Anda di halaman 1dari 17

PERCOBAAN II DOSIS RESPON OBAT DAN INDEKS TERAPI

I.

TUJUAN 1. Memperoleh gambaran bagaimana merancang eksperimen untuk memperoleh DE50 dan DL50 2. Memahami konsep indeks terapi dan implikasi-implikasinya

II.

PRINSIP 1. Indeks Terapi Indeks terapi adalah rasio antara dosis kematian (LD50) dengan dosis efek (ED50).

LD50

adalah dosis yang menimbulkan kematian pada 50% hewan

percobaan. ED50 adalah dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50% hewan

percobaan. Semakin besar indeks terapi semakin aman penggunaan obat tersebut. 2. Rute Pemberian Intraperitoneal Rute intraperitoneal adalah rute pemberian pada bagian perut, jika menyuntik terlalu dalam pada hewan percobaan dapat menyebabkan pendarahan organ dalam.

III.

TEORI DASAR Rute pemberian obat merupakan salah satu factor yang mempengaruhi

efek obat, hal ini disebabkan karena karakterisasi lingkungan , fisiologi, anatomis,

dan biokimiawi yang berbeda karena hal-hal yang berbeda seperti suplai darah, struktur anatomi dari lingkungan kontak dan obat-obat enzim dan getah fisiologis yang terdapat dalam lingkungan tersebut. Hal-hal ini meneyebabkan jumlah obat mencapai tempat kerja dengan waktu yang berbeda-beda, tergantung dari rute pemberian obat (Ganiswara,dkk., 1995). Setiap obat dalam dosis yang cukup tinggi dapat menunjukkan efek toksik. Pada umumnya, hebatnya reaksi toksis berhubungan dengan tingginya dosis, dengan mengurangi dosis , efek dapat dikurangi pula. Begitu pula dengan dosis maksimal (MD) yang bila dilampaui dapat mengakibatkan efek toksik (Tjay & Rahardja, 2010). Righting reflex terjadi jika hewan yang diletakkan pada posisi menyamping badan berusaha untuk kembali ke posisi normalnya tidak lebih dari satu menit (Ellysheva, dkk., 1995). Dosis efektif menengah suatu obat adalah jumlah yang akan menghasilkan intensitas efek yang diharapkan 50% dari jumlah orang percobaan. Dosis toksik median adalah jumlah yang akan menghasilkan efek keracunan tertentu yang diharapkan pada 50% dari orang percobaan. Hubungan antara efek obat yang diharapkan dan yang tidak biasanya dinyatakan dalam indeks terapeutik dan dinyatakan sebagai rasio antara dosis toksik median dengan dosis efektif median suatu obat (Tjay & Rahardja, 2010). Supaya obat memberikan efek yang sistematik, obat ini harus diserap pada jumlah yang cocok melalui pemakaiannya, obat harus diedarkan kepada tempat reseptornya dalam konsentrasi yang tepat dan tetap, tinggal disana selama jangka waktu yang cukup. Salah satu cara mengukur cirri-ciri absorpsi obat ialah dengan jalan menentukan kosentrasi serum darahnya pada berbagai waktu tertentu begitu obat dipakai (Ansel, 1989). Hubungan antara efek obat yang diharapkan dan yang tidak bisa dinyatakan dalam indeks terapeutik dan dinyatakan sebagai rasio (perbandingan) antara dosis toksik median suatu obat, TD50/ED50. Jadi suatu obat dengan indeks

terapeutik 15 dapat diharapkan akan memberikan batas keselamatan yang lebih besar dalam penggunaannya daripada obat dengan indeks terapeutik 5. Indeks terapeutik harus dipandang sebagai petunjuk umum batas keamanan dan untuk setiap pasien dipertimbangkan secara terpisah (Setiawati, dkk., 2007).

Gambar : kurva yang mengambarkan kerja terapeutik dan dosis letal dari suatu obat (Setiawati, dkk., 2007). Indeks terapi merupakan perbandingan antara kedua dosis itu, yang merupakan suatu ukuran keamanan obat. Semakin besar indeks terapi, semakin aman penggunaan obat tersebut. Tetapi hendaknya diperhatikan bahwa indeks terapi ini tidak begitu saja dapat ditoleransikan terhadap manusia, seperti semua hasil percobaan dengan binatang, karena adanya perbedaan metabolisme (Setiawati, dkk., 2007). Luas terapi adalah jarak antara LD50 dan ED50, juga dinamakan jarak keamanan (safety margin). Seperti indeks terapi, luas terapi berguna pula sebagai indikasi untuk keamanan obat, terutama untuk obat yang digunakan secara kronis. Obat dengan luas terapi yang kecil, yaitu dengan selisih kecil antara dosis terapi dan dosis toksiknya, mudah sekali menimbulkan keracunan bila dosis normalnya dilampaui, misalnya antikoagulanisa kumarin, fenitoin,teofilim dan tolbutamid (Tjay & Rahardja, 2010).

Intensitas efek obat pada mahluk hidup lazimnya meningkat jika dosis obat yang diberikan padanya ditingkatkan pula. Hal ini memungkinkan untuk menggambarkan kurva efek obat sebagai fungsi dari dosis yang diberikan, atau menggambarkan kurva dosis respon. Dari kurva dapat diturunkan ED50 dan TD50 lazimnya digunakan berbagai transformasi log-probit. Dalam hal ini dosis yang digunakan ditransformasikan menjadi logaritmanya dan persentasi hewan yang memberikan respon ditransformasikan menjadi nilai probit (Tjay & Rahardja, 2010). Walaupun uji farmakologi-toksikologik pada hewan ini memberikan data yang berharga, ramalan tepat mengenai efeknya pada manusia belum dapat dibuat karena spesies yang berbeda tentu berbeda pula pada jalur dan kecepatan metabolismenya, kecepatan eksresi, sensitivitas reseptor, anatomi atau

fisiologinya. Satu-satunya jalan untuk memastikan efek obat pada manusia, baik efek terapi maupun efek non terapi, ialah memberikannya pada manusia pada uji klinik (Ganiswara,dkk., 1995).

Fenobarbital merupakan derivat barbiturat yang berdurasi kerja lama (long acting). Struktur kimia obat ini adalah 5-phenyl-5-ethylbarbituric acid.24 Barbiturat merupakan kelompok obat yang mendepresi sistem saraf pusat dengan senyawa kimia asam barbiturat. Obat ini digunakan secara luas sebagai obat sedatif-hipnotik. Banyak masalah yang berhubungan dengan obat golongan ini, antara lain tingginya penyalahgunaan obat yang menimbulkan efek toksik dan kematian, indeks terapi yang sempit dan efek samping yang tidak menyenangkan (Amalia, 2009). Obat depresan sistem saraf pusat adalah obat yang dapat mendepres atau menurunkan aktifitas SSP. Obat ini bekerja dengan menekan pusat kesadaran, rasa nyeri, denyut jantung dan pernafasan. Depresansia terbagi atas golongan obat sedativ, hipnotik, dan anestetik umum (Tjay & Rahardja, 2010).

Hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusatyang relatif tidak selektif, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan tenang ataukantuk, menidurkan, hingga yang berat ( kecuali benzodiazepam ) yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesia, koma dan mati, bergantung kepada dosis. Padadosis terapi obat sedativ menekan aktifitas, menurunkan respon

terhadaprangsangan emosi dan menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis (Ganiswara,dkk., 1995). Beberapa obat hipnotik dan sedatif terutama golongan

benzodiazepindigunakan juga untuk indikasi lain yaitu sebagai pelemas otot, anti epilepsi,antiansietas (anticemas) dan sebagai penginduksi anesthesia

(Ganiswara,dkk., 1995). Fenobarbital adalah obat anti-epilepsi yang mempunyai sejarah panjang. Obat ini pertama kali digunakan sebagai obat anti-epilepsi pada tahun 1912. Fenobarbital digunakan untuk pengobatan epilepsi tonik-klonik, epilepsi kompleks atau parsial simpel pada orang dewasa dan anak-anak. Fenobarbital juga digunakan untuk epilepsi miklonik (myclonic). Obat ini pernah menjadi obat first line, namun sekarang menjadi obat second-line karena efek samping yang ditimbulkannya yaitu efek penenang, depresi dan agitasi (Gilman, 2007). Fenobarbital merupakan obat antiepilepsi atau antikonvulsi yang efektif. Toksisitasnya relatif rendah, murah, efektif, dan banyak dipakai. Dosis antikonvulsinya berada di bawah dosis untuk hipnotis. Ia merupakan antikonvulsan yang non-selektive. Manfaat terapeutik pada serangan tonik-klonik generalisata (grand mall) dan serangan fokal kortikal (Gilman, 2007). Rumus molekul Nama Kimia Berat molekul : C12H12N2O3 : Asam 5 etil-fenilbarbiturat : 232.24

Pemerian

: Sangat sukar larut dalam air; larut dalam etanol, eter, dan dalam larutanalkali hidroksida dan dalam alkali karbonat; agak sukar larut dalam kloroform

Stabilitas

: Stabil dalam udara, tetapi larutan mengalami hidrolisis khususnya pada pH tinggi. Karena adanya pemutusan cincin asam barbirturat pada posisi1,2 atau posisi 1,6 untuk membentuk diamida atau ureida. Dekomposisidiamida dan ureida lebih jauh dapat terjadi.

Titik lebur

: (174-178)C : Simpan dalam wadah tertutup rapat ( Depkes RI, 1995).

Wadah dan Penyimpanan

Khasiat dan Penggunaan

: hipnotikum,sedativum.

Dosis maksimum sekali 300 mg, sehari 600 mg ( Depkes RI,1979). Mekanisme kerja fenobarbital yang pasti belum diketahui, tetapi memacu proses peghambatan dan mengurangi transmisi eksitasi. Data menunjukkanb ahwa fenobarbital dapat menekan saraf abnormal secara selektif,menghambata penyebaran, dan menekan pelepasan dari fokus. Seperti fenitoin,d alam dosis tinggi, fenobarbital dapat menekan melalui konduksi Na+, lepasnyafrekuensi tinggi renjatan saraf yang berulang dalam kultur. Begitu pula padakonsentrasi tinggi, barbiturat menghambat arus Ca2+ (tipe L dan M).Fenobarbital terikat pada sisi pengatur alosterik dari reseptor GABA benzodiazepin, dan memacu arus yang dirangsang reseptor GABA dengan caraperpanjangan pembukaan saluran Cl-,. Fenobarbital juga menghambat responeksitatif yang disebabkan glutamat, terutama yang diakibatkan oleh aktivasireseptor AMPA. Dengan kadar terapi yang relevan, fenobarbital meningkatkan penghambatan melalui GABA dan reduksi eksitasi melalui glutamat. (Katzung,1997). Efek sampingnya berkaitan dengan efek sedasinya yakni

pusing,mengantuk, ataksia dan pada anak-anak mudah terangsang. Efek samping

inidapat dikurangi dengan mengkombinasikannya dengan obat-obat lain (Tjay & Rahardja, 2010). Rongga peritoneum mempunyai permukaan absorpsi yang sangat luas sehingga obat dapat masuk ke dalam sirkulasi sistemik secara cepat. Cara ini banyak dilakukan di laboratorium tetapi jarang dipakai di klinik karena adanya bahaya infeksi dan perlengketan peritoneum(Staf Pengajar, 2009). IV. ALAT DAN BAHAN 4.1. Alat 1. Kapas 2. Koran 3. SarungTangan 4. Syringe 5. Timbangan

4.2. Bahan 1. Fenobarbital 2. NaCl Fisiologis

4.3. GambarAlat

1. Syringe

2. Timbangan

V.

PROSEDUR Pertama mencit dibagi ke dalam 4 kelompok yang terdiri dari 3 ekor per kelompoknya. Setiap mencit diberi nomor romawi di ekornya agar dapat dikenali. Kemudian mencit ditimbang berat badannya dan berdasarkan berat badannya dihitung volume obat yang dapat disuntikkan secara intraperitonial. Kemudian tiga mencit pertama diberi obat fenobarbital dengan dosis yang berbeda yaitu 75mg/KgBB, 150mg/KgBB dan 300mg/KgBB untuk mengetahui efek yang diberikan dari setiap dosis. Sedangkan yang terakhir diberikan NaCl fisiologis sebagai kontrol negatif. Kemudian mencit dari tiap kelompok diamati dan dicatat jumlah kehilangan righting reflex dan angka yang diperoleh dinyatakan dalam presentase serta dicatat pula jumlah mencit yang mati pada setiap kelompok. Grafik dosis respon dibuat.

VI.

DATA PENGAMATAN 6.1. Data waktu mencit kehilangan righting reflex Dosis fenobarbital Berat Mencit Badan (gram) Kelompok I 0 mg/kg BB(kelompok control) Kelompok II Kelompok III Kelompok I Dosis 75 mg/kg BB Kelompok II Kelompok III 14,9 13,4 Mulai Kehilangan Righting Reflex -

19,4 15,7 17

14,6

Menit ke 60

Kelompok I Dosis 150 mg/kg BB Kelompok II Kelompok III Kelompok I Dosis 300 mg/kg BB Kelompok II Kelompok III

18,3 16,1

Menit ke 30 Menit ke 45

27,9 14,9 17,1

Menit ke 15 Menit ke 10

16,4

Menit ke 45

6.2. Tabel Reed Muench Dosis (mg/kg) Log dosis Observasi Jumlah Jumlah Tidur Tidur Tidak Tidur NaCl 75 150 300 1.875061 2.176091 2.477121 0 0.33 0.67 1 1 2 3 2 1 0 1 3 6 3 1 0 4 4 6 0.25 0.75 1.00 25% 75% 100% Akumulasi Hewan Rasio %

Tidur Hidup Total Tidur Tidur

VII.

PERHITUNGAN

Jumlah volume yang disuntikkan ke mencit

Mencit I

Mencit II

Mencit III

Mencit IV

VIII.

GRAFIK GRAFIK LOG DOSIS FENOBARBITAL TERHADAP PERSEN EFEKTIFITAS


120% 100% % tidur (efektivitas) 80% 60% 40% 20% 0% 0 0.5 1 1.5 log dosis 2 2.5 3

IX.

PEMBAHASAN Praktikum Farmakologi kali ini mempelajari tentang pengaruh pemberian dosis obat terhadap respon yang diberikan oleh hewan uji. Setelah praktikum ini

dilaksanakan maka praktikan akan mengetahui bagaimana cara merancang eksperimen untuk memperoleh DE50 dan DL50 serta dapat memahami konsep indeks terapi beserta implikasinya. Uji pada praktikum ini menggunakan mencit sebagai hewan uji, fenobarbital sebagai bahan obat, dan rute pemberian obat diberikan secara intraperitonial. Pengujian dilakukan dengan menggunakan mencit jantan sebagai hewan uji. Mencit dipilih sebagai hewan uji karena proses terjadinya metabolisme dalam tubuh mencit tergolong cepat sehingga sangat cocok untuk dijadikan objek pengamatan. Sedangkan jenis kelamin mencit yaitu jantan dipilih dengan alasan mempunyai kondisi biologis yang lebih stabil dibandingkan dengan mencit betina yang kondisi biologisnya dipengaruhi masa siklus estrus yaitu siklus hormonal saat hewan siap melakukan reproduksi. Hewan uji dibagi dengan 4 mencit untuk masing-masing kelompok praktikum. Pembagian dilakukan agar praktikan dapat memberikan obat dengan variasi dosis terhadap hewan uji dengan mudah. Tahap setelah mencit dibagi kedalam 4 kelompok yang masing-masing terdiri dari 4 ekor mencit adalah setiap mencit diberikan tanda agar mudah dikenali. Tanda diberikan pada ekor mencit dengan menggunakan spidol. Tanda dituliskan pada ekor agar memudahkan praktikan untuk melihat tanda dan sukar hilang saat mencit diberikan obat secara peritonial. Sebelum obat disuntikkan, mencit ditimbang terlebih dahulu menggunakan neraca Ohauss. Hal ini bertujuan untuk mengetahui berat badan mencit yang digunakan dalam pendataan dan penghitungan dosis beserta volume obat dalam alat suntik melalui rute intraperitonial yang akan diberikan ke mencit. Volume obat terhadap berat badan mencit dirumuskan sebagai berikut :

Volume obat merupakan sejumlah volume obat yaitu fenobarbital yang akan disuntikkan ke mencit, BB hewan adalah berat badan mencit yang ditunjukkan oleh neraca Ohauss saat penimbangan dilakukan, BB standar hewan

adalah berat rata-rata mencit normal sesuai tabel konversi dosis yaitu 20 gram. Rute pemberian obat melalui intraperitonial pada mencit memiliki batas maksimal volume obat yaitu 1 mL. Namun pada praktikum kali ini volume maksimal obat yang digunakan sebesar 0,5 mL. Hal ini dilakukan untuk menghindari volume obat yang diberikan melebihi volume maksimal obat apabila mencit memiliki berat badan lebih dari 20 gram. Volume obat sesuai dengan perhitungan volume kemudian dapat dimasukkan kedalam alat suntik dan diberikan ke mencit. Obat yang diberikan terhadap mencit adalah fenobarbital yaitu obat golongan hipnotik-sedativum. Fenobarbital dapat membuat mencit dalam keadaan tertidur serta memperlama waktu tidur. Indeks terapi fenobarbital tergolong sempit yaitu dosis efektif obat dengan dosis toksiknya hanya terdapat rentang yang dekat. Peningkatan dosis fenobarbital diatas yang diperlukan untuk hipnotiksedativum dapat menimbulkan suatu keadaan anestesi umum pada mencit. Dengan dosis yang lebih tinggi lagi, hipnotik-sedativum dapat menekan pusat pernapasan dan pusat vasomotor di medula sehingga menimbulkan koma dan kematian. Fenobarbital disuntikkan ke mencit melalui rute intraperitonial. Mencit dipegang pada bagian tengkuk menggunakan tangan kanan dan hadapkan permukaan perut mencit ke arah praktikan dengan posisi abdomen lebih tinggi dari kepala. Obat disuntikkan dengan posisi jarum suntik dengan abdomen agak ke pinggir dan bersudut 10o. Posisi jarum suntik sedemikian rupa agar jarum suntik tidak mengenai kandung kemih apabila terlalu rendah dan mengenai hati apabila terlalu tinggi. Rute pemberian obat secara intraperitonial yang bertujuan agar mempercepat obat memberikan efek dalam tubuh. Rongga peritonium mempunyai pemakaian absorbsi yang luas, sehingga masuknya obat ke sirkulasi sistemik dapat secara cepat. Volume obat juga dapat diberikan secara maksimal dibandingkan dengan intravena atau intramuscular. Kekurangannya pada intraperitonial adalah absorbsi bisa agak terganggu oleh asam lambung, jadi obat yang digunakan harus tahan terhadap asam lambung.

Dosis fenobarbital yang diberikan secara intraperitonial meningkat tiap suntikannya pada 3 mencit sedangkan 1 mencit diberikan NaCl fisiologis sebagai kontrol negatif. Mencit 1 diberikan fenobarbital dengan dosis 75 mg/kg BB. Mencit 2 diberikan fenobarbital dengan dosis 150 mg/kg BB. Mencit 3 diberikan fenobarbital dengan dosis 300 mg/kg BB. Mencit 4 diberikan suntikan cairan NaCl fisiologis. Mencit kemudian diamati righting reflex terhadap fenobarbital. Mencit yang kehilangan righting reflex dapat dilihat saat mencit dibaringkan dengan permukaan perut menghadap keatas. Apabila mencit kembali ke posisi semula dikatakan bahwa mencit masih sadar dan dosis efektif obat kurang tepat atau waktu obat untuk mencapai keefektivitasannya belum cukup lama. Dari hasil pengamatan terhadap righting reflex keempat mencit didapatkan data bahwa terdapat variasi respon. Mencit yang mati menandakan fenobarbital yang diberikan merupakan dosis toksik. Dari hasil percobaan, pada kadar obat 75 mg, 150 mg dan 300 mg, efek obat sudah terlihat pada mencit. Namun, pada dosis 75 mg jumlah mencit yang efek obatnya terlihat lebih sedikit jika dibandingkan dengan pemberian dosis 150 mg dan 300 mg. Dalam percobaan ini, tidak ada mencit yang mengalami kematian. Hal ini dapat disebabkan dosis obat yang terlalu kecil. Mencit tetap aktif bergerak seperti biasa. Pada waktu 1 jam setelah pemberian fenobarbital secara intraperitonial, mencit terlihat diam dan seperti tertidur. Efek dari pemberian obat dengan dosis 75 mg pada 3 mencit menunjukkan perbedaan. Mencit dengan bobot 15,7 gram dan 17 gram efek obat belum terlihat sampai menit ke 60, karena mencit tidak kehilangan righting reflex. Sedangkan mencit dengan bobot 14,6 gram efek obat terlihat pada menit ke 60. Hal ini menunjukkan bahwa bobot mencit berpengaruh terhadap waktu kerja obat. Pada pemberian obat dengan dosis 150 mg, mencit menunjukkan efek fenobarbital yang mulai bekerja. Mencit pertama dengan bobot 18,3 gram kehilangan righting reflex-nya pada menit ke 30. Waktu dihitung sejak semua

obat yang diberikan secara intraperitonial masuk ke dalam tubuh. Pada mencit kedua dengan bobot 16,1 gram, righting reflex hilang setelah menit ke 45. Sedangkan pada mencit ketiga dengan bobot 27,9 tidak menunjukkan kehilangan righting reflex. Pada pemberian obat dengan dosis 300 mg, mencit pertama dengan bobot 14,9 gram kehilangan righting reflex terlihat pada menit ke 15. Pada mencit kedua yang memiliki bobot 17,1 gram, righting reflex hilang setelah menit ke 10. Hilangnya righting reflex pada mencit ke 3 dengan bobot 16,4 gram terlihat setelah menit ke 45. Setelah didapatkan data pengamatan maka dibuat grafik log pada ordinat persentase mencit yang memberikan efek dapat berupa hilangnya righting reflex atau kematian pada dosis yang digunakan. Tahap terakhir yaitu pembuatan grafik pada ordinat persentase mencit yang memberikan efek hilangnya righting reflex atau kematian pada dosis yang digunakan. Untuk penggambaran grafik, pertama-tama dibuat tabel untuk melengkapi data yang akan diplotkan pada grafik dimana kalkulasi LD 50 dilakukan menggunakan metode Reed-Muench. Berikut adalah tabel untuk ED 50 Dosis (mg/kg) Log dosis Observasi Jumlah Jumlah Tidur Tidur Tidak Tidur NaCl 75 150 300 1.875061 2.176091 2.477121 0 0.33 0.67 1 1 2 3 2 1 0 1 3 6 3 1 0 4 4 6 0.25 0.75 1.00 25% 75% 100% Akumulasi Hewan Rasio %

Tidur Hidup Total Tidur Tidur

Tabel yang didapatkan hanyalah untuk dosis kematian karena kehilangan righting reflex dianggap kematian untuk dapat dibuat dibuat plot grafik LD yang ada pada data pengamatan.

Hubungan terapi suatu obat dengan kurva dosis respon terdiri dari dua : 1. Kurva dosis yang terjal Dengan dosis kecil menyebabkan respon obat yang cepat ( efektifitas obat besar) tetapi toksissitasnya besar. Rentang efek teurapeutiknya besar atau luas. 2. Kurva dosis respon datar atau landai. Dosis yang diperlukan relative lebih besar untuk mendapatkan respon yang lebih cepat (efektifitas berkurang) tetapi toksissitasnya kecil. Rentang efek teurapeutiknya kecil atau sempit. Obat yang ideal menimbulkan efek terapi pada semua penderita tanpa menimbulkan efek toksik pada seorang penderita pun. Oleh karena itu, dan Pada percobaan ini tidak ada mencit yang mengalami kematian, maka dosis letal tidak ditemukan sehingga index terapi tidak dapat ditentukan. Efek obat akan meningkat seiring diberikannya dosis yang meningkat. Dari hasil percobaan terlihat bahwa semakin tinggi dosis obat yang diberikan, efek yang ditimbulkan obat semakin meningkat. Pada dosis 75 mg terdapat 1 mencit yang memperlihatkan efek obat. Sedangkan pada dosis 150 mg terdapat 2 mencit yang memperlihatkan efek obat dan pada dosis 300 mg terdapat 3 mencit yang memperlihatkan efek obat.

X.

KESIMPULAN 1. Untuk memperoleh nilai ED50 dan LD50 dari fenobarbital dapat dilakukan percobaan pada 4 kelompok mencit yang diberikan 3 dosis yang meningkat dan NaCl fisiologis sebagai kontrol negative yang diamati

jumlah serta lama waktu mencit kehilangan righting reflex. Untuk dapat menentukan nilai ED50 dan LD50 dilakukan transformasi log probit. 2. Indeks terapi adalah rasio antara dosis kematian (LD50) dengan dosis efektivitas (ED50), semakin besar indeks terapi maka semakin tinggi tingkat keamanan suatu obat.

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, R. 2009. PENGARUH EKSTRAK PEGAGAN (Centella asiatica (L.) Urban) TERHADAP EFEK SEDASI PADA MENCIT BALB/C. Tersedia di http://eprints.undip.ac.id/8081/1/Rizki_Amalia.pdf (Diakses tanggal 15 Maret 2013). Ansel ,H.C.1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Ellysheva, Reny, Elin Yulinah S. dan Anna Setiadi. 1995. Uji Efek Koleretik Ekstrak Akar Kelembak (Rheum officinale Baill) dan Ekstrak Rimpang Lempuyang Gajah (Zingiber zerumbet Smith) pada Tikus Putih Jantan dan Pengaruhnya terhadap Waktu Tidur Mencit Putih Jantan. Tersedia di http://bahan-alam.fa.itb.ac.id/detail.php?id=193 (Diakses tanggal 20 Maret 2013). Ganiswarna. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi keempat. UI-Press. Jakarta. Gilman, A. G. 2007. Dasar Farmakologi Terapi. Volume I. Penerbit Kedokteran EGC. Jakarta. Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi Keenam. EGC. Jakarta. Setiawati, Arini dan Armen Muchtar. 2007. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Respons Pasien terhadap Obat Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Tjay, T.H. & kirana R.2010. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan EfekEfek Sampingnya. Edisi 6. PT Elex Media Komputindo. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai