turunan total sehingga diproleh ;
34

t
s
s
t

= * |


Mengingat nilai pada tepi-tepi elemen

= 0, maka diproleh :
x

dx dy dx dy
Langkah yang sama dilakukan untuk komponen lain dari integral pada
persamaan II.18.C sehingga diperoleh :
y

dx dy dx dy
Dengan menjumlahkan kedua komponen ini, maka diproleh hubungan antara
torsi dengan fungsi torsi yaitu :
T = *x

dx dy y

dx dy+ dx dy (II.19)

II.5. Tegangan Torsi pada Tampang Persegi
Jika pada tampang bulat tegaagan torsi linier maka pada tampang persegi
tegangan torsi berbentuk parabola.





Gambar 2.15. Tampang persegi
Untuk menetukan tegangan torsi pada penampang persegi dapat dinyatakan
dengan persamaan berikut ini :

ZX
= G.v (

)
35

ZY
= G.v (

)
Dengan metode soap film analogi maka
ZX
dan
ZY
dapat dihitung dari
persamaan torsi :

= -2G.v(z) (II.20)
Jika fungsi diketahui maka tegangan torsi dapat dicari dengan :

ZY
=

dan

ZX
= -


menurut Thimosenko dan goodier (1986)
=
Gt
2

] cos

(II.21)
maka didapat:

ZY
=

= -
Gt
2

] sin



ZY
=

= -
Gt

] sin



jika x = s dan y = 0, maka didapat

maks
=
Gt

maks
=
Gt

) - *

maks
=
Gt

-
G

maks
= G t -
G

] (II.22)
Jika , maka deret yang kanan bisa diabaikan, sehingga diproleh

maks
= 2.G. .t
36

b

b
a

jika

maks
= 2.G. .t ,

cosh

cosh

)- = 1,351 G. .s

zy
=

= -
Gt

*
cosh

+ cos

- dx.dy

zy
=
2s
3
2t

-
2a
4

tanh









Gambar 2.16. Tampang persegi mengalami tegangan akibat torsi

Secara umum khusus untuk tampang persegi, besar inertia torsinya adalah
J =

(II.23.a)

Jika

, maka J dihitung dengan rumus


J =

) (II.23.b)

maks
=
T

dimana


37

Sedangkan
b
= .
maks
dimana
b
adalah tegangan pada sisi terpendek
Dimana , dan dapat dilihat pada tabel dibawah ini, berdasarkan
perbandingan a dan b :
Tabel 2.2. Nilai koefisien , dan ( Johannes Tarigan)
a/b
1 0,141 4,81 1.000
1,5 0,196 4,33 0,853
2 0,229 4,06 0,796
2,5 0,249 3,88 0,768
3 0,263 3,74 0,753
4 0,281 3,55 0,745
5 0,291 3,43 0,744
6 0,299 3,35 0,743
8 0,307 3,26 0,743
10 0,312 3,20 0,743
~ 0,333 3,00 0,743


II.6. Tegangan Torsi pada Tampang Bulat
Pada tampang bulat, jika terjadi torsi maka tampang tersebut tidak mengalami
warping( perubahan bentuk pada tampang). Dalam artian bahwa luas dan bentuk
penampang tidak mengalami perubahan sama sekali ketika sesudah dan sebelum
mengalami torsi.

38


L

max
r






Gambar 2.17. Penampang bulat mengalami torsi
Dari gambar diatas didapat persamaan torsi sebagai berikut :
M
T
= dv ; Dimana dv = . d
A
Maka :
M
T
= d
A
(II.24)
Dimana :
dv = tegangan torsi seluas d
A
d
A
= luasan
= tegangan geser









Gambar 2.18. Hubungan antara sudut puntir dan regangan geser
M
T
d
A
r


39

Inertia polar pada penampang bulat (J)
Inertia polar pada penampang bulat adalah :
J =
2
d
A
= x
2
d
A
+ y
2
. d
A

= Ix + Iy
J = Ix + Iy (hanya untuk tampang bulat/lingkaran)
J =

r
4
+

r
4
J =

r
4
(II.25)

Untuk mendapat hubungan regangan geser () dan sudut puntir ( ) maka
dapat dilihat digambar 4. Dari gambar diatas berlaku persamaan :
max .

L = r .


max =
r
L
.

=
max


. r = . max
= max .

r
(II.26)
Dari Hukum Hooke berlaku persamaan
= G .
= G . max .

r

maka :
M
T =
.G. max .

r
. d
A

M
T =
G. max

2
r
d
A
=

r

2
d
A
=

r
J
Sedangkan tegangan geser didapat

max
=

. r (II.27)
40

max
=
r v
L
sedangkan
max
=

. r

max
= G.
max
= G .
r v
L

maka :

= G
v
L

dari persamaan diatas didapat sudut puntir (angle of twist)
v =

T
L
G
(II.28)







Gambar 2.19. Tampang lingkaran mengalami tegangan akibat torsi

II.7. Torsi pada Beton Bertulang
Gaya puntir dan torsi pada komponen struktur bangunan seringkali timbul
bersamaan debgab lentur dan geser. Contoh yang paling mudah kita jumpai adalah
torsi pada balok anak. Sebagai sifat kekakuannya, akan timbul momen di tempat
dukungan balik anak pada balok induk ini. Momen ini akan menyebabkan gaya
puntir terhadap balok induk.
Akibat dari gaya torsi yang bekerja pada batang berpenampang bulat,
permukaan rat penampang rata penampang transversal akan tetap rata setelah

max

max

max

max

M
T
41

terjadinya puntir. Sedangkang akibat pada komponen struktur yang berpenampang
bukan bulat, akan timbul mekanisme gaya dan perilaku kompleks serta rumit, dimana
penampang akan memilin dan melipat pada saat terpuntir.
Secara umum, apabila penampang yang semula rata dijaga tetap rata setelah
mengalami puntir, tegangan geser maksimum akan terjadi pada tempat yang letaknya
terjauh dari pusat puntir. Pada penampang persegi, tegangan geser torsi maksimum
terjadi pada titik tengah dari sisi yang panjang dan arah kerjanya sejajar dengan sisi
tersebut.
Gaya geser torsi akan timbul di permukaan batang terpuntir dan cendrung
menyebabkan terjadinya retalk tarik diagonal sama seperti yang diakibatkan oleh
gaya geser lentur, akan tetapi gaya geser torsi akan bekerja pada arah yang
berlawanan untuk sisi permukaan penampang batang merupakan penjumlahan dari
keduanya.
Ketentuan perencanaan tulangan torsi diberikan dalam Tata Cara Perhitungan
Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung. SNI 03-2847-2002 (Anonim 1, 2002) pasal
13.6 dimana diberikan batasan-batasan nilai momen puntir terfaktor minimum yang
dapat diabaikan, syarat kuat torsi rencana yang harus digunakan, syarat tulangan torsi
minimum dan jarak sengkang maksimum.

II.8. Perencanaan Tulangan Torsi
Dasar perencanaan terhadap torsi yang digunakan dalam Tata Cara Perhitungan
Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung SNI 03-2847-2002 (Anonim 2, 2002)
adalah analogi pipa dinding tipis dan analogi ruang. Beberapa pertimbangan yang
perlu diperhatikan untuk torsi pada balok adalah sebagai berikut :
42

Tulangan yang dibutuhkan untuk torsi harus ditambahkan pada tulangan yang
dibutuhkan untuk menahan momen lentur ( tulangan longitudinal ) dan untuk
menahan geser (begel). Jadi tulangan torsi berupa tulangan longitudinal dan
begel tertutup yang ditambahkan.
Pengaruh puntir dapat diabaikan jika momen puntir terfaktor T
u
memenuhi
syarat menurut Istimawan Dipohusodo (1996) sebagai berikut :
|
|
.
|

\
|
s
cp
cp
p
A fc
Tu
2
12
' . |
dengan = 0,75 (II.29)
Dengan :
A
cp
: luas penampang keseluruhan,termasuk rongga pada
penampang berongga ( daerah yang diarsir ),mm
2
.
P
cp
: Keliling penampang keseluruhan (keliling batas terluar
daerah yang diarsir),mm
2
.
Kekuatan leleh tulangan torsi (fy) :
MPa fy 400 s

Dimensi penampang melintang harus memenuhi syarat berikut :
a).Penampang solid :
|
|
.
|

\
|
+ s |
.
|

\
|
+
|
.
|

\
|
3
' . 2
. . 7 , 1
.
.
2
0
2
2
fc
d b
Vc
A
p Tu
d b
Vu
h
h
|
(II.30)

b).Penampang berongga :
|
|
.
|

\
|
+ s |
.
|

\
|
+
|
.
|

\
|
3
' . 2
. . 7 , 1
.
. 0
2
f c
d b
Vc
A
p Tu
d b
Vu
h
h
|
(II.31)

Untuk penampang berongga, jika tebal dinding (t)<A
0h
/p
h

43


(II.32)
Tulangan yang dibutuhhkan untuk torsi ditentukan berdasarkan :
Tn Tr | =

dan

Tu Tr >
(II.33)

Dengan :
Tr = momen punter/torsi rencana,Nmm.
Tn = kuat torsi nominal,Nmm.
Tu = torsi terfaktor atau torsi perlu,Nmm.
Kebutuhan tulangan sengkang tambahan untuk torsi per meter panjang balok
(S = 1000 mm) :
u cot 2
.
0 yv
f A
S Tn
Avt = dengan
h
A A
0 0
. 85 , 0 =

(II.34)

Dengan :
A
vt
= luas tulangan torsi (sengkang)
S = bentang balok yang dipasang sengkang torsi = 1000 mm.
f
yv
= tegangan leleh tulangan sengkang,MPa.
sudut retak = 45 untuk non prategang.
Tulangan longitudinal tambahan yang dibutuhan untuk menahan torsi :
u
2
cot
|
|
.
|

\
|
=
yl
yv
h
vt
f
f
p
s
A
At

(II.34)

Dengan :
A
t
= luas tulangan longitudinal torsi,mm
2

p
h
= keliling daerah yang dibatasi oleh sengkang tertutup,mm
2
.
F
yl
= tegangan leleh tulangan longitudinal,MPa.
|
|
.
|

\
|
+ s
|
|
.
|

\
|
+
|
.
|

\
|
3
' . 2
. . . 7 , 1 .
0
f c
d b
Vc
t A
Tu
d b
Vu
h
|
44

Luas tulangan torsi total mminimal :
a) Luas total begel (untuk geser dan torsi) per meter panjang balok (S=1000
mm) :
( )
yv
vt vs
f
S b f c
A A
.
1200
' . 75
> + dan
( )
yv
vt vs
f
S b
A A
. 3
.
> +

(II.35)
b) Luas tulangan longitudinal untuk (untuk tulangan lentur dan torsi)
( )

|
.
|

\
|
> +
yl
yv
h
vt
yl
cp
st t
f
f
p
s
A
f
A fc
A A
. 12
' 5
dan
yv
vt
f
b
s
A
. 6
>

(II.36)
Spasi tulangan begel torsi (s) :
s harus p
h
/8 dan s harus 300 mm
Tulangan longitudinal torsi dipasang di sekeliling perimeter dalam begel
tertutup dengan spasi (s) harus 300 mm
Diameter tulangan longitudinal torsi harus :
D10 mm dan Ds/24

Anda mungkin juga menyukai