Anda di halaman 1dari 6

PATOGENESIS, IMUNOLOGI, DAN DIAGNOSIS INFEKSI MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS LATEN

Fagositosis basil tuberkel oleh antigen-presenting cell dalam alveoli paru manusia menginisiasi rangkaian proses infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis dan berpotensi untuk berperan sebagai respon imun oleh sel host. M. tuberculosis mengembangkan sebagian besar gonomnya agar dapat menginfeksi secara laten ataupun progresif pada kebanyakan individu yang terinfeksi. Kegagalan sistem imun dalam mengatasi infeksi ini dikarenakan oleh berbagai strategi yang dilakukan bakteri M. tuberkulosis untuk melawan mekanisme mikrobisidal dalam sel imun yang terinfeksi serta pembentukan lesi granulomatosa. Dalam tinjauan ini, akan disampaikan pemahaman yang baru mengenai berbagai proses imunitas yang mengarah pada terjadinya infeksi laten M. tuberculosis, penyebaran bakteri, persistensi, reaktivasi, dan eliminasi infeksi laten serta pendekatan diagnostik terbaru yang dapat digunakan untuk identifikasi individu-individu yang mungkin terinfeksi secara laten. Mycobacterium tuberculosis merupakan anggota dari kompleks M. tuberculosis (MTBC) yang juga meliputi 6 spesies lainnya yaitu: M. bovis, M. africanum, M. microti, M. pinnipedii, M. caprae, dan M. canetti . Epidemik TB di masa sekarang banyak dipengaruhi oleh 2 faktor penting yakni infeksi HIV dan hubungannya dengan penyakit TB aktif serta peningkatan resistensi strain Mycobacterium tuberculosis terhadap kebanyakan obat anti-TB lini pertama. Pasien klinis aktif dengan sputum positif TB paru merupakan sumber infeksi utama dalam suatu komunitas. Infeksi primer oleh M. tuberculosis yang menimbulkan manifestasi klinis hanya terjadi pada sekitar 10% individu. Pada 90% kasus sisanya sistem imun tubuh manusia dapat menghentikan infeksi lebih lanjut. Walaupun demikian, patogen yang berhasil tereradikasi sepenuhnya hanya terjadi pada sekitar 10% kasus, dimana pada 90% individu lainnya basil bakteri dapat menghindari mekanisme mikrobisidal oleh sel imun (seperti fusi fsgosom-lisosom, presentasi antigen oleh MHC kelas I, II, molekul CD1, dan produksi nitrit oksida) dan tetap dalam fase non-replikasi (dorman atau laten) pada lesi lama. Proses ini disebut sebagai infeksi tuberkulosis laten (LTBI), dan basil yang dorman akan mempertahankan kemampuan resusitasinya, menyebabkan TB aktif apabila terjadi gangguan respon imun tubuh (seperti pada infeksi HIV). WHO memperkirakan bahwa 1/3 populasi

manusia di seluruh dunia mengalami infeksi laten M. tuberculosis dan 5%-10% dari jumlah tersebut akan mengalami TB aktif dalam hidupnya. Tuberkulosis merupakan penyakit yang dapat ditularkan dan pasien dengan TB paru merupakan sumber infeksi yang terpenting. Infeksi diinisiasi melalui inhalasi droplet nuklei, yang merupakan partikel berdiameter 1-5 m dan mengandung M. tuberculosis, diekspektorasi/dikeluarkan oleh pasien dengan TB aktif, biasanya saat pasien batuk. Droplet nuklei tersebut, karena ukurannya yang sangat kecil, dapat bertahan di udara bebas selama beberapa menit sampai jam. Risiko infeksi bergantung pada beberapa faktor seperti infektivitas sumber infeksi, kedekatan kontak, banyaknya basil yang terhirup, dan status imunitas sel host. Jalur utama infeksi melibatkan paru-paru. Droplet nuklei yang terhirup dapat menghindari mekanisme pertahanan bronki karena ukurannya yang sangat kecil lalu melakukan penetrasi sampai ke alveoli terminal dimana disana mereka ditelan oleh sel imun fagositik (makrofag dan sel dendritik). M. tuberculosis juga menginfeksi sel nonfagositik di ruang alveolar termasuk sel M, endotel alveolar, dan sel epitel tipe 1 dan tipe 2 (pneumosit). Pada awal infeksi, M. tuberculosis, dicerna oleh sel imun fagositik, bereplikasi secara intraseluler, lalu melewati barier alveolar untuk menyebar secara sistemik. Replikasi intraseluler dan penyebaran simultan oleh patogen ke kelenjar getah bening pulmoner dan berbagai tempat ekstrapulmoner lainnya terjadi sebelum ada respon imun adaptif dari tubuh host. Hal ini menunjukkan kemampuan M. tuberculosis yang luar biasa dalam membentuk ceruk (niche) untuk menghindari eliminasi oleh sistem imun tubuh dan bertahan tanpa batas waktu. Pada sebagian besar orang yang terifnfeksi, terdapat suatu respon imun efektif yang diperantarai sel setelah 2-8 minggu post-infeksi yang menghentikan multiplikasi basil tuberkel lebih lanjut. Limfosit T teraktivasi, makrofag, dan sel imun lainnya membentuk granuloma yang menumbuhkan jaringan nekrotik yang membatasi replikasi lebih lanjut dan mencegah penyebaran basil tuberkel. Sebagian besar M. tuberculosis berhasil dieliminasi di granuloma kaseosa, sehingga progres penyakit terhenti. Namun, pada beberapa individu patogen tidak sepenuhnya dieradikasi karena M. tuberculosis mengembangkan mekanisme pertahanan yang efektif untuk menghindari sistem imun, sehingga basil dapat tetap terus bertahan dan persisten. Infeksi oleh M. tuberculosis diawali dengan proses fagositosis basil oleh antigenpresenting cell fagositik di paru-paru yang meliputi makrofag alveolar dan sel dendritik. Pengenalan pathogen-associated molecular patterns (PAMP) oleh specific pathogen

recognition receptors (PRRs) merupakan inti dari proses inisiasi dan koordinasi respon imun tubuh host. M. tuberculosis atau bagian/komponen M. tuberculosis akan dikenali oleh reseptor host yang meliputi Toll-like receptors (TLRs), nucleotide-binding oligomerization domain(NOD-) like receptors (NLRs), dan C-type lectins. Interaksi antara M. tuberculosis dengan TLRs menginisiasi sinyal kaskade intraseluler yang menyebabkan respon proinflamasi, akan tetapi, bakteri juga mengembangkan strategi tertentu yang dapat memicu sinyal untuk mengurangi atau memodulasi respon imun host. Ikatan antara membran lainnya dengan PRRs (CD 207, DC-SIGN, dan Dectin-1) turut berkontribusi dalam menyampaikan sinyal inflamasi di saat PRRs sistosolik (seperti reseptor Nod-like) memodulasi pengenalan host terhadap adanya patogen. Defek selanjutnya pada imunitas cell-mediated dapat berakibat pada reaktivasi basil dorman yang menyebabkan infeksi kembali aktif bertahun-tahun setelah infeksi (reaktivasi TB). Pembungkus sel M. tuberculosis disusun oleh dinding sel yang dilapisi dengan lapisan lipid yang tebal dan polisakarida dan dicirikan dengan tingginya kandungan asam mikolat. Interaksi antara ligan M. tuberculosis dengan TLRs akhirnya akan berakibat pada aktivasi nuclear transcription factor (NF)-B dan produksi sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF)-, interleukin (IL)-1, IL-12, chemokines, dan nitrit oksida baik melalui diferensiasi mieloid respon primer protein 88 (MyD88)-dependant maupun jalur (MyD88)independent. Makrofag alveolar, setelah memasuki M. tuberculosis, akan menghasilkan sitokin inflamasi dan chemokines yang menimbulkan sinyal adanya infeksi. Monosit, neutrofil, dan limfosit bermigrasi ke lokasi fokal infeksi, namun tidak mampu membunuh bakteri secara efisien. Selama periode ini, basil bertahan dari mekanisme bakterisidal makrofag (fagolisosom) dengan cara mencegah fusi fagosom-lisosom, bereplikasi di fagosom, dan menyebabkan nekrosis makrofag. Basil yang keluar ke ekstraseluler, difagosit oleh makrofag lain yang juga gagal mengeliminasi M. tuberculosis. Sementara itu, sel dendritik bermigrasi ke kelenjar getah bening regional, dan sel T primer (baik CD4+ dan CD8-) melawan antigen mikobakterial. Respon imun spesifik memproduksi sel T primer yang bermigrasi kembali ke fokus infeksi, dengan diiringi oleh chemokines yang dihasilkan oleh sel yang terinfeksi. Akumulasi dari makrofag, sel T, dan sel-sel host lainnya (sel dendritik, fibroblas, sel endotel, dan sel stroma) akan mengakibatkan pembentukan granuloma di tempat infeksi. Pembentukan granuloma akan membatasi penyebaran basil tuberkel ke jaringan paru yang masih sehat, membatasi penyebaran bakteri, memproduksi sitokin, dan menyediakan

lingkungan mikro untuk interaksi antara makrofag dan sel-sel lain dari sistem kekebalan tubuh. Sel CD4+ T yang memproduksi interferon- (IFN-) dapat mengenali makrofag terinfeksi antigen dari M. tuberculosis kemudian membunuhnya. Perkembangan infeksi dapat dihentikan, namun beberapa basil mampu bertahan di bawah kondisi ini. Basil yang bertahan, masuk ke tahap dormansi dan terus bertahan dengan menghindari eliminasi oleh sistem kekebalan tubuh. Beberapa lesi bersifat menekan M. tuberculosis (sterilisasi kekebalan) sementara yang lain mendukung lingkungan mikro untuk M. tuberculosis. Hasil histopatologi menunjukkan bahwa granuloma kaseosa klasik terdiri dari makrofag epitel, neutrofil, dan sel-sel kekebalan tubuh lainnya yang dikelilingi oleh fibroblas. Daerah nekrotik pusat kaseosa terdiri dari makrofag mati / sel-sel lain yang mengalami hipoksia, dengan M. tuberculosis yang berada di dalam makrofag dalam pusat hipoksia. Jenis lain dari granuloma yang terlihat pada TB laten di manusia dan kera (model percobaan) adalah lesi fibrosis, terdiri dari fibroblas dan mengandung sedikit makrofag. Namun, tidak diketahui apakah saat ini M. tuberculosis terletak di dalam makrofag atau di tempat fibrosis dalam lesi. Lingkungan mikro granuloma (hipoksia, rendah pH, adanya oksida nitrat dan karbon monoksida, dsb) meningkatkan ekspresi beberapa gen M. tuberculosis yang terlibat dalam induksi dormansi. Basil yang tidak aktif dapat menghuni granuloma selama masa hidup host, dan dapat menjadi aktif kembali pada keadaan imunodepresi. Sel T CD4+ mempunyai peran penting dalam mengontrol infeksi pada granuloma, termasuk apoptosis makrofag yang terinfeksi melalui Fas / Fas ligan interaksi, produksi sitokin (seperti IL-2 dan TNF-), induksi sel kekebalan lainnya (makrofag atau sel dendritik) untuk memproduksi immunoregulatory sitokin seperti IL-10 IL-12, serta IL-15, dan aktivasi makrofag melalui kontak langsung melalui ligan CD40. Sel T CD8+ selain memproduksi IFN- dan sitokin lain, juga memiliki efek sitotoksik bagi makrofag yang terinfeksi M. tuberculosis, dan dengan demikian memainkan peran penting dalam memberikan kekebalan terhadap TB. IFN- merupakan sitokin kunci untuk respon kekebalan terhadap M. tuberculosis. Manusia dan tikus (model percobaan) yang mengalami kerusakan pada gen reseptor IFN- atau IFN- lebih rentan terhadap infeksi M. tuberculosis. Meski telah diketahui bahwa M. tuberculosis mampu bertahan di fagosom dengan menghalangi (atau memperlambat) maturasi fagolisosom, salah satu mekanisme lolosnya bakteri M. tuberculosis dari fagosom / fagolisosome untuk menginfeksi makrofag lain dan sel imunitas / alveolar lainnya baru ditemukan akhir-akhir ini.

Studi berbasis subtraktif hibridisasi awalnya mengidentifikasi genom per region. Region of difference 1 (RD1), muncul di semua M. tuberculosis virulen dan strain M. bovis tetapi tidak didapatkan di strain vaksin M. bovis BCG. Hal itu menunjukkan bahwa RD1 berperan penting pada virulensi M. tuberculosis karena mengkodekan protein yang membentuk sistem sekresi protein novel (ESX-1). ESX- 1 (jenis VII sistem sekresi) yang terlibat dalam perpindahan protein M. tuberculosis, termasuk dua antigen sel T yang poten dikodekan oleh RD1, 6-kDa awalnya disekresikan antigen target (ESAT-6) (dikode oleh esxA) dan 10-kDa mengkultur filtrat protein (CFP-10) (dikode oleh esxB) yang tidak memiliki sinyal urutan untuk migrasinya. Ciri dari infeksi M. tuberculosis pada manusia adalah ketidakmampuan respon imun untuk sepenuhnya mengeliminasi bakteri patogen. Basil tuberkel memiliki beberapa strategi untuk memanipulasi sel host yang terinfeksi, menghindari atau memodifikasi respon imunitas, menghindari eliminasi dan dengan demikian bertahan dalam host. Seperti dijelaskan di atas, beberapa faktor M. tuberkulosis, seperti lipoprotein ManLAM dan 19-kDa, telah diidentifikasi mampu memodulasi jalur antigen, menumpulkan fungsi microbisidal makrofag dan kekebalan sel (seperti RNI) atau mencegah maturasi fagolisosom. Reaktivasi infeksi laten terjadi ketika sel M. tuberculosis keluar dari tahap dormansi. Beberapa faktor dapat memicu perkembangan penyakit aktif, dan biasanya terjadi ketika sistem kekebalan tubuh melemah. Infeksi HIV merupakan faktor risiko tunggal yang paling penting untuk pengembangan penyakit aktif pada orang dewasa karena menyebabkan penipisan dari sel T CD4+ dan kelainan fungsional sel T CD4+ dan sel T CD8+ yang memainkan peran penting dalam memberikan perlindungan terhadap penyakit TB aktif. Usia lanjut, gizi buruk, dan kondisi kesehatan yang mengganggu imunitas tubuh seperti diabetes melitus yang tidak terkontrol, gagal ginjal, dan terapi dengan obat imunosupresif merupakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan penekanan kekebalan tubuh dan reaktivasi dari infeksi dorman. Reaktivasi TB dapat terjadi pada berbagai sistem organ, namun pada individu imunokompeten, reaktivasi biasanya terjadi di atas lobus, di mana tekanan oksigen lebih tinggi mendukung pertumbuhan yang baik bagi basil. Lytic transglycosylases yang dikenal sebagai resuscitation promoting factor (RPFs) dan endopeptidase (Ripa) M. tuberculosis baru-baru ini diketahui sebagai komponen penting dalam reaktivasi bakteri. Orang-orang yang terinfeksi M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan uji kulit tuberkulin enam sampai delapan minggu setelah terpapar basil. Tes ini didasarkan pada respon delayed-type hypersensitivity (DTH) yang bereaksi dengan antigen M. tuberculosis, dikenal sebagai purified protein derivative (PPD).

Indurasi lebih dari 5 mm, 48 sampai 72 jam setelah injeksi PPD, dianggap sebagai positif. Survei yang dilakukan dengan tes kulit PPD menunjukkan bahwa hampir sepertiga dari populasi dunia dan setengah dari populasi di Asia terinfeksi M. tuberculosis. Reaksi tes kulit dengan diameter lebih dari 20 mm biasanya dikarenakan penyakit aktif, namun hasil tes kulit negatif pada pasien TB aktif bisa terjadi akibat anergi atau kesalahan prosedur tes. Tes kulit tuberkulin tidak memiliki sensitivitas dan spesifisitas karena tidak dapat membedakan antara infeksi dengan M. tuberculosis dan sensitisasi dengan lingkungan mikobakteri lainnya. Vaksinasi BCG juga dapat menyebabkan reaksi positif palsu, tetapi biasanya berlangsung hanya beberapa tahun setelah vaksinasi dan sedang dan diameter tes kulit dalam rentang moderat (5 hingga 10 mm). Dua tes komersial IGRA, whole blood, ELISA-based QuantiFERON (QFN)-TB gold assay (Cellestis Ltd, Carnegie, Australia) dan peripheral blood mononuclear cell (PBMC) dan enzim-linked immunospot (ELISPOT) berbasis T SPOT-TB (Oxford Immunotec, Oxford, Inggris) tes juga telah dikembangkan dan disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk mendeteksi LTBI. Uji tersebut dilakukan berdasarkan stimulasi limfosit T dengan ESAT-6 dan protein CFP-10, pengukuran produksi IFN- (QFN-TB Gold), atau deteksi sel T sendiri (T SPOTTB). Tes ini telah mengalami perbaikan lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai