Anda di halaman 1dari 28

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1. ANEMIA
2.1.1 Jenis Berdasarkan morfologinya, anemia dapat dibedakan menjadi:

1. Anemia hipokromik mikrositer Dapat disebabkan karena: Anemia defisiensi besi Anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoiesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya menyebabkan pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia ini dapat terjadi karena berkurangnya asupan besi, meningkatnya kebutuhan terhadap besi dengan tidak diimbangi asupan yang adekuat, gangguan absorpsi besi, serta perdarahan menahun.

Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorpsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negative. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoeisis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi, keadaan ini disebut sebagai: iron deficient erytropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Apabila jumlah besi menurun terus maka akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositer, disebut sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.

- Thallasemia major

Anemia akibat penyakit kronik Lemah badan, penurunan berat badan, pucat merupakan tanda-tanda dari penyakit kronis. Alasan untuk mengatakan bahwa anemia yang ditemukan pada berbagai kelainan klinis kronis berhubungan, karena mereka mempunyai banyak gambaran klinis yakni kadar Hb berkisar 7-11 g/dL, kadar Fe serum menurun disertai TIBC yang rendah, cadangan Fe jaringan rendah, produksi sel darah merah berkurang.

Anemia pada penyakit kronis ditandai dengan pemendekan masa hidup eritrosit, gangguan metabolisme besi, dan gangguan produksi eritrosit akibat tidak efektifnya rangsangan eritropoeitin. Pemendekan masa hidup eritrosit tersebut diduga merupakan bagian stress hematologik, dimana terjadi produksi sitokin yang berlebihan karean kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuesterasi makrofag sehingga mngikat lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa, dan menekan produksi eritropoietin di ginjal , serta menyebabkan perangsangan yang inadekuat pada eritropoiesis di sumsum tulang.

Anemia sideroblastik Terjadi karena adanya gangguan pada rantai protoporfirin. Menyebabkan besi yang ada di sumsum tulang meningkat sehingga besi masuk ke dalam eritrosit yang baru terbentuk dan menumpuk pada mitokondria perinukleus.

2. Anemia Normokromik Normositer Dapat disebabkan karena:

Anemia pasca perdarahan akut Pada anemia akut, kehilangan darah terjadi lebih dari 30% dari total darah dalam tubuh mengakibatkan jumlah SDM yang efektif menurun yang pada akhirnya pengiriman O2 ke jaringan menjadi berkurang dan terjadi hipoksia, hipoksemia, gelisah, takikardi, kolaps dan anemia.

Anemia aplastik Anemia aplastik adalah kelainan hematologik yang ditandai dengan penurunan komponen selular pada darah tepi yang diakibatkan oleh kegagalan produksi di sumsum tulang. Pada keadaan ini jumlah sel-sel darah yang diproduksi tidak memadai. Penderita mengalami pansitopenia, yaitu keadaan dimana terjadi kekurangan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit.

Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel.

Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti.

Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA.

Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat

proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel. Pembunuhan langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).

Anemia hemolitik didapat Yang termasuk kelompok ini adalah: Anemia hemolisis imun, misalnya idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan autoimun, infeksi dan transfusi. Mikroangiopati, misalnya: Trombotik Trombositopenia Purpura (TTP), Sindrom Uremik Hemolitik (SUH), Koagulasi intravaskular Diseminata (KID), preeklampsia, eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik. Infeksi, misalnya: infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi Clostridium

Anemia akibat penyakit kronik Umumnya berbentuk normokromi-normositer, meskipun banyak pasien juga menggambarkan hipokrom dengan MCHC<31 g/dL dan beberapa mempunyai sel mikrositer dengan MCV<80 fL.

Anemia pada gagal ginjal kronik

Anemia pada sindrom mielodisplastik

Anemia pada keganasan hematologik

3. Anemia makrositer a. Bentuk megaloblastik Anemia defisiensi asam folat Dapat disebabkan karena asupan yang tidak adekuat, keperluan yang meningkat, malabsorpsi, metabolisme yang terganggu, dan sebab-sebab lain seperti: penggunaan obat-obat yang mengganggu metabolisme DNA, gangguan metabolik (asiduria urotik herediter, sindrom Lesch Nyhan,dll).

Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa Dapat disebabkan karena asupan yang tidak cukup (seperti pada orang vegetarian), malabsorpsi karena produksi faktor intrinsik yang tidak mencukupi, gangguan dari ileum terminalis, kompetisi pada kobalamin, dan obat-obatan.

b. Bentuk non-megaloblastik Anemia pada penyakit hati kronik Anemia pada hipotiroidisme Anemia pada sindrom mielodisplastik

Berdasarkan etiologinya, anemia dapat dibedakan menjadi

1. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosis dalam sumsum tulang a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosis Anemia defisiensi besi Anemia defisiensi asam folat Anemia defisiensi vitamin B12

b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi Anemia akibat penyakit kronis Anemia sideroblastik

c. Kerusakan sumsum tulang Anemia aplastik Anemia mieloptisik Anemia pada keganasan hematologi Anemia diseritropoietik Anemia pada sindrom mielodisplastik

d. Anemia akibat kekurangan eritropoietin Anemia pada gagal ginjal kronik

2. Anemia akibat hemoragi a. Anemia pasca perdarahan akut b. Anemia akibat perdarahan kronik

3. Anemia hemolitik a. Anemia hemolitik intrakorpuskular Gangguan membran eritrosit (membranopati) Gangguan enzim eritrosit (enzimopati) : anemia akibat defisiensi G6PD Gangguan hemoglobin Thallasemia Terjadi karena gangguan pada rantai globin. Thalasemia dapat terjadi karena sintesis hb yang abnormal dan juga karena berkurangnya kecepatan sintesis rantai alfa atau beta yang normal. Hemoglobinopati struktural :HbS, HbE, dll.

b. Anemia hemolitik ekstrakorpuskular Anemia hemolitik autoimun Terjadi karena adanya perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai oleh antibodi yang terjadi melalui aktivasi sistem komplemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasi keduanya. Aktivasi sistem komplemen Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut aglutinin tipe dingin karena antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Sedangkan antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan eritrosit pada suhu tubuh. Anemia hemolitik mikroangiopatik

2.1.2. Etiologi dan Epidemiologi

1. Anemia Megaloblastik Anemia megaloblastik adalah sekelompok anemia yang ditandai oleh adanya eritroblas yang besar yang terjadi akibat gangguan maturasi inti sel tersebut. Sel terse but dinamakan megaloblas

Epidimiologi Anemia megaloblastik yang disebabkan oleh anemia pernisiosa. Banyak dijumpai pada orang-orang Skandinavia. Pernah dilaporkan adanya anemia pernisiosa pada penduduk

Afrika Selatan, daratan Gina dan Arab. 8elum pernah dilaporkan tentang kejadian anemia pernisiosa di Indonesia. Etiologi Penyebab anemia megaloblastik adalah : Defisiensi vitamin B12 Defisiensi asam folat Gangguan metabolisme vitamin B12 dan asam folat Gangguan sintesis DNA akibat dari : Defisiensi enzim kongenital Didapat setelah pemberian obat atau sitostatik tertentu.

2. Anemia Aplastik Selain nama anemia aplastik yang paling sering dipergunakan, masih ada nama-nama lain seperti anemia hipoplastik, anemia refrakter, hipositemia progresif, anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmieloftisis dan anemia paralitik toksik. Konsep anemia aplastik pertama kali diperkenalkan oleh Ehrlich pada tahun 1888. ia melaporkan seorang wanita muda yang pucat dan panas dengan ulserasi gusi,. anemia berat, dan leukopenia. Pasien cepat memnggal.

Pada pemeriksaan postmortem, sumsum tulang ditemukan tidak aktif. Kasus ini dinamakannya penekanan primer sumsum tulang. Pada tahun 1904, Chauffard pertama kah . menggunakan nama anemia aplastik. Masih puluhan tahun lagi sesudahnya, definisi anemia aplastik belum tegas juga. Pada tahun 1934, timbul kesepakatan pendapat bahwa tanda. khas penyakit ini adalah pansitopenia sesual konsep Ehrlich (1888). Pada tahun 1959, Wintrobe membatasi pemakaian nama anemia aplastik pada kasus pansitopenia, hipoplasia berat atau aplasia sumsum tulang, tanpa ada suatu penyakit primer yang menginfiltrasi, mengganti atau menekan jaringan hemopoietik sumsum tulang.

Epidemiologi Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk per tahun. Penelitian The International Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study di awal tahun 1980- an menemukan frekuensi di Eropa dan Israel 2 kasus persejuta penduduk. Suatu penelitian di Perancis, antara bulan Mei 1984 dan April 19~7, menemukan insidensi 1,5 kasus per sejuta penduduk per tahun.

Terdapat variasi geografis mengenai insidensi. Penelitian di Cina ditlenemukan insidensi 0,74 kasus per seratus ribu penduduk pertahun, dan di Bangkok 3,7 kasus persejuta penduduk per tahun. Ternyata penyaklt 1ni leblh banyak ditemukan di belahan timur dunia daripada di belahan Barat.

Umur dan jenis kelamin pun secara geografis bervariasi. Di Amerika Serikat dan Eropa kebanyakan kasus berkisar antara 15-24 tahun. Cina melaporkan kebanyakan kasus anemia aplastik pada wan ita berumur di atas 50 tahun dan pria di atas 60 tahun. Di Perancis, pada pria dltemukan dua puncak yaitu antara umur 15-30 dan setelah umur 60 tahun, sedangkan pada wamta kebanyakan berumur di atas 60 tahun.

Perjalanan penyakit pada pria juga lebih berat daripada wan ita. Perbedaan umur dan jenis kelamin mungkin disebabkan oleh risiko pekerjaan,. sedangkan perbedaan geografis mungkln dlsebabkan oleh pengaruh lingkungan.

Etiologi a. Faktor Genetik Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian besar dari padanya diturunkan menurut hukum Mendell. Anemia Fanconi: suatu sindrom meliputi hipoplasia sumsum tulang disertai pigmentasi coklat di kulit, hipoplasia ibu jari atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan seksual, kelainan ginjal dan limpa Anemia Estren-Oameshek : anemia tanpa kelainan fisis.

b. Obat-obatan dan bahan kimia Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah

kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas dan antikonvulsan, obat- obatan sitotoksik misalnya mileran atau nitrosourea. Bahan kimia terkenal dapat menyebabkan anemia aplastik ialah senyawa benzene

c. lnfeksi Infeksi dapat menyebabkan anemia aplastik sementara atau permanen, contohnya virus Epstein-Barr, Influenza A, Dengue, Tuberkul (milier). Seyogyanya, setiap infeksi virus dapat menyebabkan anemia aplastik sementara atau permanen. Hepatitis B atau hepatitis non A, non B (mungkin hepatitis C) dapat menyeb kan anemia aplastik berat. Sitomegalovi dapat menekan produksi sel sumsum tulang melalui gangguan pada sel-sel stroma sumsum tulang. Infeksi oleh Human Immunodeficien Virus (HIV) yang berkembang menjadi Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dapat menimbulkan pansitopenia. Infeksi kronik ole Parvovirus pad a pasien dengan defisie imun juga dapat menimbulkan pansitopenia.

d. Iradiasi Iradiasi dapat menyebabkan anemia aplastik berat atau ringan. Bila stem cell hemopoietik yang terkena maka terjadi anemia aplastik ringan. Hal ini terjadi pada pengobat penyakit keganasan dengan sinar X. Dengan peningkatan dosis penyinaran sekali waktu akan terjadi pansitopenia. Namun, bila penyinaran dihentikan, sel-sel akan berproliferasi kembali. Iradiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang, yaitu lingkungan mikro. dan menyebabkan fibrosis.

e. Kelainan Imunologis Zat anti terhadap sel-sel hemopoietik dan lingkungan mikro dapat menyebabkan anemia aplastik. Perbaikan fungsi hemopoietik setelah pengobatan dengan imunosupresif merupakan argumen kuat terlibatnya mekanisme imun dalam patofisiologi anemia aplastik.

f. Anemia Aplastik pada Keadaanl Penyakit Lain 1.Pada leukemia limfoblastik akut kadangkadang ditemukan pansitopenia dengan hipoplasia sumsum tulang. 2. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH). Penyakit ini dapat bermanifestasi berupa anemia aplastik. Hemolisis disertai pansitopenia mungkin termasuk kelainan PNH.

3. Anemia Sideroblastik Anemia sideroblastik sebetulnya adalah suatu sindrom yang terdiri dari anemia hipokrom mikrositer disertai dengan adanya cincin sideroblas dalam sumsum tulang. Cincin sideroblas adalah eritroblas yang mengandung butir-butir besi yang terletak dalam mitokondria dan dengan mudah dapat dilihat dalam sediaan sumsum tulang dengan pewarnaan biru Prusia.

Etiologi Anemia sideroblastik secara etiologi dibagi dalam: I. Kongenital: Herediter, X-linked Autosomal (sangat jarang) II. Didapat: 1) Idiopatik - Responsif terhadap piridoksin - Tidak responsif terhadap piridoksin 2) Disebabkan obat-obatan dan toksin - Antituberkulosis (INH, sikloserin, pirazinamid). - Kloramfenikol, etanol

4. Anemia Penyakit Kronik Anemia pada penyakit kronik dikenal juga dengan nama seperti : sideropenic anemia with reticula-endothelial siderosis. Anemia yang terjadi pada penyakit infeksi tidak saja terjadi pada infeksi kronik tapi juga bisa pada infeksi akut dan neoplasma

Anemia pada penyakit kronik dapat terjadi karena: 1). Proses infeksi, misalnya infeksi ginjal, paru (bronkiektasis, abses, empiema, tuberkulosis, pneumonia, dan lain-lain. 2). Proses inflamasi, misalnya reumatoid/artritis. 3). Neoplasma, misalnya limfoma malignum.

Secara hematologi anemianya berbentuk normokrom normositik dengan kadar hemoglobin sekitar 7-10 g/dL dengan hematokrit antara 30-40% dan timbul kira-kira pada 1-2 bulan pertama setelah terjadinya proses inflamasi kronik. Berat ringannya anemia berban-

ding lurus dengan aktivitas penyakit dan pada neoplasma berbanding lurus dengan stadium penyakit atau dengan luasnya infiltrasi neoplasmanya. Apabila disertai dengan penurunan kadar besi dalam serum atau saturasi transferin, anemia akan berbentuk hipokrom mikrositik.

Sumsum tulang biasanya normal kadang - kadang ditemukan hipoplasia eritropoesis dan defek dalam hemoglobinisasi. Sangat karakteristik adalah berkurangnya sideroblas dalam sumsum tulang sedangkan deposit besi dalam sistem retikuloendotelial (RES) normal atau bertambah

5. Thalasemia Thalasemia adalah sekelompok penyakit atau keadaan herediter dimanan produksi satu atau lebih dari satu jenis rantai polipeptida terganggu. Secara garis besar sindrom thalasemia dibagi dalam 2 golongan besar yaitu jenis alfa dan jenis beta sesuai dengan kelainan berkurangnya polipeptida. Thalasemia berbeda dengan Hb abnormal. Pada thalasemia letak salah satu asam amino rantai polipeptida berbeda urutannya atau ditukar dengan jenis asam amino lain.

Thalasemia alfa Epidemiologi Fokus thalasemia alfa adalah di daerah perbatasan Muangthai Utara dan laos dengan frekuensi 30-40%, kemudian tersebar dalam frekuensi lebih rendah di Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Thalasemia alfa + atau thalasemia alfa 2 (delesi 1 gen, genotip : - a/aa) hanya mengalami kelainan minimal pada eritrosit, serta sedikit ketidak-seimbangan sintesis rantai globin dibandingkan dengan thalasemia alfa 0 atau thalasemia alfa 1 (delesi 2 gen, genotipe : -/aa). Kelainan gen thalasemia alfa di antara orang Negro di Amerika Serikat mencapai sekitar 30% (dengan genotip : --/aa) dan sekitar 2% homosigot dengan hilangnya 2 gen, (genotipe : -a/-a). Pada penyakit hemoglobin H. (dengan genotip : --/-a) ada delesi 3 gen. Homosigot thalasemia alfa adalah hidrops fetalis (genotip --/--) mengalami delesi 4 gen. Baik hidrops fetalis maupun penyakit homoglobin H tidak dijumpai pada orang Negro. Di samping thalasemia alfa karena delesi gen seperti tersebut di atas, ada pula thalasemia alfa tanpa delesi (non deletion).

Di Indonesia Hb Bart pertama kali dilaporkan oleh Lie-Injo dan Jo di tahun 1960. Kemudian menyusul laporan dan Malaysia (Lie-Injo dkk, 1962), Singapura (Wong, 1965). Hong Kong (Todd dkk, 1967). Semua laporan kasus sindrom-sindrom Hb Bart hidrops tersebut di Asia Tenggara adalah dari golongan etnik keturunan Cina.

Hb H dan Hb Bart banyak didapat pada penduduk Asia Tenggara, terutama di Muang Thai dan juga di daratan Cina bagian Selatan.

Frekuensi thalasemia alfa lebih sering dari pada beta di Muang Thai. Di Cina prevalensi thalasemia berbeda-beda di antara golongan penduduk, misalnya golongan Zhuang di Propinsi Quong Sze (bagian Selatan) mencapai insidensi 14,9%. Angka rata-rata seluruhnya adalah 2,76%. Insidensi thalasemia alfa di Singapura minimal 3% di antara golongan etnik Cina dan Melayu. tetapi Hb Bart hidrops dan Hb H lebih sering pada golongan Cina dari Melayu. Hal ini disebabkan perbedaan posisi gen alfa pada kromosom (Cina : posisi Cis, Melayu posisi Trans) dan perbedaan frekuensi heterozigot (Cina insidensi thalasemia alfa 1 dan alfa 2 adalah sarna, sedangkan Melayu thalasemia alfa 2 lebih sering).

Pada tahun 1973 didapatkan frekuensi 3,4% Hb Constant Spring, di antara orang Batak di Sumatra Utara, sedangkan pada tahun 1984 penelitian di Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan, frekuensi 4,85% untuk thalasemia traits.

Etiologi Thalasemia alfa disebabkan oleh delesi gen(terhapus karena kecelakaan genetic) yang mengatur produksi tetramer globin. Individu yang normal mempunyai 2 gen alfa yaitu alfa thal 1 dan alfa thal 2 yang terletak pada bagian pendek kromosom 16.

Thalasemia beta Epidemiologi Penyakit ini tersebar luas dari daerah Mediteranian seperti Italia, Yunani Afrika bagian Utara, kawasan Timur Tengah, India -Selatan, Srilangka sampai kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Daerah ini dikenal sebagai kawasan thalasemia (thalassemia basin). Frekuensi thalasemia beta di Asia Tenggara adalah antara 3-9%.

Gen untuk thalasemia beta ternyata tersebar luas di dataran Cina tidak terbatas pad a propinsi Guangdong, seperti diduga semula. Seperti halnya di Muang Thai, thalasemia Hb E tidak jarang terdapat di bagian - Selatan Cina.

Frekuensi Hb E terbesar berpusat di daerah perbatasan Muang Thai, Laos dan Kamboja dengan frekuensi sebesar 50-60% dan juga tersebar di daerah lain Asia Tenggara dengan frekuensi yang makin berkurang di daerah yang lebih jauh.

Thalasemia didapat pula pada orang Negro di Amerika Serikat. Pada daerah-daerah tertentu di Italia dan negara-negara Mediteranian frekuensi carrier (pembawa sifat) thalasemia beta dapat mencapai 15-20%. Di Muang Thai 20% penduduknya mempunyai satu atau jenis lain thalasemia alfa. Frekuensi gen untuk Indonesia belum jelas.

Diduga sekitar 3-5%, sama seperti Malaysia dan Singapura. Iskandar Wahidiyat (1979) melaporkan bahwa di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta didapat 20 kasus baru thalasemia beta per tahun. Di Rumah Sakit Dr. Sutomo, Surabaya lebih sering dijumpai thalasemia beta Hb E. Hb E trait di Rumah Sakit Dr. Sutomo adalah 6,5% (frekuensi pada suku Batak, relatif rendah). Selama 15 tahun Untario mencatat seluruhnya 134 kasus thalasemia beta.

Ada dugaan bahwa eritrosit pasien thalasemia memberi sedikit perlindungan terhadap P. falciparum. Hal ini masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.

Etiologi Produksi rantai beta yang terganggu yang nantinya mengakibatkan kadar Hb menurun sedangkan produksi Hb A2 dan atau Hb F tidak terganggu karena tidak memerlukan rantai beta dan justru memproduksi lebih banyak dari pada keadaan normal, mungkin sebagai usaha kompensasi. Kelebihan rantai globin yang tidak tepakai karena tidak ada pasangannya akan mengendap pada dinding eritrosit. Keadaan ini menyebabkan eritropoiesis berlangsung tidak efektif dan eritrosit memberikan gambaran anemia hipokrom dan mikrositer.

2.1.3. Gejala Klinis

1. Anemia Defisiensi Besi Gejala anemia defisiensi dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu gejala umum anemia, gejala khas akibat defisiensi besi, dan gejala penyakit dasar.

Gejala Umum Anemia Gejala umum yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7 8 g/dL. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata bekunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada anemia defisiensi besi karena penurunan kadar Hb yang terjadi secara perlahan-lahan, seringkali sindroma anemia tidak terlalu menyolok jika dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat, oleh karena mekanisme kompensasi tubuh dapat berjalan dengan baik. Anemia bersifat simptomatik jika Hb telah turun di bawah 7 g/dL. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku.

Gejala Khas Defisiensi Besi Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia lain adalah: Koilonychia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok. Atropi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang. Stomatitis angularis (cheilosis): adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan. Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring Atropi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia Pica: keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti tanah liat, lem, dan lain-lain.

Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly adalah kumpulan gejala yang terjadi dari anemia hipokromik mikrositer, atropi papil lidah dan disfagia.

Gejala Penyakit Dasar Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyebab anemia defisiensi tersebut. Misanya pada anemia akibat cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membengkak, dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia karena perdarahan kronik akibat kanker kolon dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala lain tergantung dari lokasi kanker tersebut.

2. Anemia karena Penyakit Kronis Pada anemia derajat ringan dan sedang, seringkali gejalanya tertutup oleh gejala peyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7 11 gr/dL umumnya asimtomatik. Meskipun demikian, apabila demam atau debiltas fisik meningkat, maka pangurangan kapasitas transport O2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik tidak ada kelainan yang khas dari anemia jenis ini, diagnosis biasanya tergantung dari hasil laboratorium.

3. Anemia Megaloblastik Ciri yang sering dijumpai pada anemia pernisiosa adalah atropi lambung yang mempengaruhi bagian yang mensekresi asam dan pepsin dari lambung; kecuali antrum. Perubahan patologis lain adalah defisiensi kobalamin sekunder, ini termasukperubahan megaloblastik dalam lambung dan epitel intestinum dan perubahan neurologik. Abnormalitas epitel gaster tampak sebagai cellular atypia dalam preparat sitologik, dapatan ini harus dibedakan dengan hati-hati dari abnormalitas yang tampak pada keganasan.

4. Anemia Aplastik Anemia aplastik mungkin muncul mendadak (dalam beberapa hari) atau perlahaan-lahan (berminggu-minggu atau berbulan-bulan). Hitung jenis darah menentukan manifestasi klinis. Anemia menyebabkan fatigue, dispnea dan jantung berdebar-debar.

Trombositopenia menyebabkan mudah memar dan pendarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Pasien juga mungkin mengeluh sakit kepala dan demam. Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis leukosit, dan aspirasi serta biopsi sumsum tulang. Pemeriksaan flow cytometry darah tepi dapat menyingkirkan hemoglobinuria nokturnal parosismal, dan kariotyping sumsum

tulang dapat membantu menyingkirkan sindrom myelodisplastik. Pasien kurang dari 40 tahun perlu diskrining untuk anemia Fanconi dengan memakai obat klastogenik diepoksibutan atau mitomisin. Riwayat keluarga sitopenia meningkatkan kecurigaan adanya kelainan yang diwariskan walaupun tidak ada kelainan fisik yang tampak. Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin. Keluhan yang ditemukan sangat bervariasi, dan yang paling sering ditemukan adalah perdarahaan, badan lemah, dan pusing.

2.1.4. Penentuan diagnosis

1. Anemia Defisiensi Besi Pemeriksaan Laboratorium Kelainan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang dapat dijumpai adalah: Kadar Hemoglobin dan Indeks Eritrosit: didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar Hb mulai dari ringan sampai berat. MCV dan MCH menurun. MCV < 70 fl hanya didapatkan pada ADB dan thalassemia major. MCHC menurun pada defisiensi yang lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi. Peningkatan anisositosis ditandai oleh peningkatan RDW (red cell distribution width).

Mengenai titik pemilah MCV, ada yang memakai angka < 80 fl, tetapi pada penelitian dijumpai bahwa titik pemilah < 78 fl memberi sensitivitas dan spesifisitas yang paling baik. Dijumpai juga bahwa penggabungan MCV, MCH, MCHC dan RDW makin meningkatkan spesifisitas indeks eritrosit. Indeks eritrosit sudah mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin menurun.

Apusan darah tepi menunjukkan anemia hipokromik mikrositik, anisositosis dan poikilositosis. Makin berat derajat anemia makin berat derajat hipokromia. Derajat hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan thalassemia. Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis ekstrim, maka sel akan tampak sebagai sebuah cincin sehingga disebut sebagai sel cincin (ring cell), atau memanjang seperti elips, disebut sebagai sel pensil ( pencil cell atau cigar cell). Kadang-kadang dijumpai sel target.

Leukosit dan trombosit pada umumnya normal. Tetapi granulositopenia ringan dapat dijumpai pada ADB yang berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang dijumpai eosinofilia. Trombositosis dapat dijumpai pada ADB dengan episode perdarahan akut.

Konsentrasi Besi Serum Menurun Pada ADB, dan TIBC (total iron binding capacity) Meningkat. TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari besi serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria diagnosis ADB, kadar besi serum menurun < 50 g/dL, TIBC meningkat > 350 g/dL, dan saturasi transferin < 15%. Ada juga yang memakai saturasi transferin < 16%, atau < 18%. Harus diingat bahwa besi serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar, dengan kadar puncak pada pukul 8 sampai 10 pagi.

Feritin Serum Merupakan Indikator Cadangan Besi yang Sangat Baik, Kecuali pada Keadaan Inflamasi dan Keganasan Tertentu. Titik pemilah (cut off point) untuk feritin serum pada ADB dipakai angka < 12 g/L, tetapi ada juga yang memakai < 15 g/L. Untuk daerak tropik di mana angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik pemilah yang diajukan di negara barat tampaknya perlu dikoreksi. Hercberg untuk daerah tropik menganjurkan memakai angka feritin serum < 20 mg/L sebagai kriteria diagnosis ADB. Jika terdapat infeksi atau inflamasi yang jelas seperti arthritis rheumatoid, maka feritin serum sampai dengan 50 60 g/L masih dapat menunjukkan adanya defisiensi besi. Feritin serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis IDA yang palin kuat oleh karena itu banyak dipakai baik di klinik maupun di lapangan. Angka feritin serum normal tidak selalu dapat menyingkirkan adanya defisiensi besi, tetapi feritin serum di atas 100 mg/dL dapat memastikan tidak adanya defisiensi besi.

Protoporfirin Merupakan Bahan Antara pada Pembekuan Heme. Apabila sintesis heme terganggu, misalnya karena defisiensi besi, maka protoporfirin akan menumpuk dalam eritrosit. Angka normal adalah < 30 mg/dL. Untuk defisiensi besi, protoporfirin bebas adalah > 100 mg/dL. Keadaan yang sama juga didapatkan pada aanemia akibat penyakit kronik dan keracunan timah hitam.

Kadar Reseptor Transferin Dalam Serum Meningkat pada Defisiensi Besi. Kadar normal secara imunologik adalah 4 9 g/L. Pengukuran reseptor transferin terutama

dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik. Akan lebih baik lagi apabila dipakai rasio log transferin dengan log feritin serum. Rasio > 1,5 menunjukkan ADB dan rasio < 1,5 sangat mungkin karena anemia akibat penyakit kronik.

Sumsum Tulang Menunjukkan Hiperplasia Normoblastik Ringan Sampai Sedang dengan Normoblas Kecil-kecil. Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tidak teratur. Normoblas ini disebut sebagai micronormoblast. Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (Perls stain) menunjukkan cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin negatif). Dalam keadaan normal, 40 60 % normoblast mengandung granula feritin dalam sitoplasmanya, disebut sebagai sideroblas. Pada defisiensi besi, maka sideroblas t negatif, di klinik, pengecatan besi pada sumsum tulang dianggap sebagai baku emas (gold standard) diagnosis defisiensi besi, namun akhirakhir ini perannya banyak diambil oleh pemeriksaan feritin serum yang lebih praktis. Studi Ferokinetik. Studi tentang pergerakan besi pada siklus besi dengan menggunnakan zat radioaktif. Ada dua jenis zat studi ferokinetik yaitu plasma iron transport rate (PIT) yang mengukur kecepatan besi meninggalkan plasma, dan erythrocyte iron turn over rate (EIT) yang mengukur pergerakan besi dari sumsum tulang ke sel darah merah yang beredar. Secara praktis, kedua pemeriksaan ini tidak banyak digunakan, hanya dipakai untuk tujuan penelitian.

Pemeriksaan untuk Mencari Penyebab ADB. Antara lain pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan semikuantitatif, seperti misalnya teknik KatoKatz, pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi, barium intake atau barium inloop, dan lain-lain, tergantung dari dugaan penyebab defisiensi besi tersebut.

Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis ADB harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yyang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga adalah menentukan penyebab dari defisiensi yang terjadi.

Secara laboratoris untuk menegakkan diagnosis ADB (tahap I dan tahap II) dapat dipakai kriteria diagnosis ADB sebagai berikut.

Anemia hipokromik mikrositik pada apusan darah tepi, atau MCV < 80 fl dan MCHC < 31% dengan salah satu dari kriteria di bawah ini. o o o Dua dari tiga parameter di bawah ini: Besi serum < 50 mg/dL TIBC > 350 mg/dL Saturasi transferin < 15%. Feritin serum < 20 mg/L Pengecatan sumsum tulang dengan Perls stain menunjukkan cadangan besi (butirbutir hemosiderin) negatif Dengan pemberian sulfas ferrous 3 x 200 mg/hari selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dL.

Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisiensi besi. Untuk pasien dewasa, fokus utama adalah mencari sumber perdarahan. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Pada perempuan masa reproduksi, anamnesis tentang menstruasi sangat penting, dan kalau perlu dilakukan pemeriksaan ginekologi. Untuk lakilaki dewasa di Indonesia dilakukan pemeriksaan feses untuk mencari telur cacing tambang. Titik kritis cacing tambang sebagai penyebab utama jika ditemukan telur per gram feses (TPG) atau egg per gram faeces (EPG) > 2.000 pada perempuan dan > 4.000 pada laki-laki. Anemia akibat cacing ini seringkali disertai dengan pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada pemeriksaan laboratorium, di samping tandatanda defisiensi besi yang disertai adanya eosinofilia.

Jika tidak ditemukan perdarahan yang nyata, dapat dilakukan tes dara samar (occult blood test) pada feses, dan jika terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau bawah.

Diagnosis Diferensial Anemia diferensiasi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik lainnya, seperti anemia akibat penyakit kronik, thalassemia, dan anemia sideroblastik.

2. Anemia karena Defisiensi Besi

Anemia ini umumnya berbentuk berbentuk normokrom-normositer, meskipun banyak pasien memberi gambaran hipokrom dengan MCHC < 31 g/dL dan beberapa mempunyai sel mikrositer dengan MCV < 80 fl. Nilai retikulosit absolut dalam batas normal atau sedikit meningkat. Perubahan pada leukosit dan trombosit tidak konsisten, tergantung penyakit dasarnya.

Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi sine qua non untuk diagnosis anemia penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah onset suatu infeksi ataau inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein pengikat Fe transferin menurun menyebabkan saturasi Fe yang lebih tinggi daripada ADB. Proteksi saturasi Fe ini relatif mungkin mencukupi dengan meningkatkan transfer dari suatu persediaan yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid imatur.

Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat daripada penurunan kadar Fe serum, disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama (8 12 hari) dibandingkan dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi metabolik yang berbeda.

3. Anemia Aplastik

Pemeriksaan Fisik Hasil pemeriksaan fisik pada pasien dengan anemia aplastik sangat bervariasi. Hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan adalah pucat, perdarahan (pada kulit, gigi, retina, hidung dan lain-lain), demam dan hepatomegali.

Pemeriksaan Laboratorium Darah Tepi Laju Endap Darah Laju endap darah selalu meningkat Faal Hemostasis Waktu perdarahan memanjang dan retraksi bekuan buruk disebabkan oleh

trombositopenia. Faal hemostasis lainnya normal.

Sumsum Tulang Karena adanya sarang-sarang hemopoiesis hiperaktif yang mungkin teraspirasi, maka sering diperlukan aspirasi beberapa kali. Diharuskan melakukan biopsi sumsum tulang pada setiap kasus tersangka anemia aplastik. Virus Evaluasi diangnosis anemia aplastik meliputi pemeriksaan virus hepatitis, HIV, parvovirus, dan sitomegalovirus. Tes Ham atau Tes Hemolisis Sukrosa Tes ini diperlukan untuk mengetahui adanya PNH sebagai penyebab. Kromosom Pada anemia aplastik didapat, tidak ditemukan kelainan kromosom. Pemeriksaan sitogenetik dengan flourescence in situ hybridization (FISH) dan imunofenotipik dengan flow cytometry diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding, seperti myelodisplasia hiposelular. Defisiensi Imun Adanya defisiensi imun diketahui melalui penentuan titer imunoglobulin dan pemeriksaan imunitas sel T. Lain-lain Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak, dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional. Kadar eritropoietin ditemukan meningkat pada anemia aplastik.

Pemeriksaan Radiologis Nuclear Magnetic Resonance Imaging Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk mengetahui luasnya perlemakan karena dapat membuat ppemisahan tegas antara daerah sumsum tulang berlemak dan sumsum tulang berselular. Radionuclide Bone Marrow Imaging (Bone Marrow Scanning) Luasnya kelainan sumsum tulang dapat ditentukan oleh scanning tubuh setelah disuntik dengan koloid radioaktif technetium sulfur yang akan terikat pada makrofag sumsum tulang atau iodin chloride yang akan terikat pada transferin. Dengan bantuan scan sumsum tulang dapat ditentukan daerah hemopoiesis aktif untuk memperoleh sel-sel guna pemeriksaan sitogenetik atau kultur sel-sel induk.

4. Anemia Hemolitik

Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari:

Pemeriksaan Penyaring Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan apusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan lebih lanjut.

Pemeriksaan Darah Seri Anemia Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.

Pemeriksaan Sumsum Tulang Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai keadaan sistem hematopoiesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid.

Pemeriksaan Khusus Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada: Anemia defisiensi besi: serum iron. TIBC (total iron binding capacity), saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan besi pada sumsum tuulang (Perls stain). Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksiuridin dan tes Schiling. Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin, dan lainlain.

Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang.

Juga diperlukan pemeriksaan nonhematologik tertentu, seperti misalnya pemeriksaan faal hati, faal ginjal, atau pun faal tiroid.

Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan Hb yang rendah, penurunan Ht, dan berkurangnya jumlah sel darah merah (SDM). Pemeriksaan apusan darah tepi memungkinkan kita menggolongkan anemia menjadi subkelompok morfologik utama: normositik normokromik, mikrositik hipokromik dan makrositik. Selain itu, kelainan bentuk dan ukuran SDM, seperti adanya sferosit, sel sabit, dan sel terfragmentasi, memberikan petunjuk tambahan tentang etiologi anemia. Pada kasus yang dicurigai hemoglobinopati, elektroforesis dapat mengungkapkan kelainan Hb seperti HbS berdasarkan pola migrasinya. Hemolisis SDM yang diperantarai secara imunologis dipastikan dengan uji Coombs. Hitung retikulosit sangat bermanfaat dalam pemeriksaan laboratorik anemia. Perngukuran sederhana ini menunjukkan apakah anemia disebabkan oleh gangguan produksi SDM; dalam hal ini hitung retikulosit rendah, atau oleh peningkatan destruksi SDM. Yang terakhir ini disertai retikulositisis karena sumsum tulang mengalami hiperplasia eritroid. Pemeriksaan biokimia, seperti zat besi serum, kapasitas serum mengikat besi, saturasi transferin, dan kadar feritin serum diperlukan untuk membedakan antara anemia hipokromik mikrositik yang disebabkan oleh defisiensi besi, anemia pada penyakit kronis, dan talasemia minor. Pembedaan antara dua penyebab utama anemia megaloblastik diperoleh dengan mengukur kadar folat dan vitamin B12 dalam serum dan SDM. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi menunjang diagnosis anemia hemolitik tetapi tidak bermanfaat untuk membedakan berbagai bentuk anemia. Yang lebih sensitif daripada bilirubin serum adalah haptoglobin serum, karena kadarnya sangat berkurang pada semua bentuk anemia hemolitik. Pada anemia saja, pemeriksaan yang dilakukan pada darah perifer biasanya sudah memadai untuk memastikan penyebabnya. Sebaliknya, apabila terjadi bersama dengan trombositopenia dan/ atau granulositopenia, anemianya besar kemungkinan disebabkan oleh aplasia atau infiltrasi sumsum tulang; dan dalam kasus ini pemeriksaan sumsum tulang sering penting untuk diagnosis.

2.1.5. Terapi

1. Anemia hipokrom Penyebab yang mendasari sedapat mungkin diobati. Sebagai tambahan, diberikan besi untuk mengoreksi anemia dan memulihkan cadangan besi.

Besi oral Preparat yang terbaik adalah ferro sulfat yang harganya murah, mengandung 67 mg besi dalam tiap tablet 200mg (anhidrat) dan paling baik diberikan pada keadaan perot yang kososng dalam dosis yang berjarak sedikitnya 6 jam. Jika timbul efek samping (misalnya mual, nyeri perut, konstipasi, atau diare), dapat dikurangi dengan memberikan besi bersama makanan atau dengan menggunakan preparat dengan kandungan besi yang lebih rendah, misalnya ferro glukonat yang lebih sedikit mengandung besi (37 tablet300 mg. Terapi besi oral harus diberikan cukup lama untuk mengoreksi anemia dan untuk memulihkan cadangan besi tubuh, yang biasanya memberikan hasil setelah penggunaan selama sedikitnya 6 bulan. Kadar hemoglobin harus meningkat dengan kecepatan sekitar 2 g/dl tiap 3 minggu. mg) per

Besi parental Besi-sorbitol-sitrat (jectofer) diberikan sebagai injeksi intramuscular dalam yang berulang, sedangkan ferri hidroksida-sukrosa (venofer) diberilan melalui injeksi intravena lambat atau infuse. Mungkin terjadi reaksi hipersensitivitas atau anafilaktoid dan oleh karena itu, besi parenteral hanya diberikan jika dianggap perlu untuk memulihkan besi tubuh secara cepat, contohnya kehamilan tua atau pasien hemodialisis.

2. Anemia megaloblastik Sebagian besar kasus hanya memerlukan pemberian vitamin yang sesuai. Jika asam folat dosis besar (missal 5 mg sehari) diberikan pada defisiensi vitamin B12, akanmenyebabkan

terjadinya respons hematologic tetapi dapat memperburuk neuropati. Karena itu, folat tidak boleh diberikan sendiri jika defisiensi vitamin B12 telah disingkirkan.

Respon terhadap terapi Pasien merasa lebih baik dalam waktu 24-48 jam setelah pemberian vitamin yang benar disertai nafsu makan yang meningkat dan rasa nyaman. Respons retikulosit dimulai pada hari kedua atau ketiga dengan puncaknya pada hari ke-6-7 tinggi respon berbanding terbalik dengan jumlah eritrosit awal. Hemoglobin meningkat 2-3 g/dl tiap dua minggu.

Terapi profilaksis Vitamin B12 di berikan pada pasien yang mengalami gastrektomi total atau reaksi ileum. Asam folat di berikan pada kehamilan, dengan dosis anjuran sebesar 400g tiap hari untuk mencegah DTS pada janin. Asam folat juga diberikan pada pasien yang menjalani dialysis kronik disertai anemia hemolitik berat dan mielofibrosis kronik, dan pada bayi premature.

3. Anemia hemolitik

Anemia hemolitik herediter Menghentikan pemakaian obat pencetus, mengobati infeksi yang mendasari,

mempertahankan keluaran urin yang tinggi, dan melakukan transfuse darah bila perlu untuk anemia berat. Bayi yang kekurangan G6PD mempunyai kecendrunga untuk menderita ikterus neonatorunm dan pada kasus yan g berat mungkin fototerapi dan transfusi-tukar ikterus biasanya tidak disebabkan oleh hemolisis berlebihan tetapi oleh defisiensi G6PD yang mempengaruhi fungsi hati neonates.

Anemia hemolitik didapat 1. Singkirkan penyebab yang mendasari 2. Kortikosteroid. Prednisolon adalah pengobatan yang umum diberikan; 60mg per hari adalah dosis awal biasa untuk orang dewasa dan kemudian harus dikurangi sedikit demi sedikit.

3. Splenektomi mungkin berguna untuk dilakukan pada pasien yang tidak berespon baik atau gagal mempertahankan kadar hemoglonin yang memuaskan dengan dosis steroid yang cukup kecil. 4. Imunosupresi daoat dicoba setelah gagal menggunakan cara lain, tetapitidak selalu berguna. Azatioprin, siklofosfamid, klorambusil 5. Asam folat diberikan pada kasus berat 6. Trnasfusy darah mungkin jika anemia berat dan menimbulkan gejala.

4. Anemia sel sabit Penyakit homozigot. 1. Profilaksis. Hindari factor-faktor yang diketahui mencetuskan krisis, terutama dehidrasi, anoksia, infeksi, status sirkulasi, dan pendinginan permukaan kulit. 2. Asam folat, misalnya 5 mg/hari 3. Gizi dan hygiene umum yang baik. 4. Vaksinasi terhadap pneumokokus,haemophilus dan meningokokus serta penisilin oral secara teratur efektif untuk mengurangi angka kejadian infeksi akibat organisme tersebut dab harus sangat dianjurkan. 5. Krisis-obatdengan istirahat, kondisi hangat, rehidrasi dengan cairan oral dan garam fisiologis intravena (3 liter dalam 24 jam) dan antibiotic bila terdapat infeksi. Analgetik dengan kadar yang sesuai yang harus diberikan. Obat yang sesuai adalah paracetamol. 6. Perhatian khususdiperlukan pada kehamilan dan anesthesia. Transfuse rutin selama kahamilan diberikan pada pasien yang memilki riwayat obstetric yang buruk atau riwayat krisis yang sering. 7. Hidroksiurea (15,0-20,0 mg/kg) dapat meningkatkan kadar Hb F. obat ini jangan digunakan selama kehamilan. 8. Transplantasi sel induk dapat menyembuhkan penyakit.

5. Anemia aplastik Umum.

Penyebabnya jika diketahui harus disingkirkan, misalnya menghentikan radiasi atau terapi obat. Penatalaksanaan awal terutama meliputi perawatan suportif dengan transfuse darah, konsentrasi trombosit, dan pengobatan serta pancegahan infeksi.semua produk darah harus disaring untuk mengurangi resiko aloimunisasi, dan diradiasi untuk mencegah pencangkokan limfosit donor hidup.

Spesifik. 1. Globulin anti limfosit (timosit (GAL atau GAT). Zat ini dibuat pada hewan dan bermanfaat untuk digunakan pada sekitar 50-60% dari kasus didapat. Obat ini biasanya diberikan bersamaan dengan kortikosteroid yang juga mengurangi efek samping GAL, meliputi penyakit serum (serum sickness) berupa demam, ruam, dan nyeri sendi setelah 7 hari pemberian obat. 2. Siklosporin. Adalah obat efektif yang tampakanya sangat bermanfaat dalam kombinasi dengan GAL dan steroid. 3. Factor pertumbuhan hemopoietik. Factor perangsang pertumbuhan koloni granulositmaktofag. 4. Androgen bermanfaat pada beberapa penderita AF dan anemia aplastik didapat walupun belum terbukti adanya perbaikan harapan hidup secara keseluruhan pada anemia aplasrik yang didapat. Biasanya dicoba oksimetolon 2,5 mg/kg/hari tetapi efek sampingnya jelas yaitu virilisasi, retensi garam dan kerusakan hati dengan ikterus kolestatic. 5. Transplantasi sel induk. Transplantasi alogenik menawarkan kemungkinan terjadinya kesembuhan permanen.

2.1.6. Pengaruh anemia bagi sirkulasi

Viskositas darah hampir seluruhnya bergantung pada konsentrasi sel darah merah. Pada anemia berat, viskositas darah dapat turun hingga 1,5 kali viskositas air. Keadaan ini akan mengurangi tahanan terhadap aliran darah dalam pembuluh perifer, sehingga jumlah darah yang mengalir melalui jaringan dan kemudian kembali ke jantung hauh melebihi normal. Hal tersebut akan meningkatkan curah jantung. Selain itu, hipoksia yang terjadi akibat penurunan transport oksigen oleh darah akan menyebabkan pembuluh darah jaringan perifer berdilatasi, yang selanjutnya meningkatkan jumlah darah yang

kembali ke jantung dan meningkatkan curah jantung sampai nilai yang lebih tinggi, kadang-kadang tiga sampai empat kali nilai normal. Jadi, dalh satu efek utama dari anemia adalah peningkatan curah jantung dan peningkatan beben kerja jantung. pemompa

Anda mungkin juga menyukai

  • Sinopsis Film
    Sinopsis Film
    Dokumen16 halaman
    Sinopsis Film
    Zihan Miniee ZeeZee
    Belum ada peringkat
  • Transfusi Darah
    Transfusi Darah
    Dokumen12 halaman
    Transfusi Darah
    Zihan Miniee ZeeZee
    Belum ada peringkat
  • Patogenesis SLE
    Patogenesis SLE
    Dokumen8 halaman
    Patogenesis SLE
    Zihan Miniee ZeeZee
    Belum ada peringkat
  • Ald
    Ald
    Dokumen11 halaman
    Ald
    Zihan Miniee ZeeZee
    Belum ada peringkat
  • Makalah CHF
    Makalah CHF
    Dokumen23 halaman
    Makalah CHF
    Anugrah Novianti
    100% (2)