Anda di halaman 1dari 4

INFEKSI PARU-PARU YANG DISEBABKAN MYCOBACTERIUM RIYADHENSE, SERUPA DENGAN MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS: KASUS PERTAMA DI KOREA

Hingga saat ini, terdapat lebih dari 125 spesies mikobakteria nontuberkulosis (NTM) yang telah diketahui. NTM biasanya merupakan organisme yang hidup bebas dan ada dimana-mana dalam suatu lingkungan, sering ditemukan sebagai organisme kontaminan di laboratorium atau peralatan medis. Hal ini nyata yang ada di Korea, yang merupakan negara dengan prevalensi tuberkulosis (TB) cukup tinggi. Infeksi oleh bakteri NTM menyebabkan sakit yang tidak parah, akan tetapi tetap dapat mengancam jiwa apabila menyerang seseorang dengan status imun yang menurun (immunocompromised). Dalam beberapa tahun terakhir, infeksi NTM pernah ditemukan/terdiagnosis pada orang-orang yang imunokompeten tanpa faktor prediposisi. Oleh karena itu, identifikasi mikobakteria penyebab penyakit yang spesifik dan perbedaan lingkungan serta spesies patogenik merupakan masalah yang penting untuk dibahas untuk perawatan pasien. Seorang wanita berusia 38 tahun dibawa ke bagian pulmonologi Rumah Sakit Pendidikan Universitas Ulsan karena batuk yang produktif, dahak berdarah, demam grade rendah, dan merasa lemah. Tiga bulan sebelum masuk rumah sakit, dia pernah didiagnosis menderita bronkiektasis oleh pusat pelayanan kesehatan setempat namun gejala yang ada masih menetap setelah ia menyelesaikan pengobatannya disana. Satu bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengaku mengalami demam ringan, lemah badan, dan anoreksia. Setelah itu, pasien didiagnosis menderita pneumonia. Namun, kondisinya tidak menjadi lebih baik dengan adanya batuk yang menetap dan turunnya berat badan melebihi saat perawatan sebelumnya, hingga akhirnya pasien dibawa kesini. Selama masa perawatan di rumah sakit, gambar radiografi dada menunjukkan adanya sedikit gambaran opasitas ground-glass, yang mendukung diagnosis pneumonia, dan CT scan menunjukkan bronkiektasis dengan nodul berkavitas yang multipel. Spesimen diambil dari sputum dan cairan lavage bronkial yang menunjukkan adanya basil tahan asam berdasarkan mikroskopi floresensi stain auraminerhodamine. Ketahanan asam diverifikasi dengan menggunakan stain Ziehl-Nielsen. Dengan menggunakan metode PCR real-time, ditemukan hasil negatif komplek M. tuberculosis (MTBC) dan positif untuk NTM. Tanda dan gejala klinis serta radiologis infeksi pulmoner meliputi batuk, demam, turunnya berat badan, dan bronkiektasis multifokal dengan

nodul kecil multipel, dan hasil kultur positif dari cairan lavage bronkial, memenuhi kriteria infeksi paru oleh NTM. Sehingga kemudian pasien ini didiagnosis penyakit paru NTM dan terapi dimulai dengan rejimen yang terdiri dari isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, dan etambutol. Setelah seminggu terapi, terapi dapat diterima dengan baik, kondisi umum pasien membaik dan ambilan sputum sudah mikobakteria negatif. Sehingga terapi dengan rejimen tersebut tetap dilanjutkan sampai diagnosis pasti sudah ditegakkan. Kultur ditumbuhkan di media MGIT dan ditemukan basil tahan asam pada 7-9 hari setelahnya. Selain itu, kultur juga ditumbuhkan di media eggbased. Asam mikolat dinding bakteri dianalisis menggunakan HPLC, dan untuk mengidentifikasi organisme pada tingkat spesies digunakan teknik DNA chip assay, dan teridentifikasi 20 spesies mikobakteria. Banyak pasien NTM pulmoner yang mendapat terapi TB pulmoner inadekuat yang sebenarnya tidak diperlukan. Selain itu, beberapa pasien bahkan mengalami misdiagnosis dengan multidrug resistant TB dan diobati dengan rejimen anti-TB sekunder, hal ini dikarenakan manifestasi klinis NTM sering sulit dibedakan dengan MTBC. M. riyadhense dapat menginfeksi pasien walaupun tanpa disertai faktor predisposisi, yang menimbulkan gambaran klinis mirip TB sehingga membutuhkan keterangan laboratorium dari pasien. Dalam hal ini, kondisi pasien akan membaik hanya jika bakteri etiologi penyakitnya diketahui. Kasus ini merupakan kasus pertama yang dilaporkan di Korea mengenai strain mikobakterium yang secara fenotip dan diagnostik sulit dibedakan dengan TB (namun ternyata jelas berbeda dengan TB) dan berakibat pada penyakit yang parah. Ada 4 kasus M. riyadhense yang dilaporkan sebelum kasus ini (UUH-10070721646), dan kasus-kasus tersebut sulit dibedakan dengan MTBC.

Penyelidikan komersial biasanya sering digunakan untuk proses identifikasi cepat spesies mikobakterium, akan tetapi M. riyadhense dan NTM baru lainnya seperti M. kumamotenense menimbulkan reaksi silang dengan DNA MTBC dan mungkin terlewat oleh line-probe assay. Dengan adanya hal tersebut, maka penyelidikan komersial bisa saja gagal dalam mengidentifikasi antar spesies, menyebabkan isolat klinis tidak teridentifikasi atau bahkan mengalami misidentifikasi. Tanda dan gejala klinis dan radiologis infeksi pulmoner yang disebabkan strain ini meliputi batuk, penurunan berat badan, demam, lesi paru dengan kavitasi, yang juga serupa dengan yang ditimbulkan oleh strain MTBC. Ciri lainnya adalah strain ini memiliki kesamaan dengan strain MTBC dalam patogenitasnya; setiap kasus menunjukkan patogenitas yang hampir sama dalam menimbulkan penyakit pulmoner maupun ekstrapulmoner. Akan tetapi, strain ini berbeda dalam hal kerentanannya terhadap obat; kasus pertama diobati dengan terapi standar TB yaitu INH, RIF, dan EMB yang mana rejimen terapi ini tidak efektif ketika diberikan pada kasus kedua, dan kasus yang terakhir berhasil diobati dengan kombinasi amikacin, ethinamide, moxifloxacin, clarithromycin, dan EMB. Strain pada kasus ketiga dan keempat menunjukkan pola kerentanan terhadap obat yang hampir sama, yang mana pada kedua kasus ini sensitif terhadap hampir semua obat antiTB lini pertama dan lini kedua, dan hanya resisten terhadap doksisiklin. Karena sedikitnya kasus infeksi M. riyadhense yang dilaporkan, belum ada agen M. riyadhense yang tersedia (misalnya untuk ditelusuri genom dll-nya). Kasus pertama dan ketiga menunjukkan obat antiTB seperti INH, RIF, dan EMB efektif melawan infeksi M. riyadhense, namun ternyata resisten terhadap INH (secara in vitro) pada kasus kedua dan kasus ini. Menariknya, kombinasi klaritromisin dan ciprofloxacin tidak efektif digunakan pada kasus keempat, walaupun dalam kondisi in vitro tidak demikian. Kultur laboratorium dengan teknik konvensional, uji biokimia, dan penilaian molekuler terkadang tidak cukup untuk membedakan spesies novel mikobakterium dengan M. tuberculosis. Metodologi biokimia rumit untuk dilakukan, memakan waktu yang lama, dan mungkin menunjukkan hasil yang salah atau ambigu. Probe assay gen dan PCR dapat dilakukan dengan cepat dan menunjukkan hasil yang akurat untuk identifikasi mikobakteria hingga tingkat spesies, namun pada metode ini masih mungkin terjadi kontaminasi dan angka positif palsu yang tinggi, yang akhirnya menyulitkan untuk mensortirnya dengan beragam

spesies

mikobakterium

dan

sering

membutuhkan

langkah

berkali-kali

untuk

mengidentifikasinya dalam tingkatan spesies. Dalam kasus M. riyadhense lainnya, hasil positif palsu dari line-probe assay dapat menghasilkan diagnosis TB yang salah dan terapi yang tidak tepat, namun pada kasus ini hal tersebut kami cegah dengan melakukan PCR dan HPLC, yang akan mengeksklusi TB sebelum hasil diagnostik molekuler didapatkan. Dalam kasus ini, penelitian persiapan kami lakukan dengan PCR sederhana untuk mengetahui hasil yang negatif, tetapi ciri persisten strain ini berdasarkan beberapa sistem identifikasi genetik mengarah pada deteksi M. riyadhense di Korea.

Anda mungkin juga menyukai